Terjemahan Kitab Sejarah Peteng Cirebon Bagian Ke 1

Terjemahan Kitab Sejarah Peteng Cirebon bagian 1
Ingatlah wahai yang selama ini lupa agar segera sadar, dan jangan terjerumus ke dalam kelalaian karena akan menjadi bahaya dan raga yang akan menanggung akibat kelalaiannya. Bagaikan bara api yang sudah sirna ia akan menjadi debu yang dingin tanpa panas sama sekali. Selagi para nabi dan wali berkehendak memuja diri dan itu bukanlah menjadi tujuan diri mereka karena akan mendapatkan balasan. Yang baik dalam tulisan sejarah ini harap diperhatikan agar menjadi kaca yang digunkan sebagai cermin masa lalu.


SEJARAH AMPEL BAGAI TETESAN MADU MURNI

DHANGDHANG GULA
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Perkenankanlah kami menceritakan Sejarah Ampel Denta; Rasulullah saw berputra Fatimah, Fatimah berputra Husen, kemudian Husen berputra (h. 1) yang bernama Zaenal Abidin, Zaenal Abidin berputra Zaenal Kabir, Zaenal Kabir berputra Jumadil Kabir, Jumadil Kabir kemudian berputra

Samsu Tamres atau Wiku Mustakim yang menikah dengan seorang putri dari Cempa yang bernanama Rara Sujinah. Kemudian pasangan Samsu Tamres dengan Rara Sujinah melahirkan dua anak laki-laki yang bernama Raden Rahmat dan Raden Aliman. Tidak lama kemudian Raja Cempa meninggal dunia dan digantikan oleh putranya

yang bernama Shoklim menjadi raja Cempa. Adiknya yang bernama Ghalib Hurairah yang selalu dengan Raden Rahmat bersama-sama selamanya di kemudian hari mereka bertiga mendatangi pulau Jawa untuk menemui uwaknya yang menjadi permaisuri Raja Majapahit. Permaisuri Raja Majapahit itu adik dari Rara Sujinah yang bernama Endarwati Kamulyan.

Raden Aliman, Raden Rahmat, dan Ghalib Hurairah ternyata diterima baik oleh (h. 2) Raja Majapahait sehingga mereka bertiga berdiam lama di kerajaan Majapahit. Setelah mereke bertiga berdiam lama di Majapahit akhirnya mengetahi bahwa Raja Majapahit masih memeluk agama Budha. Setelah mengetahui keadaan ini maka mereka bertiga menghadap kepada Raja Majapahit untuk menyampaikan agama Islam dan agar Raja Majapahit mau dengan suka rela untuk memeluk agama Islam. Mendengar ajakan itu Raja Majapahit menolak untuk memeluk agama Islam dan sang raja masih kuat memegang agama Budha, kemudian sang raja berkata:

“Janganlah kamu salah dalam bertindak terhadap orang tua yang sangat baik sekali ini. Agar kalian menjadi besar dan berkembang di Majapahit ini, nanti suatu ketika kalian akan saya nikahkan dengan seorang putri yang sangat cantik dan elok dari Bupati Tuban yang bernama Rara Suteja Nirmala. Rara Suteja Nirmala ini sangat pantas jika dinikahkan dengan Raden Rahmat dan karena Raden Rahmat sangat pantas jika menjadi menantu Aria Tuban.

Adapun Raden Aliman sebaiknya dinikahkan dengan putri Aria Madura, dan adapun Raden Ghalib Hurairah tampaknya sangatlah pantas jika menjadi menantu Ki Aria Beringin yang bernama Rara Manila yang masih bersaudra dengan Rara Fatimah Rara Teja. Kalian bertiga saya perkenankan (h. 3) untuk mengajarkan agama Islam.

Adapun Raden Rahmat sebaiknya mengajarkan agama Islam di Ampel Gading. Raden Aliman mengajarkan agama Islam di Surabaya. Dan adapun Raden Ghalib Hurairah sebaiknya mengajarkan agama Islam di Gresik. Kalian diperbolehkan mengajarkan agama Islam sesukanya dengan membimbing para santri dengan tuntunan yang kuat. Kalian janganlah mencampurkan antara agama dengan drigama.” Ketiga putra Campa itu menyetujui pendapat dan usulan dari Raja Majapahit.

Raden Ghalib Hurairah kemudian berdiam di Gresik dan mendirikan pesantren. Raden Ghalib Hurairah memiliki seorang putri yang bernama Nyi Gedeng Tandawaruh dan seorang putra yang bernama Ki Masyaikh Ghos Ghiyas yang sangat gemar bertapa sehingga sangat disayangi dan dikasihi olehnya, karena Ki Masyaikh Ghos Ghiyas merupakan keturunan dari Samsu Tamres seorang wali yang sangat kuat bertapa hingga sembilan tahun tidak menyentuh wadah garam, menghindari rasa asin.

Raden Aliman bermukim di Surabaya membangun pondok pesantren kemudian memiliki dua orang putra. Putra yang pertama bernama Haji  (h. 4) Usman yaitu yang bergelar Pangeran Karang Kemuning yang tinggal di wilayah Jepara. Putra yang muda bernama Khalifah Husen yang sangat gemar bertapa.

Raden Rahmat bermukim di Ampel Gading hingga mashur namanya disebut dengan julukan Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel memiliki sembilan putra dan putri, yang perempuan bernama Nyahi Gede Pancuran yang berada di wilayah Tuban. Putra yang kedua bernama

Nyi Gedeng Wilis yang menikah dengan Khalifah Nur Raga putra dari Arya Pecat Tanda yang masih kerabat dengan Rara Manila. Putra Sunan Ampel yang ketiga ialah bernama Nyi Gedeng Malaka. Putra keempat laki-laki bernama Makhdum Ibrahim yang kemudian bergelar Sunan Bonang

yang menikah (h. 5) dengan seorang putri bangsawan dari Tuban. Putra kelima Suanan Ampel ialah laki-laki yang bernama Masyaikh Mumat yang kelak bergelar Pangeran Drajat. Putra Sunan Ampel yang keenam dari istri yang lain ialah Raden Mamuta. Putra yang ketujuh ialah seorang laki-laki yang bernama Raden Sya’ban. Putra Sunan Ampel yang kedelapan ialah seorang wanita yang bernama

Nyahi Mindra. Putra yang kesembilan bernama Nyahi Saili yang memilik putri yang bernama Nyahi Aliyin yang tinggal di dalam Masjid yang bertembok keliling. Adapun Nyi Gedeng Pancuran menikah dengan Haji Usman yang tinggal di Karang Kemuning yang ada di wilayah Jepara.

Perkawinan Nyi Gedeng Pancuran dengan Haji Usman mempunyai dua orang putri yang bernama Nyi Pembayun dan Nyi Wuragil. Nyi Pembayun menikah dengan Haji Usman Tayum. Kemudian memilik anak laki-laki yang bernama Sunan Undung. Nyi Wuragi menikah dengan seseorang yang bernama Makhdum Sampang dan memiliki tiga (h. 6) orang anak yang salah satunya bernama Ki Makhdum Langgar.

Kemudian putra yang lain bernama Kiyahi Thoyib dan Nyi Kusuma yang berputra Syekh Abiduddin yang nanti menjadi Kadi di Kesultanan Demak. Adapun Nyi Gedeng Malaka yang menikah dengan Khalifah Husen itu memilik empat orang anak. Anak yang laki-laki bernama Raden Bandar yang menikah dengan Nyi Tulis yang masih kerabat dengan

Masyaikh Khami putra dari Ki Gedeng Wilis memiliki anak perempuan yang bernama Nyi Sariyah yang menikah dengan Sunan Undung. Sunan Undung dan Nyi Sariyah memiliki putra yang bernama Sunan Kudus yang sangat agung dan mulia. Ada salah satu dari anak Nyi Gedeng Malaka yang perempuan yang bernama Nyi Layang yaitu

yang menjadi isteri Sultan Demak Pertama yang bergelar Abdul Fatah. Pernikahan Nyi Layang dan Sultan Demak Raden Fatah mempunyai dua orang putra yaitu (h. 7) Pangeran Sabrang Lor yang menjad Sultan Demak kedua. Anak yang lain dari Raden Fatah dengan Nyi Layang ialah Pangeran Trenggono yang menjadi Sultan Demak ketiga. Begitulah keturunan orang-orang mulia yang bercampuran dengan menikahkan anak-anaknya dengan kerajaan lain terus berkesinambungan hingga zaman ke zaman yang keturunan mencerminkan sebagai keturunan para wali.


S I N O M
Kemudian lagi putra Nyi Gedeng Malaka yang lain ialah seorang perempuan yang bernama Nyi Surah yang menikah dengan seorang lelaki yang bernama Arya Baringin yang akhir yang masih kerabat dekat dengan Tumenggung Wilatikta yang masih adik dari Nyi Ampel Gading. Tumenggung Wilaktikta dinikahkan oleh

Ki Gadung yang maasih saudara seibu dengan Ki Janggan. Ki Gadung itu sama dengan Ki Gindawung yang nantinya bernama Sunan Kalijaga, dan sesungguhnya Ki Janggan adalah ayah dari Sunan Wuria. Hubungan darah mereka saling sambung menyambung dalam kekeluargaan.

Haji Usman memiliki anak-anak dari isteri yang lain sebanyak (h. 8) dua orang putra yang bernama Ki Mudapa dan Ki Hamid. Ki Hamid kemudian mempunyai putra yang bernama Ki Ishak yang berdiam di Jepara. Sementara Ki Hamid sendiri berdiam di karangwidara yang masih berada di wilayah Demak.

Adapun kedua wanita yang bernama Nyi Kamuningsih yang dinikahi oleh Kiyahi Lewi. Kemudian perempuan yang lain yang bernama Nyi Mantingan yang menikah dengan Ki Gadung yang mendapatkan anugerah gelar Nyi Maningan dari Nyi Sunan Kali.

Nyi Maningan dan Nyi Mantingan adalah satu orang yang merupakan seorang putri dari Ki Karang Kemuning putri dari Haji Usman. Akan tetapi ia bukanlah golongan turunan dari Gedeng Panjunan yang keduanya sangat terkenal dikalangan orang-orang Jepara, Nyi Maningan sangat menyukai bermukim di Karang Kemuning yang masih berada di wilayah Jepara. (h. 9)

Karena itulah disebutkan bahwa martabat silsilah Sunan Kalijaga adalah putra Tumenggung Wilatika dari Aria Tuban yang menjadi putra dari Aria Shodik. Aria Shodik putra dari Tejanglaku yang menjadi putra dari  Sedang Kepuh. Sedang Sepuh adalah putra dari Aria Madura. Arya Madura putra adalah putra dari Pandita Kharamsi yang menjadi putra dari Syekh Mudzakir. Syekh Mudzakir adalah putra dari Haji Aswa aI-Saqarnen. Haji Aswa aI-Saqarnen adalah putra dari Bartam Makhfum. Bartam Makhfum putra dari Marrah.

Marrah adalah putra dari Kangab. Kangab putra dari Luwe. Luwe putra dari Ghalib. Ghalib putra dari Qahar. Qahar putra dari Malik yang berasal dari suku Kures yang luhur dan agung. Itulah silsilah martabat keturunan dari (h. 10) Sunan Kalijaga yang sesungguhnya berasal dari bangsa Kures yang sudah lama menetap di Jawa.

Maka disebutkan silsilah martabat dari Sunan Giri yang awal mulanya sesungguhnya masih dari bangsa Hasyim. Hasyim berputra Abdul Muthalib. Abdul Muthalib berputra Abi Thalib. Abi Thalib putra Ali Murtadho.

