Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19.
Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain.
Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723. Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik. Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang. Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih. Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman.
Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur. Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang.
Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana. Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.
Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon. Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai. mendarat di Banten.
Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten? Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya. Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan.
Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877.
Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.
CARITA PURWAKA CARUBAN NAGARI
Ringkasan Carita Purwaka Caruban Nagari terdiri dari 39 bagian.
Bait Bagian pertama
- Dibuka dengan ucapan syukur kepada sang Maha Pencipta, selanjutnya dikemukakan maksud penyusunan karangan, yakni memaparkan perihal mula jadi negeri Cirebon. Meskipun pada mulanya menemui kesulitan, namun tetap diusahakannya supaya menjadi pengetahuan orang banyak.
Bait Bagian Kedua
- Cirebon berada dibawah kekuasaan Susuhunan Jati Purba Wisesa, salah seorang wali di Pulau Jawa, ia dikukuhkan menjadi panetep panatagama Islam (pemimpin dan penyebar agama Islam) di wilayah Sunda. Ia menjalankan pemerintahan di istana Pakungwati bersama uaknya, Pangeran Cakrabuwana, yang bergelar Sri Manggana. Uaknya itu menjadi kuwu Cirebon kedua, dan juga sebagai manggala (panglima angkatan bersenjata).
- Nama Cirebon pada awalnya adalah Sarumban, lalu diucapkan Caruban, akhirnya Carbon (Cirebon). Para wali menyebutnya puseur bumi, negeri yang ada di tengah Pulau Jawa, sementara penduduk pribumi menyebutnya Nagari Gede yang lama kelamaan diucapkan Garage dan kemudian menjadi Grage.
Bagian Ketiga
- Dikisahkan secara singkat perihal perjalanan hidup Prabu Siliwangi, seorang raja besar yang memerintah Pakwan Pajajaran. Ia adalah putra Prabu Anggalarang dari wangsa Galuh yang berkuasa di Surawisesa (keraton galuh). Pada masa mudanya, ia bernama Raden Manah Rarasa (Pamanah Rasa) dan dipelihara oleh uaknya, Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru labuhan yang menguasai pelabuhan Muara Jati. Prabu Siliwangi memperistri puteri Ki Gedeng Sindangkasih bernama Nyai Ambetkasih.
- Prabu Siliwangi mengikuti sayembara di negeri Surantaka, bawahan negeri Pajajaran, yang diselenggarakan oleh raja Singapura, Ki Gedeng Tapa. Dalam sayembara itu, ia tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.
- Setelah Ki Gedeng sindangkasih wafat, Raden Pamanah Rasa dijadikan Raja Sindangkasih dengan gelar Prabu Siliwangi. Selang beberapa waktu lamanya, Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi Maharaja di Pakwan Pajajaran bergelar Pabu Dewatawisesa dan tinggal di keraton Sang Bima bersama istrinya Nyai Subanglarang
Bait Bagian Keempat
- Berisi pengungkapan leluhur Prabu Siliwangi secara turun temurun. Prabu Siliwangi adalah putra Prabu Anggalarang, putra Prabu Mundingkawati, putra Prabu Banyakwangi, putra Prabu Banyaklarang, putra Prabu Susuktunggal, putra Prabu Wastukancana, putra Prabu Ciungwanara, dan Ciungwanara adalah putra Maharaja Galuh Pakwan bernama Maharaja Adimulya.
Bait Bagian Kelima
- Setelah Ki Gedeng Sindangkasih meninggal, kedudukannya sebagai Jurulabuhan digantikan oleh Ki Gedeng Tapa yang bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati. Ia berkuasa di sepanjang pantai Cirebon. Ki Gedeng Tapa adalah salah seorang putra Ki Gedeng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang . Adik Ki Gedeng Kasmaya, yaitu Ki Gedeng Surawijaya Sakti, semasa hidupnya menjadi raja Singapura. Ia wafat tidak berputra sehingga kedudukannya digantikan oleh keponakannya, yaitu Ki Gedeng Tapa.
- Kakak perempuan Ki GedengTapa ialah Nyai Rara Ruda yang tinggal di Lemah Putih dan bersuamikan Ki Dampu Awang, saudagar kaya dari Cempa. Dari perkawinannya itu, Nyai Rara Ruda mempunyai seorang putri bernama Nyai Aciputih yang diperistri oleh Prabu Siliwangi dan melahirkan seorang putri bernama Nyai Lara Badaya. Nyai Lara Badaya dibawa kakeknya ke Cempa. Disana, ia berguru agama Islam kepada Maolana Ibrahim Akbar.
- Maolana Ibrahim Akbar mempunyai dua orang putra: Ali Musada dan Ali Rakhmatullah. Ali Musada berputra Maolana Ishak yang beristri putri Blambangan dan mempunyai anak bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Susuhunan Giri. Sementara itu, Ali Rakhmatullah tinggal di Gresik dan bergelar Susuhunan Ampel Denta. Ia adalah pemimpin para wali di Pulau Jawa dan mempunyai dua orang putra bernama Makdum Ibrahim yang disebut Susuhunan Bonang dan Maseh Munat yang disebut Susuhunan Drajat.
Bait Bagian keenam
- Cerita kembali kepada Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya dengan Nyai Subanglarang, ia mempunyai tiga orang anak, yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya wafat, ketiganya mendapat perlakuan yang buruk dari kalangan istana. Pangeran Walangsungsang akhirnya meninggalkan keraton menuju ke arah timur dan tiba di pondok Ki Gedeng Danuwarsi, seorang pendeta Budhaparwa (Siwa-Budha). Setelah beberapa waktu tinggal disitu, ia memperistri putri Ki Gedeng Danuwarsi bernama Nyai Indang Geulis. Nyai Lara Santang yang sedang menyusul kakaknya tiba di tempat Ki Gedeng Danuwarsih.
- Ki Gedeng Danuwarsih adalah salah seorang putra Ki Gedeng Danusenta, seorang pendeta Budhaprawa dari Gunung Diyeng yang telah lama meninggal di keraton Galuh Pakwan. Adapun adik Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Ki Danusela tinggal di Cirebon Girang dan beristrikan Nyai Arumsari, putri Ki Gedeng Kasmaya.
Bait Bagian Ketujuh
- Pangeran Walangsungsang beserta istri dan adiknya berangkat ke Gunung Amparan Jati untuk berguru agama islam kepada Syekh Datuk Kahfi—juga disebut Syekh Nuruljati yang berasal dari Mekah. Syekh Datuk Kahfi mempunyai seorang adik bernama syekh Bayanullah dan bergelar Syekh Datuk Mahuyun yang mengikutinya di Gunung Amparan Jati. Pada masa Syekh Datuk Kahfi berdiam di Bagdadi.
Bait Bagian kedelapan
- Menceritakan suasana dukuh Pasambangan di kaki Gunung Sembung dan Gunung Amparan Jati. Dukuh Pasambangan banyak didatangi pedagang sehingga pelabuhannya (Muara Jati) menjadi ramai. Beragam perahu yang berasal dari negeri Cina, Arab, Persi, India, Malaka, Tumasik, Pase, Jawa Timur, Madura, dan Palembang berlabuh di pelabuhan ini.
- Di Puncak Gunung Amparan Jati didirikanlah sebuah mercusuar yang dikerjakan oleh tentara Cina di bawah pimpinan panglima besar Wa Heng Ping dan Laksamana Te-ho (Cheng-Ho) ketika mereka singgah di daerah itu untuk mencari perbekalan dalam pelayaran ke Majapahit. Pada masa itu, penguasa wilayah sepanjang pantai Cirebon ialah Ki Gedeng Jumajan Jati.
Bait Bagian Kesembilan
- Pada waktu menjadi juru labuhan, Ki Gedeng Tapa bersahabat baik dengan para pedagang dan para guru agama Islam berasal dari Mekah. Salah seorang di antara mereka adalah Syekh Hasanudin yang bergelar Syekh Kuro seorang ulama yang berasal dari negeri Cempa. Di Jawa, Syekh Hasanudin mendirikan pondok pesantren di Karawag. Salah seorang muridnya ialah Nyai subang Larang, sebelum ia diperistri oleh Prabu Siliwangi.
- Syekh Datuk Kahfi tiba di Pasambangan beserta 12 orang pengikutnya sepuluh orang pria dan dua wanita. Mereka diterima dengan ramah oleh penguasa di sana dan diberi tempat tinggal di Gunung Amparan Jati. Di Gunung Amparan Jati, ia mendirikan pondok pesantren.
Bait Bagian Kesepuluh
- Setelah berguru selama tiga tahun kepada Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah dan diperintahkan oleh gurunya untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir yang terletak di sebelah selatan Gunung Amparan Jati. Setelah menebas hutan belukar, Ki Samadullah mendirikan gubuk dan tajug di sana.
Bait Bagian Kesebelas
- Bagian ini menceritakan perihal Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gede Danuwarsi. Ia telah lama tinggal di Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir—kemudian disebut Lemah-wungkuk—bersama istri, Nyai Arumsari. Setiap hari, kerjanya mencari rebon (udang kecil) untuk membuat terasi, petis, dan garam. Dari perkawinannya dengan Nyai Arumsari, Ki Danusela mempunyai seorang anak bernama Nyai Retna Riris, kelak bernama Nyai Kencana Larang. Selanjutnya, Ki Samadullah memperistri Nyai Kencana Larang.
- Dukuh Tegal Alang-Alang bertambah ramai, dan banyak warga masyarakat Pasambangan yang berpindah ke daerah itu untuk berdagang dan menangkap ikan, tidak ada yang bertani. Ki Gedeng Alang-Alang oleh penduduk pedukuhan dipilih sebagai kuwu yang pertama, sedangkan Ki Samadullah ditunjuk sebagai pangraksa bumi dengan gelar Ki Cakrabumi. Setelah tiga tahun Ki Cakra bumi tinggal di daerah itu, nama pedukuhan berubah menjadi desa Caruban Larang karena desa tersebut tinggal berbagai bangsa dengan agama, bahasa, tabiat, dan juga pekerjaan yang berbeda.
Bait Bagian Keduabelas
- Atas saran Syekh Datuk Kahfi, Ki Cakrabumi dan Nyai Lara Santang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyai Indang Geulis tidak ikut serta karena sedang mengandung. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Datuk Kahfi dan berguru kepada Syekh Abuyajid.
- Di Mekah, Nyai Lara Santang diperistri oleh Maolana Sultan Mahmud yang juga disebut Syarif Abdullah, putra Ali Nurul Alim dari bangsa Hasyim yang berasal dari Bani Ismail yang dulu berkuasa di kota Ismailiyah. Juga, membawahi Baniisrail (Bani Israil) di wilayah Pilistin (Palestina). Setelah menjadi istri Maolana Sultan Mahmud, ia diberi nama Saripah Mudaim, dan kakaknya bergelar Haji Abdullah Iman.
- Pada waktu Saripah Mudaim sedang mengandung sembilan bulan, ia pergi ke Mekah bersama kakak dan suaminya disertai para pembesar sebagai pengawal untuk menjaga keselamatan mereka, antara lain Penghulu Jamaludin dan Patih Jamalulail; para mentri antara lain Abdul Japar, Mustapa, Kalil, al-Huddin, dan Ahmad; sedangkan Mahapatih Ungkajutra, adik raja Maolana, tidak ikut serta karena mewakili kakaknya sebagai pemangku kerajaan dan memimpin angkatan bersenjata di Mesir.
- Di Mekah, Saripah Mudaim melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Syarif Hidayat. Setelah kelahiran itu, mereka kembali ke Mesir.
