Sunda Wiwitan di Sekitar Gunung Berapi Sunda Purba hingga Krakatua
Penemuan fosil dan artefak tahun-tahun terakhir ini disekitar Gua Pawon sampai Gunung Padang (Kabupaten Bandung Barat sampai Cianjur) memang mengejutkan. Ada sejumlah fosil mammoth dan sejumlah peninggalan dari jaman megalitikum. Sejumlah peneliti dari IAGI dan Wanadri yang setia menyusuri DAS Citarum menjumpai beberapa situs seperti di bawah ini:
Gunung Sunda Purba sendiri pernah meletus serta menjadi tiga gunung anakan Gn Burangrang, Gn Tangkubanperahu dan Gn Bukit Tunggul. Puncaknya ada di atas Gn Tangkubanperahu dengan perkiraan ketinggina sampai 4.000 mdpl. Konon letusannya membuka Sanghyang Tikoro, sehingga Danau Purba Bandung menjadi daratan.
Nama Gn. Sunda Purba pun adalah bahasa lokal yang sama dengan penulisan geologist jaman pertengahan yang memperkirakan Sundaland (Paparan Sunda) berdiri di atas Sunda Plate (Lempeng Sunda tektonis). Douwess Dekker lah yang merubah nama Sundaland menjadi Nusantara, sehingga orang Malaysia pun sekarang merasa menjadi orang Nusantara. Bahkan mereka merasa sebagai sebuah kekaisaran (lebih tinggi dari kerajaan dan negara) dengan nama Kekaisaran Sunda Nusantara, berkedudukan di Kuala Lumpur.
Penemuan-penemuan baru piramida di Indonesia bahkan cukup menakutkan kelompok tertentu yang seolah akan mengembalikan keberadaan agama Sunda Wiwitan. Ini pendapat-pendapat dari masing-masing sumber, bukan saya, dan mohon maaf, hanya sekedar sharing bacaan.
Orang Pasundan merasa Sunda bukanlah etnis rakyat di Jawa Barat melainkan orang-orang se-Paparan Sunda yang berkumpul di pusat peradaban. Agama yang dianutnya pun adalah Sunda Wiwitan. Beberapa penganut Kejawen mengakui Sunda Wiwitan sebagai sumber “ke-jawa-an”, di mana agama Sunda yang monotheisme adalah ajaran Islam dari Brahma (Abhram menurut Taurat, Abraham menurut Injil dan Ibrahim menurut Quran), serta ajaran-ajaran sebelum Brahma (mungkin ajaran Islam sejak Nabi Adam as), di mana ajaran yang diusung adalah garis Habil dengan musuh ajaran Qabil.
Gunuung Krakatoa berkali-kali meletus dahsyat (dan diduga menjadi salah satu penyebab bencana besar katastopik yang memusnahkan peradaban Atlantis Nusantara dengan banjir dan Gempa serta Letusan Vulkanik raksasa menurut Santos, dan lokasinya dekat dengan suku Kanekes Banten (Baduy), yang sangat mempertahankan Agama Sunda Wiwitan dan mengaku bahwa Nabi panutan mereka adalah langsung Nabi Adam as.
Sunda Wiwitan yang berkembang dan disempurnakan oleh ajaran Al-Quran menjadi agama yang menurut faham Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan-nya. Perspektif ajaran Kejawen berdimensi tasawuf percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Budha yang dianggap orang kurang menghargai aspek fiqh syariat dengan hukum-hukum agama Islam, alasannya adalah bahwa penyebar agama Islam pada waktu itu lebih mementingkan Islam diterima dahulu walau harus menyesuaikan dengan adat Jawa. Kejawen sendiri bukanlah berasal dari kata Jawa, melainkan dari “jawi” atau bermakna kesederhanaan. Tetapi orang Jawa sudah menggunakan atau memakai gelar “Sayidina Panatagama”, “Khalifatullah”, “Ajaran agama ageming aji” (perhiasan) untuk raja-raja Jawa, karena raja adalah dianggap wakil Allah di dunia.
Kitab Mahabarata dan Ramayana serta takwil Al-Qur’an merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang mengandung ajaran moral dan karakter prilaku tuntunan hidup dengan pola pemahaman kajian pikiran Jawa yang lebih terfokus pada aspek indra batin dan prilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari pendekatan (taqorub) kepada Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) dan analisanya bersifat batiniah.
Sunda Wiwitan di Jawa Barat menjadi agama Sunda yang cenderung melengkapinya dengan ajaran Al-Quran al-Karim dalam bentuk tajalli (manifestasi Ilahiyah) dan Nga-Hyang (Fana Fillah), mirip dengan kejawen, tetapi tetap melaksanakan syariat secara hakiki. Penyatuan diri dengan Allah secara fisikal adalah tidak mungkin karena manusia berbeda zat dengan Allah, tetapi manusia harus mampu mencapai dimensi maqomat ketuhanan sesuai kemampuan akalnya. Maka secara tasawuf, tajalli adalah menyatukan diri kepada penampakan Diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas.
Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan/mewujudkan diri”. Tidak mengherankan, pada 1576M, Raja Sunda Galuh (atau dikenal dengan raja Pakuan Pajajaran karena berkantor di Pakuwuan yang berjajar, yaitu Prabu Siliwangi (Sribaduga Maharaja, karena raja adalah mandataris dari board of director raja-raja dari trias politica pemerintahan Paparan Sunda ala kearifan lokal: Tri Tantu di Buana ) lebih suka mengalah dan menghilang (raib atau tilem/fana/moksa) ketimbang harus berperang sesama bangsa yang dikepalai oleh panglima-panglima Gujarat dan China yang menjadi wakil Kerajaan Demak, Cirebon, Bali dan Banten. Hal yang sama juga terjadi kepada raja majapahit terakhir: Prabu Brawijaya V, yang memilih moksa di Gunung Lawu (lokasi Candi Cetho dan Sukuh) ketimbang terus mempertahankan kekuasaan politiknya yang diperebutkan kalangan istananya dan keluarganya.
Oleh sebagian kalangan Islam kaum santri Indonesia berwarna Islam Saudi Arabia yang literal-harfiyah (Wahabiyin), konsep penyatuan manusia dengan Tuhan dalam Kejawen dan agama Sunda dianggap mengarah kepada penyekutuan Tuhan atau prilaku Syirik. Anehnya banyak ahli-ahli spiritual Islam Timur Tengah (juga Persia) bahkan banyak belajar kepada agama Islam Sunda ini. Apakah karena pola pikir tasawuf Jawa/Sunda/Nusantara pada waktu itu sudah lebih maju ketimbang tasawuf Arab? Di mana Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakan tingkat-tingkat di atas syariat seperti tarekat, hakekat dan marifat.
Kemudian untuk menjadi marifatullah seseorang harus mengikuti sunnah Rasul dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fatonah? Memang ajaran tasawuf Islam (Islamic Mysticism) itu lebih leluasa berkembang di kalangan para pengkikut Ahlu Bayt Nabi (baik dari kalangan Syiah pada khususnya maupun kalangan Sunni pada umumnya, Di pulau Jawa (Jawa Barat & Jawa Timur), kita mengenal tokoh Syekh Siti Jenar yang mengajarkan kesederhanaan hidup, ketulusan-kejujuran dan penyatuan diri dengan kehendak Tuhan YME (Manunggaling Kawulo lan Gusti) serta “Hamemayu Hayuning Bawono” (Rahmatan lil Alamin, dalam bahasa al-Qur’an).
Dari sudut pandang Tasawuf, gambar relief-relief dan pesan moral di Candi Borobudur yang merupakan peninggalan kerajaan Budha, itu pun ternyata dapat dipahami dan sangat sejalan dengan pola suluk (perjalanan) dan pembinaan spiritual dalam tasawuf, meneuju kesempurnaan tauhid dan makrifatullah. Begitu juga di Jawa barat telahdiketemukan Komplek Candi Jiwa di Batu Jaya Karawang yang merupakan peninggalan Kerajan Budha-Hinddu (?) Taruma Negara. Dan kerajaan Sunda sebelumnya.
Masih banyak warisan ajaran mulia dari para leluhur nusantara, khususnya dari Sunda Wiwitan maupun Kejawen serta masukan dari berbagai agama dan tradisi suci yang pernah tumbuh dan masih hidup di Nusantara ini yang masih sangat relevan dan perlu digali lebih dalam lagi serta dididikan kepada para putra bangsa Nusantara karena akan bermanfaat bagi kebangkitan spiritual dunia di millenium ketiga ini, di mana Nusantara pada umumnya dan urang Bogor (Sunda) pada khususnya, akan berperan penting dan strategis dalam proses maha hebat di akhir zaman ini, sebagaimana diramalkan dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi, atau ramalan Pandita Ronggowarsito tentang Satrio Piningit Sinihan Wahyu yang akan menjadi atau menengakkan Sistem Pemerintahan Ratu Adil di akhir zaman ini, serta ramalan atau prediksi para pujangga waskita lainnya. Dalam hal ini, saya rasa para budayawan, sesepuh dan para cendikiawan ilmuwan lain yang hadir di sini mungkin lebih tahu dan lebih paham daripada saya yang baru belajar ini.
Salah satu tokoh Budaya Sunda, yang sudah meninggalkan kita belum lama ini, yaitu almarhum Abah Hidayat Suryalaga, dari Bandung, pernah memberikan beberapa copy bukunya yang belum diterbitkan kepada saya para ahli yang kompeten yang dihimpunnya. Team Andi Arif ini mengumumkan telah menemukan lagi 3 Piramida atau Candi Punden Berundak di Garut, dan telah menemukan beberapa situs yang diduga Piramida Klotok di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, serta situs bekas kota tenggelam di Laut Selatan Provinsi Banten (berita tentang hal ini dapat dilihat di Blog Bayt al-Hikmah Institute atau Blog Atlantis Sunda yang saya kelola), atau di berbagai media online lainnya.
Berbagai kelompok pegiat dan peneliti sejarah budaya dan Peradaban Nusantara Kuno ini, pun tumbuh semakin banyak, dan semakin aktif kegiatannya. Termasuk Kelompok peneliti dari Australia yang dipimpin oleh Hans Berekoven dengan Kapal beradar sonar bawah laut bernama Southern Sun, Atlantis Sunda Archaelogical Research Project yang telah berusaha mengajak LIPI dan Bakorsurtanal untuk meneliti sisa-sisa keberadaan Atlantis/lemuria di Perairan Laut Jawa dan sekitarnya.
Post a Comment