Ali Murtadho berputra Syamsul Milah. Syamsul Milah berputra Aba Syukri. Aba Syukri berputra Ahmad Quresa. Ahmad Quresa berputra Ahmad. Ahmad berputra Juned al-Bagdadi. Juned al-Bagdadi berputra Syekh Atim. Syekh Atim berputra Sayid Jumadil Awal. Sayid Jumadil Awal  berputra Syekh Jatiswara yang menjadi Maha Guru di negara luar Jawa. Kemudian Jumadil Awal menikah dengan putri Nyahi Rara yang berada di wilayah Jepara. (h. 11) kemudian ia memiliki dua orang putra yang bernama

Syekh Jumadilakhir yang disebut juga dengan nama Syekh Shidik atau Syekh Ikhlasul Islam. Pada saat Syekh Ikhlasul Islam itu berangkat dari Pase menuju Belambangan dan pada saat ia sampai di Belambangan kebetulan Putri Aria Belambangan sedang mengalami sakit parah dan tidak dapat disembuhkan. Kemudian Aria Balangbangan mendapatkan sebuah wangsit bahwa bunyi wangsit menceritakan tentang kesembuhan putrinya yang sedang menderita sakit yang disembuhkan oleh seorang Pandita yang akan datang nanti, pada saat Pandita datang mintalah obat padanya. Tibalah Pandita yang bernama Syekh Shidik (Syekh Ikhlasul Islam) yang kemudian mengobati sang putri dengan kalimat agung lā ilaha illallah. Seketika sang putri sembuh dan sehat seperti tidak pernah terjadi sakit padanya, kemudian sang putri dijadikan sebagai isterinya.

Kemdian Syekh Shidik mengajak dan mengajarkan ajaran islam dan iman kepada Aria Belambangan. Melihat ajakan ini Aria Belambangan sangat marah terhadap Syekh Shidik hingga ia pun di usir keluar dari wilayah Belambangan agar kembali ke Pase. Dahulu (h. 12) Putri Garbini salah satu dari anak-anak Prabu Majapaahit telah keluar dari istana.

Sang putri berteduh karena kepanasan di bawah pohon widara yang menjadi bekas dari tapa dan tafakure awal dari Sunan Ampel Gading. Karena menduduki tempat yang menjadi bekas tapa dan tafakur dari Sunan Ampel membuat sang putri hamil. Lama kemudian sang putri melahirkan seorang anak laki-laki dari kandungannya itu. Karena merasa malu tanpa ayah, sang putri membuang anaknya ke tengah laut dengan dimasukan ke dalam sebuah peti. Kemudian anak sang putri yang di buang itu ditemukan oleh salah seorang padagang yang bekerja pada Nyi Sabandar.

Pertama kalinya anak tersebut belajar di Gresik, kemudian ia diperintahkan untuk mengaji kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel menerimanya dengan senang hati dan mengangkatnya sebagai anak dan dipersaudarakan dengan Makhdum Ibrahim, kemudian anak tersebut diberi gelar Makhdum Samudra.

Setelah kedua Makhdum, Makhdum Ibrahim dan Makhdum Samudra, itu telah alhi terhadap kitab, paham terhadap itikad yang lurus, keduanya diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk melaksanakan ibadah haji dan keduanya berpamitan kepada Sunan Ampel untuk melaksanakan ibadah haji itu. Sunan Ampel Gading memberikan restunya agar (h. 13) hajinya menjadi haji yang mabrur. Sekembalinya dari ibadah haji di Arab pulangnya mereka mampir di Pase untuk menemui Syekh Shidik. Kemudian keduanya berguru di Pase kepada Syekh Sidik.

Syekh Sidik adalah orang bergelar Syekh Ikhlasul Islam. Setelah mereka berdua dirasa cukup ilmunya kemudian mereka berdua diperintahkan oleh Syekh Sidik untuk pulang ke Jawa karena nanti orang Jawa akan menghormati keduanya pada saat orang Jawa mengangkat Makhdum Ibrahim sebagai penguasa di Bonang di wilayah Tuban. Syekh Sidik berkata kepada Makhdum Ibrahim.

“Baju Dastar ini untukmu, dan Makhdum Samudra saya beri Kaskul dan jubah. Kemudian kamu saya beri gelar Parabu Sasmata. Kamu nanti akan menjadi penguasa di Giri Kadaton menjadi pembesar di Gresik.” Kemudian kedua Makhdum itu kembali ke tanah Jawa.


PUPUH KINANTHI
Telah disebutkan yang bernama Syekh Jumadil Akhir di awal, ia seorang yang telah mewarisi kemampuan kakeknya yang menjadi juragan di (h. 14) Pulo Pinang yang menjadi orang terkaya di sana. Kemudian ia berputra yang bernama

Kiyahi Juragana Agung dan Nyi Pinati. Ia berdagang di daerah Sedayu. Juragan Agung memiliki dua orang putri yang bernama Rara Kabandhah dan lagi

Rara Duwit yang menikah dengan Maulana Maghrib. Setelah mendapatkan menantu seorang wali, sang Kiyahi Juragan Agung hartanya habis ludes. Setelah itu ia melakukan sebuah perbuatan para wali yang lazim dilakukan yaitu bertapa di bawah pohon Maja yang besar (Majagung). Setelah pertapaannya diterima kemudian ia bergelar Pangeran Majagung. Ia masih merupakan satu ikatan dan satu kehormatan dengan para wali di pulau Jawa.

Syekh Majagung terbilang seorang wali yang masih keturunan bangsa Hasyim. Ia masih satu jalur turunan silsilah dengan Sunan Giri. Adapun silsilah martabat Maulana Maghrib sesungguhnya

Benar-benar sampai hingga Rasulullah saw (h. 15) dari putrinya yang bernama Fatimah. Fatimah berputra Husen Syahid. Husen Syahid beputra Zaenal Abidin. Zaenal Abidin berputra Aba Yamin. Aba Yamin berputra Maulana Yusuf. Maulana

Yusuf berputra Samud. Samud berputra Syekh Jatisawara yang tinggal di Cempa.  Setelah Syamsu Tamres wafat kemudian Jatisawara menggantikannya dan menikah. Kemudian ia memliki dua orang berputra yang salah satunya bernama Ahmad yang menjadi raja Cempa menggantikan kedudukan kakeknya yang bernama kakek Samud Adapun adiknya yang bernama Muhammad menjadi raja di Minangkabau. Kemudian Jatiswara melakukan pengembaraan (untuk menyebarkan agama Islam) keberbagai negeri.

Sampalah Jatiswara di Nagari Andalus dan mendapatkan isteri seorang putri Andalas. Kemudian Jatiswara mempunyai dua putra yang bernama Maulan Magrib (h. 16) dan Pangeran Makdum.

Pangeran Makdum selalu mengislamkan para ajar sejak dari Andalas hingga di tanah Jawa. Salah satu ajar yang telah diislamkan olehnya adalah yang bernama Ki Ajar Banakeling. Malahan Ajar Banakeling ikut serta ke tanah Jawa dan sempat mampir di Cirebon karenanya di Carbon ada tempat yang disebut Pekir Tunjung Keling bahkan Pati Magelung itu adalah salah satu dari santrinya Ki Tunjung Keling. Semuanya itu adalah berkat usaha yang dilakukan oleh Maulana Magrib.

Adapun silsilah martabat Syekh Bentong hingga ke Rasulullah saw melalui Husen Syahid. Husen Syahid menurunkan Alyasghor. Alyasghor berputra Maulana Bari.

Kemudian Maulana Bari berputra Maulana Tamim. Maulana Tamim berputra Maulana Idhofi yang berada di Surandil yang ada di wilayah Maulana Idlofi adalah menantu Juragan (h. 17) Qodir. Seorang wanita yang bernama Rara Shidikoh setelah menjadi janda dari Jumadil Awal kemudian ia menikah dengan Maulana Idh

Kemudian dari hasil pernikahan itu berputra seorang wanita yang sangat cantik jelita yang bernama Nyi Rara Aminah yang menikah dengan Ki Syekh Datuk Isa yang bermukim di Negara Malaka.

Nyi Aminah itu mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Syekh Quro yang menjadi guru agama Islam di Karawang. Kemudian Syekh Quro berputra Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Itulah runtutan silsilah yang benar.

Adapun silsilah martabat nasab Syekh Lemah Abang adalah masih satu jalur sampai kepada Rasullallah saw melalui Zaenal Abidin, melalui Syekh Imam Muhammad Bakir. Kemudian Syekh Imam Muhammad Bakir memiliki putra

yang bernama Qodir Kaelani. (h. 18) Qodir Kaelani berputra laki-laki yang bernama Maulana Isa yang menikah dengan Rara Aminah seperti yang sudah kita sebutkan di atas. Maulana Isa mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Nama anak perempuan Maulana Isa ialah Nyi Rara yang menikah dengan seorang yang bernama Ki Jaka Tawa. Adapun anak laki-laki dari pernikahan Maulana Isa dan Rara Aminah ialah Datuk Sholeh yang nantinya menurunkan seorang putra yang bernama

Syekh Lemah Abang atau nama lainnya ialah Pangeran Pamalati (Pangeran Kemelaten). Adapun adik dari Datuk Sholeh yang busu ialah laki-laki yang bernama Ki Marsaminga yang memiliki seorang putri yang bernama

Mas Panguragan. Seperti itulah jalur silsilah rantai para Wali Sembilan yang berada di pulau Jawa. Adapun silsilah rante martabat nasab Pangeran Karangkendal ialah dari bangsa Muthalib.

Abdul Muthalib berputra yang bernama Abi Thalib. Abi Thalib memilik putra bungsu yang bernama Ubed (h. 19) yang kemudian menurunkan putri yang bernama Aisyah. Aisyah menurunkan putra yang bernama Sri Muqarah. Sri Muqarah menurunkan putra yang bernama Ratu Bagus Malikh. Ratu Bagus Malikh menurunkan putra yang bernama Syekh Maulana Guru Khafid. Syekh Maulana Guru Khafid berputra Syekh Barham. Syekh Barham berputra Syekh Barham. Syekh Barham menurunkan berputra yang bernama

Raja Pandita yang bertahta atau menjadi penguasa di Johor. Kemudian Raja Pandita menurunkan putra yang bernama Pangeran Antarawulan. Pangeran Antarawulan menurunkan dua orang putra yang masing-masing bernama Pangeran Karangkendal dan Pangeran Bra

Kemudian diceritakan bahwa putra yang bernama Karangkendal mempunyai lima orang putra yang masing-masing bernama Gedeng Muhara, Gedeng Pojok atau yang lazim disebut Nyi Gedeng Cempaka. Kemudian Ki Sera dan Ki Gusti.

Adapun saudara Pangeran Karangkendal yang bernama Bramacari itu mempunyai putra yang bernama Pangeran Welang. Kemudian Pangeran Welang berputra yang bernama Haji Sura Saka. Haji Sura Saka memiliki seorang anak


Perempuan yang dinikahi oleh seorang Aria yang bernama Aria Jagabaya (h. 20) yang menurunkan putra laki-laki yang bernama Kiyahi Asmara. Kemudan Kiyahi Asmara menurunkan putra yang bernama Ki Modin Agung yang pertama kali menjadi modin di Cirebon.


PUPUH ASMARANDANA
Tersebutlah bahwa Sunan Ampel Gading yang berada di Ampel Gading sedang melakukan hal ihwal amal kewaliannya, tiba-tiba datanglah sahabat dekatnya yang bernama Sharafuddin yang berasal dari Arab. Akhirnya Sharafuddin dan Sunan Ampel sama-sama melakukan amalan itu dalam perjumpaan yang membuat kehidupan mereka semakin berarti.

