Alhamdulillah...
Silaturahmi Ke Padepokan Sinatria Sunda di Solear dan Ziarah ke makam Pangeran Soeriadiwangsa II / Rd. Kartajiwa sekalian pendataan situs leluhur Sumedang Larang di Banten, total sudah terdata ada 178 situs seperti abah Koeswara informasikan. Pendataan ke makam Soeriadiwangsa II merupakan awal kegiatan penyelamatan dan pelestarian Situs yang dilakukan oleh MCKN Jabar bekerjasama dengan MCKN Tangerang.
Kunjungan Dewan Kawargian Keraton Sumedang Larang/Ketua Presedium MCKN Provinsi Jawa Barat. NR Rulany Indra Gartika Rusady Wirahaditenaya (Bunda Uly), ke Beberapa Makam Keramat Trah Raja Sumedang Larang di Provinsi Banten. Seperti diketahui di Provinsi Banten ada 178 makam Trah Raja Sumedang Larang yang sudah terdata di Tanggerang Banten (21/6/2020)
Semoga kegiatan ini bisa menjadi kegiatan rutin yang akan terus di laksanakan oleh KSL dan MCKN Provinsi Jawa Barat demikian Beliau memberikan sedikit sambutan dalam momentum acara tersebut..
Makam Rd. Kartadjiwa di Solear, Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang |
Makam Raden Kartadjiwa atau Pangeran Soeriadiwangsa 2 berlokasi, Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang.
Siapa Raden Kartajiwa dan apa dilakukan selama di Banten? kita ulas sebagai berikut :
Setelah Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1601, Prabu Geusan Ulun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada dua putra mahkota yaitu Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan Pangeran Rangga Gede.
Awalnya wilayah kerajaan Sumedanglarang dibagi dua, wilayah pertama diperintah oleh Pangeran Rangga Gede putera sulung dari Ratu Tjukang Gedeng Waru pusat kotanya terletak di Canukur namun tak lama dan beralih ke daerah Paseh Pangrumasan dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa ibukotanya di Tegalkalong Sumedang, puteranya Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon.
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun terjadi beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan. Hal ini terjadi berkait dengan semakin menguatnya Kesultanan Mataram.
Mengenai semakin menguatnya Kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut, pada tahun 1614 Masehi, VOC mengirim utusan ke Mataram, yang waktu itu diperintah oleh Sultan Agung antara 1613-1645, putera Sultan Seda Ing Krapyak antara 1602-1613. Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi yaitu klaim bahwa seluruh wilayah Priangan kecuali Banten dan Cirebon berada dibawah kekuasaannya.
Meskipun pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu tidak membuat Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol 1 dan Pangeran Rangga Gede takluk dibawah kekuasaan Mataram. Jika tidak memposisikan diri sebagai kerajaan bawahan, Pangeran Aria Soeriadiwangsa khawatir Kesultanan Mataram akan menyerangnya. Itulah antara lain yang mendorong Pangeran Aria Soeriadiwangsa atas kemauan sendiri pada tahun 1620 datang ke Mataram menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram.
Kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa ini disambut baik oleh Sultan Agung. Konon, karena ketulusan hati Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang mengakui hegemoni Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Aria Soeriadiwangsa dinamai “Prayangan” yang berarti “tulus-ikhlas”; selanjutnya menjadi Priangan.
Penghargaan atas kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram, Sultan Agung memberi gelar Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, selanjutnya lebih popular dengan sebutan Rangga Gempol 1. Status Sumedang pun berubah, tidak lagi sebagai Kerajaan, tapi sebagai Keadipatian yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol pun tidak lagi sebagai Raja, tapi sebagai Adipati. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Kerajaan Sumedang Larang diberi status sebagai wilayah Kabupatian yang masing-masing dipimpin oleh seorang Adipati.
Akan tetapi posisi Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, selain sebagai bupati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai kordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana. Selang empat tahun setelah pengakuan hegemoni, pada tahun 1624 Masehi.
Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, Madura. Berangkatlah beliau dengan membawa pasukan yang banyak. Oleh karena pada masa Adipati Rangga Gede berkuasa, Sumedang kekurangan pasukan.
Setibanya di wilayah Sampang Madura ada enam kerajaan kecil yang harus ditaklukan, tiga kerajaan kerajaan yang ditaklukam secara damai, karena setelah Pangeran Aria Soeriadiwangsa berkomuniasi dengan Adipati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan Adipati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda. Oleh karena itu, Adipati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Pangeran Aria Soeriadiwangsa, namun tiga kerajaan kecil lainnya yang harus ditaklukan dengan bantuan kerajaan yang telah secara damai dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.