Bagian Ketigabelas
- Sementara itu, setelah hampir tiga bulan lamanya tinggal di Mekah, Haji Abdullah Iman kembali ke Jawa. Dalam perjalanan pulang, ia singgah di Cempa dan berguru syariat islam kepada Maolana Ibrahim Akbar atau Syekh Maulana Jatiswara. Haji Abdullah Iman dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyai Retna Rasajati dan mempunyai tujuh orang putri: Nyai Laraskonda, Nyai Lara Sajati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Cempa, dan Nyai Rasamalasih.
Bait Bagian Keempatbelas
- Setelah Syarif Hidayat berumur dua tahun, Saripah Mudaim melahirkan putra ke dua yang diberi nama Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian, Syarif Abdullah meninggal dunia, sementara pemerintahan diwakilkan kepada Mahapatih Ungkajutra dengan gelar Raja Ongkah.
Bait Bagian Kelimabelas
- Sementara itu, di Cirebon,Haji Abdullah Iman mengajar agama Islam dan membangun tajug Jelagrahan beserta sebuah rumah besar, tempat ia tinggal bersama istri dan putrinya, Nyai Pakungwati yang lahir ketika ayahnya mengembara.
- Haji Abdullah Iman juga menikah dengan Nyai Retna Riris yang kemudian berganti nama menjadi Nyai Kencana Larang, putri Ki Gedeng Alang-alang.
- Dari perkawinan ini , Haji Abdullah Iman mempunyai seorang putra bernama Pangeran Cerbon yang tinggal bersama kakeknya di Cirebon Girng, danmenggantikan kakeknya sebagai kuwu Cirebon Girang. Pangeran Caruban menikah dengan Nyi Cupluk, Putri Ki Gendeng Trusmi dan mempunyai seorang putra bernama Pangeran Trusmi yang pada masa kecilnya bernama Bung Cikal, dikenal pula dengan gelar Manggana Jati. Pada masa itu, Wilayah Cirebon menjadi daerah bawahan bupati Galuh bernama Pangeran Jayaningrat, dan senopatinya bernama Arya Kiban.
Bait Bagian Keenambelas
- Setelah Ki Gedeng Alang-Alang wafat, kedudukannya sebagai kuwu Cirebon digantikan oleh Ki Cakrabumi dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Namun, ketika Ki Gedeng Jumajan Jati wafat, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukannya sebagai raja Singapura karena ia hanya mewarisi kekayaannya. Dengan harta kekayaan itu, dibuatlah sebuah keraton yang diberi nama Pakungwati, dan menyusun kekuatan angkatan bersenjata.
- Prab Siliwangi di keraton Pakwan Pajajaran menyambut baik langkah yang diambil oleh putranya, Pangeran Cakrabuana. Sebagai tanda dukungan, ia mengirimkan duta kerajaan yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya desertai Raja Sengara dengan membawa panji-panji kerajaan bagi putranya. Pada saat yang bersamaan, Prabu Siliwangi memberi gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana. Di Cirebon, Raja Sengara memeluk islam dan pergi naik haji yang kemudian berganti nama menjadi Haji Mansur. Haji Mansur beristrikan Nyai Kalimah dari negeri Cempa yang datang bersama istri Pangeran Cakrabuana yang kemudian bergelar Nyai Gedeng Kalisapu.
Bagian Ketujuhbelas
- Syarif Hidayat tumbuh menjadi seorang pemuda yang saleh dan berhasrat menjadi guru agama Islam. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syekh Tajmuddin al-Kubri selama dua tahun. Setelah itu, berguru kepada Syekh Ataullahi Sajili, seorang penganut Imam Safi’i, selama dua tahun. Dari Mekah, ia pergi ke Bagdad untuk belajar Tasawuf Rasul. Setelah menamatkan pelajarannya, ia kembali ke Mesir. Di Mesir Mahapatih Ungkajutra memberi nama Syarif Hidayat dengan nama Nurdin, dan dari para guru agama serta pembesar kerajaan ia beroleh nama Ibrahim, sedangkan para gurunya di Mekah memberinya gelar Sayid Kamil.
- Mahapatih Ungkajutra bermaksud menyerahkan tahta kerajaan kepada Syarif Hidayat. Namun, ia sungguh-sungguh berhasrat menjadi guru agama Islam, permintaan pamannya itu ditolaknya, dan ia menyarankan supaya kedudukan itu diserahkan kepada adiknya, yang ketika menjadi raja dinobatkan dengan gelar Sultan Syarif Nurullah.
- Untuk melaksanakan cita-citanya, Sayid Kamil berangkat menuju Pulau Jawa dan terlebih dahulu singgah di Gujarat ( india ) dan negeri Pase di Sumatera. Di Pase, ia tinggal di pondok Sayid Ishak yang pernah menjadi guru agama di Blambangan. Setelah dua tahun berguru kepadanya, ia berlayar menuju Pulau Jawa dan singgah di Banten yang pada waktu itu telah banyak pemeluk agama Islam berkat usaha Sayid Rakhmat—seorang wali dari Ampel Gading yang disebut juga Susuhunan atau Sunan Ampel.
- Selang beberapa waktu lamanya, Sayid Kamil dengan menumpang perahu orang Jawa Timur, tiba di Ampel Denta. Suatu ketika, di Ampel Denta tengah berkumpul para wali di bawah pimpinan Susuhunan Apel untuk melakukan pembagian tugas para wali dalam menyebarkan agama Islam. Susuhunan Ampel memberi tugas kepada Sayid Kamil untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda—yang waktu itu masih menganut ajaran Budhaprawa. (Siwa-Budha)—karena ibu dan uaknya berasal dari sana. Pangeran Cakrabuana telah terlebih dahulu bertindak sebagai penyebar agama Islam selain kedudukannya sebagai penguuasa Cirebon.
- Dalam perjalanan ke tanah Sunda, Sayid Kamil disertai oleh Dipati Keling yang telah menjadi penganut agama Islam beserta 98 orang pengikutnya. Di Cirebon, Sayid Kamil menetap di gunung Sembung dan mendirikan pondok. Di daerah ini pula ia bergelar Maolana jati atau Syekh Jati.
- Ketika Syarif Hidayat menyebarkan ajaran Islam di Babadan, ia memperistri Nyi Babadan, putri Ki Gedeng Babadan yang menjadi penganutnya. Namun, dari Nyai Babadan ia tidak memperoleh putra karena meninggal lebih dulu. Selanjutnya, ia memperistri Saripah Bagdad, adik Maolana Abdurahman Bagdad yang disebut Pangeran Panjunan. Bersama istrinya, Syarif Hidayat tinggal di Pasambangan. Dari perkawinan ini, Syarif Hidayat mempunyai dua orang putra, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Gung Anom. Pangeran Jayakelana menikah dengan Nyai Pembaya (Pembayun), sedangkan Pangeran Gung Anom beristrikan Ratu Nyawa, keduanya putri Raden Patah, Sultan Demak yang pertama.
Bagian Kedelapanbelas
- Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya Kertabumi dari seorang putri Cina. Dialah yang membangun kesultanan Demak yang pada awalnya adalah sebuah hutan yang ditumbuhi gelagah wangi menjadi sebuah kota yang kian lama bertambah ramai. Ketika putri Cina sedang mengandung, ia diserahkan kepada Arya Damar, bupati Palembang bawahan Majapahit. Di Palembang, putri Cina itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raden Praba, sedangkan ibunya memberinya nama Jimbun. Dari Arya Damar, putri Cina melahirkan lagi seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Kusen. Setelah remaja, Raden Praba—disebut juga Raden Patah bersama Raden Kusen disebut juga Arya Abdillah berangkat ke Majapahit. Di Majapahit, Raden Kusen di angkat menjadi bupati Teterung, sedangkan Raden Patah dijadikan adipati Bintaro di Demak.
- Setelah meruntuhkan kerajaan Majapahit dengan dukungan para wali dan para penguasa di kota-kota pantai utara Jawa dan beberapa kota di seberang laut, oleh para wali yang dipimpin oleh Susuhunan Ampel Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan Demak pertama dengan gelar Sultan Akhbar al-Pathah selaku amirul mukminin di Jawa Timur. Atas dorongan para wali, ia mendirikan masjid agung di Demak.
Bait Bagian Kesembilanbelas
- Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan Jati pergi menyiarkan ajaran Islam ke Banten. Di sana, ia memperistri Nyai Kawunganten, adik Bupati Banten. Melalui perkawinan ini, bupati Banten dan sebagian para pembesar serta warga masyarakat Banten menjadi penganut agama Islam. Dari perkawinan ini, Syarif Hidayat mempunyai dua orang anak: seorang wanita bernama Ratu Winaon dan seorang pria bernama Pangeran Sabakingkin atau Pangeran Hasanudin. Ratu Winaon bersuamikan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja Laut.
- Oleh Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayat dikukuhkan menjadi tumenggung negeri Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Keputusan itu mendapat dukungan para wali dan Sultan Demak, serta diakui oleh para penguasa di seluruh pantai utara tanah Jawa. Para wali mengangkat Susuhunan Jati sebagai panetep panatagama Islam di seluruh wilayah Sunda yang berkedudukan di Cirebon. Pengangkatan itu sebagai pengganti kedudukan Syekh Nuruljati yang telah lama wafat. Susuhunan Jati menempati istana Pakungwati bersama Pangeran Cakrabuana yang berkedudukan sebagai manggala Cirebon.
- Pada masa itu, Cirebon masih merupakan bawahan Pakwan Pajajaran, yang setiap tahun berkewajiban menyerahkan terasi dan garam sebagai bulubekti. Melalui musyawarah antara Susuhunan Jati dan Pangeran Cakrabuana, Dipati Keling, dengan Ki Gedeng yang berkuasa di seluruh tanah Sunda, akhirnya Cirebon memutuskan untuk tidak lagi menyerahkan bulubekti kepada keraton Pakwan Pajajaran. Tindakan cirebon itu mendapat tanggapan keras dari Pakwan Pajajaran. Karena itu, dikirimkanlah 60 orang pasukan untuk menindak Cirebon di bawah Komando Tumenggung Jagabaya. Namun, Tumenggung Jagabaya membelot, dan ia menjadi penganut agama Islam. Dengan demikian, tindakan menghukum Cirebon itu tidak terlaksana. Apalagi tidak berapa lama setelah peristiwa itu, Prabu Siliwangi wafat.
Bait Bagian Keduapuluh
- Menceritakan tentang pembunuhan Pangeran Gung Anom atau Pangeran Sedang Lautan. Pangeran Gung Anom yang menikah dengan Ratu Nyawa dari Demak tidak berputra. Suatu ketika, ia pergi ke Cirebon melalui jalan laut. Di tengah laut, dekat pantai Gebang, perahu yang di tumpanginya diserang oleh perompak. Pangeran Gung Anom beserta beserta para pengiringnya dibinasakan, mayatnya dilempar ke laut dan terdampar di pesisir Mundu. Pangeran Gung Anom kemudian dimakam-kan di Pantai Mundu dan bergelar Pangeran Sedang Lautan. Atas perintah Susuhunan Jati, gerombolan perompak akhirnya dapat dihancurkan oleh kesatuan bersenjata bala bantuan dari Cirebon di bawah komando Ki Gedeng Bungko.
