Sejarah Galuh Salawe Nagara dan Para Bupati Imbanagara Gara Tengah

Mengkaji sejarah Galuh Salawe Nagara hingga Imbangnagara, tidaklah terlepas atau berkaitan dengan para pandahulunya :

1. Prabu Pucuk Umum Raja Maja / Rajagaluh Maja (Rd Rangga Mantri)
Prabu Pucuk Umum adalah putra Ratu Lalayaran dari perkawinan dengan Sunan Kabuaran yang pada waktu kecil dititipkan di eyangnya di Pajajaran untuk mendapatkan pendidikan kenegaraan. 

Sumber lain menuliskan Prabu Pucuk Umum Raja Maja / Rajagaluh Maja (Rd Rangga Mantri) dalah putra dari  Munding Laya Dikusumah (Munding Sari Ageung / Munding II / Prabu Munding Suria Ageung / Prabu Munding Wangi).

Prabu Pucuk Umum Raja Maja / Rajagaluh Maja (Rd Rangga Mantri) menikah Ratu Parung / Ratu Sunialarang, berputra :
1. Prabu Haurkuning 
2. Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang)
3. Dalem Lumaju Agung 
4. Dalem Panuntun  
5. Dalem Panakean

Prabu Pucuk Umum selain mendapat ilmu dari eyangnya (Prabu Siliwangi) juga mendapat didikan rohani dari Kasan Ali Rakean (Jabaranta) = Syekh Siti Jenar. Pada tahun 1516 M Prabu Pucuk Umum pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu Patih Yunus dari Demak atas perintah Raden Patah walaupun bantuan itu tidak sampai ke Malaka hanya sampai ke Palembang karena ada yang memberitahu dari utusan Patih Yunus bahwa perang di Malaka sudah beres dengan kata lain Prabu Pucuk Umum telah membantu Demak dalam penyerangan bangsa Portugis yang ada di Malaka walaupun dibalas dengan ketidakaadilan. Selain itu Prabu Pucuk Umum pernah diajak oleh orang-orang islam dan diangkat menjadi pimpinan karena Prabu Pucuk Umm simpati sekali kepada ajaran islam termasuk ke rakyatrakyat yang beragama islam. Tapi Prabu Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi pimpinan Islam karena alasannya harus menyerang Kerajaan Pajajaran sedangkan Raja Pajajaran itu adalah eyangnya. Nasib Prabu Pucuk Umum yang gagah berani akhirnya tidak diketahui sebab sewaktu akan pindah ke daerah pakidulan bersama ibunya pada malam harinya di Darma Prabu Pucuk Umum bersama istrinya ketika akan naik kuda diserang oleh pasukan islam diculik ke Cirebon dirayu untuk jadi pemimpin tapi olah Prabu Pucuk Umum ditolak dan akhirnya Pucuk Umum pindah ke Rajagaluh bersama istrinya.

Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri. 

Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga mempunyai putra, yaitu : Prabu Haur Kuning, Aria Kikis  Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Ageng Maja, Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka, dan Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh penulis. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.

Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum pun memeluk agama Islam. Oleh karena itulah (menurut ceritera lain) Raden Rangga Mantri oleh Sunan Gunung Jati diberi gelar Prabu Pucuk Umum Talaga. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka [Rajagaluh bukan bagian dari Kerajaan Talaga; sementara “Majalengka” tidak tersebut-sebut dalam ceitera Talaga yang manapun–kecuali untuk menyebutkan “yang sekarang termasuk wilayah Majalengka). Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Kerajaan Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.


2. Prabu Haur Kuning (1535-1580 M)
Prabu Haur Kuning waktu kecil disebut Ujang Ayem, adalah putra Pucuk Umum dari Kembang Tanjung, salah satu putra dari Prabu Angkalarang (Prabu Anggalarang) Galuh Ciamis

Sumber  dari Talagamanggung bahwa Prabu Haurkuning adalah putra dari Prabu Pucuk Umum Raja Maja / Rajagaluh Maja (Rd Rangga Mantri) yang memperisteri  Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung), Ratu Talagamanggung (1500 M) putra dari Sunan Parung / Batara Sukawayana, berputra :
1. Maharaja Sanghyang Cipta Permana Prabudigaluh Salawe
2. Maharaja Utama 
3. Sareuseupan Agung

Sejak kecil sudah kelihatan bakat kepemimpinan serta mempunyai keanehankeanehan terutama menjinakan binatang buas. Dalam suatu kisah diceritakan bahwa waktu kecil dibawa dalam pengungsian, karena ada serangan maka tertinngal oleh orang tuanya dan sekembalinya dari persembunyian sangat kaget karena anaknya tidak ada, ternyata setelah dicari  kedapatan sedang menyusu pada kerbau bule dan seolah-olah dilindungi oleh kerbau yang memang tadinya pun Prabu Haur Kuning tidak menyusu ke Ibunya, karena susu Ibunya tidak berair, sedangkan pada waktu itu kerbau bule baru melahirkan ditinggal oleh anaknya karena mati dan ternyata Prabu Haur Kuning mau disusukan oleh ibunya ke kerbau. Mungkin
itulah sebabnya Prabu Haur Kuning bisa menjinakan binatang buas. Ketika masih kecil pernah diculik oleh orang-orang di kaki Gunung Ciremai yang ingin mempunyai (pimpinan) keturuan Prabu Siliwangi sebab orang-orang hindhu disekitar itu diserang terus oleh pasukan islam dari Cirebon, tetapi akhirnya Prabu Haur Kuning bisa selamat karena ditolong oleh ayahnya sendiri yaitu Prabu Pucuk Umum dan sebagai kenangan tempat yang dijadikan tempat penculikan Prabu Galuh (Haur Kuning) disebut Raja Galuh yang sekarang menjadi nama Kawadanan ada di daerah utara kaki Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Majalengka.


3. Maharaja Cipta Sanghiang (1580-1595 M)
Maharaja Cipta Sanghiang,  putra Prabu Haur Kuning yang menjadi Raja Galuh Gara Tengah dengan gelar Maharaja Prabu Cipta Sanghiang Permana dan termasuk Raja Galuh terakhir yang beragama hindu jasadnya dilarung di Ciputra Pinggan.

Pada acara melarung Raja Cipta Sanghiang inilah hadir diantaranya raja daerah Ukur yaitu Lembu Alas ayahnya Dipati Ukur yang datang dengan anaknya sehingga antara Dipati Ukur dengan Panaekan Putra Cipta Permana bersahabat serta sepaham ayahnya, begitu pula keluarga raja dari Kertabumi yaitu Tanduran Gagang didampingi cucu-cucunya yang cantik-cantik.


4. Prabu Cipta Permana (1595-1618 M)
Prabu Cipta Permana Adalah Ratu Galuh pertama yang beragama islam karena beliau menikah dengan Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah penguasa Kawali yang beragama islam karena Kawali mulai tahun 1570 M sudah dibawah Cirebon. Perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1596 M Cirebon belum terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud sebelah utara Sungai Citanduy ada dibawah kekuasaan Cirebon termasuk Panjalu baru setelah tahun 1618 M Mataram menjajah Galuh dengan dimulai penggantian gelar raja tadinya bergelar ratu atau sanghyang diganti dengan gelar adipati yaitu bupatin di bawah jajahan Mataram. 


5. Situs Cagar Budaya Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe
Di Kabupaten Ciamis sekarang. Hal ini di tuturkan oleh Bapak Latip Adiwijaya, “Di daerah Ciamis khususnya Kecamatan Cimaragas terdapat sebuah situs berupa makam, peninggalan arkeologi dan batu-batu patilasan yang merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pangauban atau Galuh Gara Tengah yang diperintah oleh Sanghyang Cipta Permana Prabudigaluh Salawe. Situs tersebut terdapat di Dusun Tunggal Rahayu Desa / Kec. Cimaragas. Nama situs tersebut diambil dari nama raja galuh islam pertama yaitu Sanghyang Cipta Permana Prabudigaluh Salawe 1595-1618 M".

Situs ini merupakan tempat pemakaman yang terdiri dari tiga ruangan. Masing-masing ruangan dibatasi oleh susunan batu yang disisipkan dalam gundukan tanah seperti layaknya bangunan tembok, selain itu terdapat batu kursi yang menyerupai kuburan dan terdapat batu yang menyerupai angsa yang terletak pada dinding sebelah timur ruangan (profil desa cimaragas tahun 2013).

Juru kunci Latip Adiwijaya menyebutkan bahwa situs cagar budaya Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh salawe terdapat lima gerbang yang antara lain yaitu :

Gerbang 1
Merupakan gerbang utama (pintu) menuju situs

Gerbang 2
  • Merupakan tempat patilasan-patilasan yaitu :
  • Dewi Sulung Manis yang merupakan istri dari patih Petinggi Salawe.
  • Pangeresan, merupakan batu pangcalikan atau pengangkatan raja/ratu.
  • Dewi Umayah, merupakan bendahara kerajaan (juru keungan).
  • Ratu / Rajamuda Galuh Pangauban Garatengah isteri Sanghyang Adipati Panaekan (1618-1625).
Gerbang 3
Di dalamnya terdapat batu-batu patilasan antara lain :
  • Batu Entog / Wisnu murti, yaitu batu peninggalan zaman hindhu-budha yang menyerupai angsa.
  • Ratu / Raja Galuh Pangauban Gara tengah Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe (1595-1618).
  • Sunan Rangga Lawe.
  • Syekh Muhidin, merupakan guru besar agama.
  • Ki Galuh Pamungkas.
  • Pamidangan
  • Rd. Jaya kusumah.
  • Rd. Sutadepra Cipta Permana Umbul Salawe.
  • Raden Jaya Kusumah (pejuang).
  • Sumur Bandung (Raja laut selatan).
Gerbang 4
Di dalamnya terdapat batu-batu patilasan antara lain :
  • Siti umalaiah (istri patih Anggrasena Pajajaran).
  • Mahapatih Anggrasena.
  • Nata dikusumah (putra cikal Petinggi Salawe)
Gerbang 5 
Di dalamnya terdapat batu-batu patilasan antara lain :
  • Ibu Ratu Galuh Sunan Nganjung Tatali Pinunjul (istri Prabu Cipta Permana).
  • Nyai Ratna inten / Putra Singa Derpa (Juru antar).
  • Singaderpa (putra Sutaderpa)
  • Depra santana (putra Singaderpa).
  • Petinggi Salawe.
  • Gudang Peralatan Perang.
Ini semua merupakan warisan sejarah yang terdapat di situs salawe masa kerajaan galuh sebelum islam dan masa islam.


Kompek Situs Makam Sanghyang Cipta Permana Prabu di Galuh Salawe di Dusun Tinggarahayu, Desa Cimaragas, Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis

Menurut A. Sobana Hardjasaputra (2012:1) Kata “galuh” memiliki beberapa arti dan makna. Kata galuh dipahami secara umum berasal dari bahasa sansekerta yang berarti permata. Dalam kehidupan kerajaan di indonesia, khususnya di Jawa, sebutan “galuh” bisa ditujukan pada putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan. Selanjutnya A Sobana Hardjasaputra juga mengatakan, dalam budaya masyarakat galuh (sunda), makna kata “galuh” identik dengan “galeuh”, bagian tengah (inti) pohon/kayu yang berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh yang berarti beli. Kata “galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (qolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa sunda, “galuh galeuhna galih”(galuh intinya hati atau inti hati adalah galuh). Ungkapan itu menunjukan bahwa kata “galuh” memiliki makna filosofis yang dalam.