Atas keberhasilan ini, Sultan Mataram sangat gembira dan berterima kasih kepada Pangeran Aria Soeriadiwangsa. Sebagai penghargaan atas jasanya, Sultan Agung meminta Pangeran Aria Soeriadiwangsa untuk tinggal di Mataram. Pangeran Aria Soeriadiwangsa, beserta beberapa anggota pasukannya tinggal di suatu kampung, yang sampai sekarang disebut Kasumedangan, termasuk desa Bembem.
Namun apa yang terjadi sekembalinya dari Madura dan menetap di Bembem, Adipati Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol 1 malah dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung karena fitnah Bupati Purbalingga.
Ada suatu silib atau sindiran dari keturunan Soeriadiwangsa dari generasi ke generasi yang memfiitnah Pangeran Aria Soeriadiwangsa dari Mataram tersebut disindirkan dengan istilah "Burung Beo".
Raden Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol 1, pun kemudian dimakamkan di Mataram pada tahun 1624 Masehi. Beliau dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda, yaitu : di Lempuyanganwangi dekat stasiun Kereta Api Lempuyangan, di Kotagede dan di Imogiri.
Sewaktu Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berangkat ke Sampang Madura, pemerintahan Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede, putra pertama Geusan Ulun dari Ratu Tjukang Gedeng Waru.
Tidak dijelaskan dalam sejarah, mengapa kekuasaan itu tidak dibagi dua lagi dan diserahkan kepada putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang bernama Raden Kartawijaya atau Raden Kartadjiwa sering disebut dalam sejarah Raden Soeriadiwangsa 2, atau kemungkinan ketika itu Raden Kartadijwa atau Sooeriadiwangsa 2 belum cukup umur dan cakap memimpin suatu wilayah. Dan apalagi Pangeran Aria Rangga Gede adalah pamannya walaupun berlainan ibu dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.
Di atas sudah disebutkan bahwa ketika Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol 1, mengemban tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, tugas pemeritahan di Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede. Dengan demikian, Sumedang yang sempat terbagi dua kembali disatukan di bawah bupati Pangeran Rangga Gede. Selama Pangeran Rangga Gede menjadi bupati terjadi beberapa peristiwa penting, diantaranya adalah Raden Kartadjiwa atau Soeriadiwangsa 2, meminta bantuan Kesultanan Banten untuk penyerangan ke Sumedang dan penyerangan Mataram ke Batavia.
Raden Kartadjiwa atau Soeriadiwangsa 2, putera Pangeran Aria Soeriadiwangsa merasa kecewa karena dalam pandangannya yang berhak mewarisi kekuasaan di Kabupaten adalah dirinya. Yang terjadi malah kekuasaan itu diberikan kepada Dipati Rangga Gede. Akan tetapi, Pangeran Aria Dipati Rangga Gede memiliki alasan sendiri atas tindakannya itu. merasa bahwa hak mewarisi kekuasaan dari Prabu Geusan Ulun, karena Dipati Rangga Gede adalah putra mahkota dari Prabu Geusan Ulun dari isteri pertama yaitu Ratu Tjukang Gedeng Waru, sedangkan ibunya Adipati Aria Soeriadiwangsa yaitu Ratu Harisbaya adalah istri kedua Prabu Geusan Ulun, oleh karena yang lebih berhak memperolehnya adalah Pangeran Rangga Gede. Kalaupun pada akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa menjadi Adipati, itu semata-mata karena kebaikan Pangeran Geusan Ulun yang memperlakukannya, karena kecintaannya kepada Ratu Harisbaya.
Terhadap kenyataan historis seperti itu, tampaknya, tidak begitu dihiraukan oleh Raden Kartadjiwa atau Soeriadiwangsa 2, untuk menebus kekecewaanya itu Raden Kartadjiwa meminta bantuan Banten supaya merebut kekuasaan dari Pangeran Rangga Gede. Atas permintaan itu pihak Banten menyambut dan menyanggupinya.
Sikap Kesultanan Banten seperti itu bisa dipahami. Kesultanan Banten memiliki maksud tersendiri kepada Sumedang, karena Kesultanan Banten merasa berhak menguasai Sumedang setelah Kesultanan Banten menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Untuk mewujudkan rencananya itu, Kesultanan Banten tidak langsung menyerang Sumedang. Akan tetapi terlebih dahulu pasukan Banten menyerang daerah-daerah di sebelah utaranya yaitu Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Padahal daerah-daerah tersebut sudah diklaim oleh Kesultanan Mataram sebagai bagian dari wilayahnya.