Dahulu kala anatar Sunan Ampel Gading dan Sharofudin pernah pergi bersama untuk mencari guru, keduanya menumpang inap di rumah Juragan Palwa. Pada saat kedatangan Sharofudin di Ampel Gading keduanya merasa suka cita dan keduang saling berpelukan untuk melepaskan kerinduan. Pada saat itu juga ada

Makhdum Bonang dan Makhdum Giri. Makhdum Bonang dan Makhdum Giri ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk melayani jamuan makan minum para tamu yang datang. Pada saat itu Sharofuddin berkata kepada Sunan Ampel: “Wahai sahabtku yang ku hormati, suatu saat nanti kamu akan menjadi Ratu Pandita Anata Gama (pemimpin para wali yang menyebarkan dan mengurusi agama Islam).”

Kemudian Sharofuddin berpamitan untuk meninggalkan Ampel Gading. Belum lama setelah kepergian Sharofuddin, Sunan Ampel berkata kepada Makhdum Giri Makhdum Bonang: (h. 21) “Wahai anak-anakku, Makhdum Giri dan Makhdum Bonang, sebaiknya kalian berdua mengikuti Haji Sharofuddin dalam mengembara memutari pula Jawa.

dan kamu berdua jangan berani kembali ke Ampel Gading sebelum diperintahkan oleh Haji Sharofuddin.” Kemudian keduanya, Makhdum Giri dan Makhdum Bonang, menyusul Haji Sharofuddin untuk mengikuti perjalanannnya kemanapun Haji Sharofuddin. Pada suatu ketika dalam sebuah perjalanan Sharofuddin mengalami sakit. Pada saat sakitnya itulah Haji Sharofuddin berpesan dan berwasiat kepada keduanya.

Serta Haji Sharofuddin mengajarkan ilmu rasa (ilmu tasawuf) yang telah berkembang di Jawa kepada Makhdum Giri dan Makhdum Bonang. Haji Sharofuddin berkata: “Dalam keadaan ini aku berwasiat, dimanapun nanti aku wafat (berpulang kerahmatullah) gunakan tempat itu sebagai tempat yang mudah dikenali oleh masyarakat. Dan lagi aku berwasiat dan camkanlah wasiat ini;

nanti jika sudah datang seorang wali dari Arab yang berkedudukan di Gunungjati, segeralah mendatanginya dan rapikanlah tatanan agama Rasulullah saw, hal tersebut bisa kalian lakukan jika sembilan orang dari kalian sudah kumpul bersama.

Tidak berapa lama setelah itu, Syekh Haji Sharofuddin wafat pada saat perjalanan mereka sampa di Pemalang. Karena itulah tempat meninggalnya Syekh haji Sharofuddin itu dibangun dan dinamai (h. 22) dengan nama Astana Gegeseng. Setelah menguburkan Syekh haji Sharofuddin, maka Makhdum Giri dan Makhdum Bonang segera melanjutkan perjalanannya dan pulang ke Ampel Gading, telah sampai dihadapan orang tuanya yaitu Sunan Ampel Gading.

Tidak lama setelah itu Susunan Ampel pun wafat. Setelah Susunan Ampel wafat isteri Suna Ampel yang bernama Nyi Gedeng Morako pindah ke Tuban. Kemudian Nyi Gedeng Morako membangun tempat tinggal dan pesanggrahan di Kajongan untuk menekuni pertapaannya secara sungguh-sungguh.

Enatah kapan Nyi Gedeng Morako wafat, ia dimakamkan di Kajongan di pinggir sungai yang ada di daerah itu. Adapun Makhdum Bonang meneruskan perjuanga Ampel Denta dalam menyebarkan agama Islam. Pada saat Ki Gadung ditengah jalan membegal Sunan Bonang dan tidak berhasil karena keramat Sunan Bonang sempat dilihat oleh Ki Gadung.

Sejak kejadian itu Ki Gadung menginginkan kramat seperti yang dimiliki oleh Sunan Bonang karenanya Sunan Bonang menyarankan agar Ki Gadung bertaubat guna mendapatkan keramat seperti yang dimiliki oelh dirinya. Ki Gadung mau bertaubat dan menyerahkan dirinya kepada Sunan Bonang. Untuk pertaubatan terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh Ki Gadung, Sunan Bonang menyarankan agar Ki Gadung dikubur hidup-hidup selama satu tahun lamanya, setelah digali ternyata Ki Gadung masih hidup dan telah mendapatkan limpahan ilmu laduni yang disebut ilmu rasa sira paniti Jawa.

Sunan Bonang mengerti bahawa Ki Gadung mnejadi orang yang sungguh-sungguh dalam tapanya ditengah hutan hingga melewati satu tahun (h. 23) lamanya, kemudian setelah itu Ki Gadung bertapa lagi di Malaka. Isterinya dibawa serta dalam pertapaan itu, dalam pertapaan bersama isterinya kali ini Ki Gadung melewati waktu hingga satu tahun lamanya. Setelah itu kemudan Ki Gadung pindah ke Kalijaga.

Kalijaga adalah tempat bertapa dimana Ki Gadung menjaga diri agar tidak tidur. Ki Gadung bertapa di Kalijaga tidak tidur sudah sampai sembilan bulan. Setelah Ki Gadung bertapa tidak tidur selama sembilan bulan, kemudian Sunan Bonang bermaksud hendak melihatnya. Akhirnya Sunan Bonang disertai oleh beberapa santrinya berangkat untuk melihat Ki Gadung yang sedang bertapa tidak tidur itu yang telah mencapai sembilan bulan. Setelah Sunan Bonang dan santri-santri sudah sampai di Kalijaga,

Sunan Bonang melihat tanaman yang hijau di kebunan yang ditanam oleh Ki Gadung. Melihat hal tersebut Sunan Bonang berkata kepada santri-santri yang mengikutinya: “Cobalah kalian semua cabut semua tanaman yang ada di kebun Ki Gadung dan segera buanglah jauh-jauh dari kebun ini.”

Segera santri melaksanakan perintah Sunan Bonang, para santri mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya yaitu Sunan Bonang tanpa mengerti apa maksudnya. Sementara itu Sunan Bonang menemui Ki Gadung dan bercakap-cakap sebagaimana mestinya seorang guru menghadapi muridnya. Para santri telah melaksanakan perintah Sunan Bonang persis seperti apa yang diperintahkannya yaitu mencabut tanaman dan membuangnya jauh dari perkebunan Ki Gadung dan mereka kemudian menemui Sunan Bonang yang sedang bercakap mesra dengan Ki Gadung. Tibalah para santri di hadapan Sunan Bonang dan Ki Gadung, kemudian segera Ki Gadung membuatkan jamuan untuk para tamunya. Ki Gadung pun akhirnya memerintahkan para santri itu untuk mengunduh buah pegagan.

Para Santri Bonang tadi itulah yang diperintahkan untuk (h. 24) mengunduh buah pegagan. Para santri Bonang terkejut bukan main, bukankah semua buah pegagan itu telah dirusak hingga dibuang jauh dari kebun, mengapa sekarang buah-buah pegagan itu kembali utuh seperti tidak pernah dirusak sebelumnya, pohon pegagan itu kembali penuh dengan buah-buahnya yang masak.

Melihat keajaiban kramat Ki Gadung ini Sunan Bonang akhirnya merasa yakin bahwa taubat santrinya yaitu Ki Gadung telah diterima oleh Allah swt, karena Ki Gadung telah diterima taubatnya oleh Allah swt dan telah mendapatkan kramat yang begitu rupa akhirnya Ki Gadung disebut dengan nama Sunan Kalijaga.

Kemudian Sunan Bonang segera berpamitan dan pergi dari hadapan Sunan Kalijaga dan melanjutkan perjalanannya, Sunan Bonang pindah ke Jepara di dukuh karang Kemuning bersama Nyi Gedeng Pancuran. Setelah agak lama tinggal di Jepara, kemudian mereka berdua pindah ke dukuh Pancuran di daerah Tuban.

Sunan Bonang tinggal di sana bersama Nyi Gedeng Pancuran untuk memantapkan amal-amalannya untuk mencapai Lailatul Qodar, menolong kapal yang hendak tenggelam dengan menggunakan tangannya sendiri dengan cara diciduk menggunakan tangan. Itulah kehebatan pertolongan yang pernah dilakukan oleh wali perempuan yang bernama Nyi Gedeng Pancuran. (h. 25)

Kemudian setelah beberapa lama tinggal di dukuh Pancuran di daerah Tuban, Nyi Gedeng Pancuran pindah kembali ke Ampel Denta di tempat orang tuanya yaitu Sunan Ampel hingga meninggal di Ampel dan dikuburkan disamping Sunan Ampel. Adapun saudaranya yang lain, selain Sunan Bonang, yang bernama Masyaekh Muman

tinggal dan menetap di daerah Pakungwati, di sebuah dukuh yang bernama dukuh Kadarajat. Di dukuh Kadrajat itulah Syekh Muman membangun pengguron dan mendapatkan murid yang bernama Pangeran Palakaran. Adapun Pangeran Karang Kamuning pulang kembali ke Ampel Denta

dan hinggal meninggalnya di sana, di Ampel Denta. Adapun yang bernama Makhdum Sampang dan Makhdum Kudus keduanya menjadi penguasa di daerah Tuban karena Sunan Bonang pindah ke Demak dan menjadi panghulu dan imam di Demak.

Setelah lama Sunan Bonang menjadi penghulu dan imam di Demak, kemudian Sunan Bonang pindah lagi ke Japara. Pindahan Sunan Bonang ke Jepara pada kali ini mendapatkan musibah yang luar bisa harta dan kitab-kitabnya hangus ludes terbakar. Pada saat itu yang sempat menolong adalah Lebe Khamzah, Lebe Yusuf, dan Sunan Kalijaga. (h. 26)

Sunan Bonang memasrahkan semua harta dan kitab-kitabnya terbakar habis. Kemudian Sunan Bonang menyingkir (uzlah) untuk meningkatkan amalnya sehingga kewaliannya sangat menonjol dan makbul. Adapun Sunan Giri memperkuat amal kewaliannya berada di Giri Gajah.

Kemudian Makhdum Kudus pindah ke Demak diangkat menjadi imam menggantikan Sunan Bonang yang sedang menekuni kewaliannya. Makhdum Sampang pun pindah kembali Sampang. Adapun Makhdum Langgar yang ada di negara itu ikut serta pindah ke Danaraja.

Adapun kematian Sunan Undung yang wafat sebagai syahid yang berperang di jalan Allah (sabilillah) yang wafatnya merupakan rahmat dari Allah adalah bahawa permulaannya adalah peperangan anatara Majapahit melawan Demak. Demak sebagai basis para wali Allah yang berjihad untuk menegakan agama Rasulullah saw, membela agama Islam.


PANGKUR
Setelah Sunan Jati tiba dan menetap di puncak Gunungjati, maka Makhdum Bonang dan Makhdum Giri teringat akan pesan dan wasiat (h. 27) Syekh Maulana Sharofudin gurunya dahulu yang sudah wafat. Makhdum Bonang dan Makhdum Giri akhirnya mendatangi Sunan Jati dengan membawa para wali yang lain.

Di antara yang ikut dalam rombongan ini adalah Makhdum Kalijaga, Makhdum Darajat, Pangeran Makhdum, Syekh Maulana Magrib, dan Sultan Demak. Dalam perkumpulan itu Sunan Jati yang agung bermaksud untuk membicarakan dan membersihkan sebuah keris yang telah digunakan untuk menusuk kerbau yang dilakukan oleh seorang penjaga.
Dalam pertemuan para wali itu Pangeran Panjunan hadir dan semua anak-anak Sunan Jati pun ikut menghadiri pertemuan para wali di puncak Gunungjati ini. Dan pada saat pertemuan besar itu Sunan Jati wekas (berpesan) kepada semua anak-anaknya hingga keturunannya, dan juga Sunan Jati mengeluarkan ipat-ipat yang sejati.