Selanjutnya, ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa kata galuh terkait dengan ilmu kegaluhan, yakni ilmu yang mengajarkan tentang falsafah kehidupan manusia. Dalam pada itu, galuh diartikan sebagai permata, tetapi bukan permata yang berkilauan melainkan permata kehidupan. Permata kehidupan itu terletak ditengah-tengah hati, istilah dalam bahasa sunda, galuh galeuhna galih. Permata kehidupan itu adalah kejujuran menjalani hidup, yang berarti hidup haruslah jujur agar tercapai kesempurnaan dan terhindar dari segala godaan yang menyengsarakan. Ilmu kegaluhan itu menuntun manusia untuk mencapai keselamatan hidup lahir dan batin.

W.J Van Der Meulen dalam bukunya Indonesia Di Ambang Sejarah (1988), menyatakan kata “galuh” berasal dari kata “sakalo” (bahasa tagalog) yang berarti “dari sungai asalnya” = air. Kata itu berubah menjadi “segaluh/sagaluh”. Pendapat Van Der Meulen tadi telah mengidentifikasikan adanya sebuah pusat daerah atau kerajaan yang bernama galuh.

Pada awalnya galuh merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara yang diperintah oleh Maharaja Terusbawa yang pamor kerajaanya mulai pudar.

Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kendan pada tanggal 23 maret 612 M. Dalam usia 21 tahun. Jatuh pada bulan sedang purnama, dan esok harinya matahari terbit tepat di titik timur garis equator. Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan, ataupun di Medang Jati juga tidak di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru yang diberi nama Galuh (permata). Lahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya sekarang di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. (Yoseph Iskandar, 1990 : 74).

Lama setelah itu, Kerajaan Galuh dan Sunda dipersatukan oleh Sanjaya tahun 723 M, sampai pada masa pemerintahan Wastu Kancana yang dinobatkan tahun 1357-1475 M. “Ketika Wastu Kancana atau Prabu Wangisutah wafat tahun 1475 M, tahta kerajaan dibagikan kepada kedua anaknya wilayah Citarum kebarat, diberikan kepada Sang Haliwungan dengan nama nobat Prabu Susuk Tunggal dan wilayah Citarum ketimur diberikan kepada Ningrat Kancana dengan nama nobat Prabu Dewa Niskala. Dengan demikian wilayah tatar sunda kembali terpecah dua, dan masing-masing sebagai Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh”. (Yoseph Iskandar, 1990 : 104).

Yang dimaksud nama galuh disini adalah nama galuh pusat pemerintahan pindah ke Bogor oleh Prabu Siliwangi. Pertama nama galuh yang muncul adalah suatu kerajaan yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda oleh Raja Wretikandayun sekitar tahun 612 M, yamg pusat pemerintahannya di sekitar Karangkamulyan (Bojong Galuh), yang berjaya sekitar 2,5 abad yaitu sekitar tahun 612-900 M.

Nama galuh sendiri pada waktu itu diartikan permata. Kedua galuh muncul lagi dengan pusat pemerintahan di kawali dimulai dengan Ratu Umi Lestari sekitar tahun 1300 - 1500 M kurang lebih dua abad, yang diahiri dengan pemerintahan Dewa Niskala. Pusat kerajaan galuh pada pertengahan abad ke-16 pindah dari kawali ke Bogor dan berubah nama menjadi Kerajaan Pajajaran. Kawali menjadi kerajaan kecil yang menginduk ke Bogor.(H.Djaja Sukardja, 1999 : 1).

Nama galuh muncul lagi karena permintaan Ratu Inten Kedaton istri ke-dua Prabu Siliwangi yang ingin menjadi Ratu Galuh yang menguasai kerajaan kecil (semacam kandaga lente) tempat pangauban (perlindungan). Akhirnya janji ditepati dan tempat dipilihnya antara Sungai Cipamali dan Sungai Cisanggarung. Tapi akhirnya ratu galuh itu hanya sesebutan saja karena tidak punya negara. Akhirnya menurut suatu kisah setelah pindah dari daerah Cisanggarung ke daerah aliran Sungai Citanduy, (sekarang kira-kira ciputrapinggan) baru Kerajaan Galuh Pangauban yang dirancang oleh Prabu Pucuk Umum dibangun oleh Kamalarang dibantu oleh masyarakat pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari laut sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 deupa persegi (sekitar 1,2 m). sekelilingnya dipagar tanaman haur kuning yang berduri, sebelah utara dibuat alun-alun luasnya 50 deupa persegi, sebelah selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa persegi. Bangunan keratonnya sangat sederhana rangka hanya terbuat dari kayu campur bambu yang atapnya terbuat dari kirai. Di sebelah barat ada mata air yang jernih sekali sedangkan sebelah tenggaranya didirikan tujuh rumah untuk para menteri dan pegawai negara yang penting.

Disekitar rumpun haur dikelilingi oleh perumahan rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat bagolo serta kamulyan maratama, maradua, dan maratiga yang setia kepada Prabu Haur Kuning dalam membangun pusat Galuh Pangauban.(H.Djaja Sukardja, 1999 : 1-2).


6. Dipati Panaekan (1618-1625 M)
Adipati Panaekan adalah Raja Galuh pertama yang mendapat gelar Adipati dari Mataram. Semasa muda Dipati Panaekan bernama Ujang Ngoko. Dia adalah putra Raja Galuh Cipta
Permana yang berkedudukan di Gara Tengah.



Sahabatnya semasa muda adalah Ujang Talis putra Sanghyang Lembu Alas, penguasa Tatar Ukur. Ujang Talis inilah yang pada saatnya nanti akan bergelar Dipati Ukur, setelah dia menjadi penguasa Tatar Ukur, menggantikan ayahnya Sang Lembu Alas. Kedua anak muda ini dibesarkan ketika negara-negara di Pasundan berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Setiap negara berlomba berebut saling memperluas wilayah masing-masing.

Kesultanan Cirebon terus mengembangkan agama islam disertai dengan perluasan wilayah. Namun tetap tidak mampu menembus kekuasaan Galuh. Kerajaan Sumedang terjepit oleh kekuasaan Cirebon, Banten dan Galuh, namun Prabu Geusan Ulun segera menjalankan siasat agar bisa menanamkan pengaruh di Galuh, yaitu dengan menikahkan putranya Rangga Permana kemudian bergelar Prabu Di Muntur yang berkedudukan di Kertabumi, masih wilayah Kerajaan Galuh. Dengan demikian Prabu Geusan Ulun berhasil menempatkan putranya sebagai raja yang bisa dipengaruhi olehnya dan akan menjadi duri dalam Kerajaan Galuh.

Persahabatan Ujang Ngoko dan Ujang Talis semakin erat, karena mereka mempunyai pandangan yang sama terhadap situasi di Pasundan, apalagi setelah mereka menikah dengan putri-putri Tanduran Agung. Ujang Ngoko menikah dengan Nyi Natabumi, Ujang Talis menikah dengan Nyi Arwita. Adapun Nyi Natabumi dan Nyi Arwita ini mempunyai seorang kaka bernama Wiraperbangsa yang sangat pemberani dan dapat dipengaruhi oleh Rangga Gempol yang menggantikan Prabu Geusan Ulun.

Negara-negara di Pasundan berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Sementara itu, keberadaan para pedagang kulit putih di pantaipantai semakin menggalisahkan raja-raja. Dalam menghadapi situasi yang semakin gawat tersebut, Prabu Cipta Permana mendidik dan melatih para Pemuda Galuh dalam hal ketatanegaraan dan keprajuritan. Latihan para pemuda tersebut adalah Ujang Ngoko, yang dibantu oleh Wiraperbangsa, juga dibantu oleh Wiranangga dan Braja Kasep putra Sanghiang Permana. Pada tahun 1618 M, bersamaan dengan meninggalnya Prabu Cipta Permana, tibalah utusan dari Mataram yang disertai utusan dari Sumedang, yang mendesak agar Galuh menjadi bawahan Mataram. 

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itulah, Ujang Ngoko diangkat menjadi penguasa Galuh dengan gelar Adipati Panaekan. Selain mesti memikirkan keadaan kerajaannya yang semakin surut, Dipati Panaekan juga semakin digelisahkan oleh kelakuan para pedagang kulit putih di pantaipantai. Hal itulah yang menyebabkan dia semakin bersungguh-sungguh melatih para Jaga Baya dengan bantuan misalnya, Wiranangga yang telah diangkat menjadi Mantri Jero, yang memendam ambisi pribadi untuk menggantikan Dipati Panaekan.

Ujang Talis yang telah menggantikan ayahnya dan bergelar Dipati Ukur, singgah di Gara Tengah dalam perjalanan pulaang ke Tatar Ukur setelah menghadap Sultan Mataram bersama Rangga Gempol dari Sumedang. Dipati Ukur memaparkan titah Sultan Mataram yang menugasinya untuk menggempur Kompeni di Batavia. Karena kebencian yang sama terhadap Kompeni, Dipati Panaekan pun bersedia membantu Dipti Ukur dalam melaksanakan tugas tersebut. menyebarkan agama islam ke arah selatan semakin lebar dan luas. Pada akhirnya penduduk galuh yang tadinya menganut agama hindu berubah menjadi pemeluk agama islam”. Kerajaan Galuh setelah ditaklukan oleh pasukan Demak, saat itu yang memegang tampuk kekuasaan adalah Maharaja Cipta Sanghyang, beliau mempunyai seorang putra mahkota dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana yang sehari-hari dipanggil dengan Ujang Ngekel. (Djaenal Abidin, 2001 : 20). 

Penyebaran islam di Jawa Barat secara terang-terangan dilakukan oleh Syarif Hidayatullah dari Cirebon, Demak dan Banten. Apalagi setelah kerajaan Pajajaran di musnahkan oleh kesultaan Banten, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Yoseph Iskandar sebagai berikut : “Pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka, bertepatan dengan tanggal 11 rabiul awal 987 hijriah, atau 8 mei 1579 masehi, Ibukota Pakuan Pajajaran sirna ing bhumi (lenyap dari permukaan bumi). Semua keraton dibakar oleh pasukan Maulana Yusuf. Begitu juga Ibukota Pajajaran di Pulasari Pandeglang, diserbunya oleh Maulana Yusuf Raja tanpa mahkota, Prabu Suryakancana wafat di Pulasari pada tahun 1579 masehi”.(Yoseph Iskandar, 1990 : 122). Namun sebenarnya tidak wafat di Pulasari Pandenglang karena kerajaan Pajajaran yang berpusat di Kadu hedjo Pulosari ditinggalkan begitu saja dan rombongan Prabu Suryakencana sampai di Pangeureunan Limbangan Garut (makamnya pun ada di Pangeureunan Limbangan Garut) untuk menemui Sunan Rumenggong atau Rakeyan layaran Wangi yang dituakan putranya Prabu Siliwangi dari Ratu Intan Dewata putrinya Dalem Pasehan atau Dalem Surya Jaya Kusumah Timbanganten Garut.




7. Sejarah Imbangnagara Versi Nagara Tengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya
Dalem yang ada di wilayah Galuh semuanya menerima surat dari Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Sultan Mataram maksudnya :
  1. Semua Dalem dengan rakyatnya yang ada di wilayah Galuh harus secepatnya masuk Agama Islam.
  2. Semua Dalem yang berada di wilayah Galuh harus tunduk kepada Mataram, kalau tidak mau tunduk akan di hancurkan dengan Penyerbuan.
Sultan Mataram kala itu membuat surat bukan hanya kepada Dalem yang ada di wilayah Galuh saja tapi semua Kadaleman yang ada di Tatar Sunda.

