Gunung Sangianganjung (Sanghyang Anjung) Nagreg dan Petilasan Kerajaan Kendan Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung

Sejarah Kerajaan Kendan yang berdiri antara abad ke 5 sampai dengan 6 Masehi memang tidak banyak dikenal orang. Kerajaan ini awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara yang memerdekakan dirinya dan kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Galuh.

Tidak semua ahli sejarah yakin mengenai keberadaan Kerajaan Kendan karena sumber primernya dianggap kurang kuat. Ada pun yang dimaksud sumber primer adalah bukti berupa benda, bangunan, atau dokumen yang berasal dari waktu yang sama dengan sesuatu yang dipelajari.

Keberadaan Kerajaan Kendan didapat dari sumber sekunder, yaitu benda, bangunan, atau dokumen yang tidak sezaman. Di antaranya adalah naskah Wangsakerta dan naskah Carita Parahyangan. Ada naskah yang lebih tua dari keduanya, seperti naskah Pararatwan Parahyangan, tapi sayangnya naskah tersebut belum banyak terungkap.

Para ahli sejarah yang setuju dengan keberadaan Kerajaan Kendan menganalisis bahwa lokasi tempat Kerajaan Kendan berpusat di kawasan perbukitan Nagreg, tepatnya di wilayah Desa Citaman dan Desa Nagreg. Sementara itu, kekuasaannya meliputi separuh wilayah sebelah timur Citarum sampai wilayah Ciamis. Namun, kekuasaan wilayah Kerajaan Kendan tetap merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Kendan merupakan hadiah dari Raja Tarumanegara kepada menantunya. Salah satu tujuan pembentukan Kerajaan Kendan adalah mempercepat pengembangan dan pemberdayaan wilayah timur Kerajaan Tarumanegara. Strategi ini terbukti berhasil. Kemunculan Kerajaan Kendan membuat wilayah timur Kerajaan Tarumanegara menjadi lebih berkembang, terutama di sektor pertanian, religiositas, dan peningkatan sumber daya manusianya.

Kerajaan Kendan merupakan sebuah kerajaan yang memerdekakan dirinya dari Kerajaan Tarumanagara, kerajaan tertua di Nusantara, di abad ke-6 Masehi. Kerajaan Kendan dipimpin oleh seorang raja, Resiguru Manikmaya, yang berasal dari keturunan Pengiring Medal Kamulyaan dari Salakanagara Medang Kahiangan Gunung Tampomas Sumedang (baca disini). Resiguru Manikmaya membawa dan menyebarkan ajaran Hindu di Jawa, dan atas pengabdiannya di Kerajaan Tarumanagara. Resiguru Manikmaya dinikahkan dengan Tirta Kancana (anak dari Raja Tarumanagara pada saat itu) dan diberikan kekuasaan di daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Kendan.

Sesuai dengan karakternya sebagai seorang resi, Manikmaya bukan tipe raja yang hidup mewah. Bahkan istana kerajaannya juga terbilang sederhana, terbuat dari kayu serta bahan sederhana lainnya. Itu sebabnya artefak-artefak keberadaan kerajaan Kendan sulit dilacak.


Masyarakat Kampung Kendan percaya bahwa makam atau petilasan Rajaresi Manikmaya dan istrinya berada di puncak Gunung Sangianganjung yang dikenal pula dengan nama Gunung Sanghyang Anjung.


Gunung Sangianganjung atau Gunung Sanghyang Anjung terletak di sebelah timur pusat Kota Bandung. Jaraknya sekitar 35 kilometer. Secara administratif, gunung ini berada di wilayah Kampung Kendan, Desa Nagreg, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.

Ketinggian puncak Gunung Sangianganjung adalah 1.061 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Akses menuju Gunung Sangianganjung dari Kota Bandung tidaklah sulit. Kendaraan kita arahkan ke timur menuju Cileunyi, kemudian berbelok ke kanan ke arah Cipacing. Selanjutnya kita menyusuri jalan menuju Nagreg. Setelah melewati pintu perlintasan kereta, kita berbelok ke kiri menuju Kampung Kendan. Dari sini kita bisa bertanya ke warga tentang arah jalan ke Gunung Sangianganjung dan tempat untuk memarkirkan kendaraan.