“Kakak-kakakku semua, saksikanlah, aku akan berwasiat untuk anak cucu selamanya: Hormtilah para leluhur, hormatilah orang tua, milikilah hati penuh kasih sayang, milikilah hati yang bersyukur, bersabarlah dalam ibadah, berlaklah rendah hati,

peganglah sifat (h. 28) yang terpuji, jauhilah sifat yang buruk, milikilah pengetahuan yang baik, pendamlah nafsu amarah, jauhilah perdebatan ataupun perselisihan, jangalah berburuk sangka terhadap suatu hal yang tidak yakin,


janglah berbuat dusta, janganlah mengingkari janji, jika ada bahaya harus dipastikan, bertakwalah kepada Allah, harus mawas diri, harus adil terhadap pengetahuan, janganlah berbuat sesuatu yang tidak berfaidah,

hormatilah pusaka, bersungguh-sungghlah untuk menjadi mukmin yang sejati, mulikanlah para tamu, ceriakan raut muka, janganlah tenggelam dalam hawa nafsu, haruslah selalu waspada, jangan pernah memukul muka orang,

janganlah minum sebelum benar-benar haus, janganlah makan sebelum betul-betul lapar, janganlah tidur sebelum benar-benar ngantuk, shalatlah seumpama ujung pucuk anak panah, puaslah bagaikan ikatan tali (h. 29)


yang mengikat panah, carilah rizki yang halal, jangan banyak mencari sesuatu, jangan memperbanyak hidup yang tidak berguna, perbanyaklah menangis, mampukan diri untuk menahan hawa nafsu, jika sedih campurlah dengan bahagia, tertawalah untuk melepaskan kepedihan,
janganlah menyakiti hati, permintaaku raka janganlah menyakiti hati orang mukmin. Selesai. Untuk itulah wahai anak cusuku, aku memohon jika ada anak cucuku, sekali lagi aku memohon jika ada anak cucuku yang membuat sakit hati terhadap orang-orang mukmin, wahai Kakakku, aku pohonkan agar mereka

dipendekkan umuenya, janganlah mereka berumur panjang. Pada hari inilah ipat-ipatku agar didengar dan ditemukan oleh anak cucu nanti. Maka barangsiapa yang mengerti akan pemberitahuan wasiat ini walaupun aku sudah wafat

aku akan selalu menjaganya. Aku tanggung dan aku selalu melindungi. Semua para wali serentak berucap ‘Amin, Ya Allah semoga Engkau mengabulkan (h. 30) permohonan Sinuhun Jati.’ Pangeran Panjunan berkata: “Camkanlah semua ini dan hidupku sebagai tanggungannya

wahai anak cucu Sunan Jati, hendaklah kalian semua menghormati wasiat dan ipat-ipat Sunan Jati, tancapkan dan pakulah dalam dalam hati anak cucu agar yang lahir kemudian dapat mengetahuinya agar semuanya bisa menetapi dan menjalankan

semua wasiat ini. Barangsiapa anak cucu dapat mengamalkan wasiat Sunan Jati ini maka tentunya ia akan menjadi seorang wali. Hanya saja yang menjadi pegangan janganlah kalian memaksakan diri terhadap ipat-ipat.” Selesailah sampai di situ dan semua yang hadir membubarkan diri pulang ke tempat asal masing-masing. Selamatlah apa yang berguna dan bermanfaat bagi semua.

Beberapa lama kemudian diceritakan bahwa pada saat membangun Masjid Agung Demak para wali semua bersama-sama mempunya dugaan dan pengetahuan tentang arah kiblat; sebagian berpendapat bahwa arah kiblat kurang miring ke utara, sebagain lagi berpendapat bahwa arah kiblat kurang miring ke selatan, dan sebagian lagi berpendapat bahwa arah kiblat sudah tepat. Sunan Bonang berkata:

“Sebaiknya perselisihan arah kiblat ini kita hentikan dan nanti malam kita bersama-sama melakukan shalat hajat (h. 31) secara berbarengan, dalam shalat hajat itu kita bersama meohon dapat melihat arah kiblat yang benar.” Semua para wali sepakat dengan pendapat Sunan Bonang. Malam harinya mereka melakukan shalat hajat secara bersama dan setelah selesai shalat hajat mereka dapat melihat Ka’bah.

Setelah mereka sama-sama melihat Ka’bah, sebagian para wali berkata: “Bukankah kita semua sekarang ini sudah dapat melihat Ka’bah?” Akan tetapi walaupun mereka semua sudah dapat melihat Ka’bah, mereka masih saja terus berselisih paham dan terus bermusyawarah, sebagai para wali masih saja menduga bahwa arah kiblat kurang miring ke arah selatan atau kurang miring ke arah utara. Akhirnya Sunan Kalijaga berkata: “Baikhlah, biar saya selesaikan perselisihan ini.”


Maka Sunan Kalijaga maju menghadap ke arah selatan berdiri tinggi ke langit bagaikan dapat menyentuh Matahari, kedua tangannya dibentangkan, tangan kirinya meraba kemudian memegang tonggak Mesjid Agung Demak, tangan kanannya secepatnya memegang tonggak Ka’bah hingga cepat ditarik lurus anatar keduanya sampai betul-betul sudah searah.

Setelah sudah ketemu kelurusan arahnya dan para wali semua merasa tentram dan lega, semua sudah sepakat dengan melihat usaha yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, maka segera Sunan Klijaga segera melepaskan pegangan tangannya yang ada di Ka’bah. Ka’bah sama sekali tidak bergoyang dan tidak roboh. (h. 32) Tidak ada yang sesuatu pun yang jatuh dari Ka’bah. Di Mekah (Ka’bah) tidak ada orang yang terkejut. Sunan Kalijaga mendapatkan tepuk tangan
dari para rijalullah, para wali, bahwa amal Sunan Kalijaga sudah diterima oleh Allah swt. Pada saat waktu subuh tiba, di tempat persinggahan terlihat ada sebuah Baju Antakusuma yang menggantung tanpa ada yang tahu dari mana datangnya Baju Antakusuma itu.

Para wali bersepakat bahwa Baju Antakusuma itu memiliki kegunaan dan manfaat dan yang membutuhkan terhadap kegunaannya adalah Sunan Kalijaga. Karena orang yang dapat menggunakan Baju Antakusuma itu adalah orang yang sudah meninggalkan dunia. Maka barangsiapa yang sudah mampu meninggalkan dunia, maka ia sudah layak menggunakan Baju Antakusuma, terlebih Sunan Kalijaga itu seorang wali.

Karena Sunan Kalijaga sudah kuat dan selesai membating raga. Hasil dari membanting raga agar diterima taubatnya itu mendapatkan ampunan dari Allah swt yang berupa Baju Antakusuma sebagai pemberian dan anugerah Allah swt kepada Sunan Kalijaga. Setelah para walai selesai membangun Masjid Agung Demak, selang satu tahun kemudian para wali secara bersama-sama membangun Masid Agung Pakungwati.


DANGDANG (GULA) (h. 33)
Ketahuilah bahwa ketika para wali bersama-sama berkumpul di Ardi Liman (Gunung Gajah) untuk bermusyawarah dalam mengungkapkan kandungan ilmu, memaparkan itikad yang benar dan lurus terhadap Allah swt. Semuanya diminta untuk mengungkapkan secara jelas, ‘aliman mutakaliman, Allah Maha Mengetahui dan Allah Maha Berbicara. Hakikat ilmu yang menjelaskan kemakrifatan para sufi. Membicarakan sifat kelembutan kasih Allah swt.

Sunan Bonang berkata pelan, “Yang bernama Allah ialah hakikatnya bukanlah dzat yang disembah, akan tetapi yang menyembah juga yang disembah, tidak ada yang selain-Nya.” Perkataan Sunan Bonang diterima oleh semua peserta yang berjumlah delapan orang wali. Kedelapan wali dapat mengerti dan menyerap pengetahuan Sunan Bonang.

Pangeran Majagung berkata pelan: “Yang bernama Allah ialah bukanlah wujud yang kasat mata, akan tetapi Wujud Yang Pasti Ada, Dzat Yang Maha Tunggal, (h. 34) tidak berbilang dua atau tiga.” Kedelapan para wali yang lain telah mengerti dan memahami apa yang dikatan oleh Pangeran Majagung.

Sunan Jati berkata pelan: “Yang bernama Allah ialah Allah itu sendiri, yang mempunyai sifat seperti sifat para hamba seperti sifat mendengar dan melihat.” Perkataan yang hakiki yang telah memberikan pengetahuan pada hati. Telah nyata dalam hati bahwa pengetahuan Sunan Jati telah diterima oleh para wali Jawa.

Sunan Kalijaga berkata pelan: “Yang bernama Allah ialah Allah Yang Maha Melihat secara hakiki, Yang Maha Melihat tidak ada lain selain diri-Nya, siang dan malam terang terlihat oleh-Nya, Yang Maha Melihat dan Yang Maha Terlihat.” Jelas apa yang dikatakan Sunan Kalijaga dapat dicerna, pengetahuannya enak dirasa oleh semua para wali.

Syekh Bentong berkata pelan: (h. 35) “Yang bernama Allah ialah Yang Maha Hakiki, tetapi bukan yang dibayangkan itu. Allah adalah dzat yang dapat dimengerti oleh diri-Nya, wajibullwujud, wajib ada-Nya.” Pendapat Syekh Bentong telah diterima oleh delapan wali yang lain, yang sama-sama memiliki hakikat ilmu.

Syekh Maulana Magrib berkata pelan: “Yang bernama Allah ialah Hakikat ini, akan tetapi bukan ini, yaitu yang bernama jisim yang berbalut jasad. Hakikatnya Allah bukanlah jasad dan jisim itu.” Telah enak terserap oleh hati para wali yang delapan orang. Mereka semua telah lega mendengar penjelasan Syekh Maulana Magrib.
Syekh Lemahbang berkata lantang: “Yang bernama Allah ialah Aku yang sesunggunya. Dimana adanya Allah yang lain selain Aku?”
Syekh Magrib berkata sendu: “Eh, itu jisim, (h. 36) Allah bukanlah warna dan rupa. Kau ini telah melanggar aturan syarat, nanti kau terkena hukuman.”

Syekh Lemahbang juga menjawab: “Jika aku tidak lupa, bukankan sebelumnya kita telah sepakat bahwa kita semua harus menjelaskan kandungan itikad kita? Jika penjelasanku ini melanggar syariat, itu bagaimana? Jadi yang mengingkari kesepakatan itu siapa? Mengapa juga membicarakan hukuman? Sekarang berani besok pun berani. Kapan kita selsesaikan persoalan ini?”

Sunan Giri berkata pelan: “Yang bernama Allah ialah seumpama yang menggelarkan kedudukan layar yang mengolah gambar-gambar wayang. Jika aku bukan hakikat, itulah hakikat nama aku. Allah-lah yang memangku kita semua.” Begitulah yang dikatakan oleh Prabu Sasmata Sunan Giri. Delapan para wali semua sepakat dengan pendapatnya.

Sunan Kudus berkata pelan: “Yang (h. 37) bernama Allah ialah seumpama matahari yang muncul di pagi hari dan yang ada di sore hari, itu hakikatnya satu. Akan tetapi pagi dan sore tidak bisa bersatu.” Ternyata semua para wali yang delapan telah mengetahu sedarah daging masing-masing, satu rasa, dan satu pemahaman.