Sang Adipati Panaekan yang menjadi Dalem Galuh segera mengirim surat ke semua Dalem yang ada di wilayah Galuh dan tetangga Kadaleman seperti: Sukakerta dan lainya untuk bermusyawarah yang bertempat di Galuh.

Waktu itu menulis surat hanya pada daun lontar memakai pisau Janggut kemudian dimasukan kedalam 1 ruas bambu terus ditutup supaya tidak kena air apabila hujan. Ruas bambu pakai Tali Slendang seperti orang kalau mau menyadap aren. Tapi sudah ada juga yang ditulis pada kulit yang tipis dengan tinta gentur untuk alat tulisnya memakai lidi Aren yang biasa menyatu dengan ijuk, untuk menyimpanya masih ruas bambu. Pada waktu yang sudah ditentukan semua Dalem yang diundang sudah datang ke Galuh, terus bermusyawarah membahas hal surat dari Sultan Mataram dengan kesimpulan sebagai berikut :
  • Isi surat nomor 1 tidak jadi khawatir karena semua sudah masuk Agama Islam.
  • Isi surat nomor 2, semua Dalem menolak tidak setuju harus tunduk dan harus Ulum Kumawuh (ngirim seba) tiap tahun atau Caos Upeti kepada Sultan Mataram.
Oleh karena kemauan Sultan Mataram ditolak, tentu akan marah supaya tidak terjadi Peperangan di dalam Kadaleman masing-masing harus membuat Penjagaan. Kebetulan ada 1 Sungai yang akan dijadikan sebagai tempat penjagaan serangan Mataram yaitu Sungai Cijolang, dan kalu perlu Jalan selatan pada sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel harus dijaga kemungkinan serangan Mataram ada yang memakai Jalan selatan yang datangnya ke Kawasen. Untuk Kadaleman Kawasen disarankan jangan ikut menjaga pada sebrangan Sungai Cijolang tapi jaga saja pada Sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel.

Yang terpilih menjadi Pemimipin penjagaan di sebrangan Sungai Cijolang adalah Sang Adipati Panaekan Dalem Galuh. Sesudah musyawarah selesai semua Dalem kembali ke Kadalemannya masing-masing.

Sekembalinya dari musyawarah di Galuh, Dalem Nagara Tengah waktu itu Raden Aria Pandji Kusumah bermusyawarah di Kadaleman yang isinya “supaya menyiapkan rakyat sebagai Prajurit Perang yang banyaknya 40 orang lengkap dengan senjatanya / peralatannya seperti: Gobang, Tombak, Tombak Cagak, Rantai besi dan lainya”. Untuk menyiapkan orang sebanyak itu sangat sulit karena orang yang dianggap mampu masih terbatas. Peralatan / perkakas perang dibuat oleh Pandai besi yang ada di Pasir Cidomas Sayung / Pananjung. Kadaleman Nagara Tengah waktu itu belum mempunyai prajurit tapi dipilih rakyat yang sekiranya mampu untuk menuju tempat peperangan.

Sampai pada waktu yang sudah ditentukan rakyat Nagara Tengah yang sebanyak 40 orang berangkat, dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya menuju ke sebrangan Sungai Cijolang. Yang akan menjaga dari semua Kadaleman sudah berkumpul Sang Adipati Panaekan sebagai pimpinan sudah tiba. Yang akan menjaga oleh sang Adipati tempatnya dibagi-bagi serta dinasihati, dikomando maju dan mundurnya kalau sudah terjadi peperangan. Waktu itu Prajurit Mataram yang memakai Jalan Selatan sudah bertemu dengan Pasukan kawasen yang sedana menjaga, terjadilah peperangan antara Mataram dan Kawasen. Tetapi peperangan tidak seimbang Prajurit Mataram terlalu banyak untuk dilawan oleh pasukan Kawasen. Pasukan Kaasen terus mundur tapi oleh prajurit Mataram terus dikejar sehingga tidak ada kesempatan untuk melaporkan kejadian pada Dalem Galuh.

Prajurit Mataram cepat menyebrang Sungai Ciseel menuju Kadaleman. Kadalem Kawasen dikurung Prajurit Mataram, Punggawa cepat lapor ke Dalem bahwa seluruh Kadaleman telah terkepung sehingga Dalem Kawasen tidak bisa lolos. Meskipun Pasukan Kawasen sedikit Dalemnya nekad untuk tidak menyerah, mau melawan membela rakyat dan Negara. Dikarenakan waktu itu Prajurit Mataram terlalu banyak serta sudah tabah dalam peperangan akhirnya Dalem Kawasen kalah dan gugur. Sesudah menyerbu Kadaleman Kawasen terus prajurit Mataram menuju Kadaleman Galuh dengan maksud yang sama. Setelah sampai di Kadaleman Galuh terjadi juga peperangan. Menurut perkiraan Sang Adipati Panaekan yang menjadi pemimpin perang pasukan Galuh tidak akan kuat untuk melawan prajurit Mataram yang lebih lengkap peralatan perangnya. Oleh sang Adipati Panaekan semua pasukan Galuh yang terdiri dari: Pasukan dari Kadaleman Galuh, Pasukan dari Kadaleman Nagara Tengahdan Pasukan Sukaketa dikomando untuk mundur meskipun diteruskan tidak ada harapan untuk menang. Pasukan Galuh mundur menuju ke seberlah barat. Pasukan Mataram mengejar tapi tidak sampai karena terhalang oleh pegunungan yang disebut Daerah Randegan Banjar. Sejarah bekas berhenti (Narandeg) pasukan Mataram.

Pasukan Galuh dengan yang lainya lari menuju barat menyebrangi Sungai Cimuntur sedangkan Pasukan Nagara Tengah – Sukakerta menyebrangi Sungai Citanduy terus maju ke arah barat daya melewati daerah Batu Gajah yang sudah termasuk wilayah Nagara Tengah. Terus menuju barat sampai disebuah tempat dan beristirahat karena kecapean. Daerah tersebut sekarang dinamakan Lembur Goler sebelah barat Cimaragas dan Beber. Sejarah bekas istirahat (Ngagoler) yang pulang dari peperangan. Sesudah istirahat dan bermalam esok harinya semua pasukan Nagara Tengah meneruskan perjalanan maju ke sebelah barat sampai di simpangan, belok ke sebelah selatan menebrangi Sungai Cikembang melewati Ranca Batu menuju Kadaleman Nagar Tengah. Sedangkan Pasukan Sukakerta terus maju ke arah barat sampai ke satu tempat, waktu itu banyak yang terluka parah oleh pasukan Mataram dan banyak juga yang meninggal waktu beristirahat di daerah tersebut. Mayatnya dikubur di daerah tersebut yang sekarang namanya Pasir Batang Karena tempat tersebut dahulunya dipakai mengubur Pasukan Sukakerta yang meninggal sepulangnya dari peperangan melawan Pasukan Mataram (jadi Babatang). Yang masih kuat semuanya kembali menuju ke Kadaleman.

Pasukan Nagara Tengah yang dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya sudah sampai di Kadaleman terus lapor kepada Dalem bahwa semua yang kembali itu oleh Dalem Galuh yang menjadi Pimpinan perang disuruh untuk mundur sebab meskipun terus-terusan melawan tidak mungkin kuat karena pasukan Prajurit Mataram lebih banyak dan perkakas perang lebih lengkap. Diberitakan bahwa prajurit Mataram akan menjalankan serbuan-serbuan ke setiap Kadaleman malahan Kanjeng Dalem Galuh juga mau mengungsi (Mubus).

Raden Aria Pandji Kusumah Dalem Nagara Tengah setelah mendengar laporan dari Kapetengan Jagabaya waktu itu juga terus memerintahkan supaya mengadakan persiapan untuk mengungsi. Besok semua harus meninggalkan Kadaleman karena kemungkinan prajurit Mataram segera menyerbu Kadaleman Nagara Tengah. Kira-kira sekitar menjelang pajar ada utusan dari Kepala Cutak Janggala melaporkan bahwa prajurit Mataram sudah memasuki wilayah Nagara Tengah, rakyat Janggala semuanya sudah mengungsi ke sebelah selatan Sungai Ciseel yang dipimpin oleh Mbah Jagadalu, bekas mengungsi rakyat Janggala dinamakan Panyingkiran masuk wilayah Desa Jelegong Kecamatan Cidolog sekarang.

Dalem Nagara Tengah terus memerintahkan supaya meninggalkan Kadaleman, waktu itu juga semua rakyat berangkat. Diperjalanan turun hujan yang sangat lebat sekali, tapi rakyat Nagara Tengah terus meneruskan perjalanan karena takut terkejar oleh prajurit Mataram. Sesampainya di Sungai Cikembang keadaaan air sungai meluap sekali tidak mungkin segera bisa disebrangi.

Penghulu bersama Kyai yang lainya beserta rakyat yang ikut mengungsi melaksanakan Shalat Hajat meskipun dalam keadaan hujan. Tidak lama kemudian hujan reda. Dari sebelah barat ada sebatang balok kayu besar kelihatanya terbawa arus air tersangkut pada pohon Loa yang sebelahnya lagi tersangkut rumpun bambu yang berada di pinggir Sungai Cikembang. Balok kayu tersebut (Catang) dipergunakan untuk menyebrang. Yang pertama menggunakan batang kayu untuk menyebrang adalah Penghulu / Kyai yang terus diikuti smua rakyat dan semuanya selamat. Perjalanan untuk mengungsi dilanjutkan kembali.

Prajurit Mataram tidak lama kemudian sampai di Kadaleman Nagara Tengah tapi ternyata sudah tidak ada siapa-siapa. Prajurit Mataram terus menyusul rakyat Nagara Tengah sampai di pinggir Sungai Cikembang, lalu menyebrang menggunakan balok kayu bekas menyebrang rakyat Nagara Tengah secara berebut maksudnya supaya bisa nyebrang. Tapi caranya tidak seperti rakyat Nagara Tengah satu persatu melainkan secara bergerombol yang akhirnya balok kayu tersebut tidak kuat menahan dan tenggelam terbawa arus air. Prajurit Mataram sebagian besar terbawa arus dan hanya sebagian kecil yang selamat. Rakyat Nagara Tengah sesudah menyebrangi Sungai Cikembang meneruskan perjalanan ke arah barat sampai pada suatu tempat yang disebut Lembur Tembong Gunung, disana beristirahat karena waktu sudah sore.

Rakyat Nagara Tengah waktu istirahat banyak yang memegang telapak kaki dan jari-jarinya ternyata licin dan berbau amis lalu semua rakyat yang menyebrang menggunakan balok kayu tadi memegang kakinya ternyata sama, ternyata yang dipakai menyebrang di Sungai Cikembang oleh rakyat Nagara Tengah bukan balok kayu tapi seekor belut besar (Lubang).

Dalem Nagara Tengah waktu itu terus ikrar : “bahwa kita semua yang sudah menyebrang dengan belut besar bersumpah 7 turunan tidak akan memakan daging lubang sebab sudah menolong kepada kita semua sehingga bisa selamat tidak terkejar oleh musuh”. Yang bersumpah untuk tidak memakan daging lubang 7 turunan waktu itu adalah sekitar Tahun 1596 M.