Maksud kesultanan Banten menyerang daerah-daerah itu terlebih dahulu karena dua target, selain bisa menaklukkan Sumedang juga bisa merebut kembali Batavia (yang ketika masih bernama Jayakarta adalah milik Banten).
Raden Kartadjiwa atau Soeriadiwangsa 2 berdasarkan sejarah Keariaan Tanggerang mendapat dukungan dari Raden Aria Jaya Santika dan Raden Aria Wangsakara, namun karena tidak mendapatkan tanggapan dari Adipati Rangga Gede, hingga akhirnya hijrah dari Sumedangdan meminta bantuan kepada Sultan Banten waktu itu, begitu juga Raden Aria Wangsakara atau Wiraraja 2 dan Aria Jaya Santika, ikut dengan Raden Kartadjiwa. Sesampai di Banten akhirnya meminta ijin membuka lahan di wilayah Kesultanan Banten yang sekarang disebut Tigaraksa. Yang diangkat menjadi pemimpinya adalah Raden Kartadjiwa menjadi Kadipatian di Tigaraksa, sedangkan Aria Wangsakara muka wilayah baru Kadipatian di Lengkong.
Ketika Sultan Agung mengetahui larinya Raden Kartajiwa atau Soeriadiwangsa 2 ke Banten dan Banten bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram. Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Dipati Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggantinya, pangkat bupati wedana diberikan kepada Dipati Ukur.
Bersama-sama dengan pasukan dari Mataram Dipati Ukur diperintah oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerja sama menyebabkan serangan itu gagal. Dalam serangan yang kedua, Dipati Ukur menolak turut serta. Sanksi atas kegagalan serangan yang pertama dan keengganan turut serta dalam seramgan yang kedua membuat penguasa Mataram marah dan memanggil Dipati Ukur untuk mendapatkan hukuman.
Akan tetapi Dipati Ukur tidak memenuhi panggilan itu. Ia tetap tingal di ibu kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang termasuk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung). Dipati Ukur malah menyiapkan pasukannya guna mengantisipasi bila pasukan Mataram menyerangnya. Tindakan Dipati Ukur seperti itu dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Mataram. Hal ini menambah murka Sultan Agung, sehingga Sultan Agung mengirimkan pasukannya untuk menaklukkan Dipati Ukur. Serangan pertama yang dilakukan akhir tahun 1628 ini gagal melumpuhkan Dipati Ukur.
Dalam serangan-serangan berikutnya dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak, maka pada tahun 1632 pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas. Pangeran Rangga Gede menyerahkan Dipati Ukur ke Mataram. Dalam perjalanan pulang kembali ke Sumedang Pangeran Rangga Gede jatuh sakit dan meninggal dunia di Citepus pada tahun 1633. Beliau kemuidan dimakamkan di tepi kali Cipeles Sumedang.
Keberhasilan serangan tersebut tidak lepas dari bantuan Pangeran Rangga Gede. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, Pangeran Rangga Gede dibebaskan dari hukuman, diposisikan kembali sebagai bupati Sumedang dan kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi.
Keturunan Pangeran Soeriadiwangsa
Raden Aria Soeriadiwangsa, putranya Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya menikah dengan Nyi Sulhalimah putranya Santowan Awiluar atau Pangeran Bungsu dan Nyimas Sari Atuhu atau Buyut Eres, putrinya Prabu Raga Mulya Suryakencana atau Panembahan Pulasari dari istrinya Euis Oo Imahu atau Harom Muthida, mempunyai anak :
1.1.15. Rd. Soeriadiwangsa, berputra :
1.1.15.1. Rd. Kartadjiwa (Rd. Soeriadewangsa 2)
1.1.15.2. Rd. Mangoenrana (tidak terdata keturunannya)
1.1.15.3. Rd. Tampangkil (tidak terdata keturunannya)
1.1.15.4. NR. Soemalintang atau N/Rd Ajoemajar atau Rd. Ajoe Soedarsah
1.1.15.5. NR. Moestawiyah diperisteri oleh Penghulu Legok Sumedang. (tidak terdata keturunannya). 1)
1.1.15.6. NR. Mariah atau NR. Gedeng Muda (Murda) diperisteri oleh Rd. Panji Aria R. Panji Aria Jayanegara atau Mas Bongsar (Bupati Imbanagara Ciamis 1636 - 1678 M)
1.1.15.1 Rd. Kartadjiwa
Berdasarkan buku silsilah keluarga: "Naskah Paririmbon Kaariaan Tangerang", berikut catatan dan keturunannya.