Hanya Syekh Lemahbanglah yang didakwah syirik kemudian dihukum hingga kematiannya. Ia dikebumikan di Pamalaten (Kemelaten), sebab ia dihukum di Masjid Agung Pakungwati. Ia telah meninggal secara sempurna. Diceritakan bahwa Pangeran Drajat menikah dengan Nyahi Mahanten menurunkan putra yang bernama Kiyai Haji Nusa,

Ki Tamsu, Nyahi Dari, Kiyahi Panggalaran, dan Ki Pambayun. Ki Pambabyun berputra Pangeran Sucimana. Pangeran Sucimana berputra Pangeran Tala. (h. 38) Pangeran Tala berputra Ki Mas Jambe Pamucangan. Adapun murid yang dikuatkan dan dikukuhkan oleh gurunya yang para murid tersebut telah menjadi raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa ialah

Sultan Demak Abdul Fatah, ialah yang diteguhkan dan dikukuhkan oleh sesepuh para wali yaitu Yang Guru Ampel. Sultan Demak Abdul Fatah kemudan menurunkan Sultan Demak Sabrang Lor yang diteguhkan dan dikukuhkan oleh Sunan Bonang. Kemudian Sultan Demak Tranggana naik tahta diteguhkan dan dikukuhkan oleh Sunan Jati dari Pakungwati.

Sultan Pajang diteguhkan dan dikukuhkan oleh gurunya yaitu Sunan Giri Gajah. Adapun Sunan Prawata yang muda dikuatkan dan dikukuhkan oleh Yang Guru Sunan Kudus. Sunan Mataram naik tahta dikuatkan dan dikukuhkan oleh gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Semuanya masing-masing telah sepakat dan mengerti akan kenyataan yang sesungguhnya harus diterima. (h. 39)


MEGATRU PUPUH
Bentuk kematian Syamsu Tamres tidak dapat dipastikan secara tepat dimana pekuburannya. Hal yang sama juga terjadi pada Sunan Kalijaga, pekuburannya tidak dapat dipastikan dimana tempatnya.

Hal itu juga kematian Pangeran Karangkendal duk. Meraka bertiga, Syamsu Tamres, Sunan Kalijag, dan Pangeran Karangkendal, telah menerapkan sebuah mantra pada dirinya yang disebut Sahadat Pameradan. Pekuburan yang terlihat sekarang ini hanyalah sebuah pekuburan dari sebuah benda yang sebenarnya bukan mereka.

Suatu ketika Gedeng Tedunan telah menemukan sebuah pekuburan Syamsu Tamres di pinggir sungai di wilayah Demak. Setelah penemuan pekubran Syamsu Tamres oleh Gedeng Tedunan masyarakat beramai-rami membangunnya dengan mendirikan tembok untuk mempermudah menziarahinya.

Karomah pekuburan Syamsu Tamres, setelah diziarahi oleh oarang-orang, astana itu menjadi tempat yang makbul untuk diijabahnya doa. Hal yang sama juga terjadi pada Ki Gede Ambulu. Ketika itu Ki Gede Ambulu melihat ada seorang lelaki yang sedang shalat menghadap ke barat (kiblat).

Ketika Ki Gedeng Ambulu memejamkan matanya sebentar dengan berkedip, maka laki-laki yang sedang shalat itu hilang. Pada malam harinya, Ki Gedeng Ambulu bermimpi ada yang memberitahukan (h. 40) bahwa yang terlihat tadi siang orang yang sedang shalat

itu adalah Sunan Kalijaga. Kemudian setelah kejadian itu dibangunlah pekuburan sebelah barat di bagian dalam lingkungan Masjid Demak. Tempat itulah dimana Ki Gedeng Ambulu melihat Sunan Kalijaga sedang melakukan shalat.

Apalagi yang dialami oleh Ki Gedeng Sembung ketika itu ia sedang berada di Karangkendal dan melihat sebuah payung kuning yang terbuka di atas sebuah lantai.

Ki Gedeng Sembung melihat kejadian itu hanya sekejap, kemudian hilang. Maka di tempat itulah kuta cungkup pakuburan Pangeran Karangkendal dibangun, yaitu di tempat dimana dilaksanakan acara ritula ngunjung dilakukan. Semuanya itu (baik yang terjadi pada Syamsu Tamres, Sunan Kalijaga, dan Pangeran Karangkendal) adalah ‘makam dudon-dudon’ (bukan pekuburan asli jasad).

Tersebutlah dalam cerita dari para leluhur itu bahwa Sunan Kalijaga berputra Ki Adilangu (Ki Kadilangu?). Ki Adilangu berputra Kiyahi Belutha. Kiyahi Belutha
berputra Aria Kaniten. Aria Kaniten berputra yang diberi nama Pangeran Sedang Lahut. (h. 41) Pangeran Sedang Lahut berputra Rangganata Praja Kulon.

Rangganata Praja Kulon berputra yang bernama Pangeran Kuning. Pangeran Kuning berputra yang bernama Pangeran Rangga. Mereka semua (keturunan Sunan Kalijaga) itu adalah keturunan para wali yang sudah dikenal oleh masyarakat di daerah tersebut.

Adapun yang terperangkap dalam ma’isyqi maqbul (rindu cinta kepada Allah yang sudah diterima, istilah yang lain untuk keadaan ini ialah majenunillah), yang hampir sama dengan Sunan Kalijaga dalam prilaku dan martabatnya ialah wali yang bernama Pangeran Tambayat.

Pangeran Tambayat itu putra dari seorang adipati yang berkedudukan ada di Semarang yang di sebut Adipati Semarang. Adipati Semarang putra dari Pangeran Hadi yang meninggal di Lamper.

Sedang Lamper putra dari Sultan Demak. Dan ada lagi yang sama dengan Pangeran Tambayat yang berlaku ma’isyqi maqbul (rindu cinta kepada Allah yang sudah diterima) ialah Pangeran Atasangin menantu dari Sunan Carbon,

yaitu yang menjadi menantu Ratu Winaon. Pangeran Atasangin  putra dari Ratu Atasangin. Ratu Atasangin putra dari Haji Duta Samud yang telah lama menetap di Jawa, (h. 42) yang meninggal di sebuah tempat yang bernama Jambukarang.

Dan lagi yang mengalami ma’isyqi maqbul (rindu cinta kepada Allah yang sudah diterima) yaitu wali yang bernama Pangeran Mursyadah Ulu. Pangeran Mursyadah Ulu adalah saudara misan dari Atasangin yang menjadi cucu dari sang ratu, yaitu
cucu dari Duta Samud. Mursyadah Ulu itu masih sedarah dengan Ki Gedeng Sambung. Ada satu lagi yang berlaku ma’isqi maqbul (rindu cinta kepada Allah yang sudah diterima)

yaitu Pangeran Kalinyamat, yaitu yang menjadi cucu kebanggan Sekh Haji Puter Jagat Bagdadiyun. Ia adalah masih keponakan dari Pangeran Panjunan.

Sudah ada sembilan orang wali yang mengalami keadaan ‘isyqi ‘usyeqan maqbul (makom rindu, dirindukan, dan diteria oleh Allah swt). Keempat dari mereka yang sembilan yang telah mengalami keadaan itu sudah dijelaskan. Adapun yang kelima ialah Pangeran Penggung, yang keenam Pangeran Kajoran. Pangeran Jinoring Bonglot

Adalah yang ketujuh. Yang kedelapan ialah Pangeran Adilangu. Yang kesembilan adalah Pangeran Luwung Sang Lawi yang berasal dari Pase. (h. 43)

Adapun wanita-wanita yang disebut menjadi Pandita Sembilan ialah Babu Dampul putri dari Mesir, yang menjadi asisten Sunan Pakungwati (Sunan Gunungjati). Kedua ialah Rara Baghdad putri dari Judah yang masih saudara perempuan

dari istri Pangeran Panjunan. Kemudian Nyimas Panguragan yang masih keluarga misan dengan Syekh Lemahbang yang sudah disebutkan. Dan lagi Nyi Gedeng Jati putri dari Maulana Jatiswara.

Maulana Jatiswara dari Cempa putra Duta Samud. Ia (Nyimas Panguragan) masih saudara dengan Nyi Gedeng Jati. Ia juga masih tergolong saudara misannya Ki Sambung sebab mereka masih tunggal nasab menyambung ke Ki Duta Samud.

Nyi Gedeng Jati dan Ki Gedeng Sambung itu sejatinya masih merupakan cucu dari Samud. Juga yang lainnya ialah Nyi Gedeng Panjunan, Nyi Gedeng Malaka.

Nyi Gedeng Walis, dan juga Nyi Dana Raja yang menjadi ibu dari Makhdum Tajug, yang kesembilannya adalah Nyahi Gedeng Muniloyoh. (h. 44)

Para Syekh Jawa pun jumlahnya ada sembilan orang yaitu Syekh Khaji Jubah, Syekh Shidik, Syekh Berawa, Syekh Madekur, Syekh Anggung Rimang, Syekh Atim, Syekh Paniraman, Syekh Ghos, dan

Syekh Abiduddin Maha Pangulu. Para datuk juga ada sembilan yang menjadi para pembesar dari para datuk-datuk yang lain ialah Datuk Pardun, Datuk Khafid, Datuk Ranggaya,

Datuk Ungkara, Datuk Mabuyun, Datuk Bari, Datuk Magrib, Datuk Amir, dan Datuk Banjur. Para datuk-datuk yang sudah disebutkan itu merupakan cabang dari wali (kewalian) yang ada di Jawa yang semuanya masih serumpun.

Paku Haji yang menjadi kekuatan penyebaran agama Rasulullah saw, menjalankan ilmu syariat Nabi, senantiasa bermakrifat kepada Allah swt ialah Sunan Ampel sebagai orang yang memulai dalam kegiatan itu, yang tajam seperti ujung tombak.

Sunan Ampel ibarat tatah yang tajam mengukir, ibarat gada yang dipalukan. Karena Sunan Ampel telah (h. 45) memahat dan membangun ukiran agama islam di tanah Jawa.


SAJARAH DEMAK BAGAIKAN KELAHIRAN RAJA BARU

SINOM
Dengan menyebut nama Allah (yang Maha Pengasih dan Penyayang). Perkenankanlah kami menceritakan martabat sejarah Demak. Raja Cina Mugul sedang kedatangan seorang wali yang tersesat. Patih Mada yang menjadi patihnya itu sudah mengetahui dan beragama Islam. Adapun nama julukan dari patih itu ialah Sampo Twa Lan yang nantinya mendapatkan kramat wali.

Raja Cina Mugul yang masih belum beragama Islam itu ingin mencoba Sang Wali. Sang Wali yang sedang tersesat di istananya itu diperintahkan untuk menghidupkan ikan mas mainan agar ikan mas mainan itu selalu berenang berputar-putar dalam kolam. Sang Wali menyanggupi permintaan Raja Cina Mugul. Sang Raja Cina sangat marah kepada Sang Wali hingga Sang Raja Cina mengusirnya keluar dari negara Cina. Setelah Sang Wali keluar dari istana, ikan mas mainan itu melonacat

masuk dalam air dan hidup. (h. 46) Sang Raja Cina akhirnya kagum terhadap kejadian ini dan memanggil Sampo Twa Lan agar mencari Sang Wali. Titahnya pada Sampo Twa Lan, “Janganlah kamu pulang sebelum ketemu. Jika kamu berani pulang sebelum ditemukan, maka pastilah kamu akan aku bunuh!”
Ki Patih Sampo Twa Lan memutari seluruh peloksok praja Cina untuk mencari-cari Sang Wali.

Karena Sang Wali diawal pencarian tidak ditemukan, akhirnya Ki Patih Sampo Twa Lan melanjutkan pencariannya dan menyebrangi lautan. Ki Patih Sampo Twa Lan telah mempersiapkan semua keluarganya untuk dibawa dalam pelayaran pencarian ini. Tiga perahu kapal telah disiapkan dan berlayar menempuh luasnya samudera. Mereka terapung-apung di lautan lepas berbulan-bulan lamanya hingga akhirnya menyeberang sampai ke Palembang.