Prajurit Mataram oleh orang Nagara Tengah disebut Bajo yaitu yang ngejarnya terus menerus. Rakyat Nagara Tengah ke esokan harinya maju ke arah selatan ke Daerah Harjawinangun dari situ terus ke arah barat disana ada hutan yang disebut leuweung Dungus. Semuanya istirahat di hutan tersebut sambil berdoa yang dipimpin oleh Kyai, tak lama kemudian datang segerombolan Menjangan (Mencek), hutan tersebut selain dipakai untuk istirahat sekaligus tempat persembunyian rakyat Nagara Tengah semuanya dikelilingi oleh menjangan tersebut sambil makan rumput. Tidak ketahuan dari kejauhan ada prajurit Mataram lewat hutan tersebut. Tidak disangka bahwa hutan yang dilewatinya dipakai bersembunyi rakyat Nagar Tengah sebab dikelilingi oleh menjangan. Prajurit Mataram tidak mendekati daerah hutan itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Lalu Dalem ikrar lagi: “Dari waktu sekarang kita semua yang ada di hutan Dungus bersumpah untuk tidak memakan daging menjangan sebab sudah menyelamatkan dari bahaya”.

Dalem Nagara Tengah mengungsi sampai ke perbatasan Galunggung (Singaparna) disana ada bangunan kecil yang diatas atapnya tumbuh sejenis tanaman yang merambat yang dinamakan Oyong. Bangunan tersebut tertutup sekali oleh daun tanaman tersebut. Dari kejauhan seolah-olah tidak kelihatan ada bangunan, disana rakyat Nagara Tengah berteduh didalamnya sebab hari itu cuacanya panas sekali. Disana tidak lupa Kyai berdoa kepada yang Maha Kuasa minta supaya diselamatkan dari kejaran musuh. Tidak jauh dari bangunan tersebut ada prajurit Mataram lewat dan tidak menyangka pada rimbunan pohon oyong tersebut dipakai bersembunyi rakyat Nagara Tengah disangkanya hanya rimbunan oyong saja. Prajurit Mataram tidak mau mendekati tempat itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Sejak waktu itu orang Nagara Tengah mengucapkan sumpah tidak akan makan oyong sebab telah menyelamatkannya.

Dalem Nagara Tengah meneruskan perjalanan mengungsinya belok sebelah utara masuk ke wilayah Tawang, suatu waktu Dalem merasa kecapean terus beristirahat disuatu bangunan (Saung Huma), bangunan tersebut berada di tempat yang terbuka malahan berada di pinggir jalan. Dalem istirahat dan memerintahkan kepada Kyai untuk berdoa, setelah selesai berdoa datang segerombolan burung Perkutut (Tikukur) hinggap pada atap bangunan dan pagar halaman sambil sambil berkicau. Prajurit Mataram yang sedang mengejar ngejar Dalem Nagara Tengah maksudnya mau menyusul ke tempat bangunan tersebut tapi dari kejauhan kelihatan pada atap bangunan dan pagarnya banyak burung perkutut, sehingga menyusul akhirnya tidak jadi sebab disangkanya bangunan tersebut tidak ada penghuninya. Sejak itu pula orang Nagara Tengah mengucap sumpah tidak akan makan daging perkutut.

Berdasarkan kejadian kejadian tersebut orang Nagara Tengah timbul 4 macam sumpah:
  • Satu : Sumpah tidak akan memakan daging belut besar (Lubang) sampai 7 turunan
  • Dua : Sumpah tidak akan memakan daging menjangan (Mencek)
  • Tiga : Sumpah tidak akan memakan oyong
  • Empat : Sumpah tidak akan memakan daging burung perkutut (Tikukur)
  • Sumpah tersebut hanya berlaku sampai 7 (tujuh) turunan.
Prajurit Mataram kembali tapi yang menggantikanya belum datang, semua Dalem yang dikejar kejar ada kesempatan untuk bermusyawarah dan berkumpul di Ci Haursekarang ada di daerah Panumbangan Ciamis. Sesudah bermusyawarah kesimpulannya semua Dalem bersepakat untuk takluk kepada Mataram maksudnya supaya rakyat tidak jadi korban peperangan dan menurut catatan Catur Rangga bahwa kita semua harus mengalami menjadi jajahan Mataram. Selanjutnya semua Dalem membuat surat terus mengutus seorang utusan untuk mengirimkan surat ke Sultan Mataram yang isinya menyatakan Takluk.

Sesudah sampai di Mataram terus yang menjadi utusan menemui Kanjeng Sultan sambil menyerahkan surat lalu diterima oleh Sultan dan dibaca oleh Sekretaris (Juru serat ) Kesultanan didepan Sultan Mataram. Utusan tadi oleh Sultan disuruh kembali serta seluruh Dalem harus kembali ke Negaranya masing-masing. Sedangkan surat piagam dan perjanjian harus mengirim Caos Upeti nanti dikirimkan kemudian.

Nagara Tengah mengalami perang dengan Mataram pada akhir tahun 1595 M dan dikejar kejar Mataram awal Tahun 1596 M. Dalem Nagara Tengah dikejar kejar oleh Mataram selama setengah Tahun lebih. Ketika semuanya kembali ke Kadaleman keadaan di Kadaleman sudah berbeda sekali dengan keadaan sebelum ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan banyak yang rusak seperti: Atap bocor, dimakan rayap. Selanjutnya datang surat dari Sultan Mataram ke semua Kadaleman menetapkan diantaranya Nagara Tengah jadi bawahan Mataram tiap tahun pada bulan Suro (Muharam) harus mengirim Caos Upeti kepada Mataram. Caos upeti dari Nagara Tengah yang sangat penting sekali adalah tanduk Kijang.

Dalem Galuh Sang Adipati Panaekan oleh Sultan Mataram diangkat menjadi Bupati – Wedana, sedangkan Dalem yang lainya disebut Bupati – Lurah. Hampir setiap bulan Dalem Nagara Tengah suka berburu Kijang yang tanduknya dikumpulkan untuk Caos Upeti ke Sultan Mataram. Waktu Dalem Nagara Tengah berburu Kijang ke sebelah barat Gunung Kakapa dekat Cipinaha (Batas Kadaleman Nagara Tengah dan Sukakerta). Waktu itu apabila ada kijang yang diburu oleh orang Nagara Tengah lari masuk ke Daerah Sukakerta tidak boleh terus dikejar oleh orang Nagara Tengah. Begitu juga sebaliknya. Disebuah bukit Dalem Nagara Tengah membuat tempat peristirahatan disebelah timur hulu sungai Cipinaha, tempat itu sekarang masuk ke wilayah Desa Cisarua Kecamatan Cineam.

Nyi Raden Gedeng Nagara Putri Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mau mandi di tempat pemandian di pinggir Sungai Cipinaha sendirian. Mandinya memakai rupa-rupa alat pembersih ( Pamesek ) yang terbuat dari daun-daunan yang berbau wangi.

Kebetulan pada waktu itu Dalem Sukakerta juga sedang berburu ke sebelah barat Cipinaha sampai ke Sungai Cipinaha melihat bubuk pamesek terbawa air. Dalem Sukakerta terus menelusuri Sungai tersebut menuju ke tempat pemandian yang ada di pinggir Sungai Cipinaha. Dari kejauhan terlihat ada seorang istri sedang mandi, oleh Dalem disiulan lalu istri itu menjerit ketakutan.

Dalem Nagara Tengah terkejut mendengar putrinya menjerit, lalu didekati kelihatan di sebelah bawah tempat pemandian ada seorang pria berdiri yang tiada lain adalah Dalem Sukakerta lalu oleh Dalem Nagara Tengah disapa dan dibawa ke tempat peristirahatan. Dalem Sukakerta kepada Dalem Nagara Tengah bersujud meminta maaf bahwa putrinya sampai mendadak menjerit merasa takut oleh dirinya, lalu oleh Dalem Nagara Tengah dimaafkan.

Nyi Raden Gedeng Nagara tertarik oleh Dalem Sukakerta mempunyai nama asli Entol Wiraha, mereka akhirnya menikah. Dalem Sukakerta Tahun 1598 M mempunyai putra yang bernama Wira Wangsa yang menjadi Dalem terakhir di Sukakerta sebelum pindah ke Sukapura.

Dalem Nagara Tengah terus memajukan perekonomian rakyat, pandai besi di Cidomas terus ditingkatkan. Dalem Nagara Tengah kalau berburu kijang biasanya ke sebelah barat Kadaleman. Ada sebuah hutan yang terkelilingi oleh Sungai Cihapitan dan Sungai Ciriri. Di dalam hutan tersebut ada seekor kijang jantan yang dinamakan si Wulung. Kijang tersebut menjadi pengasuh kijang-kijang yang lainya. kalau diburu atau di tombak tidak mempan dan bisa menghilang, kadang-kadang suka bersembunyi ke dalam Goa Batu Kapur yang ada di atas Sungai Cihapitan. Goa tersebut namanya Goa Wulung (Guha Wulung) sebab suka dipakai bersembunyinya kijang yang disebut si wulung. Disebelah barat hutan itu terdapat dataran hulu sungai (Wahangan ) yang dihapit oleh bukit yang bermuara ke Sungai Ciriri. Di sebelah timur daerah tersebut terbendung oleh batu besar yang datar sehingga airnya menjadi dalam (Leuwi). Dari tempat itu keluar mata air yang besar meskipun musim kemarau panjang airnya tidak surut dan kalau musim hujan airnya tidak keruh / kotor. Mata air itu biasa dipakai tempat minum kijang dari mana-mana. Kijang datang mencari air (Neang Cai) maksudnya untuk minum di mata air itu, malahan si Wulung juga suka datang minum di tempat itu. Pada batu besar ada 2 telapak kaki si Wulung yang depan sebab si Wulung apabila minum tempatnya tidak berpindah pindah. Kalau ada kijang yang sakit atau luka sedang diburu atau tersangkut kena batu kalau sudah minum dan berendam di tempat itu sembuh kembali. Sebelah utara dari tempat keluarnya mata air tadi ada bukit luas dan datar, tanahnya subur, rumputnya hijau dan banyak terdapat kijang oleh Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mata air dan bukit itu di beri nama Cineang sebab banyak kijang datang mencari air.

Daerah itu yang sekarang dinamakan Cineam tepatnya di Kampung Cineam Rt 15 Rw 05 Desa Cineam Kecamatan Cineam.
Peninggalan : Pusaka Cineam Leuwi Cineang (Leuwi Tempat Kijang Mencari Air Minum, Sekarang Tepatnya Kolam Bapak Juada)

Tanduk Kijang hasil buruan dari Cineang biasa di pakai oleh Dalem Nagara Tengah untuk membayar Caos Upeti pada Sultan Mataram. Hutan tempat berburu kijang Dalem dibuat Kebun Kijang diberi nama Hutan Wanalapa. Daerah itu disebelah utara Sungai Ciriri, di sebelah timur dan sebelah selatan Sungai Cihapitan, di sebelah barat dataran Sungai Cipinang, sekarang hutan tersebut jadi daerah Wanalapa, Cikanyere, Negla barat, dan Negla timur.