Pangeran Rangga Gempol I wafat yang di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rd. Soeriadiwangsa) meninggalkan 5 putera-putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II (Rd. Kartadjiwa), meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede (uwaknya), meskipun Banten memenuhi permintaan Rd. Kartadijwa (Raden Soeriadiwangsa 2) tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 - 1706 M).
Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram.
Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II (1633 - 1656 M) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung.
Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Soeriadiwangsa II). Sumber info http://id.rodovid.org/wk/Orang:860653
Info dari Kangjeng Pangeran Aria Tirtayasa / Raden Tubagus (R.Tb Moggi Norsatya) / Sayyid Syarif Nurfadhil Ba'alawy Al-Husaini, Hidayat : Rd. Kartadjiwa alias Pangeran Soeriadiwangsa 2, berdasar Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang dan sinkron dengan data silsilah keluarga Kesultanan Banten, isteri beliau adalah Nyi Ratu Widari (atau penulisan lain Widuri) binti Pangeran Aria Upapatih bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanudin Banten bin Sunan Gunung Jati Cirebon, jadi bisa disambung silsilahnya.
I. Berdasar sensus silsilah kekerabatan Keluarga Kesultanan Banten akan pihak kerabat di wilayah Teluk Naga Tangerang Banten dengan catatan leluhurnya diketahui bahwa
Rd. Kartadjiwa (Raden Soeriadiwangsa 2), memiliki anak :
1.1.15.1.1. Raden Demang
1.1.15.1.2. Raden Tuan Syeh Huna / Syeik Huna
1.1.15.1.3. Raden Doro Sawangsa
1.1.15.1.4. Raden Doro Mawarsa
1.1.15.1.5. Raden Naya Dikara
1.1.15.1.6. Raden Tanudinata
II. Yang terjaga catatan keturunan keluarga besar ini sampai sekarang pada nama Raden Tanudinata, yang memiliki anak :
1.1.15.1.6.1. Kyai Mas Wetan
1.1.15.1.6.2. Kyai Mas Sageri
1.1.15.1.6.3. Kyai Mas Shodif
1.1.15.1.6.4. Kyai Mas Akhdar
III. Yang terjaga catatan keturunan keluarga besar ini sampai sekarang pada nama Kyai Mas Akhdar, yang memiliki anak :
1.1.15.1.6.4.1. Kyai Mas Ardi
1.1.15.1.6.4.2. Kyai Mas Giri
1.1.15.1.6.4.3. Kyai Mas Mulapan / Mulafan
1.1.15.1.6.4.4. Kyai Mas Suhada
1.1.15.1.6.4.5. Kyai Mas Tanudirja
1.1.15.1.6.4.6. Nyi Mas Una
1.1.15.1.6.4.7. Nyi Mas Atinah
1.1.15.1.6.4.8. Nyi Mas Upi
IV. Kyai Mas Una yang cabang keturunannya ada sampe sekarang. Sementara segitu dulu, karena cabang pecahannya banyak bisa jadi 1 buku silsilah.
Catatan : Jalur-jalur diatas akan dimasukkan di silsilah Pangeran Santri, dan dari Kyai Mas Una juga akan dimasukkan jalur menuju Solihin (Solihin Otreh) sesuai keterangan ybs. 3)
1.1.15.1.6.4.6.1. Rd. Demang
1.1.15.1.6.4.6.2. Rd. Tuan Syeh Huna / Syeikhuna
1.1.15.1.6.4.6.3. Rd. Doro Sawangsa
1.1.15.1.6.4.6.4. Rd. Doro Mawarsa
1.1.15.1.6.4.6.5. Rd. Naya Dikara
1.1.15.1.6.4.6.6. Rd. Tanudinata
1.1.15.2 Rd. Mangoenrana (tidak terdata keturunannya)
1.1.15.3 Rd. Tampangkil (tidak terdata keturunannya)
1.1.15.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah, berputra :
1.1.15.4.1. Sareupeun Manangel
1.1.15.4.2. Sareupeun Cibeuli
1.1.15.4.3. Sareupeun Cihaurbeuti
1.1.15.4.4. Sareupeun Dawagung
1.1.15.4.5. Sareupeun Ciboeni Agoeng
Salam Santun.
Sumber Data :
1. Buku tulisan tangan "Babon Asli Keturunan Sumedang", Musium YPS Sumedang, 1963
2. Buku Jati Sampurna Sumedang.
3. Data "Pdf Descendant Of Pangeran Santri (Koeseomadinta 1)" RWS Puseur Up to Date.
Mau tanya, apakah nyimas mancirang anak dr raden kartadjiwa yg makam nya di luar. Terima kasih
BalasHapus