Bait Bagian Keduapuluh Satu
- Berisi untaian keturunan Susuhunan Jati, Perkawinan Susuhunan Jati dengan Nyai Tepasari, Putri Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit beroleh dua orang putra; Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin bergelar Pangeran Pasarean. Nyai Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak kedua yang memerintah selama tiga tahun. Dari perkawinan itu , Nyai Ratu Ayu tidak berputra karena Pangeran Sabrang Lor tewas dalam pertempuran laut melawan angkatan bersenjata Portugis-- saat menyerang Malaka untuk kedua kalinya. Kemudian, Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Pase bernama Ki Padhilah yang beristrikan Nyai Pembaya (Pembayun)--janda Pangeran Jayakelana. Dari perkawinan itu, Ratu Ayu beroleh seorang putri bernama Ratu Wanawati Raras dan seorang putra bernama Pangeran Sedang Garuda.
- Adapun Pangeran Pasarean memperistri janda Pangeran Gung Anom, kakak-nya, yakni Ratu Nyawa. Dari perkawinan itu, ia berputra enam orang; Pangeran Kesatriyan yang beristrikan seorang Putri dari Tuban dan bertempat tinggal di sana; Pangeran Losari yang menjadi Panembahan Losari; Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon bergelar Pangeran Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning dan beristrikan Ratu Wanawati Raras, putri Ratu Ayu dengan Ki Padhilah; Ratu Emas yang bersuamikan Ratu Bagus dari Banten [Pangeran Sentana Panjunan],dan Pangeran Weruju.
Bait Bagian Keduapuluh Dua
- Suatu ketika, di bangsal Pakungwati, Susuhan Jati Purba sedang berkumpul dengan para pembesar istana. Tiba-tiba datanglah Ki Padhilah menghadap kepada Susuhunan Jati.Selaku panglima angkatan bersenjata Demak, ia diperintah oleh Sultan Demak untuk menyerang Banten dan Kalapa. Itu dilakukan setelah diketahui bahwa Kerajaan Sunda mengadakan perjanjian persahabatan dengan pihak Portugis di Malaka. Kalapa dan Banten adalah dua pelabuhan utama kerajaan Sunda, bandar perdagangan antarbangsa, yang memberi kemakmuran kepada warga masyarakat kerajaan Sunda.
- Dengan restu dari Susuhunan Jati, angkatan bersenjata Demak diperkuat oleh kesatuan bersenjata Cirebon yang semuanya berjumlah 1967 orang dibawah komando panglima tertinggi Padhilah disertai para pendamping dari Cirebon, antara lain, Pangeran Cirebon, Dipati Keling Dipati Kuningan, dan Dipati Cang-Kuang. Tempat pertama yang dituju ialah Banten karena selain letaknya lebih jauh ke pusat kerajan Sunda, juga di Banten telah terjadi huru hara yang dilakukan oleh para pengikut Pangeran Sabakingkin--ia telah lama bermukim di sana sebagai penyiar ajaran Islam. Banten dapat ditundukkan pada 1526, dan Sunda Kelapa ditundukkan 1527 setelah melalui pertempuran sengit yang menewaskan Raja Sanghiyang, raja yang berkuasa di Sunda Kalapa, beserta istrinya.
- Setelah Sunda Kalapa diduduki oleh angkatan bersenjata Demak dan Cirebon, datanglah kesatuan bersenjata Portugis setelah menemui musibah diserang badai di lautan. Mereka tidak mengetahui bahwa situasi di Sunda Kalapa telah berubah. Kedatangan kesatuan bersenjata Portugis itu untuk melaksanakan isi perjanjian persahabatan yang disetujui bersama antara wakil Portugis dan Kerajaan Sunda beberapa tahun sebelumnya (1522). Lalu, pecahlah pertempuran sengit. Apabila pihak Portugis di bawah komando Prangko Bule telah mempergunakan meriam besar yang belum pernah dialami oleh pihak angkatan bersejata Demak dan Cirebon. Kendatipun demikian, orang Portugis dapat dihalau, dan merek yang tersisa karena terbunuh dan luka berat melarikan diri, pulang ke Malaka.
Bait Bagian Keduapuluh Tiga
- Menceritakan silsilah Susuhunan Jati dari pihak ayah. Suatu ketika Susuhunan Jati sedang berkumpul di tengah bangsal di keraton Pakungwati yang di hadiri oleh para pembesar wilayah dan para wali beserta para senopati. Dalam pertemuan ini, Susuhunan Jati mengatakan bahwa isi Alquran itu seperti samudra luasnya, tak ada duanya di dunia ini. Hukum yang terdapat di dalam nya adalah ucapan dan gubahan Yang Mahakuasa,yang senyata-nyatanya.
- Selanjutnya,Susuhunan Jati menceritakan leluhur dirinya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Ia berkata bahwa dirinya adalah putra Syarif Abdullah, Syarif Abdullah adalah putra Ali Nurul Alim yang beristri putri Mesir, Ali Nurul Alim adalah putra Jamaludin dari Kamboja, Jamaludin putra Amir, Amir putra Abdul Malik dari India, Abdul Malik putra Alwi dari Mesir, Alwi putra Muhamad, Muhamad putra Baidilah, Baidilah putra Ahmad, Ahmad putra al-Bakir, al-Bakir putra Idris, Idris putra Kasim al-Manik, Kasim al-Manik putra Japar Sadik dari Parsi, Japar Sadik putra Muhamad Bakir, Muhamad Bakir putra Jenal Abidin, Jenal Abidin putra Sayyid Husen, dan Sayyid Husen adalah putra Sayyidina Ali yang beristrikan Siti Fatimah az-Zahra putri Nabi Muhammad Saw.
Bait Bagian keduapuluh Empat
- Menceritakan silsilah Susuhunan Jati dari pihak ibu. Susuhunan Ampel Denta ayah Susuhunan Bonang yang berasal dari Cempa adalah uak Syarif Hidayat, sedangkan Pangeran Cakrabuana adalah uak dari ibunya [Nyai Rara Santang] karena keduanya adalah putra Prabu Siliwangi.
- Adapun Nyai Subang Larang [ibu Lara Santang] yang lahir pada 1404 adalah putri Patih Singapura, Ki Ageng Tapa dari istri Nyai Ratna Kranjang. Nyai Ratna Kranjang adalah putri Ki Ageng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang dukuh wilayah Wanagiri. Pada usia 14 tahun, oleh uaknya Nyai Lara Ruda-istri Ki Dampu Awang-ia dibawa ke Malaka selama dua tahun. Ketika kembali ke pulau Jawa, ia berguru kepada Syekh Kuro di Kerawang selama dua tahun. Pada 1422 ,Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siliwangi di Singapura yang letaknya di sebelah utara Gunung Amparan Jati. Setahun kemudian, ia melahirkan Raden Walangsungsang (1423), Nyai Lara Santang (1426), dan Raja Sengara (1428). Pada 1440, Nyai Subang Larang meninggal di keraton Pakwan. Setahun setelah Nyai Subang Larang wafat, pada 1442, Raden Walangsungsang meninggalkan keraton Pakwan dan tinggal di Kebon Pesisir.
- Pada 1448, Syarif Hidayat dilahirkan di Mekah, dan setahun kemudian (1449), lahirlah adiknya, Syarif Arifin atau Syarif Nurullah. Pada 1470, Syarif Hidayat tiba di Cirebon, dan setahun kemudian menikah dengan Nyai Babadan di Babadan. Nyai Babadan meninggal pada 1477, dan tidak sempat mempunyai anak. Setahun kemudian (1478) , Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Pakungwati, putri uaknya. Pada 1481, Syarif Hidayat menikah dengan Ong-Tien yang meninggal pada 1488. Dengan putri Ong-Tien ini,Syarif Hidayat mempunyai seorang putra yang meninggal ketika baru lahir di Luragung.
- Pada 1475, Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Kawunganten dan berputra dua orang; Ratu Winaon (1477) yang kemudian menjadi istri Pangeran Raja Laut, dan Pangeran Sabangkingkin (1478) yang kemudian berkuasa mewakili ayahnya sebagai Sultan di Banten pada 1552 dengan gelar Pangeran Hasanudin.
- Pangeran Pasarean menjadi Dipati Cirebon pada 1528 atas nama ayahnya ketika Syarif Hidayat sedang berkeliling tanah Sunda menyebarkan agama Islam. Pangeran Pasarean yang di lahirkan pada 1495 adalah putra kedua Syarif Hidayat dari istri Nyai Tepasari, Putri Ki Gedang Tepasan dari Majapahit. Putra pertama dari perkawinannya itu adalah seorang putri bernama Ratu Ayu yang lahir pada 1493.
- Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor pada 1511, namun Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia pada 1521 dengan tidak berputra. Kemudian Ratu Ayu bersuamikan Padhillah pada 1524, dari perkawinan itu, Ratu Ayu mempunyai seorang putri bernama Wanawati Raras yang lahir pada 1525.
- Pangeran Pasarean beristrikan Ratu Nyawa, putri Raden Patah, janda dari Pangeran Gung Anom. Dari perkawinan itu, lahirlah enam orang putra; Pangeran Kesatriyan yang lahir pada 1516, Pangeran Losari (1518).
SEJARAH CIREBON VERSI NASKAH KLAYAN
Pada 1979, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah menerbitkan naskah Babad Cirebon hasil alih aksara yang dilakukan oleh S.Z. Hadisutjipto.
Naskah Babad Cirebon yang dialih aksarakan oleh Hadisutjipto adalah milik Taryadi Tjokrodipuro--seorang perwira menengah ABRI asal Magelang yang telah menetap di Jalan Klayan 65 Cirebon sejak 1950-an yang kemudian disebut Naskah Klayan.
RINGKASAN CERITA BABAD CIREBON BERDASARKAN NASKAH KLAYAN (Terdiri dari 43 pupuh)
Bait Pupuh pertama
Dangdanggula, 13 Bait. Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini menceritakan lolosnya Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi yang berkeinginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran berkeinginan untuk berguru agama Nabi Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon. Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama Sang Danuwarsi.
Bait Pupuh Kedua
Kinanti, 24 bait. Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang adik Walangsungsang yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama nabi yang menyusul kakaknya hingga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari, Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran.
Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela.
Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi.
Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi yang juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang Geulis. Sesuai dengan petunuk Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup. Indang Geulis dan Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.
Bait Pupuh Ketiga
Asmarandana, 16 bait. Di bukit Ciangkup tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang Naga, Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah menjadi Kyai Sangkan, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua.
Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.
Bait Pupuh Keempat
Megatru,26 bait. Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”.
Raja Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kepada Walangsunsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pusaka. Di dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati.
Bait Pupuh Kelima
Balakbak, 16 bait. Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan Nabi Muhammad dari Jenal Ngabidin.
Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di "masukkan" ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan sebutan Ki Cakrabumi.
Bait Pupuh Keenam
Menggalang, 13 bait. Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan kesaktian Golok Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya bekerja membabat hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan.
Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada disana.
Bait Pupuh Ketujuh
Sinom, 24 bait. Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Walangsungsang mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Rarasantang. Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan disarankan agar Walangsungsan beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di Mekah.
Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang baru ditinggal mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari seorang wanita yang parasnya serupa benar dengan almarhumah permaisurinya.
Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum, Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang diinginkan rajanya. Akhirnya, ia pergi ke Mekah pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang berjalan beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang, dan Rarasantang. Sang Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut penglihatannya, Rarasantang mirip sekali dengan almarhumah permaisuri Mesir.
Patih Raja Uttara meminta Rarasantang utuk menjadi istri Raja Uttara di Bani Israil. Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan mas kawin sebuah sorban peningglan Nabi Muhammad SAW.
Bait Pupuh kedelapan
Asmarandana, 13 bait. Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan suaminya yang bermaksud mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru satu hari Raja Uttara berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan tak tertolong lagi. Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke Mesir untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.
Pupuh kesembilan
Sinom, 15 bait. Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh suaminya, serta kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan Rarasantang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan.
Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan Walangsunsang tengah bercakap-cakap tentang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam perbincangan itu, Syekh Bayan berkeinginan untuk turut serta ke pulau Jawa. Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman meminta agar Syekh Bayan bersabar dahulu karena Abdul Iman ingin berkelana mengelilingi daerah Mekah hingga ke desa-desa. Tetapi, ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama. Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata belum kembali juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat sendiri dari pelabuhan Julda ( Jeddah ) menuju Cirebon.
Bait Pupuh Kesepuluh
Maskumambang, 13 bait. Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya meninggalkan Mekah menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah setelah melakukan pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan kesaktiannya, Abdul Iman segera melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan menyamar sebagai pencari ikan.
Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang pencari ikan. Ia bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh Datuk Kahfi. Syekh Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak menjawab pertanyaan syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa jika Syekh Bayan ingin menjadi orang yang mulia dan menjadi wali, tunggulah syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah.
Bait Pupuh Kesebelas
Dangdanggula, 12 bait. Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan, sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak ada, dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke Pandanjalmi.
Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrinya dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gunung Jati, serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan, berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”.
Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya yang bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari, yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan.
Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif Hidayat. Tersebutlah Rarasantang di Mesir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak pertama diberi nama Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin. Ketika mereka sudah berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat, segala macam kitab agama ia baca hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang tertulis dengan tinta emas.
Bait Pupuh Kedua belas
Sinom, 21 bait. Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing Mukhamad (jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah kepada Muhammad), Syarif Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat yang tertera dalam buku itu. Namun, dalam setiap tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi, ulatana sira guguru Mukhamad (Hai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku, jika engkau ingin menjadi manusia mulia sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan bergurulah kepada Muhammad). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian, hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk. Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan, membaca shalawat nabi, dan mengucapkan taubat. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini. Di sana, ia bertemu dengan Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti ( Mardada ) menemui pertapa di sana.
Pulau Mardada dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha mendapatkan cincin Mulikat yang berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki cincin Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil cincin tersebut.
Bait Pupuh Ketiga belas
Kinanti, 30 bait. Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi Sulaeman seolah-olah hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya. Syekh Nataullah mencoba merebut cincin tersebut, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Surandil.
Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan Syarif Hidayat. Sudah sepuluh tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu berdoa agar anaknya mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya : wondening anakira iku, waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara brangta, amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa, lamon arep ya pinanggi (Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa). Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi.
Cerita kembali ke Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia melihat sebuah kendi berisi air sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu mempersilahkan Syarif Hidayat meminumnya. Karena ia hanya menghabiskan setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap.
Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah. Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampeldenta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa.
Bait Pupuh Keempat belas
Sinom, 28 bait. Suatu ketika, Nabi Aliyas (Ilyas) menyamar sebagai seorang wanita pembawa roti. Ia menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah roti sorga, dan barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris, dan Turki. Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari Muhammad ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir yang dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Abdul Sapari memberinya dua butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh Syarif Hidayat dan terasa manis sekali, sementara sebuah lagi disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika. Abdul Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubungan mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit. Dalam perjalanan mikraj, pertama kali ia sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan kuat beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit keempat, ia bertemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain, Malaikat Jibril memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari. Di langit kelima, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa. Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Syekh Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang.
Bait Pupuh Kelima belas
Kinanti, 26 bait. Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal. Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi karena di dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an, puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi, Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi kalimat syahadat dan perbedaannya dengan zikir satari. Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Syarif Hidayat lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan kembali ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam.
Bait Pupuh Keenam belas
Sinom, 27 bait. Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan. Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat denga nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.
Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah muncul lagi sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama Pangeran Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan bergelar Sunan Sasmita. Dengan perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat ke mana sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya di Gunung Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Kamarullah yang bergelar Syekh Ampeldenta.
Saat itu, Syekh Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya agar dengan sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran Kendal disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi pantai, dan Pangeran Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah murid-muridnya pergi, datanglah Syarif Hidayat. Lalu, keduanya mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta, pergilah Syarif Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal dari Mekah.
Bait Pupuh ketujuh belas
Amarandana, 48 bait. Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama menjadi Pajarakan. Tetapi, saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jagung atau Syekh Majagung, atau Ki Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki Dares tengah bersenandung seraya memahat enau, datanglah Syarif Hidayat. Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan mengubahnya menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya. Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul.
Lalu, Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang sedang bertapa membisu—siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata. Seperti halnya ketika bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat menjelaskan sekelumit ilmu kepada Pangeran Kendal dan menganjurkan supaya pergi ke Cirebon. Giliran selanjutnya mendatangi Pangeran Makdum yang sedang bertapa denga tidur di pantai serta pergi ke Madura menemui Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui Syekh Ampel di Gunung Muria.
Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih beragama Budha. Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya datang, ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat kemudian meneruskan perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling sedang melarung jenazah ayahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja Keling kemudian dimandikan dan dikubur. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mesir.
Bait Pupuh kedelapan belas
Dangdanggula, 25 bait. Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya, Syarif Arifin, untuk memangku jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai ulama. Ia hanya meminta kepada adiknya seorang kemenakannya yang bernama Pulunggana untuk diajak berkelana. Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi pamannya, Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina.
Raja Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum yang jath cinta kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak pulang ke Pulau Jawa, Ratna Gandum berniat mengikutinya, tetapi dilarang oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan akhirnya melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di Pulau Jawa dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati semakin ramai sebagai pusat agama islam.
Tersebutlah Nyi Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempuan bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik. Berita tentang wali yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati mengingatkan Indang Geulis akan pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap pegi ke Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula, ia membawa kendaga yang ditinggalkan suaminya.
Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di Gunung jati, terlebih dahulu telah datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta beserta murid-muridnya. Tujuan utamanya adalah membicarakan penyerangan terhadap negara Majapahit yang masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan rencana itu. Menyusul kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan kendaga kepada Syarif Hidayat yang ternyata isinya sorban dan surat dari uaknya, Walangsungsang. Akhirnya, Syarif Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara ( kota) Cirebon yang dimulai dengan pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan nama istana Pakungwati.
Bait Pupuh Kesembilan belas
Asmarandana, 18 bait. Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam cerita Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban, Suryadiwangsa. Ia adalah anak tunggal yang telah menjadi yatim piatu sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya adalah Nurkamal. Ia bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari, ia membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh rakyatnya. Sedekahnya dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da para pelaku perbuatan maksiat, semuanya boleh ikut menghabiskan hartanya.
Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis ketika Nurkamal harus menyelenggarakan selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada Patih Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten sudah digadaikan. Itu berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi, dan ia berniat untuk bersedekah di pasar. Di pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan. Akhirnya, ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal :
Pertama, jangan suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada Adipati Urawan.
Bait Pupuh kedua puluh
Pangkur 26 bait,Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di ajak berburu ke hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di istana. Durakman di suruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera menyusul suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu, mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak senonoh kepada dirinya.
Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada Patih Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika tidak, Patih Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan menjelaskan pada istrinya –Dewi Srigading--bahwa Durakman akan di bunuh oleh Patih Judipati. Dalam perjalanan, Durakman bertemu dengan Raden Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan. Di tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri.
Raden Turna tidak sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia mengambil surat untuk ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih Judipati menuruti isi surat itu : kepala anaknya segera ia penggal dan Raden Turna meninggal seketika. Tidak lama kemudian, Durakhman tiba di rumah Patih Judipati yang menyatakan diutus sang Adipati untuk mengambil mayat Raden Turna.
Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang membawa mayatTurna. Durakman lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di negeri Diriliwungan.
Bait Pupuh kedua puluh satu
Dangdanggendis, 25 bait. Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya.
Di malam hari, ketika akan tidur Durakman teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu Diriliwungan merasa kesal dan sangat lelah sehingga akhirnya tertidur, sementara Durakman hanya duduk termangu.Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng--di kemudian hari, keris ini menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal. Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul.
Adapun Durakman melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta yang mengetahui bahwa tamunya merupakan calon wali penutup tidak berani menerima sembahnya, bahkan mengajar pun ia tidak berani. Ia hanya memberi petunjuk jalan k
Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung Gajah hendak pergi ke Cirebon mencari guru agama Islam bersama-sama istrinya, Nyi Mukena. Suami-istri itu berjalan melewati hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta brguru kepadanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar tubuh Lokajaya bersih dari segala dosa.
Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton Majapahit, Raja Brawijaya sedang menerima kedatangan dua orang putranya dari Palembang : Raden Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi Adipati Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan diharapkan kelak akan menjadi raja.
Bait Pupuh kedua puluh dua
Sinom, 9 bait. Raden Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi adipati. Ia pun pergi ke Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru kepadanya.
Dalam pada itu, sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban berjatuhan dihajar oleh Adipati Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani melawa Adipati Terung. Barangsiapa dapat mengalahkan Majapahit, ia akan diangkat menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk menyerang Majapahit. Ia lalu diangkat menjadi Adipati Bintaro, sekaligus menjadi senopati.
Bait Pupuh kedua puluh tiga
Kinanti, 14 bait. Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke hutan Japura untuk menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti mati dan beratnya seringan kapas. Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui roh Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat kesempurnaan dan bergelar Sunan Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares menganjurkan agar Sunan Kali mencari Sunan Jati.
Syarif Hidayat yang sudah mengetahui kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatangan tamunya dengan menyamar sebagai seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak menyampaikan sesuatu kepada Syarif Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruhnya menunggu di pintu gerbang istana. Setelah meninggalkan tamunya di pintu gerbang, Syarif Hidayat langsung berangkat ke Pajajaran.
Bait Pupuh kedua puluh empat
Sinom, 14 bait. Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati. Dicertakan bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua putranya meninggalkan istana, bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa malu kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam.
Syarif Hidayat yang datang kemudian menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembunyi di hutan seperti harimau. Seketika itu juga, orang-orang Pajajaran berubah menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di cabut, mereka belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana diminta pulang ke Cirebon menghadiri pertemuan para wali. Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh Bentong yang sebenarnya adalah putra Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di kenal dengan nama Jaka Tarub.
Bait Pupuh keduapuluh lima
Kinanti, 28 bait. Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan, yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia bertapa memati raga. Pada suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat datang menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan karena asyiknya berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat, seketika terciptalah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong. Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan kembali bebeknya. Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya dianjurkan supaya pergi ke Cirebon.
Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa tidur sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa lelah berdiri, ia pun duduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon terdapat sebuah tempat yang dinamakan Lemahwungkuk
Syarif Hidayat yang kemudian datang menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di sembarang tempat karena pelajaran akan diberikan di tepi sebuah sungai, dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri untuk menghitung ilmu. Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.
Bait Pupuh kedua puluh enam
Balakbak, 22 bait. Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang menasehatinya agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal sebuah pisau. Ketika Durakhman tengah bertapa, tangannya mencoret-coret tanah membuat gambar-gambar yang tersusun menjadi sebuah cerita wayang. Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa.
Ternyata, pertapa itu adalah seorang raja zaman Budha bernama Konteya Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum bernama Samiaji. Dialah yang dulu memiliki azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan seluruh cerita wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia menyerahkan Surat Kalimasada yang selama dipegangnya belum pernah ia baca karena tidak dapat membaca apa yang tertulis didalamnya. Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma. Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati memancarkan sembilan cahaya.
Bait Pupuh keduapuluh tujuh
Durma, 33 bait. Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena Brawijaya berniat menyerahkan tahta kepadanya. Adipati Terung berusaha mencari Raden Patah sampai ke bonang, tetapi Raden Patah tidak mau pergi ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus memaksa, sementara Raden Patah tetap bertahan. Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang diharapkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak mampu melawan pasukan Majapahit.