Untuk menjaga keamanan kebun kijang supaya tidak keluar dari hutan tersebut di pagar, Dalem Nagara Tengah mengangkat Jagabaya yang disebut Dalem Citatah. Tempat kediamanya sebelah barat kebun kijang tersebut tidak jauh dari Sungai Ciriri. Dalem Citatah mempunyai sumur di pinggir Sungai Ciriri pada batu hasil menata dan airnya keluar dari sela-sela batu. Setelah meninggal dimakamkan di Daerah yang sekarang bernama Dusun Mekarmulya Desa Cineam Kecamatan Cineam.
Peninggalan. Makam Dalem Citatah

Sultan Mataram Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Tahun 1601 M diganti oleh Masjolang. Nagara Tengah masih tetap bawahan Mataram. Tahun 1602 M Kyai Anggamalang diganti oleh Kyai Kapi Ibrahim. Anggamalang masih tetap jadi Hakim Leuwi Panareban, kediamanya sebelah selatan leuwi Panareban yang di sebut Cidarma. Oleh karena di Nagara Tengah belum ada Jaksa yang Mahir perkara hukuman, masih tetap memakai Hakim Adat ditenggelamkan di leuwi Panareban. Penghulu Raden Kyai Kapi Ibrahim mempunyai putra 6:
1. Kyai Kapi Ibrahim II
2. Raden Nursajim
3. Kyai Kapiyudin
4. Raden Nursamid
5. Raden Anggawinata
6. Mas Kalimudin
Penghulu dengan Kyai terus menyebarkan Agama Islam di daerah Kadaleman Nagara Tengah. Pada waktu itu kalau memerlukan Al’Quran sangat susah untuk mendapatkanya, harus mencari ke Cirebon, Banten, Demak, ada yang sampai ke Surabaya. Tahun 1611 M Raden Aria Pandji Kusumah meninggal dimakamkan di Nagara Tengah dekat pusat Kadaleman (Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam).
Peninggalan: Makam Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem ke II)

Raden Aria Kusumah (Dalem Nagara Tengah ke III)
Sebagai penggantinya adalah Raden Aria Kusumah (Dalem Nagara Tengah ke III) sepeninggalnya Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem ke II) oleh Raden Aria Kusumah (Dalem ke III) cara-cara mengurus Negara diteruskan terutama masalah pertanian untuk kemakmuran rakyat, jadi Kadaleman Nagara Tengah tetap subur makmur sehingga tidak merasa susah apabila harus membayar Caos Upeti kepada Sultan Mataram karena brang yang diperlukan semuanya ada.

Penyebaran Agama Islam oleh Penghulu dan Kyai dilaksanakan dengan menggunakan Seni Terbang, Angklung, dan Dog-dog. Sebagai alat penghibur anak-anak kalau digusaran dan sunatan, diramaikan supaya merasa gembira sehingga anak-anak yang belum digusaran atau di sunat menjadi tertarik. Jaman dahulu anak perempuan biasa di gusaran, kalau anak laki-laki di gusaran dan disunat.

Kegiatan olahraga ujungan masih terus dilaksanakan tempatnya di Gunung Hujung. Tiap tahun biasa memilih orang yang terkuat dari rakyat Kadaleman. Pandai besi di Sayung terus berjalan supaya petani mudah mendapatkan perkakas pertanian, pertukangan kayu supaya mudah mendapatkan perabotnya seperti: baliung, tatah, pasak besi dan lainya. waktu itu belum ada yang disebut sugu, gergaji, atau rimbas.

Untuk mejaga keamanan Negara Kadaleman Dalem mengangkat Jagabaya Dalem Paganjuran yang ditempatkan di sebelah selatan kedeiaman Kyai Raga Sumingkir. Dalem Paganjuran setelah meninggal dimakamkan di daerah yang sekarang bernama Kamung Sindang Karsa Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Paganjuran

Untuk memajukan daerah Dalem Aria Kusumah mengangkat Kepala Cutak / Wedana yang disebut Dalem Sumur. Dinamai Dalem Sumur karena mempunyai Sumur yang airnya bersih sekali, meskipun kemarau panjang sumur tersebut tidak pernih kering. Rakyat banyak yang menggunakan Sumur tersebut.
Dalem Sumur mempunyai putra 7 yaitu:
1. Raden Kertamanggala
2. Raden Dipamerta
3. Raden Padamanggala
4. Raden Kyai Alinudin
5. Raden Wirakusumah
6. Raden Raksakusumah
7. Raden Puspa Santana (Raden Derpa Santana)
Raden Puspa Santana (Raden Derpa Santana), menjadi Petinggi Cinangsi Rajadatu.
Dalem Sumur setelah meninggal dimakamkan didaerah yang sekarang disebut Dusun Pusaka Mukti (Pecahan dari Dusun Garunggang). Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Sumur

Tahun 1613 M Sultan Mataram diganti oleh Sultan Agung, Nagara Tengah masih tetap jadi bawahan Kesultanan Mataram. Tiap tahun masih harus membayar Caos Upeti.

Pada waktu itu yang jadi bawahan Kesultanan Mataram ada sebagian yang keadaan Kadalemannya sengsara sekalipun hanya untuk membayar Caos Upeti. Tidak seperti Kadaleman Nagara Tengah yang subur makmur. Raden Aria Kusumah (Dalem Nagara Tengah ke III) meninggal dan dimakamkan di Cilutung, (sekarang disebut Kampung Sukabakti yang sekarang sebagai pecahan dari Kampung Sindangrasa Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Raden Aria Kusumah (Dalem ke III) Merupakan Dalem Terakhur di Kadaleman Nagara Tengah.

GARATENGAH
Menurut perintahnya dari Sang Adipati Panaekan yang menjadi Penasihat Dalem (Sesepuh) di wilayah Galuh sesudah meninggal Dalem Raden Aria Kusumah (Dalem III) di Nagara Tengah tidak boleh mengangkat lagi Dalem, karena Kadaleman Galuh akan disatukan dengan Kadaleman Nagara Tengah.

Untuk pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah, maksudnya supaya ringan dalam membayar Caos Upeti kepada Kesultanan Mataram karena Galuh waktu itu perekonomiannya sedang ada kemunduran. Untuk membereskan segala hal kepada Sultan Mataram Sang Adipati Panaekan yang bertanggungjawab. Mendengar rencana Sang Adipati Panaekan orang Nagara Tengah merasa tidak enak sebab yang akan menjadi Dalem bukan orang Nagara Tengah tapi dari Galuh, sedangkan pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah. Keadaan Kadaleman Nagara Tengah meskipun Dalem sudah meninggal keadaanya subur makmur repeh rapih serta aman (Hirup Gusti Waras Abdi). Timbul kehebohan-kehoban antara rakyat Nagara Tengah dengan rakyat Galuh.

Sang Adipati Panaekan berusaha supaya jangan terjadi berontak dengan saudara sampai ada kejadian yang menjadi korban jiwa.usahanya Sang Adipati Panaekan Rakyat bisa reda terus aman.

Tahun 1618 M Sang Adipati Panaekan pindah dari Galuh ke Nagara Tengah, mulai waktu itu Nagara Tengah disebut Garaterngah. Di Galuh tidak ada lagi Dalem, wilayah Kadaleman Garatengah jadi luas sebab Galuh disatukan dengan Nagara Tengah. Sang Adipati Panaekan masih tetap jadi Bupati Wedana sebagai Penasihat Dalem di Wilayah Galuh. Sang Adipati Panaekan mempunyai dua pengiring yaitu :
1. Raden Pandji Boma
2. Ki Bagus Kalintu
Tempatnya disebuah bukit sebelah utara Sungai Cikembang. Sang Adipati mempunyai Pasanggrahan untuk tempat berhenti kalau mengadakan perjalanan dari Galuh ke Garatengah atau dari Garatengah ke Galuh. Kalau kita melihat dari pesanggrahan tersebut ke sebelah utara terlihat dari sebuah tempat yang sekarang disebut Panenjoan. Sebelah bawah Pesanggrahan ada semacam kolam kecil yang airnya jernih sekali meskipun kemarau panjang airnya tidak kering.

Sebelah selatan Sungai Cikembang, diatasnya ada sebuah rawa (Ranca ) kecil ditengahnya ada sebuah batu, ranca itu disebut Ranca Batu. Sebelah atas ranca tersebut ada sebuah Kampung yang disebut Ranca Batu. Kampung tersebut kemudian disebut Ranca Datu. (Pada bulan Oktober 1923 dipakai sebagai nama Desa yang disebut Desa Rajadatu.

Sang Adipati Panaekan biasa suka berburu kijang sampai ke muara Sungai Cigerentel (Pamarican), ke Sungai Ciseel, sebelah selatan Ciparay. Temapat berburu kijang Sang Adipati Panaekan disebut hutan (Leuweung Panaekan). Waktu itu yang menjadi Jaksa di Galuh ialah Raden Anggapraja orang NagaraTengah. Tahun 1618 pindah ke Garatengah jadi Jaksa. Leuwi Panareban tempat menghukum du bubarkan tidak dipakai lagi untuk mencari orang yang berdosa, ikannya bisa diambil. Kyai Anggamalang sejak itu berhenti tidak jadi Hakim Leuwi Panareban lagi.

Kyai Anggamalang sesudah berhenti jadi Hakim Leuwi Panareban kediamanya tidak memilih pindah ke Garatengah tapi tetap di Cidarma. Sesudah meninggal dimakamkan pada sebuah bukit yang tanahnya merah yang disebut Pasir Abang. Di Kampung Cikanyere waktu itu ada seorang penyadap Aren namanya Abas, orang tersebut kalau mencari kayu bakar tidak berani sampai ke bukit yang tanahnya merah tersebut malahan oleh Abas orang lain pun tidak diperbolehkan untuk mengambil kayu bakar pada bukit itu. Yang akhirnya Pasir Abang tersebut diberi nama Pasir Abas.

Sebagai Catatan :
- Tahun 1915 ke Kecamatan Cineam ada seorang Kalasir (Yang biasa menetapkan nomor – persil dan nama Blok tanah), oleh orang Cikanyere Pasir Abang diusulkan supaya diberi nama Blok Pasir Abas.
- Sejak itu Bukit (Pasir) yang dipakai Makam Raden Kyai Anggamalang disebut Pasir Abas.

Sang Adipati Panaekan mempunyai isteri 3 dan mempunyai putra 11, diantara isteri yang ada di daerah Kertabumi yaitu kakaknya Dalem Kertabumi. Oleh Sang Adipati Panaekan isteri yang di Kertabumi tidak kebagian waktu (Kilir). Oleh sebab itu dia marah dan minta tolong kepada Dalem Kertabumi supaya Suaminya (Sang Adipati Panaekan) dibunuh karena sudah tidak pernah datang (kilir). Semula Dalem Kertabumi idak mau menerima dan tidak bersedia disuruh untuk membunuh Sang Adipati Panaekan, karena oleh kakanya terus-terusan diminta akhirnya Dalem Kertabumi menyanggupi untuk membunuhnya.

Pada suatu waktu Sang Adipati Panaekan kembali dari daerah Galuh menuju ke Garatengah sesampainya di Sungai Citanduy pada penyebrangan ada Dalem Kertabumi yang sengaja mencegat Sang Adipati Panaekan.

Dalem Kertabumi tidak berpikir lagi setelah melihat bahwa yang mau menyebrang itu Sang Adipati Panaekan langsung saja ditusuk memakai keris. Sang adipati Panaekan rubuh dan meninggal, mayatnya dan keris dihanyutkan ke Sungai Citanduy dan nyangkut di Muara Sungai Cimuntur. Kemudian dimakamkan di Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciamis.

Makam Adipati Panaekan di Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciamis.



Kedua pengiring Sang Adipati Panaekan terus berangkat ke Garatengah melaporkan bahwa di Sungai Citanduy Sang Adipati Panaekan ada yang membunuh menggunakan keris. Raden Pandji Boma dan Ki Bagus Kalintu bersama Rakyat Garatengah berangkat menuju ke tempat yang dipakai membunuh Sang Adipati Panaekan, sampai ke tempat yang dituju mayatnya sudah tidak ada hanyut di Sungai Citanduy. Bekas Pesanggrahan Sang Adipati Panaekan bersama pengiringnya sekarang oleh masyarakt dianggap sebagai keramat. Pasir itu akhirnya jadi Kampung yang diberi nama Lembur Panaekan sampai sekarang. Tepatnya di Kampung Panaekan Desa Ancol Kecamatan Cineam. Terdapat yang disebut sebagai Paesan atau Astana Sang Adipati Panaekan.