Di Palembang Ki Patih Sampo Twa Lan diterima oleh Aryang Damar (Aria Damar) dan menjadi pekerja istana. Karena pekerjaannya baik, akhirnya oleh Aryang Damar
Ki Patih Sampo Twa Lan  diambil sebagai menantu yang sangat dicintai oleh Aryang Damar. Ki Patih Sampo Twa Lan  mendapatkan kewibawaan dan diangkat menjadi Adipati Anom. Setelah Aryang Damar meninggal dunia, karena Aryang Damar tidak memiliki putra laki-laki, sementara Aryang Damar Palembang sudah wafat,

maka Ki Patih Sampo Twa Lan, yang dahulunya hanya sebagai menantu, menggantikan kedudukan Aryang Damar menjadi raja (h. 47) yang bertahta di Nagara Palembang yang masih memiliki hubungan dengan kerajaan Majapahit. Lama kelamaan Sampo Twa Lan berputra yang dinamakan Pangeran Palembang, ia juga bisa di sebut Nomi, yaitu yang menjadi pewaris Ratu Palembang.

Kemudian putra yang lain lagi bernama Pangeran Palembang Cilik, Arya Sumangsang. Ada lagi putra yang dibawa dari Negara Cina yaitu yang bernama Sun Tek Prawata yang mengabdi kepada Majapahit, yang setelah pengabdiannya kepada Majapahit, ia dinamakan Pangeran Wiratha.

Lama kelamaan putra bawaan dari Negara Cina itu dinamakan Cek Ban Cut. Ia, Cek Ban Cut, di Negara Palembang menjadi Gedeng Pandiris.
Lama kelamaan Brawijaya menikah dengan Ratu Ayu putri dari Ratu Cina. Ratu Ayu itu bernama Pek Wahu Jin. Kehidupan Pek Wahu Jin tampaknya tidak rukun dengan Permaisuri

Endrawati yang berasal dari Cempa. Hal itulah yang menyebabkan kematian Endrawati. (h. 48) Kemudian putri Nyo Jin yang diberikan kepada Prabu Sampo Twa Lan di Palembang ternyata wanita telah mengandung dua bulan dan saat lahir ternayata bayinya itu laki-laki

dinamai Raden Fatah. Selang beberapa lama kemudian, Nyo Jin melahirkan bayi laki-laki lagi yang diberi nama Raden Husen. Pada saat keduanya telah menginjak remaja, mereka berdua berlajar mengaji (di pesantren) Sunan Ampel di Ampel Denta. Telah tersohor bahwa ada santri yang berasal dari Palembang
yang bernama Raden Husen yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Raden Husen sangat baik kerjanay sehingga ia diperhitungkan oleh Raja Majapahit dan ia mendapatkan kewibawaan di angkat menjadi Aria Pecat Tenda yang bekuasa di kebupaten Teterung. Adapun Raden Fatah yang masih terus manjadi santri di Ampel lama-kelamaan mendapatkan ilham. Setelah mendapatkan ilham itu Raden Fatah kemudian

menghadap kepada gurunya, Raden Fatah berkata kepada Sunan Ampel: “Guru, hamba mohon izin, hamba bermaksud memerangi kerajaan Majapahit yang masih kafir dan agar jangan lama-lama orang islam (h. 49) mengabdi kepada Raja Majapahit yang kufur.” Sunan Ampel berkata: “Jangan lakukan itu muridku. Mengapa aku melarang kamu memerang Majapahit, karena Majapahit itu

tidak melarang segala kegiatan yang kita lakukan sebagai orang muslim. Yang kedua Prabu Brawijaya adalah raja besar di tanah Jawa yang kekuatannya dapat menaklukkan Nusantara, hingga Cempa dan Pase pun masih dapat ditaklukkan. Darimana alasannya kamu dapat menguasai Jawa dan dapat menguasai pulau-pulau luar Jawa?

Sebaiknya kamu tidak melupakan tiga masalah ini yaitu bahwa Raja Majapahit itu sesungguhnya adalah orang tuamu sendiri. Sebab dahulu ibumu sewaktu datang dari Palembang sudah mengandung hamil dua bulan, kemudian melahirkan bayi laki-laki yaitu kamu sendiri. Adapun adik kamu yang bernama Raden Husen yang nyata-nyata sebagai

putra Sampo Twa Lan Raja Palembang itu juga masih ada. Singkatnya begini muridku, jika kamu masih juga memiliki kemauan untuk hal itu, lakukanlah nanti setelah kematianku. Sekarang ini, kamu aku izinkan (h. 50) untuk mengajar ilmu agama. Bangunlah ‘pamulangan’ (pesantren) yang besar.
Berangkatlah ke aran barat. Di sana nanti jika kamu menemukan Gelaga Wangi maka disitulah tempatmu untuk membangun ‘pamulangan’, sebagai pesantren yang mengajarkan ilmu agama.” Kemudian Raden Fatah mengikuti perintah sang guru untuk membuka ‘pamulangan’ [pesantren] di dekat Bintara sudah jadi dan dinamakan Pesantren Demak.

Setelah melewati masa satu tahun dan pesantren sudah terisi sebanyak dua laksa santri maka didirikanlah Shalat Jumat. Ratu Majapahit mendengar hal ini kemudian memeriksa siapakah yang telah mendirikan golongan [Shalat Jumat] di sana itu, di dekat Bintara. Jika telah berdiri sebuah kota maka itulah permulaan perang dengan Majapahit.

Raden Fatah Putra Palembang yang melakukan sunat sudah diketahui oleh Prabu Brawijaya sejak dahulu bahwa Raden Fatah itu adalah titisan dirinya. Kemudian Raden Fatah mendapatkan pusaka Kandha Galante Bawat untuk kelayakan diangkat sebagai (h. 51) bupati di Bintara dengana gelar Raden Rangga Bintara.


PUPUH KINANTI
Raden Fatah yang juga bergelar Rangga Demak selalu mengjarkan ilmu agama berkumpul dengan para Walisanga yang ada di tanah Jawa. Setelah kematian Sunan Ampel, barulah dibicarakan untuk mengadakan perang sabil.

Yang menjadi komando terdepan dalam perang ini ialah Sunan Undung dengan gelar miqdam, yaitu pemimpin pasukan terdepan untuk menyerang Majapahit. Disamping itu juga banyak balatentara bantuan dari seberang yang mengikuti para Walisanga.

Dari Majapahit datanglah cucuk manggala Jawa, perwira pemerikasa, yang bernama Aria Tanda Terung yang kuat, yang masih menjadi saudara jauh para mukmin. Para balatentara Jawa itu menjalankan perintah peperangan dengan para mukmin.
Di samping para wali mendirikan Masjid Agung Demak, para wali juga terus membangun pasukan di medan perang sabilullah. Sebagian lagi ada para wali yang terus membangun musahalla (h.  52) dan masjid-masjid di perkampungan.

Tidak beberapa lama Sunan Undung wafat dalam perang sabil. Ia seorang yang sangat kuat dalam medan perang. Sunan Undung wafat dibunuh oleh Aria Tanda Terung dari Majapahit. Raden Fatah Rangga Bintara sangat menuesali perbuatan adiknya, Aria Tanda Terung, yang telah membunuh Sunan Undung dalam perang sabil itu.

Aria Tanda Terung itu masih saudara berani melawan saudaranya sendiri hingga membunuh komandan perang (pasukan depan) Islam, Pangulu Sunan Undung. Adapun Aria Tanda Terung itu adalah komandan perang dari pasukan Majapahit.

Setelah kematian Sunan Undung akhirnya para Walisanga kembali bermusyawarah unutuk mencarikan pengganti miqam, komandan perang, yang baru. Setelah melewati beberapa pertimbangan para Walisanga sepakat untuk mengangkat Sunan Kudus sebagai komandan perang para mukmin menggantikan Sunan Udung, ayah Sunan Kudus, yang telah wafat dalam medang perang sabil. Dalam peperangan kali ini para wali dipimpin

oleh Sunan Kudus sebagai pemimpin pasukan terdepan. Sunan Kudus diberi Pusaka Peti Candi peninggalan eyang Aria Damar Palembang yang diterima dari pemberian salah satu rakasa. Watak Pusaka Peti Candi itu bila dibuka akan menimbulkan suara yang menggelegar yang mampu mengguncangkan seluruh penjuru bumi.

Setelah keluar suara menggelegar itu, bagi para musuh medan perang menjadi gelap gulita bagaikan malam hari. Kemudian para Walisanga meminta pendapat tangan kanan para wali yaitu Sunan Jati. Akhirnya Sunan Jati membuka (h.  53) Badong Raqam (Baju Bertuliskan Rajah-rajah dan azimat), yang jika dikebatkan baju itu akan mengeluarkan

tikus-tikus yang bisa mencapai berribu-ribu laksa. Jika tikus-tikus itu dipukul oleh musuh maka akan menjadi bertambah dan memenuhi medan perang sabil menggigiti semua senjata musuh. Lalu para Walisanga meminta pendapat kepada tangan kiri para wali yaitu Sunan Giri. Sunan Giri mempunyai pusaka

keris yang jika dibutuhkan dapat mengeluarkan lebah api yang dapat menggigit para musuh hingga meninggal. Kelebihan dari Sunan Jati dan Sunan Giri itulah yang menyebabkan pasukan Majapahit mengalami kekalahan hingga mereka berlarian pulang ke Majapahit dengan pontang-panting.

Pasukan Majapahit terus mundur dan diburu oleh lebah api dan tikus. Lembu Peteng bersembunyi di Gunung Lawu hingga menghilang. Patih Gajahmada merad berbarengan dengan terbunuhnya Prabu Brawijaya.

Aria Tanda Terung melarikan diri jauh menyingkir karena merasa dirinya telah membunuh Sunan Undung. Aria Tanda Terung jauh menyingkir hingga tidak bisa ditemukan oleh pasukan para wali. Para wali terus mendesak sisa-sisa dari pasukan Majapahit yang belum menyerah. Para mukmin sibuk menjarah harta yang ditinggalkan di dalam kerton Majapahit.

Pasukan para wali terus memasuki keraton yang sudah kosong ditinggal oleh para penghuninya. Tidak ada seorang manusia pun ditemukan di dalam keraton. Malahan (h. 54) prabayaksa keraton Majapahit diruntuhkan dalam sehari dan diangkut untuk dijadikan serambi Masjid Agung Demak.

Di Demak Rangga Bintara Agung menjadi Sultan Demak dengan gelar Abdul Fatah sebagai penguasa muslim. Kerajaan Majapahit runtuh. Demak mendirikan keraton yang kuat.
Apa yang menjadi kekuasaan Majapahit diteruskan oleh Demak, menguasai pulau Jawa dan dua puluh satu pulau yang lain. Hanya Tanda Terung yang menghilang masih terus dicari.

Akhirnya Sunan Kudus dapat menemukan Tanda Teterung dan hendak membalas atas kematian sang rama Sunan Ngudung. Dimana ada seorang wali yang sombong itulah kenyataan dari Tanda Teterung. Sunan Demak terus mengawasinya.

Tanda Terung bertaubat di hadapan Sultan Demak, Sultan Demak terus menanyakan tentang kesungguhan pertaubatannya. Hanya saja Sunan Kudus telah menyadari untuk tidak menuntut balas, Sunan Kudus tidak jadi menggugat kematian ayahnya kepada Tanda Terung, karena ia menyadari ayat, “paman ‘ufiya lah fattibā’un bil ma’ruf. Barangsiapa yang mengampuninya, maka sertakanlah dengan kabikan.”

Kemudian Sunan Kalijaga memberikan gelar kehormtan kepada Tanda Teterung dengan gelar nama (h. 55) Pangeran Palakaran, karena penyesalan hatinya dalam bertaubat yang menyebabkannya menjadi calon waliyullah, sebagai dorongan untuk menguatkan hatinya.

Malahan pertaubatan yang dilakukan begitu besar dan sungguh-sungguh, sehingga ia tidak mau memiliki kedudukan dalam politik. Ia terus tekun mendekatkan diri kepada Allah di daerah Drajat hingga mencapai derajat ‘isyqi (wali yang penuh birahi kepada Allah), kemudian tidak lama setelah pencapaian itu ia wafat dan dimakamkan di Palakaran.