Bait Pupuh kedua puluh delapan
Pangkur, 11 bait. Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang. Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. Demikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang.
Bait Pupuh kedua puluh sembilan
Dangdanggula, 17 bait. Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan lamanya. Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.
Bait Pupuh ketiga puluh
Sinom, 22 bait. Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di Tunjungbang.
Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka sepakat untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak untuk merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah.
Sementara itu, durakhman yang telah menyelesaikan tapanya di Gunung Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja para wali meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia beranjak pergi, terdengar suara mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama kemudian, keluar teko serta cangkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.
Bait Pupuh ketiga puluh satu
Asmaranda, 19 bait. Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung Jati baru kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta kota Mekah untuk dijadikan contoh pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon. Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali.
Menurut kitab tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton; Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga bergelar Suhunan Adi.
Pada kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar sampai ke gunung Dieng—mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera datang ke Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia menerima sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.
Bait Pupuh ketiga puluh dua
Sinom, 18 bait. Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun belajar agama islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya hanya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.
Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati yang berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan bau busuk. Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.
Bait Pupuh ketiga puluh tiga.
Kinanti, 38 bait. Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan. Nyi Panguragan atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang siapa yang mampu mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang akan menjadi suaminya. Melalui sayembara itu, banyak orang yang ingin tampil untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan Gandasari. Tetapi, tak seorangpun yang dapat mengalahkannya hingga datanglah seorang satria dari negeri Syam bernama Pangeran Magelung.
Dinamai Pangeran Magelung karena rambutnya digelung karena sejak kecil hingga dewasa tidak ada pisau cukur yang mempan untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cirebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di Karanggetas, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang mampu memotong rambutnya hanya dengan jari tangan. Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Sunan Jati.
Bait Pupuh ketiga puluh empat
Dangdanggula, 14 bait. Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari. Namun, mereka berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kecuali kelak di akhir zaman. Menurut kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tidak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di Pulau Kuntul (Bangau). Sekarang, pulau bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau Karas atau di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori.
Dalam pada itu, para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus—sering berkumpul untuk membicarakan syareat Rasul, usul fikh, serta kitab Fakulwahab.
Bait Pupuh ketiga puluh lima
Menggalang, 17 bait. Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang Keraton Cirebon. Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para ponggawanya, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel,
Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna membicarakan negara Cirebon di bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut mengambil keputusan, yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka diri, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem Ciamis, Dalem Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah persiapan selesai, pasukan Galuh segera berangkat menuju Cirebon.
Bait Pupuh ketigapuluh enam
Sinom, 8 bait. Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di perjalanan. Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng Kemuning sangat rindu pada Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga dan Anggasura, serta para mantri.
Bait Pupuh ketiga puluh tujuh
Dangdanggula, 15 bait. Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan pasukan Galuh. Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke Cirebon—saat para wali masih berkumpul untuk membangun masjid dan mendiskusikan agama Islam.
Bait Pupuh ketiga puluh delapan
Asmaranda, 13 bait. Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera dilangsungkan di Demak. Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang mengabarkan adanya pasukan Galuh yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap berangkat ke Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang segera mengatur barisannya di Gunug Gundul.
Bait Pupuh ketiga puluh sembilan
Durma, 24 bait. Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki kekuatan pasukan Galuh. Ia pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki Anggarunting bertemu dengan Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan Kuningan terdesak. Arya Kemuning maju membantu yang membuat barisan Palimanan berantakan. Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning yang bernama Wisnu.
Bait Pupuh keempat puluh
Asmarandana, 10 bait. Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai seekor gajah terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini dihadapi oleh Dalem Kuningan.
Bait Pupuh kempat puluh satu
Pangkur, 27 bait. Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan dipati Kiban yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama sekali. Meskipun sudah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya mereka berlaga, dorong mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-duanya tercebur ke laut dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya lenyap, kedua belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya masing-masing.
Bait Pupuh keempat puluh dua
Sinom, 18 bait. Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk membantu pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak menyetujuinya. Ki Kuwu Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan seperti orang linglung. Ia pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan akhirnya tafakur disana. Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan keadaan peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning bersama Dalem Kiban. Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur di lautan.
Kemudian pihak Cirebon menyusun bala bantuan dan segera diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan Patih Keling. Dalam pertempuran lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda terdesak hebat oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan Galuh tak terlawan oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari mengundurkan diri.
Bait Pupuh keempat puluh tiga
Pangkur, 10 bait. Pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap bertafakur di gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului kehendak kemenakannya, Sunan Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang berasal dari sebatang pohon randu yang isinya menyatakan bahwa ia telah dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu pasukan Cirebon yang sedang terdesak.
Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan langsung menuju medan pertempuran. Ia mendengar suara di angkasa yang menantang Sunan Jati. Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng, kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu membuntuti.
Selesai.
Sejarah Cirebon Versi KH. Mahmud Rais Martapada
(Terdiri dari 9 dan Jilid 1 yang dibahas dan bahasan Selanjutnya)
Jilid Pertama
Setiap jilid dimulai dengan :” Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahi robbil ‘alamin wassolatu wassalamu ala asrofilmursalin, sayyidina muhammadin wa ala alihi wa ashabihi wa ajwajihi waddurriyyatihi wa ahli baiti ajmain, amma ba’du”.
Jilid pertama buku ini bercerita tentang pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Ratu Subang Keranjang serta kisah perjalanan Walangsungsang dan Rarasantang mencari hakikat agama Islama. Adapun ringkasan ceritanya sebagai berikut :
Di desa Kerawang ada seorang guru ngaji ahli quro (pandai membaca kitab suci Al Qur’an) yang berasal dari negeri Cempa, dan dikenal dengan sebutan Syekh Quro, keturunan Syekh Zainal Abidin, dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Syekh Quro mempunyai seorang murid wanita bernama Nyi Mas Ratu Subang Keranjang, putri seorang Sultan Malaka Singapura.
Prabu Sliwangi mengutus patihnya untuk melamar Nyi Mas Ratu Subang Keranjang untuk dijadikan permaisuri. Ia ternyata bersedia menjadi permaisuri dengan syarat Prabu Siliwangi sendiri yang datang melamar. Persyaratan ini dipenuhi oleh sang Patih, dan suatu ketika Prabu Siliwangi datang sendiri ke Karawang.
Nyi Mas Ratu Subang Keranjang bersedia menjadi permaisuri dengan syarat, mas kawinnya sebuah kalung yang berangkaikan bintang kerti(tasbih). Keinginan ini dipenuhi oleh Prabu Siliwangi. Lalu, ia berangkat ke Mekah dan bertemu dengan seorang wali yang memegang tasbih yang sedang dicarinya. Ia bermaksud meminta tasbih itu. Sang wali tidak begitu saja menyerahkan tasbihnya kecuali apabila Prabu Siliwangi bersedia membaca dua kalimat syahadat. Prabu Siliwangi bersedia melakukannya. Prabu Siliwangi yang telah memeluk agama islam menikah dengan Nyi Mas Subang Keranjang dan dikaruniai tiga orang putra, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Ayu Rarasantang, dan Rada Jaka Sengsara.
Setelah menginjak remaja, Walangsungsang dan Rarasantanag berguru agama islam di pesantren Syekh Quro di Karawang bekas ibunya berguru. Syekh Quro mengajarkan bahwa barang siapa yang suka membaca solawat tafrijah sebanyak seribu kali setiap malam selam 40 malam berturut-turut, insya Allah orang itu akan dapat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.
Ketika kembali ke istana kerajaan Pajajaran, Walangsungsang mengamalka apa yang diajarkan oleh gurunya denga membaca solawat tafrijiyah. Pada malam terakhir membaca solawat, ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan berpesan agar terus mempelajari agama islam karena tidak ada kemuliaan bagi orang yang tidak beragama islam. Ia kemudian menceritakan mimpi dan pesan yang diperolehnya kepada ayahnya. Prabu Siliwangi yang telah kembali ke agama nenek moyangnya menentang pernyataan Walangsungsang, bahwa tidak ada agama yang lebih baik selain daripada agamanya, karena agamanya adalah agama pusaka, agama turunan dari nenek moyang. Setelah terjadi perselisihan pendapat, akhirnya Walangsungsang diusir dari keraton. Dengan kesedihan yang mendalam, ia pergi meninggalkan keraton menuju ke arah tenggara dengan tujuan Gunung Merapi, suatu tempat yang dikunjungi pertama kalinya untuk mempelajari agama Islam.
Sementara itu, pada suatu malam Rarasantang sedang membaca solawat tafrijiyah, iapun bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan kalimat syahadat dan berpesan untuk menyusul kakaknya. Rarasantang memenuhi “pesan”Nabi Muhammad yang disampaikan dalam mimpinya, pagi hari itu juga ia keluar dari keraton menuju ke arah selatan. Di gunung Tangkuban Perahu, ia bertemu dengan seorang perempuan tua yang bernama Nyi Endang Sukati.
Nyi Endang Sukati berpesan agar Rarsantang berangkat menuju Argaliwung untuk menemui Ki Ajar Sakti. Ni Endang Sukati kemudian memberi hadiah benda pusaka berupa baju bernama Hawa Mulia, khasiatnya apabila baju itu dikenakan ketika berjalan, kaki tidak akan menyentuh tanah, bisa berjalan di atas air, serta tidak akan terbakar jika terkena api. Dengan menggunakan baju pusaka, ia dapat berjalan lebih cepat dari angin. Ketika tiba di Argaliwung, disitu sudah menunggu Ki ajar Sakti yang menyarankan agar ia pergi ke gunung Merapi, untuk menemui Walangsungsang yang telah menikah dengan Nyi Endang Ayu, putri Sang Hyang Danuwarsih. Setelah mendapat petunjuk Ki Ajar Sakti, Rarasantang segera menuju Gunung Merapi dan bertemu dengan kakaknya di sana.
Cerita ini diselingi dengan menceritakan keadaan keraton Pajajaran sepeninggal Walangsungsang dan Rarasantang. Nyi Mas Subang Keranjang sangat bersedih hati ditinggal oleh kedua putranya. Prabu siliwangi kemudian memerintahkan seluruh ponggawa untuk mencarinya, disertai ancaman apabila mereka kembali dengan tangan hampa akan dihukum mati.
Di Gunung Merapi, Sang Hyang Danuwarsih yang mengetahui bahwa maksud kedatangan Walangsungsang adalah untuk mencari agama Islam, sementara ia sendiri tidak dapat memberikan keterangan tentang agama islam dengan baik, ia hanya dapat memberikan empat macam benda : sebuah cincin bernama cincin Ampal yang dapat mengetahui segala sesuatu yang gaib, merawat segala macam benda dengan selamat, dan dapat mencapai segala maksud, sebuah baju Kamemayan yang berguna apabila baju itu dipakai, pemakainya tidak akan kelihatan oleh orang lain dan dapat menggagalkan maksud jahat, sebuah baju Pengabaran yang dapat menimbulkan keberanian dalam menghadapi musuh, dan sebuah baju Pengasihan yang membuat pemakainyadisenangi oleh semua orang. Setelah memberikan keempat benda pusaka tersebut, Sang Hyang Danuwarsih menyarnkan agar Walangsungsang pergi menemui Sang Hyang Nago yang berada di Gunung Ciangkui.