Sebagai tambahan informasi, petunjuk arah ke Gunung Sangianganjung bisa kita dapatkan secara daring dengan kata kunci “Bukit Kendan” di mesin pencari. Peta dan petunjuk rute akan tersaji.

Bukit Kendan dan Puncak Sangianganjung
Situs Kerajaan Kendan memiliki dua tempat yang menarik untuk dikunjungi, yakni Situs Makam Rajaresi Manikmaya di puncaknya dan Bukit Kendan di kaki gunung sebelah baratnya.

Bukit Kendan merupakan komplek bekas pertambangan batu yang sudah tidak ditambang lagi. Tampilannya jadi sangat menarik. Tebing-tebing batu berjejer menjulang dalam beragam bentuk dan formasi. Bahkan ada yang membentuk formasi gupitan atau celah sempit dengan sisi kanan dan kirinya berdiri tebing tinggi. Pada bagian tengah kawasan Bukit Kendan yang sebelumnya berupa area terbuka, sekarang tertutup semak rimbun. Tumbuhan pakis dan kaliandra pun tumbuh liar dalam populasi cukup banyak serta rapat.

Sepertinya sudah jarang orang yang datang ke Bukit Kendan. Jalan setapaknya tertutup dan sudah ditumbuhi lumut, membuatnya licin dan agak susah dilewati. Padahal Bukit Kendan sangat menarik sebagai tempat untuk menikmati suasana alam. Di beberapa area yang permukaan tanahnya cukup luas, kita bisa duduk santai sambil menjerang air untuk menyeduh kopi atau memasak, kemudian menyantap makanan bersama-sama.

Bukit Kendan memang tidak merujuk kaitan langsung dengan situs Kerajaan Kendan, tetapi keberadaannya sebagai tempat penambangan batu kendan menjadikannya sebagai salah satu tempat yang sering dihubungkan dengan kisah Kerajaan Kendan.

Untuk mengunjungi Bukit Kendan, yang bisa kita jadikan patokan adalah Lapang Mini Soccer Kendan di dekat Kantor Desa Nagreg. Dari sana, kita melanjutkan lagi perjalanan sejauh sekitar 1 kilometer. Nanti akan kita temui sebuah warung kecil, namanya Warung Ibu Erung. Kendaraan bisa dititipkan di sini. Kita tinggal menyeberang jalan dan berjalan sejauh 400-an meter menuju Bukit Kendan.

Setelah puas menikmati suasana Bukit Kendan, kita bisa melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gunung Sangianganjung. Jarak tempuhnya sekitar dua kilometer. Perjalanan sebaiknya dilakukan menggunakan sepeda motor atau kendaraan roda empat dengan kemampuan menanjak dan mudah dikendalikan di jalanan berbatu atau tanah licin. Jika ragu melintasi medan berbatu dan menanjak, sebaiknya kendaraan di parkir di pertigaan. Perjalanan menuju Puncak Sangianganjung dilakukan dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya sekitar satu kilometer.

Jika cuaca baik dan kondisi jalan tidak licin, kendaraan roda dua bisa mengantarkan kita hingga area dengan tanda plang bertuliskan Situs Kerajaan Kendan. Dari tempat ini, kita berjalan kaki di jalur menanjak sepanjang 200 meter. Sudah ada tangga atau undakan sederhana, dengan 160-an anak tangga, yang dibuat untuk memudahkan perjalanan.

Sesampainya di puncak, kita akan melihat dua buah petilasan berupa makam. Bentuknya sederhana saja, tidak terlihat seperti makam seorang raja.

Selain makam atau petilasan, di Puncak Sangianganjung kita juga bisa menikmati pemandangan indah gunung-gunung yang berada di sekitarnya. Di sebelah barat laut, terlihat Gunung Serewen dan Gunung Buyung. Di arah utara, terlihat Gunung Kerenceng. Sementara itu, di arah selatan, tampak Gunung Kaledong dan Gunung Mandalawangi.