Diceritakanlah yang telah menjadi raja di Demak yang menguasai seluruh bumi Jawa yang bernama Sultan Demak Abdul Fatah telah menikah dengan putri Nyi Gedeng Malaka yang bernama Nyai Layang Gani.

Dari pernikahan itu Sultan Demak Abdul Fatah mempunyai putra yang bernama Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Trenggana. Dari isteri yang lain Sultan Demak Abdul Fatah menurunkan putra yang bernama Pangeran Baskara yang menjadi bupati di Jipang.

Demak terus mengalami kemakmuiran hingga Sultan Demak Abdul Fatah meninggal dunia dan kepemimpiannya digantikan oleh putra tertuanya yang bernama Pangeran Sabrang Lor, yang menjadi menantu Sunan Gunung Jati.

Sultan Demak Pangeran Sabrang Ler itu (h. 56) menjadi sumai dari putri Sunan Jati yang bernama Ratu Ayu Prameswari. Hanya saja pernikahan itu hanya berlangsung selama tiga tahun karena Sultan Sabrang Lor meninggal dunia.

Kemudian kepemimpinan Demak diteruskan oleh saudaranya yang bernama Sultan Taranggana. Sultan Demak Trenggana memiliki sembilan orang putra dan putri. Adapaun putranya yang perempuan bernama Ratu Kamasan. Adapun yang laki-laki bernama-

Pangeran Parawatu Luhur. Putra laki-laki yang lainnya bernama Panembahan Madiunan. Putra laki-laki yang lainnya bernama Pangeran Sudarma yang memerintah di Kediri.

Dan juga isteri yang sangat disayangi yang bernama Ratu Pananggungan Sari, dan juga istri Ratu Japara yang menjadi menantu dari Pangeran Sebakingkin. Kemudian juga seorang isteri yang bernama

Kanjeng Dewi Pangeran Ratu menjadi isteri Pangeran Sebakingkin dan juga Ratu Nyawa. Adapun yang menjadi mantu Sunan Jati dari para lelaki ialah yang bernama Pangeran Sedang Lamper.


ASMARANDANA (h. 57)
Dengan isteri yang lain yang bernama Kanjeng Dewi Ratu Alunan yang dipersembahkan sebagai imbalan kepada Jaka Tingkir ketika bertarung dengan kesaktiannya menghadapi kerbau yang mengamuk. Setelah mengalahkan kerbau itu Jaka Tingkir kemudian dinobatkan sebagai bupati

Di negara Pajang unruk memerintah negeri itu. Malahan setelah kematian Sultan Trenggana, Jaka Tingkir kemudian memerintah sebagai Sultan Pajang yang sangat fokus melebarkan kekuasaanya hingga ke peloksok tanah Jawa, bahkan kekuasaan Jaka Tingkir pada saat menjadi Sultan Pajang melebar hingga ke dua puluh satu pulau yang berada di luar Jawa, hingg para penguasanya seba menghadap ke Pajang.

Karena alasan itulah Pajang menjadi Kasultanan yang menguasai pulau Jawa.

Sunan Parawata memerintah hanya sebentar saja karena Demak masih memangku wilayahnya sehingga saat itu Sunan Prawata hanya belaku sebagai bupati yang masih menjadi bawahan Demak

Hal itulah yang menyebabkan Pangeran Aria Jipang tidak suka menghadap kepada Ki Ageng Pengging. Keinginan Sunan Prawata untuk tidak menguasai tanah Jawa pun terungkap, sebaiknya serahkan padaku kekuasaan terhadap tanah Jawa itu jangan hanya kepada ipar yang lain saja.


Bukankah aku yang wajib (h. 58) melanjutkan takhta kakak Sultan Trenggana? Mengapakah yang menjadi Sultan adalah Aria Jipang? Bukankah hal itu memporak porandakan terhadap syariat? Menjadi musuh bagi Sultan Pajang menantang kedigjayaannya dengan melakukan pembegalan (penyergapan) terhadap Ki Ageng Kalinyamat.

Karena pembegalan itulah kemudian Sunan Kalinyamat meninggal dunia. Pembegalan itu dilakukan oleh Adipati Aria Jipang. Oleh karena itulah Sultan Pajang membuat syaimbara bahwa siapa yang dapat melakukan penangkapan untuk

Membunuh Aria Jipang, maka aku beri sebuah kekuasaan pada sebuah negara (wilayah) yang berada di hutan Mataram. Maka kemudian syaimbara itu dilaksanakan dan dimenangkan oleh Ki Ngabehi Banglering Pasar yang sanggup membunuh Aria Jipang dengan sempurna.

Oleh karena itulah Raden Ngabehi Banglering Pasar dianugerahi kedudukan penuh untuk menjadi bupati Mataram. Senapati Ing Ngalaga (Raden Ngabehi Banglering Pasar?) lama kelamaan wafat sebagai Senapati Mataram.

Untuk menunaikan menjadi penguasa tanah Jawa perlu melakukan pertapaan hingga berjalan ke ujung peseisi pantai selatan, bercampur dengan para dedemit kemudian dibawa terbang jauh menghadap ke hadapan Nyi Roro Kidul untuk mendapatkan kekuatan dan kewibawaan. (h. 59)

Diceritakan bahwa Raja Pajang tidak memiliki putra laki-laki, selain tiga anak yang ketiganya adalah perempuan semuanya yaitu Ratu Rara yang menjadi isteri dari Dipati Tuban, Ratu Gulampok yang menikah dengan

Panembahan Pakungwati, dan terakhir bernama Ratu Wenang yang Pangeran Wangga putra dari Sunan Parawata yang sudah meninggal dunia. Sunan Parawata mempunyai lima putra.

Putra yang pertama bernama Pangeran Awangganata, kemudian Pangeran Jurudongeng, Jurupatawa, juga putra yang bernama Pangeran Sedaing Lahut, dan yang terakhir adalah putra yang bernama Pangeran Pangkalan Angga.

Tampak kemudian Pangeran Pangkalan Angga menduduki jabatan Sunan menggantikan orang tuannya. Kemudian Sunan Prawata juga memiliki dua orang putri wanita yaitu Ratu Madeng Pandan yang menikah dengan Raja Jala yang berkuasa di Paraja Tanduran Ulu. Kemudian putri yang lain dari Sunan Prawata adalah seorang putri

Yang bernama Ratu Galuhanting yaitu seorang putri yang menikah dengan Adipati Ngawinat yang kemudian menurunkan Raden Urawan, Raden Jaladriyan, dan juga Raden (h. 60) Juru. Itulah anak-anak dari adik Ratu Pandan.

Kemudian juga utra yang lainnya yang bernama Ki Raden Arya. Kemudian Ki Raden Arya menurunkan Arya Agung Wiratama, berputra Jeng Pangeran Sedang Babaturing Tajug, Sedang Batur Tajug berputra

Pangeran Sedang Gresik, Pangeran Sedang Gresik berputra Pangeran Pajabugan Ler, Pangeran Pajabugan Ler berputra yang bernama Pangeran Rama. Pangeran Rama kemudian perputra Pangeran Mas Surabaya

Yang dikebumikan di Wisa Sumerup (?) itu. Adapun yang bernama Pangeran Juru berputra Pangeran Emas Apan, Pangeran Mandura Gung, Ki Juru Wiraprapta.

Ki Juru Kenthing, dan Ki Kendanging Jaketra. Adapun Pangeran Mas Apen berputra yang bernama Ratu Bagus Rapraba yang meninggal dan dikebumikan di Bumi Tetegal.

Baru sebatas itulah para keturunan (duriyat) Demak (h. 61) yang dapat dijelaskan dalam cerita sejarah. Adapun Sultan Pajang yang memiliki keberuntungan menggantikan Kesultanan Demak disebabkan karena ketelitian dalam berkuasa.

Karana ibunda Jaka Tingkir itu masih merupakan putri dari kerajaan Majapahit yang namanya sangat terkenal dengan sebutan Putri Andayaningrat, yang dijadikan sebagai anugerah kepada Ki Ageng Pengging pada waktu dahulu ketika negara Bali melakukan pembangkangan

Dan mogok kepada kerajaan Majapahit. Pada saat itu Ki Gedeng Pengging lah yang bisa menyelesaikan pembangkangan negara Bali. Orang-orang Bali yang memberontak kemudian kembali patuh pada Majapahit. Karena jasa itulah Ki Ageng Pengging mendapatkan anugerah seorang putri Majapahit.

Pertemuan pernikahan itu kemudian melahirkan seorang putra yang bernama Jaka Tingkir, yaitu seseorang yang menjadi Sultan Pajang, hal itu pula karena berkah dari sang guru yang bernama Sunan Giri Gajah.

Kemudian lagi ketahuilah bahwa Senapati Mataram ketika melakukan tapabrata dengan berjalan melancong di daerah Banyubiru, ia berjalan mengelilingi (h. 62) para saudaranya yang bernama Ki Manyubiru[1], ia melihat kelapa muda dibelakang rumahnya.

Ia melihat kelapa muda yang baik untuk diminum, saat ia hendak meminumnya Ki Senapati berpikir bahwa kelapa muda itu tidak seberapa harganya sehingga Ki Senapati meminumnya hingga Ki Senapati memakan habis isinya. Saat kelapa muda itu habis dimakan makan oleh Ki Senapati datanglah Ki Buyut Biru, pemilik kelapa muda itu.

Ia sangat menyesal begitu dalam terhadap kelapa muda yang ia dapatkan dari hasil melakukan pertapaaan yang cukup lama sehingga dalam pertapaan itu ia didatangi oleh Sunan Kalijaga yang memberinya sebuah kelapa muda yang diperuntukkan serta dijanjikan agar ditanam oleh Ki Buyut Biru.



PANGKUR
Janji dari Sunan Kalijaga itu adalah bahwa barangsiapa yang memakan buah kelapa muda yang baru itu maka ia pasti akan menjadi raja di tanah Jawa. Karena itulah kemudian Buyut Banyu Biru mandi terlebih dahulu sebelum meminumnya, saat selesai mandi Buyut Banyu Biru dan hendak memakan kelapa muda, ternayata kelapa muda itu sudah ada yang memakannya.

Ki Buyut Banyu Biru sangat bersedih, Adi Senapati pasti akan menjadi raja di tanah Jawa dalam beberapa waktu kemudian akan digantikan olehku kembali. (h. 63) Aku orang yang tidak tahu diuntung. Kemudian Senapati segera pergi, ia tidak sudi meladeni orang yang sedang marah-marah karena kelapa mudanya telah dimakan oleh dirinya.

Lama sekali Sang Senapati bertapa dan tinggal di gunung, pada suatu waktu Sang Senapati mendapatkan wahyu kaprabon. Namun demikian Sang Senapati masih terus berjalan sehingga dalam perjalanan itu Sang Senapati bertemu dengan Sunan Pakungwati. Pada saat Sang Senapati berkunjung ke Sunan Pakungwati, maka Sunan Pakungwati berkata.

“Anakku, ketahuilah olehmu bahwa suatu hari kemudian kamu akan menjadi raja di tanah Jawa. Namun sebelum itu terjadi, terlebih dahulu kamu akan melihat kekacauan besar yang terjadi di negara Pajang. Pegangteguhlah nasihat ini walaupun kamu menjalaninya dengan mempertaruhkan hidup dan mati. Karena dari situlah kamu akan segera menjadi raja.”

Sang Senapati memberikan sembah penghormatan kepada Sunan Pakungwati, Sang Senapati meyakini nasihat yang diberikan oleh Sunan Pakungwati. Tidak lama kemudian di Pajang terjadi sebuah kekacauan yang menggemparkan sehingga hal terdengar oleh Sang Senapati. Sang Senapati berkata, “Apakah yang telah terjadi di Pajang sehingga hal itu menggemparkan seluruh pulau Jawa?