Walangsungsang bersama adik dan istrinya, segera pergi menuju gunung Ciangkui. Disana, ia bertemu dengan Sang Hyang Nago yang memberi keterangan bahwa sebenarnya ia sendiri belum mendapatkan agama Islam, nanti sebentar lagi agama itu akan tampak bahkan Walangsungsang sendiri yang akan mendapatkan dan mengembangkan ajaran agama tersebut. Lalu, Sang Hyang Nago memberikan beberapa ilmu kepada Walangsungsang untuk membantu mengembangkan agama Islam, yakni ilmu Kadewan untuk memperteguh keagamaan dan tidak dapat melupakannya; ilmu Kapilisan, agar disegani dan dikasihi oleh seluruh mahluk; ilmu Keteguhan, agar teguh, kebal dan kuat; ilmu Pengikutan yang dapat mempengaruhi segala mahluk; dan golok Cabang, yang berguna untuk menghancurkan segala macam benda. Setelah memberikan berbagai ilmu dan sebuah benda pusaka, Sang Hyang Nago menyarankan agar Walangsungsang pergi ke Gunung Numbang menemui Sang Hyang Naga.
Di tempat Sang Hyang Naga, Walangsungsang diberi beberapa ilmu, yakni ilmu Kesakten(Kesaktian), ilmu Aji Tri Murti, ilmu berbuat baik, ilmu Limunan yang dapat bersembunyi di dalam terang, dan ilmu Aji Dwipa yang dapat mengetahui semua pembicaraan orang, serta beberapa buah benda pusaka, yakni Baju Waring apabila dipakai pemakainya bisa terbang, Teropong Waring apabila dipakai bisa menghilang, Umbul-umbul Waring untuk memperoleh harta benda dengan baik, dan Batok Bolu untuk dijadikan Badong (ikat pinggang). Selanjutnya, Sang Hyang Naga menyarankan agar Walangsungsang pergi ke Gunung Cangak untuk menemui Ratu Bangau.
Walangsungsang kemudian pergi ke Gunung Cangak (di desa Mundu, lima kilo meter sebelah timur kota Cirebon). Disini, ia melihat sebuah pohon besar yang dipenuhi oleh burung bangau dan ia berkeinginan untuk menangkapnya. Kemudian ia memakai baju dan topong waring lalu membuat bubu (perangkap) yang diisi oleh ikan deleg, lalu dipasang diatas pohon. Tidak lama kemudian, datanglah seekor burung bangau besar sekali hendak mematuk ikan di dalam bubu. Seketika itu juga, Walangsungsang segera menangkap burung bangau tersebut dan diancam dengan Golok Cabang. Burung bangau itu ternyata dapat berbicara, ia berkata bahwa ia dapat menunjukkan agama Islam dan akan memberi hadiah, jika dilepaskan dan tidak dibunuh. Setelah melepaskan burung bangau, tiba-tiba di sekelilingnya tampak sebuah istana yang rajanya adalah burung bangau yang telah berubah wujud menjadi seorang raja. Walangsungsang kemudian diberi tiga macam azimat, yakni panjang (sebuah piring berukuran besar), apabila ditengkurapkan akan keluar nasi kebuli beserta lauk pauknya, pendil (tempat menanak nasi); apabila diisi nasi di dalamnya, tidak akan pernah habis, dan bareng (gong kecil); apabila dipukul akan keluar sepuluh ribu prajurit, dan disarankan untuk menemui Syekh Nurjati yang berada di Gunung Jati.
Walangsungsang segera berangkat menuju Gunung Jati. Disana, ia bertemu dengan Syekh Nurjati yang mengajarkan membaca syahadat dengan arti dan maksudnya secara mendalam.
Jilid pertama buku ini ditutup dengan kalimat tammat; wallahu’alam bishowab, serta sebuah pesan yang berbunyi; apabila engkau berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau orang yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah sebuah doa yang artinya :
“Wahai Tuhan, Engkau yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang rendah dan lemah yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan pertolongan-Mu. Wahai Tuhan tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti Engkau menundukkan firaun terhadap Nabi Musa As. Lunakkanlah hatinya seperti Engkau telah melunakkan besi terhadap Nabi Daud As. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu melainkan dengan seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu, dan hatinya ada dalam kekuasaan-Mu. Agunglah pemuji terhadap-Mu, Wahai Zat yang lebih belas kasihan”
Sosok Nyi Mas Rara Santang Dan Perannya Bagi Kesuksesan Sunan Gunung Jati
Nyai Subang Larang meninggal tahun 1440 M, dan pada tahun 1442 Raden Walangsungsang keluar dari keraton Pakuan. Ketika masih berada di Keraton Pakuan, pada usia menginjak remaja, Walangsungsang dan Rara Santang berguru pada Syekh Qura, keturunan Syekh Moh. Yusuf Sodiq, keturunan Syekh Zaenal Abidin, keturunan Nabi Muhammad SAW. Ibu Rara Santang – Nyi Mas Ratu Subang Keranjang- juga belajar agama kepada Syekh Qura. Syekh Qura memberi pelajaran tentang manfaat membaca solawat tafrijiyah sebanyak seribu kali setiap malam selama 40 malam berturut-turut, insyaallah orang akan dapat bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Setelah pulang ke istana kerajaan Pajajaran, Walangsungsang mengamalkannya. Pada malam terakhir membaca salawat, Walangsungsang bermimpi bertemu nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad berpesan agar terus belajar agama Islam, karena tidak ada kemuliaan selain Walangsungsang pergi ke luar istana mendalami Islam. Walangsungsang akhirnya melapor tentang kejadian mimpinya kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi. Akan tetapi, Prabu Siliwangi tidak berkenan dengan penuturan anaknya, dan terjadilah perselisihan antara keduanya.
Raden Walangsungsang meninggalkan keraton ayahnya dan mengembara pada tahun 1442. Kepergiannya menuju ke tengan hutan, dan sampai ke pondok Ki Gedeng Danuwarsi seorang
pendeta Budhaprawa. Setelah beberapa lama tinggal di pondong Ki Danuwarsi, Raden Walangsungsang menikahi putrinya bernama Indang Geulis
Pada suatu malam, Rara Santang melakukan hal yang sama, membaca salawat tafrijiyah dan mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi berpesan agar Rara Santang pergi dari
keraton menyusul kakaknya Walangsungsang. Pagi harinya Nyi Rara Sntang menyusul meninggalkan keraton pergi ke arah selatan,. Di Gunung Tangkuban perahu, Rara Santang bertemu dengan seorang perempuan bernama Nyi Endang Sukati.
Jika di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton ayahnya dikarenakan mendapat petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar menyusul kakanya melalui mimpi, maka di dalam buku Carub Kanda yang ditulis tahun 1260 H/1844 M dan dinukil Dadan Wildan (2003: 76-77), diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton dikarenakan Rara Santang sangat bersedih hati karena ditinggal pergi oleh kakaknya Walangsungsang. Setiap hari meratap hingga tidak tahan dan pergi dari istana Pakuan Pajajaran.
Ketika perjalanannya sampai ke Gunung Tangkuban Perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Saketi, ia diberi pakaian sakti sehingga bisa berjalan dengan cepat. Rara Santang diberi nama nama Nini Benting oleh Nyai Ajar Saketi dan diberi petunjuk ke Gunung
Cilawung menemui seorang pertapa. Pertapa ini bernama Ajar Cilawung, dan ia memberi nama Rara Santang menjadi Nini Eling.
Nini Eling meramal Rara Santang bahwa ia kelak akan melahirkan seorang anak yang bisa menaklukkan langit dan bumi, dikasihi Tuhan, an menjadi pemimpin para wali. Nini Eling selanjutnya diberi petunjuk agar pergi ke Gunung Merapi.
Agak berbeda dengan cerita dalam buku Carub Kanda, buku Sejarah Cirebon yang ditulis Haji Mahmud Rais menceritakan bahwa nama orang sakti yang ditemui Rara Santang di Gunung Tangkuban Perahu bukan bernama Nyai Ajar Sekati, tetapi Nyai Endang Sukati. Nyai Endang Sukati kemudian menyuruh Rara Santang pergi ke Argaliwung untuk bertemu Ki Ajar Sekti.
Nyi Endang Sukati berpesan agar Rara Santang pergi ke arah Argaliwung untuk menemui Ki Ajar Sekti. Nyi Endang Sukati memberi pusaka berupa pakaian bernama hawa mulia. Pakaian
itu jika dipakai berjalan, kaki tidak akan menyentuh tanah, bisa berjalan di atas air, tidk akan terbakar jika terkena api, bisa berjalan lebih cepat dari angin. Pada saat tiba di Angaliwung, Ki Ajar Sekti sudah menunggu dan menyarankan agar berangkat lagi ke gunung merapi untuk menemui Walangsungsang yang telah meikah dengan Nyi Endang Ayu, putri Sang Hyang Danuwarsih. Rara Santang menuruti petunjuk Ki Ajar Sekti dan berangkat ke Gunung Merapi dan bertemu dengan kakaknya.
Pada buku (Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais) diceritakan bahwa, ketika Walangsungsang dan Rara Santang pergi meninggalkan Keraton, ibundanya, ’Nyi Subang Karanjang’ sangat bersedih. Hal tersebut artinya menunjukkan bahwa ’Nyi Subang Karanjang’ masih hidup, sementara pada buku CPCN diceritakan sudah mati. Informasi yang mana sebenarnya yang benar, hal ini perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu, pada buku CPCN (1720 M)12 diceritakan bahwa yang memberi nama Ki Samadullah pada Walangsungsang adalah Syekh Nurjati, tetapi pada buku Carub Kanda (1260 H./1844 M), Sang Hyang Danuwarsi memberi nama Walangsungsang Samadullahi.
Perjalanan berikutnya, Rara Santang menyusul kakaknya di kediaman Sang Hyang Danuwarsi. Sang Hyang Danuwarsi menyuruh Walangsungsang, Rara Santang, dan Nyi Endang Ayu untuk pergi menuntut agama Islam. Danuwarsi memberi bekal empat macam benda pusaka, yakni:
1. Sebuah cincin bernama cincin Ampal. Cincin ini jika digunakan, maka pemakainya dapat mengetaui hal-hal yang gaib, merawat segala macam benda dengan selamat, dan cita-cita
bisa terkabul.
2. Sebuah baju kamemayan, jika baju dipakai, yang memakai tidak kelihatan oleh orang lain dan dapat menggagalkan maksud jahat dari orang lain.
3. Baju pengabaran, jika dapakai dapat menimbulkan keberanian menghadapi musush
4. Baju pengasihan, jika dipakai akan disukai oleh orang lain13. Setelah memberi baju pusaka ini Danuwarsi menyarankan Walangsungsang dan istrinya beserta Rara Santang untuk
berangkat menemui Sang Hyang Nago di gunung Ciangkui. Dari Sang Hyang Nago, Walangsungsang dan Rara Santang diberi ilmu:
1. Kadewan, ilmu ini untuk memperkuat keagamaan dan tidak dapat melupakannya
2. Kapilisan, ilmu ini bisa membuat seseorang disegani dan dikasihani seluruh makhluk
3. Kateguhan, ilmu untuk keteguhan, kekebalan, kekuatan
4. Pengikutan, ilmu untuk mempengaruhi segala makhluk
5. Golok Cabang, untuk menghancurkan segala macam benda
Setelah memberi berbagai ilmu dan benda pusaka ini, Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang berangkat ke Gunung Numbang untuk menemui Sang Hyang Naga. Ketiganya bertemu Sang Hyang Naga, mereka diberi ilmu: Ilmu Kesakten (kesaktian), Ilmu Aji Trimurti, Ilmu berbuat baik, Ilmu Limunan yang dapat bersembunyi di dalam terang, Ilmu Aji Dwip, untuk mengetahui semua pembicaraan orang. Beberapa benda pusaka: Baju waring, untuk bisa terbang, topong waring, untuk bisa menghilang, umbul-umbul waring, untuk memperoleh harta halal, batok bolu, untuk ikat pinggang.