Pendakian ke Gunung Sangianganjung merupakan perjalanan santai. Bukan pendakian menembus hutan rimbun atau tanjakan-tanjakan curam. Nilai tambahnya ada pada pengetahuan sejarah.


Toponimi dan Geomorfologi
Penamaan Kerajaan Kendan berasal dari  sumber alam batu hitam yang mengkilat seperti kaca. Batu hitam ini dikenal dengan nama Batu Kenan atau Batu Kendan. Ada juga yang menerangkan asal mula nama batu ini adalah batu kaindraan yang lambat laun berubah pengucapannya menjadi batu kaindran atau kendran, dan akhirnya menjadi kendan.

Secara geologi, batu hitam mengkilap seperti kaca disebut dengan batu obsidian. Seorang pengelana bangsa Romawi bernama Obsidius dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan batu kaca, sehingga namanya diabadikan untuk menyebut jenis batu tersebut.

Batu obsidian merupakan batu yang terbentuk dari lava yang keluar ketika gunung api meletus. Lava ini kemudian mengalami pembekuan yang sangat cepat sehingga menjadi batu mengkilap seperti kaca, terdiri dari satu warna. Obsidian yang paling banyak ditemukan di berbagai belahan dunia adalah obsidian warna hitam. Warna lain seperti merah tua, abu-abu, atau biru tidak ditemukan sebanyak warna hitam.


Batu obsidian kuat dan tidak gampang rapuh karena mengandung silikon dioksida yang cukup banyak. Tidak aneh jika di masa prasejarah, batu obsidian banyak digunakan sebagai bahan pembuatan perkakas. Jejak manusia prasejarah di dataran Bandung yang ditemukan di Gua Pawon Padalarang, misalnya, diketahui menggunakan bahan perkakas seperti mata panah, kait, pencongkel, atau pisau yang terbuat dari batu obsidian.

Karena sumber batu obsidian di kawasan Bandung dan sekitarnya ditemukan di daerah Kendan, para arkeolog memperkirakan bahwa manusia prasejarah melakukan perjalanan cukup jauh dari Gua Pawon ke Bukit Kendan untuk mendapatkan batu obsidian.

Ahli geologi Budi Brahmantyo dalam bukunya Geologi Cekungan Bandung (2011) menyebut bahwa di Gunung Sangianganjung dan Kendan terdapat lapisan-lapisan tuff terlipat dan miring. Lapisan-lapisan ini mempunyai sisipan obsidian berukuran kerikil hingga berangkal.

Masih menurut buku tersebut, diketahui bahwa akumulasi obsidian terbesar berada di lereng utara Gunung Sangianganjung, di kampung Kendan. Di tempat ini , sebuah bongkah obsidian dengan tinggi 1,5 meter tersingkap ke permukaan. Selanjutnya disebutkan bahwa secara geomorfologis Gunung Kendan adalah sebuah bukit  yang terisolasi. Ekspresi morfologinya mesa, bukit berpuncak datar yang biasanya dikontrol oleh lapisan mendatar. Lapisan-lapisan tuff dengan obsidian  dengan kedudukan horisontal teramati di bagian atas bukit ini.


Situs Lain Kerajaan Kendan
Selain Gunung Sangianganjung, ada beberapa situs lain di wilayah ini yang terkait sejarah Kerajaan Kendan. Di antaranya Situs Pamujaan di dekat SDN Pamujaan 01 dan situs Batu Korsi atau Batu Karesi di lereng Gunung Serewen.

Ada juga makam atau petilasan Eyang Cakra dan Eyang Singalarang. Oleh masyarakat setempat, keduanya sebagai tokoh penting terkait Kerajaan Kendan. Situs-situs ini terletak di Desa Citaman, sebuah desa yang bertetangga dengan Kampung Kendan.

Baca Juga :

Tidak ada komentar