Tahun 1625 Dalem Garatengah diganti oleh Raden Dipati Imbanagara. Dalem itu oleh Sultan Mataram ditunjuk dijadikan Bupati Wedana, jadi penasihat Dalem diwilayah Galuh menggantikan Sang Adipati Panaekan.

Dipati Imbanagara mempunyai isteri bernama Nyi Gedeng Adi Larang (Putra Sunan Bandu Jaya) Sumedang larang, Sumedang. Mempunyai putra 2 bernama :
1. Mas Bongsar atau Raden Jayanagara (Raden Yogaswara)
2. Raden Angganata

Dipati Imbanagara mendapat perintah dari Sultan Mataram untuk mengusir Kompeni / Belanda yang akan menjajah Pulau Jawa, yang markasnya di Yogyakarta. Dari Garatengah tidak dipinta prajurit, yang diperintah harus mengirimkan prajurit hanya dari Dalem Dipati Ukur. Tetapi dari Garatengah juga ada yang mau ikut berangkat ke medan perang yaitu Tumenggung Wirasuta (Tahun 1628 – 1629).

Sesudah sampai pada waktu yang ditentukan yaitu Tahun 1628 Dalem Dipati Imbanagara disuruh untuk menyiapkan perbeklan dan dikirimkan ke daerah Tawang yang sekarang menjadi Kota Tasikmalaya. Kemudian pada Tahun 1629 mengirim kembali perbekalan tapi diperjalanan dirampok (Dikaraman) oleh Kompeni banyak yang dibakar maksud Belanda supaya prajurit Sultan Mataram tidak mempunyai perbekalan (Makanan).

Sesudah Sultan Mataram (Sultan Agung) perang melawan kompeni di Yogyakarta Dalem Dipati Ukur mempunyai maksud ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Mataram, kepada Belanda tidak mau takluk terus mengajak Dalem Garatengah sampai ke Dalem yang ada di Sumedang untuk ikut denganya.

Dalem Garatengah setuju lepas dari bawahan Sultan Mataram, kemauan Dipati Ukur supaya cepat-cepat mengadakan pemberontakan, tapi maksudnya sudah tercium dan ketahuan oleh Sultan Mataram bahwa Dipati Ukur dan Dipati Imbanagara malah mengajak Dalem Sumedang akan mengadakan pemberontakan pada Sultan Mataram. Sultan Mataram sangat marah kepada Dipati Ukur dan kepada Dipati Imbanagara, terus memerintahkan prajurit dan para ponggawanya supaya Dipati Imbanagara dihukum mati dipenggal lehernya dan kepalanya dibawa ke Mataram, sebab Dipati Imbanagara mau berontak ke Mataram.

Utusan yang diperintah oleh Sultan Mataram sudah berangkat menuju Garatengah. Sampai di daerah Garatengah, waktu itu Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke wilayah kampung-kampung yang ada disebelah utara Sungai Citanduy, dia tidak menyangka bahwa akan dihukum mati oleh utusan dari Mataram.

Utusan Mataram menanyakan kepada Patih dimana Dipati Imbanagara oleh Patih dijawab bahwa Dalem Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke Daerah Galuh. Tidak lama kemudian utusan Mataram terus menyusul dan bertemu dengan Dipati Imbanagara. Utusan Mataram tidak berpikir panjang lagi bahwa yang bertemu itu adalah Dipati Imbanagara langsung dibunuh pada waktu itu juga lehernya dipenggal, kepalanya ditempatkan pada Endul yang akan di setorkan ke Sultan Mataram. Sedangkan badanya tergeletak di tempat itu bersimbah darah. Utusan Mataram langsung pulang membawa kepala Dalem Imbanagara.

Patih Garatengah bermusyawarah dengan Jagabaya Paganjuran maksudnya mau menyusul takut Dalem Dipati Imbanagara ketahuan oleh utusan Mataram, padahal kenyataanya Dalem Dipati Imbanagara waktu itu sudah terbunuh.

Patih dan Dalem Paganjuran berangkat menyusul utusan dari Mataram dikarenakan dari Garatengah menyusulnya terlambat sehingga utusan Mataram sudah pergi, jalanya ke sebelah utara Sungai Citanduy. Dari kejauhan terlihat oleh orang Garatengah bahwa yang didepanya itu adalah utusan Mataram terus dikejar maksudnya mau merebut Endul yang dipakai untuk menyimpan kepala Dipati Imbanagara. Utusan Mataram hanya sedikit sedangkan orang Garatengah yang mengejar jumlahnya banyak lantaran dibantu oleh rakyat dari Kampung yang dilewatinya.

Orang Garatengah yang dipimpin oleh Jagabaya Dalem Paganjuran terus mengejar, sudah diketahui bahwa utusan Mataram akan terkejar langsung saja kepala Dalem Dipati Imbanagara dilemparkan ke Sungai Citanduy sedangkan Endulnya dibawa mau disetorkan ke Mataram.

Utusan Mataram kabur tidak berani melawan orang Garatengah yang begitu banyak. Utusan Mataram setelah sampai terus melapor ke Sultan bahwa pekerjaanya telah dilaksanakan. Dipati Imbanagara ketemunya di daerah Galuh. Ditempat itu dibunuhnya, kepalanya dimasukan pada Endul, karena dari Galuh ke Mataram sangat jauh sudah barang tentu kepala Dipati Imbanagara akan bau, berdasarkan musyawarah utusan langsung saja dilemparkan ke Sungai Citanduy supaya jangan ketemu oleh rakyat Galuh dan orang Garatengah. Sebagai saksi ini saja Endul bekas membawa kepala Dipati Imbanagara yang masih ada rambut sedikit yang menempel pada darah sampai kering. Laporan utusan Mataram diterima oleh Sultan.

Kemudian setelah utusan Mataram pergi kepala Dipati Imbanagara yang di lemparkan ke Sungai Citanduy oleh orang yang biasa menyelam (Palika) dicari sampai ke dasar Sungai Citanduy tapi tidak ketemu. Lama kelamaan air di Sungai Citanduy tercium bau busuk (Biuk), sehingga nama Sungai tempat mencari kepala Dipati Imbanagara diberi nama Leuwi Biuk.

Sedangkan badan Dipati Imbanagara disimpan ditempat yang luas dan terbuka (Lenglang) tempat itu sekarang dinamakan Bolenglang. Peristiwa itu terjadi pada Tahun 1636. jenajah Dipati Imbanagara yang tanpa kepala dimakamkan disuatau tempat yang kemudian diberi nama Gegembung yang artinya Badan Tanpa Kepala.

Daerah tersebut ada disebelah timur Kota Ciamis sekarang. Setelah Dipati Imbanagara meninggal sementara Pemerintahan di Kadaleman Garatengah dijalankan oleh Patih Raden Wiranagara. Pada waktu itu yang berhak untuk menggantikan Dalem Dipati Imbanagara adalah Mas Bongsar tapi usianya baru 13 tahun, sehingga diwakilkan kepada Patih.

Patih Raden Wiranagara mempunyai maksud untuk menjadi Dalem, timbul kebencian pada Mas Bongsar yang mempunyai hak jadi Dalem menggantikan ayahnya.

Nyi Geseng Adi Larang ibunya Mas Bongsar sudah mengetahui bahwa putranya dibenci oleh Patih. Lalu menyuruh salah seorang pegawai Kadaleman supaya Mas Bongsar harus segera diungsikan dari Garatengah tapi tanpa sepengetahuan orang lain. Pada suatu waktu kebetulan cuaca cerah dan terang bulan Mas Bongsar oleh pegawai itu malam hari dibawa lolos ke suatu tempat yang disebut Lembur Pawindan dan dititipkan kepada seorang petani yang tinggi ilmunya (Jembar Pangabisa) yang dibutuhkan oleh semua rakyat.

Mas Bongsar harus diakui anak, namanya juga sementara harus diganti, serta dipinta untuk dididik Agama Islam dan menulis Tulisan Jawa. Semua keadaan di Kadaleman garatengah oleh pegawai tadi kepada petani tadi diterangkan supaya dimengerti dan petani itu harus bisa memegang segala rahasia. Mas Bongsar di Pawindan dididik berbagai macam ilmu jikalau dikemudian hari ada kemungkinan harus memimpin Kadaleman. Petani yang didiami Mas Bongsar, dia adalah orang Galuh yang masih keturunan Raden Galuh, keturunanya masih dekat dengan Dipati Imbanagara. Kurang lebih 3 tahun lamanya Mas Bongsar diungsikan ke Pawindan.

Ke Garatengah datang utusan Mataram menanyakan Mas Bongsar masih hidup atau sudah meninggal, kalau masih hidup dimana sekarang, kalau sudah meninggal dimana kuburanya. Sultan Mataram ingin mengetahui apabila masih hidup Mas Bongsar mau diangkat jadi Dalem garatengah menggantikan Bapaknya.

Sebab dari bukti – bukti yang dikumpulkan kemudian, akhirnya Mataram menyadari kekeliruanya dan timbul penyesalan karena Dipati Imbanagara ternyata sama sekali tidak bersalah, dan menyadari bahwa Dipati Imbanagara menjadi korban pitnah yang tidak pernah dilakukanya.

Patih mendengar dari utusan Mataram bahwa Mas Bongsar akan di angkat jadi Dalem Garatengah merasa menyesal sekali sebab cita-cita ingin menjadi Dalem tidak akan terlaksana. Waktu itu oleh Patih dijawab, bahwa Mas Bongsar sudah 3 Tahun lamanya lolos dari Garatengah tidak tahu ke mana perginya, dicari ke mana mana tidak ketemu. Padahal Patih itu tidak pernah memerintahkan rakyat harus mencari Mas Bongsar.

Patih dan utusan dari Mataram terus menemui Ibu Mas Bongsar, menanyakan ke mana lolosnya, sekarang ada dimana, ini ada utusan dari Mataram maksudnya ingin membuktikan Mas Bongsar masih ada di Garatengah, kalau tidak ada ke mana perginya harus dicari sampai ketemu kalau masih hidup oleh Sultan mau dijadikan Dalem di Garatengah sebagai pengganti Ayahnya.

Ibunya Mas Bongsar mendengar perkataan utusan Mataram kaget dengan rasa gembira bercampur dengan rasa takut. Gembira karena putranya mau diangkat jadi Dalem, sedangkan was-was nya takut putranya ditelaspati (dibunuh) seperti Ayahnya. Akhirnya Ibunya Mas Bongsar berkata kepada Patih dan utusan Mataram, tunggu paling lama 1 minggu akan mengutus pegawai Kadaleman barangkali ketemu mau dicari apabila masih ada. Terus Ibunya mengutus pegawai untuk menjemput Mas Bongsar serta menjelaskan maksud dan tujuan utusan dari Mataram, malah harus bersama-sama Petani yang didiaminya untuk mengantarkan ke Garatengah. Selanjutnya pegawai Kadaleman berangkat ke Pawindan mau menjemput Mas Bongsar, sampai di Pawindan kebetulan Mas Bongsar sedang ada. Pegawai memberi tahu maksud dijemput itu karena ada utusan dari Kanjeng Sultan Mataram oleh pegawai itu dijelaskan ke Mas Bongsar dan kepada Petani yang didiaminya maksud dan tujuan sehingga harus pulang dahulu ke Garatengah.