Pada buku Sejarah Cirebon ini Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang beserta istri dan adiknya untuk menemui Sang Hyang Naga di Gunung Numbang, tetapi di dalam buku Carub Kanda diterangkan ketiganya disuruh menemui seorang pertapa tua bernama Nagagini di Gunung Kumbing. Sang Hyang Naga atau Nagagini ini memberi nama Walangsungsang ’Krakadullah’. Selanjutnya, Sang Hyang Naga (nama yang tertera dalam buku Sejarah Cirebon) menyarankan Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang untuk menemui Ratu Bangau di gunung Cangak.
Gunung Cangak ini sekarang berlokasi sekitaR daerah Mundu, lima kilometer sebelah Timur Kota Cirebon. Walangsungsang dan adiknya diberi tiga azimat:
1. Panjang, berupa sebuah piring besar, jika ditengkurepkan akan keluar nasi kebuli dan lauk pauknya
2. Pendil, sebuah tungku untuk menanak nasi, jika diisi nasi di dalamnya tidak akan pernah habis
3. Bareng, sebuah gong berukuran kecil, jika dipukul akan keluar sepuluh ribu prajurit.
Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, Walngsungsang diberi nama Raden Kuncung oleh Sang Hyang Bangau. Setelah diberi ilmu oleh Sang Hyang Bangau, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang disarankan untuk menemui Syekh Nurjati di Gunung Jati. Setelah bertemu Syekh Nurjati, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang di dituntun untuk membaca syahadat, dan diberi pemahaman tentang arti dan maksudnya secara mendalam Pelajaran yang diterima dari syekh nurjati dapat dirinci sebagai berikut :
Firman Allah: Ya ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (Wahai orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara kafah). Syekh Nurjati mejelaskan kandungan ajaran Islam yang pokok, yakni mengenai Shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmu-ilmu keduniaan dan keakhiratan (syari’at, hakikat, ma’rifat).
Syekh Nurjati juga menjelaskan pada Rara Santang dan Walangsungsang mengenai makna dan hikmah perjalanan dalam mencari agama Islam. Pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsi serta pemberian cicin ampal dan beberapa baju mengandung arti dan hikmah bahwa, keduanya akan bertemu dengan para alim ulama dan para ambiya. Kata ampal dari ’cincin ampal’ berasal dari kata fa’ti bimaa anfaan nassar (suruhan untuk berusaha kearah apa
yang membawa manfaat bagi manusia). Azimat ilmu kadewan dari Sang Hyang Nago memiliki makna, kadewan diambil dari kata dewaa uddiini (obatnya agama). Artinya, seseorang yang mengaku beragama memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu agar memiliki ilmu. Ilmu kapilisan dari Sang Hyang Nago memiliki arti, kapilisan dari kata falaesa lil insaani nis-yaanudz dzikri, suatu anjuran agar manusia senantiasa mengingat Allah SWT. Ilmu kateguhan berasal dari kata falaysalil goniyi bahilurr, artinya tidak pantas bagi orang yang kaya berlaku kikir. Golok cabang diambil dari kata khulikho lisab’ati asyyaa-a, artinya jika seseorang ingin mendapatkan apa yang dicita-citakan harus menerima ketetapan 7 anggota badan.
Ilmu limunan yang bisa bersembunyi di dalam terang, artinya jangan memiliki sifat ingin benar sendiri. Ilmu at titi murti, dari kata fa’ati bimaa umirta, artinya lakukanlah segala perintah kebaikan. Azimat topong waring (jika dipakai tidak bisa dilihat orang lain), artinya, jika rahasia keburukan tidak ingin diketahui orang lain, maka harus mengucap ud’u lillahi ’ala jami’annasi bittaqwa, artinya ajaklah semua orang untuk berbuat takwa kepada Allah. Pusaka baju waring, jika digunakan bisa terbang bertuliskan qolbul khosi’imabruurun, artimya hati seseorang yang khusu, serius, konsentrasi bisa diterima oleh Allah. Pada umbulumbul waringterdapat tulisan ”hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja”.
Panjang dari Ratu Bangau bermakna, bahwa dalam bersyiar Islam kelak, akan dibantu oleh para wali. Pendil merupakan petunjuk ke arah jalan menuju agama yang lurus. Bareng, bermakna segala perbuatan harus berdasar pada tiga perkara, yakni syari’at, tarikat, hakikat.
Setelah berguru ke Syekh Nurjati selama tiga tahun dan dianggap cukup, Walangsungsungsang dan Rara Santang pergi naik haji ke Mekah. Ketika di Mekah, Ki Cakrabuana dan Nyi Rara Santang berguru agama Islam ke Syekh Abulyazid.
Rara Santang Membuka Padukuhan Kebon Pasisir Bersama Walangsungsang
Walangsungsang dan istrinya, serta Rara Santang, dianggap sudah mumpuni dalam pelajaran dasar agama Islam dan disarankan mendirikan padukuhan baru di Kebon Pesisir, Lemah Wungkuk (tegal alang-alang). Pada saat membuka padukuhan ini Raden Walangsungsang diberi gelar oleh gurunya Ki Samadullah. Di sinilah Ki Samadullah beserta isteri dan adiknya Nyi Rara Santang, menidirikan Tajug (di Jalagrahan sekarang) dan membuat Gubug. Pedukuhan Kebon Pesisir terletak di arah selatan Gunung Jati. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pangalangalang. Ketika tiba di tempat ini Ki Samadullah mengucap lamma waqo’itu (ketika saya telah tiba), dan ucapan ini mengabadi menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pangalangalang menyambut mereka dan menganggapnya sebagai anak.
Aktifitas yang dilakukan Rara Santang dan Ki Samadullah dalam kehidupan sehari-hari ketika membuka padukuhan baru adalah, di siang hari Ki Samadullah membabad hutan, di malam hari mencari ikan di tepi laut. Sementara, istri dan adiknya (Rara Santang) bekerja menumbuk rebon (udang kecil) dibuat terasi. Perkampungan yang dibuat Ki Samadullah beserta istri dan
adiknya makin lama makin besar dan dinamai ’Gerage’ . Padukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng alang-alang. Ki Samadullah dipilih mejadi pemimpin padukuhan (kuwu) yang II23
Pada buku lain diceritakan bahwa, pada saat Rara Santang bersama kakak dan istrinya mendirikan padukuhan di Kebon Pesisir, mereka tinggal bersama Ki Danu Sela dan istrinya.
Dukuh baru di Cirebon ini didirikan pada tahun 1445 M. Mereka membuat rumah pertama dan disebut "Witana".
Setelah sukses mendirikan padukuhan baru, Nyi Mas Rara Santang dan Pangeran Walasungsang Cakrabuana dianjurkan pergi haji oleh Syekh Datuk Kahfi. Akan tetapi tanpa disertai Nyi Endang Ayu karena sedang mengandung.
Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, Cakrabuana membuka hutan dengan menggunakan golok cabang, sehingga sangat cepat selesai. Para penghuni Kebon pesisir ini memberi nama Cakrabumi/Cakrabuana dengan sebutan Kuwu Sangkan Kebon.
Daerah Kebon Pesisir makin lama makin ramai dan diberi nama Caruban. Ki Gedeng Alang-alang sebagai salah satu pendatang di padukuhan Kebon Pesisir akhirnya menjadi mertua
Ki Samadullah. Oleh Masyarakat, Ki Gedeng Alang-alang dipilih menjadi Kuwu, dan Ki Samadullah menjadi Pangraksabumi dengan gelar Ki Cakrabuana.
Masa Menikah
Menjalankan pesan gurunya, Syekh Nurjati, Walangsungsang dan Rara Santang pergi haji dengan menumpang perahu. Syekh Nurjati menyarankan agar keduanya menemui Syekh Ibrahim di Campa terlebih dahulu. Di Campa, keduanya mendapat wejangan dari Syekh Ibrahim dan diutus menyampaikan dua pucuk surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Rara Santang dan Walangsungsang sampai di Mekah malam Jum’at, 25 Rajab. Keduanya mendatangi Syekh Bayan dan Syekh Abdullah untuk menyampaikan surat dari Syekh Ibrahim Di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diterangkan bahwa orang yang melamar Rara Santang bukan bernama Sultan Abdullah, tetapi Sultan Iskak dan dilamar di rumah Syekh Bayan. Dengan perundingan yang disepakati kedua belah pihak, Rara Santang dan Abdullah Iskak, maka lamaran diterima. Pernikahan dilangsungkan di kerajaan Bani Israil, disaksikan oleh Syekh Bayan, Abdullah Iman (sang kakak), ulama-ulama, dan para pembesar kerajaan.
Dalam buku Babad Cerbon terbitan Brandes yang di nukil Dadan Wildan diterangkan bahwa Qodi Jamaluddin yang diutus Raja Bani Israel untuk mencarikan istri, melihat perempuan yang mirip dengan istri Raja Bani Israel yang telah meninggal. Perempuan tersebut berasal dari Pajajaran yang pergi haji bersama saudara laki-lakinya, dan tinggal di Baitul Muqodas. Sang Raja segera mengutus Qodi untuk mengundangnya ke Istana untuk diberi berbagai hadiah. Dengan rasa yang tidak menentu perempuan yang bernama Rara Santang dan Walangsungsang tersebut mengabulkan undangan Raja. Pada pertemuan itu, Raja meminang Rara Sntang untuk menjadi istrinya. Singkat cerita, buku ini juga menerangkan bahwa akhirnya Rara Santang menerima pinangan Sang Raja Bani Israel tersebut. Perbedaannya dengan keterangan buku CPCN dan buku Sejarah Cirebon, Rara Santang diundang Sang Raja ke istana untuk menerima hadiah, dan ternyata bukan untuk menerima hadiah, tetapi untuk dipinang. Perbedaan lain, dalam buku Babad Cerbon terbitan Brndes ini diterangkan secara detail bahwa di pesta pernikahan Rara Santang dan Walangsungsang dihadiri oleh para imam seperti Imam Syafi’i, Hambali. Maliki, dan Imam Hanifah.
Nyi Rara Santang mau dilamar oleh raja tersebut dan bersedia menikah dengan syarat, apabila kelak melahirkan putra lelaki, maka harus pulang ke tanah leluhur untuk berdakwah Islamiah dan menjadi wali di Pulau Jawa, dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Raja Bani Israil
Di negeri Bani Israil dua tahun kemudian, Syarifah Mudaim melahirkan seorang putra lagi, diberi nama Syarif Nurullah. Tidak lama setelah kelahiran putra keduanya, suaminya meninggal dunia. Rara Santang membesarkan ke tiga anaknya tanpa suaminya hingga anak-anaknya dewasa. Setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, ia ingin menjadi guru agama Islam dan berangkat ke Mekah. Di Mekah Syarif Hidayat belajar kepada Syekh Tajuddin Al Kubri selama 2 tahun, kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili pengikut Imam Syafi’i 2 tahun, kemudian pergi ke Bagdad belajar tasawuf. Setelah selesai menuntut ilmu di Bagdad, Syarif Hidayat kembali ke Mesir. Syarif Hidayat tidak ingin menjadi raja, oleh karenanya, kedudukan sebagai raja diserahkan pada adiknya Syarif Nurullah.