Mas Bongsar mendengar perkataan pegawai sebagai utusan Ibunya sama perasaan seperti Ibunya tadi, gembira bercampur rasa takut. Gembira karena akan diangkat jadi Dalem sedangkan rasa takut (was-was) kemungkinan akan dibunuh seperti ayahnya. Pegawai kembali dari Pawindan bersama Mas Bongsar dan petani yang didiaminya, sampai di Garatengah oleh Ibunya dirangkul ditangisi karena rasa rindu. Sesudah rasa kerinduan terkabul dengan disaksikan oleh utusan dari Mataram, oleh Patih, dan oleh Jagabaya Dalem Paganjuran bahwa betul-betul Mas Bongsar yang datang, Putra Dipati Imbanagara Dalem Garatengah.

Mas Bongsar oleh utusan Mataram diberi tahu bahwa dia bakal diangkat oleh Sultan Mataram jadi dalem garatengah. Kemudian utusan Mataram memberi tugas kepada Patih, kepada Jagabaya Dalem Paganjuran serta kepada rakyat menitipkan Mas Bongsar untuk dijaga, karena takut ada yang menganiaya, siapa saja yang berani menganiaya kepada Mas Bongsar kata utusan Mataram bahwa Sultan Mataram akan menjatuhkan hukuman serta keluarga yang menganiaya bakal disuruh untuk pergi dari wilayah Garatengah (ditundung). 

Sesudah beres memerintah, utusan Mataram kembali sesampainya di Mataram langsung melapor ke Sultan bahwa Mas Bongsar masih ada dalam keadaan hidup di Garatengah. Semua laporan utusan diterima oleh Sultan serta kemudian utusan Mataram disuruh berangkat kembali ke Garatengah maksudnya membri tahu kepada Mas Bongsar, Patih, dan Jagabaya dalem Paganjuran dan Ibunya bahwa Mas Bongsar harus ikut ke Mataram sekarang juga mau diangkat jadi Dalem. Ibunya menyiapkan persiapan perbekalan yang sekiranya cukup untuk dijalan sampai kembali ke Garatengah. Sampai waktu yang telah ditentukan Mas Bongsar, utusan Mataram, Patih, petani Pawindan, Jagabaya Dalem Paganjuran, berangkat menuju Mataram dengan membawa segala perbekalan yang disimpan pada tempat yang disebut Sumbul. Sampai di Mataram utusan melapor kepada Sultan bahwa Mas Bongsar sudah terbawa dan sampai.

Kanjeng Sultan Mataram sudah mengetahui Mas Bongsar sampai di Mataram terus menasihati dan berbicara bahwa dia akan di lantik dan diangkat jadi Dalem Garatengah. Waktu itu juga Mas Bongsar diangkat oleh Sultan Mataram menjadi Dalem Garatengah, sekitar Tahun 1639 waktu itu Mas Bongsar baru berumur 13 Tahun. Sesudah selesai pelantikan Mas Bongsar jadi Dalem Garatengah oleh Sultan Mataram semuanya kembali ke Garatengah, dan diperjalanan selamat tidak ada halangan apa-apa. Selama menjadi Dalem Mas Bongsar sama sekali belum dapat melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. Ia terus menerus dikhianati oleh anak buahnya sendiri, terutama oleh Patih. Sehingga ia pernah mengalami penderitaan pahit. Akan tetapi cobaan yang bertubi-tubi itu selalu dapat diatasinya. Kemudian hari akhirnya pihak Mataram berhasil membongkar kedok si penghianat kepada Mas Bongsar. Orang yang selama ini berkhianat tidak lain adalah Patih Wiranagara sendiri yang pernah menjadi perwalian atas nama Mas Bongsar (Patih yang pernah bercita-cita ingin menjadi Dalem di Garatengah). 

Patih Wiranagara ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum keputusan hukuman itu dijalankan Mas Bongsar yang berbudi Luhur itu menyatakan pemberian maafnya kepada Patih Wiranagara. Sikap Luhur Mas Bongsar itu telah menimbulkan kekaguman Sultan Mataram. Patih Wiranagara hukumanya hanya disuruh pergi dari wilayah Garatengah oleh Mas Bongsar. Oleh karena itu Sultan Mataram (Sultan Agung) berkenan memberikan gelar kehormatan kepadanya yaitu Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara atau yang disebut Raden Yogaswara. Nama Imbanagara sendiri dipakai menjadi nama Kadaleman atau Kabupaten yang diperintah oleh Mas Bongsar.

Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara (Mas Bongsar) setelah menjadi Dalem perwalianya sementara diserahkan kepada Jagabaya Dalem Paganjuran, setelah dewasa menikah dengan putra Adipati Rangga Gempol  (Aria Soeria Diwangsa) dari Sumedang yang bernama Nyi Ayu Ibariah.  Setelah 5 Tahun jadi Dalem Garatengah mempunyai maksud untuk memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah, dikarenakan kalau mengadakan hubungan ke tetangga Kadaleman menjadi susah jalanya (Belot jalan) ditambah sudah ada 2 kali kejadian 2 Dalem yang mati dibunuh yaitu Sang Adpati Panaekan dan Dipati Imbanagara.

Kemudian mengadakan musyawarah di Kadaleman Garatengah kesimpulanya mupakat, terus Mas Bongsar melaporkan maksud dan tujuanya ke Sultan Mataram meminta ijin akan memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah. Oleh Sultan Mataram diberi ijin malah di beri petunjuk serta diberi saran kalau mau pindah bagaimana kalau ke Kertajaga Binangaun. Mas Bongsar terus kembali dari Mataram sambil melihat-lihat daerah yang akan dijadikan sebagai Pusat Kadaleman yaitu daerah Kertajaga Binangun. Mau membuktikan keadaan tempat di kertajaga cocok atau tidaknya untuk dijadikan pusat Kadaleman. Tetapi setelah dibuktikan kurang cocok sebab masih rumit jalan. (Belot). Terus berangkat dengan pengiringnya menuju daerah Pataruman (Banjar). Terlihatnya cocok sekalai kalau Pataruman dijadikan Pusat Kadaleman Garatengah, untuk hubungan dengan Kadaleman tetangga mudah tidak rumit jalan. Namun sayang keadaan tanahnya masih terlalu lembah, masih sering kebanjiran dari sungai Citanduy dan luas daerah rawa-rawanya.

Kalau waktu itu Banjar dijadikan pusat Kadaleman, yang mendiami rawa-rawa yang terkenal dengan nama Nyi Dewi Mayang Cinde akan mengakibatkan semua orang terjangkit penyakit Demam yang mendiami tempat itu. Oleh orang tua yang disebut Nyi Dewi Mayang Cinde itu jaman sekarang disebut Nyamuk Malaria yang bisa menimbulkan dan menularkan penyakit Demam Malaria.

Mas Bongsar kemudian mencari tempat kesebelah utara Sungai Citanduy mencari tempat bekas pada waktu mengungsi. Diaerah tersebut beristirahat dan bermalam, tidak lama kemudian mendapat petunjuk dari yang Gaib bahwa harus menuju ke salah satu tempat yang disebut Barumay sebelah selatan Gunung Ardilaya sebelah utara Sungai Citanduy.

Petunjuk itu oleh Mas Bongsar dilaksanakan, sampai di Barumay terus tempat itu ditelusuri kenyataan tempat tersebut cocok sekali kalau dipakai sebagai Pusat Kadaleman Garatengah.

Sekembalinya ke Garatengah terus bermusyawarah dengan rakyat merencanakan pemindahan Pusar Kadaleman Garatengah ke Barumay, segala keperluan dibarumay sudah dipersiapkan. Kemudian pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Mulud Tahun 1564 Saka, Tanggal 12 Bulan Juni Tahun 1642 M Kadaleman Garatengah dipindahkan ke Barumay (Imbanagara).

Sementara waktu ada di Barumay masih disebut dengan nama Kadaleman Garatengah. Kemudian Sultan Mataram mengubah nama Kadaleman harus diganti jangan Garatengah, hasil mufakat semua Kadaleman Garatengah namanya diganti menjadi Kadaleman Imbanagara. Sejak itu Cineang ada dibawah Kadaleman Imbanagara. Membawa nama Dalem Dipati Imbanagara sebagai penghormatan. Dan inilah mengapa begitu pentingnya makam sesepuh Galuh begitu utama dimata masyarakat Ciamis. Ini sekelumit sejarah singkat Raden Adipati Arya Panji Jayanegara.

Pada saat kepemimpinan Raden Adipati Arya Panji Jayanegara terkenal dengan jaman "Buray Mah/Mas Bongsar atau Raden Yogaswara anak Dipati Imbanagara periode 1636 s/d 1678, pada saat melaksanakan pemerintahannya di atur oleh perwakilan/wali,di masa itu saat melaksanakan kepemerintahannya pernah mengalami fitnah oleh anak buahnya, namun hal tersebut dapat di ketahui oleh Sultan Mataram. Demi keuntungan politik Imbanagara kembali ke Mataram untuk menghadapi VOC fitnah berbunyi hukum Mati, namun dengan keluhuran Budi dari Raden Yogaswara sehingga tidak jadi, atas kebijakan sultan Mataram.Dengan keluhuran Budi Raden Yogaswara sehingga di beri gelar Raden Adipati Arya Panji Jayanegara.
Ketika pusat pemerintahan di pindahkan dari Gagara tengah Cilingcing ke Panyingkiran dan pada tahun 1642 pindah ke Barunyai Imbanagara, sehingga sejarah tersebut oleh DPRD Kab. Ciamis pada tanggal 17 Mei 1972 menetapkan bahwa tahun 1642 di jadikan hari jadi Kab. Ciamis.Mengapa ini di angkat menjadi hal yang penting,karena Kejadian ini membawa hal positif dalam hal pembangunan,Mengandung unsur perjuangan dari sesepuh pertama pemimpin pemerintahan,Pada saat itu, merupakan daerah yang merdeka dan berdaulat walaupun ada pengakuan dari kerajaan Mataram.Di bawah kepemimpinan Raden Adipati Arya Panji Jayanegara, terkenal damai tentram dan subur makmur. Kepemimpinannya selama 42 tahun dan di teruskan oleh Adipati Anggapraja.



Makam Raden Panji Aria Jayanegara alias Mas Bongsar Bupati Galuh III (1636-1678) Bin Bupati Galuh ke 2 Mas Dipati Imbanagara alias Ujang Purba (1625-1636) Menikahi Anjung Larang, Gedeng Cukang Baray Binti Dipati Sudalarang Bin Sunan Bandujaya Bin Bupati Galuh 1/ Bupati Wedana Galuh  Adipati Panaekan (1618-1625) dari istri Nyi Tanduran Kuning binti Maharaja Upama Gunung Karikil Bin Prabu Cipta Permana Bin Maraja Cipta Sanghiyang Bin Prabu Haur Kuning, dari Makam isterinya Nyi Gedeng Muda (Murda) alias Nyi Mas Ayoe Ibariah alias Nyi Mariah putrinya Rangga Gempol - Adipati Sumedang Larang, berloksi di Ciwahangan Girang Desa Imbanagara Ciamis


GERET TENGAH
a. Kadalemanya disebut : Nagaratengah
Jaman Dalemnya: 
1. Raden Aria Pandji Subrata (Dalem I) Tahun 1583 – 1591 M.
2. Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem II) Tahun 1591 – 1611 M.
3. Raden Aria Kusumah (Dalem III) Tahun 1611 – 1618 M.

b. Kadalemanya disebut : Garatengah
Setelah Galuh disatukan dengan Nagaratengah dan Pusat Kadalemanya berada di Nagaratengah. Yang memimpin Kadaleman yaitu:
1. Sang Adipati Panaekan (1618 – 1625 M)
2. Diapti Imbanagara (1625 – 1636 M)
3. Mas Bongsar (Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara – Raden Yogaswara) Tahun 1636 M.

c.  Kadalemanya disebut : Geret tengah

Setelah Kadaleman Garatengah pindah ke Imbanagara Tahun 1642 M,
Oleh Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara (Raden Yogaswara). Bekas Kadaleman Nagaratengah – Garatengah yang sampai sekarang disebut Geret tengah.

Di Geret tengah setelah kepindahan Pusat Kedaleman ke Imbanagara suasananya menjadi sepi karena penghuninya banyak yang pindah dari tempat itu. Seperti diantaranya Raden Malangganata (Embah Malang), dan Kyai Kapi Ibrahim II pindahnya ke daerah Tembong Gunung Harjawinangun) daerah Manonjaya sekarang.

Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin serta Raden Anggawinata pindahnya ke daerah yang disebut Wanalapa sekarang.

Kyai Kapiyudin membuat Pesantren disebelah utara Sungai Cihapitan. Setelah meninggal Kyai Kapiyudin dimakamkan di daerah Kembang Gadung Kampung Negla Desa Cijulang Kecamatan Cineam berdekatan dengan Makam Kyai Kapi Ibrahim.
Peninggalan: Makam Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin

Putra penghulu Kyai Abdul Rokhaniah yang bernama Raden Subakerta dan Isterinya Nyi Raden Tiru setelah Ayahnya meninggal dari Geret Tengah pindah ke daerah yang disebut Babakan sekarang.

Setelah meninggal Raden Subakerta dan Nyi Raden Tiru dimakamkan di Lebak Lipung masuk Dusun Kertaharja Desa Ciampanan Kecamatan Cineam sekarang.
Peninggalan : Makam Raden Subakerta (Putu Kyai Anggamalang)
Peninggalan : Makam Nyi Raden Tiru (Mantu Kyai Abdul Rokhaniah)

Sedangkan saudara Raden Subakerta yang bernama Raden Subamanggala tidak ikut pindah ke babakan tapi pindah ke daerah Cisangkir wilayah Cibeureum.

Di Geret Tengah tidak ada ciri-ciri bekas Negara seperti Arca atau Tembok bekas Pendopo sebab bukan bekas Kerajaan. Tapi hanya bekas Kadaleman bangunanya tidak ad yang terbuat dari tembok tapi waktu itu membuat Kadaleman dari Kayu.

Setelah itu di Imbanagara yang memimpinya bukan Dalem lagi tetapi menjadi Bupati Galuh. Tanpa didampingi oleh Wali, peristiwa yang bersejarah itu dalam perkembangan Kabupaten Ciamis dengan wilayah kekuasaanya sekarang. Sehubungan dengan itu pula berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain Hari Jadi Kabupaten Ciamis jatuh pada Tanggal 12 Juni Tahun 1642.

Tahun 1815 adalah masa pemerintahan Bupati Wiradi Kusumah yang waktu itu pernah terjadi pemindahan ibu kota Kabupaten Galuh dari daerah Imbanagara ke Cibatu Ciamis. Sedangkan perubahan Nama Galuh menjadi Ciamis dilakukan pada Tahun 1916 oleh R.T.G. Sastrawinata yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Bupati Galuh yang ke 16 dan memerintah sekitar Tahun 1914 – 1935.

7. Kaitan Keturunan Adipati Soeriadiwangsa Sumedang dengan Keturunan Adipati Panaekan Ciamis
Generasi 1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji  
1.3 Deman Watang 
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear (Pangeran Bungsu)

Generasi 2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipakoe

Generasi 3
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)  menikahi dengan Nyimas Sulhalimah, anak ke 6. putranya Santowan Awiloear dan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres), berputra :
1.1.13.1 Rd. Karta Wijaya (Rd. Aria Soeriadiwangsa II), keturunannya ke Banten dan Tanggerang
1.1.13.2 Rd. Mangun Rana (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.3 Rd. Tampang Kil (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah ditikah oleh Pangeran Koesoemadiningrat atau Pgn Koesoema Diningrat, [Keseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976.
1.1.13.5 NR. Moestawiyah yang diperistri oleh Penghulu Legok.
1.1.13.6 NM Mariah atau NM Murda atau NM Gedeng Muda dinikah oleh R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar bupati Galuh III (1636-1678 M), keturunan ada di Pegang oleh keturunan Sumedang dari Gending Sumedang.

Cat : Santowan Awiloear adalah putra Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata, sedangkan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres) adalah salah satu putranya Prabu Surya Kancana Nusiya Mulya (Panembahan Pulosari) dan Nyimas Euis Oo Imahu.

Generasi 4
1.1.13.1 Rd. Kartadjiwa
Berdasarkan buku silsilah keluarga: "Naskah Paririmbon Kaariaan Tangerang", berikut catatan dan keturunannya.
Pangeran Rangga Gempol I wafat yang di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rd. Soeriadiwangsa) meninggalkan 5 putera-putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II (Rd. Kartadjiwa), meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede (uwaknya), meskipun Banten memenuhi permintaan Rd. Kartadijwa (Raden Soeriadiwangsa 2) tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 - 1706 M).

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram.

Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II (1633 - 1656 M) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung.

Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II). Sumber info http://id.rodovid.org/wk/Orang:860653

Info dari Kangjeng Pangeran Aria Tirtayasa / Raden Tubagus (R.Tb Moggi Norsatya) / Sayyid Syarif Nurfadhil Ba'alawy Al-Husaini, Hidayat : Rd. Kartadjiwa alias Pangeran Soeriadiwangsa 2, berdasar Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang dan sinkron dengan data silsilah keluarga Kesultanan Banten, ibunda beliau adalah Nyi Ratu Widari (atau penulisan lain Widuri) binti Pangeran Aria Upapatih bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanudin Banten bin Sunan Gunung Jati Cirebon, jadi bisa disambung silsilahnya.

Berdasarkan sensus silsilah kekerabatan Keluarga Kesultanan Banten akan pihak kerabat di wilayah Teluk Naga Tangerang Banten dengan catatan leluhurnya diketahui bahwa
Raden Suriadewangsa 2 / Rd. Kartadjiwa memiliki anak :
1.1.13.1.1 Raden Demang
1.1.13.1.2 Raden Tuan Syeh huna / Syeikhuna
1.1.13.1.3 Raden Doro Sawangsa
1.1.13.1.4 Raden Doro Mawarsa
1.1.13.1.5 Raden Naya Dikara
1.1.13.1.6 Raden Tanoedinata

1.1.13.2 Rd. Mangoenrana (tidak terdata keturunannya)

1.1.13.3 Rd. Tampangkil (tidak terdata keturunannya)

1.1.13.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah,  berputra :
1.1.13.4.1 Sareupeun Manangel
1.1.13.4.2 Sareupeun Cibeuli
1.1.13.4.3 Sareupeun Cihaurbeuti
1.1.13.4.4 Sareupeun Dawagung
1.1.13.4.5 Sareupeun Ciboeni Agoeng
RA. Soedarsah adalah istri dari Rd Pangeran Koesoeoemadiningrat. Soemalintang menikah dengan Pangeran Koesoemadiningrat atau Pgn Koesoema Diningrat, putra Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati (Panembahan Seda ing Krapyak, Mas Djolang) 1613. dan Bunda Pangeran Koesoemadiningrat. 

Versi lain : putra Pangeran Benawa atau Abdul Halim atau Kanjeng Sultan Prabuwijoyo Catatan Umum : (Pangeran Djago Djawa) Sech Dago Djawa.

Jalur ini menuju ke Rd Djenal Asikin Wirakoesoemah berdasarkan "Serat Asal-Oesoel" yang ditulis oleh Rd. Djenal Asikin Widjajakoesoemah. Pangeran Koesoemadiningrat alias Pangeran Djago Djawa. Versi lain dari Ari dan Mogg i: Pangeran Kusumadiningrat alias djago jawa putra Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir.

Kedua versi masih dalam penelitian oleh "Tim khusus di bidang sejarah dan silsilah Kumpulan Wargi Sukapura (KWS Puseur), yang dipimpin oleh seseorang wargi rundayan Sukapura juga, yaitu Prof. Itjeu Marlina, "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS / Kumpulan Wargi Sukapura Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file laporan lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Keturunan Pangeran Koesoemadiningrat atau Pangeran Koesoema Diningrat", lanjut kebawahnya yang lengkap di Sajarah Babon Luluhur Sukapura.

1.1.15.5. NR. Moestawiyah yang diperistri oleh Penghulu Legok Sumedang. (tidak terdata keturunanya)

1.1.13.6 NM Mariah atau NM Murda atau NM Gedeng Muda dinikah oleh R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar bupati Galuh III (1636-1678 M), putranya Adipati Panaekan, Bupati Imbanagara Garatengah / Bupati Galuh ke 3 (1618-1625 M), dan Tanduran Di Anjung, berputra :
1.1.13.6.1 Knj Dlm Aria Bupati Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679)
1.1.13.6.2 Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja / Bupati Galuh ke-5 : Angganaya (1679-1693) 
1.1.13.6.3 NM. Koerawoet 
1.1.13.6.4 NM. Galuh 
1.1.13.6.5 Rd. Angganata II 
1.1.13.6.6 R. Adp. Anggamadja Bupati Imbanagara ke 3

Generasi 5
1.1.13.6.2 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679), berputra : 
1.1.13.6.2.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I 

Generasi 6
1.1.13.6.2.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I, berputra :
1.1.13.6.2.1.1 Dlm. R. Tjandrakoesoemah 
1.1.13.6.2.1.2 Dg. Anggapradja 
1.1.13.6.2.1.3 Kjiai Soetapria 
1.1.13.6.2.1.4 Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang 
1.1.13.6.2.1.5 R. Anggapradja 

Generasi 7
1.1.13.6.2.1.4 Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I
1.1.13.6.2.1.4.2 Rd. Rajinala
1.1.13.6.2.1.4.3 Rd. Abdoel Rachman

Generasi 8
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1.1 Rd. Kapi Ibrahim II 
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin 
1.1.13.6.2.1.4.1.3 Ki Kapioedin 
1.1.13.6.2.1.4.1.4 Ki Noersamid / Noersahid 
1.1.13.6.2.1.4.1.5 Ki Anggawinata 
1.1.13.6.2.1.4.1.6 Rd. Kahfi Ibrahim II 

Generasi 9
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin, keturunan selanjutnya ada yang dipegang di Sumedang,  lihat diagram dibawah ini :


Salam Santun...

Sumber Wacana :
1. Situs Cagar Budaya Sanghyang Maharaja Cipta Permana Prabu Digaluh Salawe Dusun Tunggal Rahayu Desa Cimaragas Kecamatan Cimaragas Kab. Cimamis, oleh U Runalan S, Dosem Unigal Ciamis Jurnal Artefak Vol. 3 No. 2 Agustus 2015, Hlm: 173 - 186.
2.  "Cineam, Tasikmalaya", https://www.wikiwand.com/id/Cineam,_Tasikmalaya
3. "Silsilah Keluarga",  silsilah-ernimuthalib.blogspot.com

Baca Juga :

Tidak ada komentar