Nyi Mas Rara Santang dan Raja Syarif Abdullah berputra Syekh Syarif Hidayatullah, Syekh Nurullah,.Syekh Syarif Hidayatullah kelak menjadi anggota Wali Sanga di Pulau Jawa dan terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, sekaligus menjadi khalifah di Caruban Nagari. Sementara Syekh Narullah menjadi Raja di Mesir, menggantikan ayahnya Raja Syarif Abdullah. Berjalan seiring waktu, setelah Syarif Hidayat dewasa, ia berpamitan pada ibundanya, Rara Santang’ untuk pergi mencari Nabi Muhammad. Kepergian tersebut telah memakan waktu sepuluh tahun sehingga Rara Santang dirundung kerinduan pada putranya. Rara Santang selalu berdoa agar anaknya selamat dilindungi Tuhan. Dalam mimpinya, Rara Santang mendengar suara :
”Anakmu yang muda itu akan menjadi Raja, keratonnya di Bani Israel, bergelar Abdul Syapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarif Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa”
Rara Santang kembali ke Pulau Jawa dan bertemu dengan Syekh Nurjati yang memberinya nama Babu Dampul. Pada saat berikutnya diceritakan dalam Carub Kanda bahwa Syarif Hidayat pergi ke Gunung Jati menemui ibundanya. Pada saat menemui tersebut ibundanya telah menjadi seorang pertapa perempuan yang bernama Babu Dampul. Nyi Mas Rara Santang / Sarifah Mudaim/ Babu Dampul menghabiskan masa hayatnya, menjadi perempuan utama, dan setelah meninggal dikebumikan di pemakaman Gunung Sembung, di dalam gedung paling atas.
Posisi makam perempuan utama ’Sarifah Mudaim’ tersebut terletak pada urutan keempat, dari arah sebelah Barat ke Timur. Urutan pertama Nyai Gedeng Tepasan, kedua, Susuhunan Jati, ketiga, Ratu Bagus Pase/Padhillah, keempat, Saripah Mudaim, kelima, Nyai Gedeng Sembung/Nyai Ageng Sampang/Nyai Gede Kancingan / iitri Susuhunan Jati yang tidak berputra.
Peran Rara Santang Bagi Sunan Gunung Jati
Rara Santang sangat besar perannya dalam mendidik, mengarahkan, dan mendukung putra-putranya untuk mempelajari dan mensyiarkan agama Islam. Peran tersebut bahkan sudah dilakukan sejak sebelum menerima pinangan Sultan Abdullah dari Mesir. Rara Santang berkenan menerima pinangan Sultan Abdullah dengan syarat, jika putranya sudah dewasa kelak, hendaknya diijinkan untuk pulang ke tanah Jawa untuk mensyiarkan ajaran Islam di Jawa. Apa yang diminta Rara Santang dikabulkan oleh Sultan dan pinangan tersebut diterima. Rara Santang sangat teliti dan tekun mengajarkan nilai-nilai Islam kepada putra-putranya.
Banyak mutiara nasihat yang berharga bagi anak cucunya kelak. Di antara jasa-jasanya dalam mengembangkan ajaran Islam adalah dengan mendidik anak-anaknya agar menjalankan dan
mensyiarkan ajaran Islam. Nasihat-nasihatnya antara lain :
"Engkau kuizinkan pergi anakku, akan tetapi berhati-hatilah. Aku bekali engkau uang seribu dinar dan tasbih peninggalan ayahmu, lumayan untuk penolak bala. Juga bawalah serta para pengawal".
Sang anak pun menjawab : "Baiklah ibu, akan tetapi mengenai pengawal seorang pun tidak akan kubawa, akan tetapi pemberian uang seribu dinar itu akan kubawa, barangkali menemui halangan atau kekurangan. Ibu, ananda mohon nasihat untuk menghadapi hidup yang akan kujalani ini"
Sang ibu berkata dengan lembut:
"He anak isun gusti, sira aja malas kacung ya ingkang ngebattebat. Kacung aluku kang bedami, lawan aja turu yen ora arip, lawan sira aja mangan yen ora katekan ngelih, lawan aja nginum sira yen ora katekan garing.Iku kang telu perkawis, ya lakunana kacung lawan aja sumakeyan ingkang iku ora becik. Ingkang becik ana diri ing manusa. Datan bathi wong takabur, yaiku temahe dhoip. Balik pasraha ing Allah, tur kuat temahe dadi. Sira nyawa kang sun puji, anemua giri sarku tasik legi".
(Anakku terkasih, dalam hidup ini janganlah kamu berlebihan. Anakku, utamakanlah berdamai. Janganlah tidur kalau tidak mengantuk, dan janganlah makan kalau tidak lapar, dan janganlah minum kalau tidak haus, itulah tiga perkara yang harus kau ingat. Janganlah angkuh, karena hal itu tidak baik, dan berbuatlah selalu kebaikan kepada sesama manusia. Tak ada untungnya engkau takabur, karena itu mengakibatkan kelemahan. Serahkanlah kepada Allah sehingga kesudahannya engkau akan menjadi kuat. Engkau kekasih yang ku puja, carilah gunung kebahagiaan dan danau kenikmatan".
Selesai menerima nasihat Sarif Hidayat lalu bersimpuh di pangkuan ibundanya. Setelah mejalani usia senja, Nyi Mas Rara Santang dijemput kembali ke Caruban Nagari hingga wafatnya. Beliau dimakamkan di Jinem Gunung Sembung.
Simpulan
Nyi Mas Rara Santang adalah sosok putri raja Pakuan Pajajaran –Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Keranjang- yang sejak kecil gigih mendalami agama Islam. Sejak remaja, bersama kakaknya Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang telah belajar agama Islam ke Syekh Qura di Kerawang. Hal yang sulit dilakukan mengingat ayahandanya adalah seorang raja yang beragama Budha. Berkat ibundanya yang sangat kuat beragama Islam, dan senantiasa mendidik ajaran Islam, maka Nyi Mas Rara Santang pun sangat gigih mencari agama Islam.
Ketika keluar dari keraton untuk menyusul kakaknya, Rara Santang berjuang dan banyak mengalami kesulitan di perjalanan. Keluar dan masuk hutan ia alami. Dalam perjalanan menyusul kakaknya tersebut, banyak bertemu dengan guru yang memberinya ilmu, yaitu Nyi Endang Saketi, Sang Hyang Danuwarsi di mana kakaknya telah lebih dulu berada dan menjadi menantu Ki Danu Warsi. Setelah itu melanjutkan mencari agama Islam bersama kakak dan isterinya menuju Amparan Jati untuk berguru ke Syekh Nurjati. Akan tetapi, di perjalanan bertemu dengan Sang Hyang Naga, Sang Hyang Nago, dan Ratu Bangau di sekitar daerah Mundu sekarang. Dari semua tokoh-tokoh penting ini Rara Santang dan kakanya mendapatkan ilmu dari mereka.
Setelah melakukan perjalanan panjang tersebut, maka akhirnya sampailah di Amparan Jati menemui Syekh Nurjati dan berguru agama Islam ke padanya. Syekh Nurjati segera menuntun Rara Santang dan Walangsungsang untuk mengucapkan kalimah syahadah, seklipun keduanya telah memeluk Islam sejak kecil.
Rincian ajaran yang diberikan Syekh Nurjati adalah; mengenai shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmu-ilmu keduniaan dan keakhiratan (syari’at, hakikat, ma’rifat).
Setelah dirasa cukup dalam mendalami ajaran Islam, Syekh Nurjati menyarankan pada Rara Santang dan Walangsungsang untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Pada saat menjalankan ibadah haji ini Rara Santang menemukan jodohnya, Raja Bani Israil, dan menikah di negeri Mesir. Dari Pernikahan ini melahirkan dua orang Pputra, yakni Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati) dan sultan Nurullah. Sultan Nurullah melanjutkan memerintah kerajaan ayahandanya
Rara Santang berperan penting dalam mensukseskan putranya sehingga menjadi seorang waliyullah yang sangat termasyhur namanya. Sejak menerima pinangan dari Raja Mesir, Sultan Abdullah, Rara Santang telah menyampaikan cita-citanya pada calon suaminya agar anaknya kelak diperbolehkan menjadi seorang ulama di tanah Jawa. Cita-cita itupun diwujudkan oleh Rara Santang dengan mendidik anaknya, memberi restu menuntut ilmu dengan menemui Nabi Muhammad melalui khalwatnya di Mekah hingga puluhan tahun tidak bertemu dengan anknya. Rara Santang juga memberi restu pada Syarif Hidayat ketika akan pergi ke tanah Jawa, hingga Rara Santang menyusulnya.***
CIREBON GIRANG
Eksistensi Cirebon Girang didalam buku “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” diceritakan mulai dikenal sejak abad ke 15 M. Keberadaannnya tidak dapat dilepaskan pula dari eksistensi Indraprahasta dan Wanagiri. Konon Wanagiri pada masa silam pernah menjadi bawahan Indraprahasta, lebih tepat jika merupakan gabungan dari Indraprahasta dan Wanagiri, mengingat keduanya sudah dikenal dan disebut-sebut pada masa Purnawarman bertahta di Tarumanagara. Indraprahasta pasca Purnawarman dikenal memiliki pasukan yang loyal terhadap Tarumanagara, bahkan berperan penting ketika Wisnuwarman menumpas pemberontakan Cakrawarman. Sedangkan Wanagiri pasca dikuasai Cakrawarman disebut-sebut dijadikan sebagai basis penting dari Cakrawarman. Sayang, referensi tentang Wanagiri sangat kurang dibandingkan kadaton lainnya. Penyatuan Indraprahasta dengan Wanagiri pasca dibumi hanguskannya Indraprahasta oleh Sanjaya (Maharaja Sunda – Galuh, yang kemudian menjadi raja di Pulau Jawa), karena Indraprahasta dianggap pendukung penting dari kekuatan pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena, ayah Sanjaya dari tahtanya (selanjutnya baca : pisuna di Galuh). Kaitan Indraprahasta didalam pemberontakan ini karena raja Padmahariwangsa, raja Indraprahasta mempunyai putri sulung (Citrakirana) dipersunting oleh Purbasora (Galuh). Anak kedua diberi nama Wirata, dikemudian hari bertahta sebagai raja Indraprahasta ke-14. Sedangkan putri bungsunya bernama Gangga Kirana dipersunting oleh Adipati Kusala raja Wanagiri, bawahan Indraprahasta.
Pasca penghancuran Indraprahasta dan terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu sudah menjadi bawahan Galuh. Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 – 1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat. Sang Bunisora dikenal pula sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya, yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.
Sang Bunisora dari permaisuri diantaranya memperoleh putera, diantaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung diwilayah tersebut dengan gelar Sri Mangana. Cirebon Girang sekarang hanya tinggal sebuha nama desa yang terletak di Cirebon Selatan yang terletak di kec.Talun.
BERDIRINYA KERAJAAN CIREBON
Berdirinya Kerajaan Cirebon Menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh Penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran) dan di pelabuahn ini juga terlihat aktivitas Agama Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat baru di Lemahwungkuk, 5 kilometer arah selatan mendekati kaki bukit menuju Kerajaan Galuh, sebagai kepala pemukiman baru tersebut diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cirebon.
Pada perkembangan berikutnya, Pangeran Walang Sungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon untuk menumbangkan Adipati Cirebon, namun Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang. Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya kerajaan Islam Cirebon dengan Pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai Asia Tenggara. (Dikutip dari jabarbps.go.id)
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.(dikutip dari www.kabcirebon.go.id) untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Bahan Bacaan :
- Nina H. Lubis. ed, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.
- Rintisan Penelusuran Masa Silan Sejarah Jawa Barat
- Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar. Geger Sunten
- wikipedia.org : Kesultanan Cirebon
Tidak ada komentar
Posting Komentar