Apakah juga yang dikehendaki oleh orang-orang Pajang sehingga mereka mengobarkan api peperangan dimana-mana? (h. 64) Jika hal itu yang dikehendaki oleh orang-orang Pajang, maka biarlah aku yang akan menyerang terlebih dahulu.” Mendengar ucapan Sang Senapati, orang-orang pajang marah besar sehingga menimbulkan peperangan. Melihat kemarahan orang-orang pajang Sang Senapati segera menyerbu ke Pajang.

Pecahlah peperangan antar Sang Senapati dengan Pajang. Tombak dan panah berhamburan. Meriam besar yang diangat oleh delapan orang itu menyemburkan api yang meletup-letup, membakar segala yang ada. Melihat keganasan meriam yang mengerikan itu, Sultan Pajang berkata, “Peperangan yang ganas ini akan banyak orang yang menjadi fakir. Aku percaya di dalam hati bahwa

Suatu ketika nanti kamu akan menduduki Jawa. Aku pasrah ikut dalam perlindunganmu di Pajang sampai habis sisa usiaku. Adapun pulau Jawa dan dua puluh lima pulau yang lain ambillah olehmu.” Oleh karena itulah Sang Senapati  naik takhta di Mataram dan membiarkan Sultan Pajang hingga habis usianya.

Setelah Sang Senapati menjadi Sultan Mataram, Sang Senapati berkuasa penuh sebagaimana kekuasaan Majapahit. Sang Senapati Mataram dapat menaklukkan seluruh kerajaan yang ada di pulau Jawa sehingga para raja di Jawa semua tunduk dalam persebaan Mataram dan para raja itu diwajibkan seba menghadap kepada Sultan Mataram pada setiap bulau Maulid sambil membawa upeti dan persembahan. (h. 65)

Semua raja-raja diwajibkan setiap tahun menghadap ke Mataram, kecuali daerah-daerah yang punya jasa terhadap Mataram, maka daerah-daerah itu tetap merdeka dan bebas tanpa membayar upeti kepada Mataram. Daerah-daerah yang memiliki kebebasan itu adalah Tuban karena penghormatan Mataram kepada Sang Guru Sunan Bonang, daerah Gresik karena penghormatan Mataram kepada Sunan Giri.

Daerah Kudus juga merdeka karena penghormatan Mataram kepada Sunan Kudus, daerah Cirebon juga merdeka karena penghormatan Mataram kepada Sunan Jati, daerah Kadilangu juga merdeka karena penghormatan Mataram kepada Sunan Kalijkaga. Semua para wali mendapatkan hak istimewa dari Mataram karena mereka adalah para guru Mataram.

Setelah para wali meninggal, semua daerah yang semula memiliki hak istimewa itu digulung oleh Mataram. Bahkan Cirebon dan Banten pun dikuasai oleh Mataram dan diwajibkan seba menghadap ke Mataram pada setiap tahunnya.
Sang Senapati Mataram memiliki pasukan perang yang kuat sebagaimana Majapahit karena Mataram masih merupakan keturunan Majapahit.


Malahan Sang Senapati Mataram berbangga dapat menguasai seluruh kerajaan yang ada di pulau Jawa. Jika diteliti hal ini dikarenakan Sang Senapati Mataram masih merupakan keturunan dari (h. 66) Ki Pamanahan yang dahulu, yang Ki Pamanahan itu masih merupakan putra dari Bondan Kajawan.

Sedangkan Bondan Kajawan itu adalah masih keturunan dari Raja Majapahit yang dahulu dibuang. Dalam pembuangan itu Bondan Kejawan melakukan pertapaan yang tekun untuk memulihkan kedudukan anak cucunya agar dapat timbul menguasai kerajaan, yang jika diibaratkan sangatlah sesuai dengan pribahasa ‘kasuma turuning waris’, yaitu kusuma menitis pada waris.

Menduduki sebagai Ratu di Mataram menjadi Senapati yang sungguh telah mendapatkan perlindungan ‘payung tunggul’ dari Sunan Kalijaga sebagai penjaga Mataram. Hal itu karena para wali lain yang delapan telah meninggal dunia.

Sehingga hanya Sunan Kalijagalah yang masih hidup sebagai rijal, wali, yang menduduki tanah Jawa, mendapatkan anugerah sebagai wali Jawa. Bukankah nenek moyang Sang Senapati Mataram itu adalah orang yang agung yang kewibawaannya diwariskan kepada anak cucunya. Hal itu juga karena Sang Senapati Mataram mendapatkan berkah dari waliyulah Sunan Kalijaga.

Kemudian Sang Senapati Mataram menurunkan Pangeran Kajenar, Pangeran Tepasan Yang Mahasri, (h. 67) dan perempuan yang menikah dengan Punggawa Mantri dari Sabrang. Yang ada di Pajang bernama Ki Japarana, berputra Ki Dadap Surat. Ki Dadap Surat berputra

Yang bernama Ki Jamanggal dan Ki Arya Pamot Suradiradir. Emapat orang yang disebutkan tadi masih merupakan keluarga Sang Senapati. Kemudian menikah dengan orang yang bernama Gedeng Enis. Gedeng Enis berputra Raden Narawangsa Haji.

Narawangsa berputra Raden Rasa Jawa. Kemudian berputra yang bernama Raden Tugel. Kemudian berputra Raden Papak yaitu yang masih saudara dengan Ki Gede ing Pamanahan yang menjadi orang tua Ki Senapati Mataram.

Ki Senapati Mataram merupakan murid kesayangan dari Sunan Kalijaga. Ki Senapati Mataram berguru kepada Sunan Kalijaga tentang berbagai hal terutama tentang ‘jati wisik’, hakikat rasa tauhid terhadap Allah yang dapat membuka tabir pemikirannya hingga Sang Senapati Mataram dapat bermakrifat kepada Allah Yang Maha Kasih. (h. 68)

Sunan Kali berkata, “Senapati Mataram, perhatikan olehmu tentang hakikat ilmu sepuluh agar selalu diwaspadai, hakikatnya hal itu sangat berat. Maka barangsiap yang memiliki ilmu sepuluh itu, maka ia pasti

Akan menjadi raja di dunia dan akhirat. Malahan hal itu dapat diteruskan oleh anak cucunya. Anak cucunya juga akan jumeneng menjadi raja. Nanti ada yang mengantikan namun hanya sebentar. Hal itu masih dapat dikatakan sebagai keberuntungan di dunia dan akhirat.”


PUPUH DANGDANGGENDIS
Sang Senapati Mataram bertanya, “Ilmu ‘jati wisik’ itu seperti apakah Eyang Guru? Mohon Eyang Guru memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya tentang ilmu sepuluh itu. Penjelasan dari Eyang Guru sangatlah hamba pegang teguh sebagai azimat di dunia dan akhirat. Yang hamba mohon hal itu dapat sampai kepada anak cucu hamba menjadi raja hingga seterusnya.

Sunan Kalijaga menjelaskan (h. 69) tentang ilmu ‘jati wisik’, “Ketahuilah olehmu wahai Ki Jebeng Mataram, Ideping lampah, ketenangan sikap itu adalah adanya pengetahuan yang yakin bahwa hal itu sebagai perbuatan Allah semata terhadap seluruh gerak alam semesta, tidak ada yang lain selain Allah yang menggerakkannya.     Kedua, lungguhing pejah, yaitu bahwa jika mati maka tidak mati. Ia masih hidup sebagaimana biasanya.

Langgeng tidak terkena perubahan, juga tidak bergeser sedikitpun. Ketiga, pancering tingal, fokus pandangan, adalah bahwa menjelaskan pandangannya terhadap kepastian dan takdir dari Allah Yang Maha Luhur, hanya kepada Allah-lah kembalinya segala sesuatu. Keempat, papatutaning pati, kematian yang baik, yaitu mendapatkan amanat perintah Allah di dunia agar berserah kepada Allah untuk mendapatkan titipan-Nya.

Yang kelima ketahuilah bahwa sirna (persatuan) nya papan dan tulisan dinyatakan dengan persatuan jasad dan ruh, atau campurnya persatuan ruh dan rasa perasaan Allah Yang Maha Pengasih. Yang keenam kesucian yang terlewat yaitu kesudahan memfanakan yang selain Allah, atau melepaskan semua sesuatu yang menandingi Allah karena kerinduan yang mendalam kepada Allah.

Asyik (h. 70) masyuk khusuk dalam cinta kepada Allah tanpa yang lain. Yang ketujuh kesempurnaan air yang meresap menitis dari lisan Rasulullah Muhammad saw yang hakiki, hakikat Muhammad yang menjadi pusat kehidupan semesta alam. Yang kedelapan yang bernama Mantra Sahadat Jati ialah kalimat “Asyhadu tibaning esir, ilaha jatining rasa.

Illallahu patemoning esir, iya rasa iya Rasulullah (Aku bersaksi jatuhnya sir, tiada Tuhan arti hakikat rasa, kecauali Allah pertemuan sir, yaitu rasa yaitu Rasulullah).
Satu wujud tanpa dua tak terpisahkan oleh apa pun jua. Maka menikah di dalam fana pertemuan rindu cinta kepada Allah dan juga kenyataan diri-Nya. Yang kesembilan ketahuliah bahwa Mantra Syahadat Khatim itu ialah kalimat “Kang murba jagat sakalir, ma’syuk wujud idhofat.

Hakikat Rasul rupa ana ing, pahesan wawayangan dzatullah (Yang Maha Menguasai seonggok dunia, rindu wujud yang disandarakan kepada diri-Nya, hakikat Rasulullah yang berupa ada yang menjadi perhiasan bayangan Dzat Allah). Yang kesepuluh maksud dari pandha rara (teladan yang baik) ialah cermin bersih yang menjadi kaca indah ialah hakikat Nabi Muhammad saw karena Nabi Muhammad saw ialah intan manusia yang menjadi pemimpin seluruh alam semesta. Nabi Muhammad saw itu adalah hakikat dzatullah.

Sang Senapati Mataram (h. 71) sangat bangga menerima nasihat kedigjayaan yang hakiki dan sempurna itu untuk keselamatan kedudukannya. Dan ada lagi yang diceritakan seorang putramahkota di Mataram yang bernama Pangeran Kajenar telah berputra yang diberi nama Pangeran Sedang Krapyak dan Pangeran Pajang yang besar dan tumbuh di Pajang.

Dan lagi Pangeran yang dibesarkan negara Demak, juga yang bernama Pangeran yang berkedudukan di negara Puger. Juga Pangeran yang berkedudukan di Mangkubumi. Diceritakanlah Pangeran Sedang Krapyak telah memiliki seorang putra lelaki

Yaitu Sultan Mataram yang dapat mewarisi kedudukan nenek moyangnya sebagai sang raja. Ia bernama Senapati Kayuyun Mataram yang menjadi Sultan Mataram. Ia memiliki tiga saudara yang bernama Ki Rahaden Martapura, Ki Larang, dan Ki Mas Pandansari. Yang terlihat (h. 72) juga seseorang yang namanya

Pangeran Surabaya yang dikebumikan di tanah Mataram hingga akhir takhtanya. Sultan Mataram diteruskan oleh anakanya menjadi Sunan Mataram yaitu yang disebut istri yang menikah dengan Raden Wiramada yang nantinya melahirkan Pangeran Purobaya.

Yang dikebumikan di Tiyas, yang takhtanya kekal sampai akhir hayatnya. Kemudian takhta Sunan Mataram itu diteruskan oleh putranya yaitu yang disebut Sunan Mangkurat yang memiliki banyak saudara kandung diantaranya ialah Raden Demang, dan Pangeran Tepasan yang duduk terakhir. Adapun saudara Sunan Mangkurat yang lain ibu ialah

Yang bernama Pangeran Dipati, Pangeran Puger, Pangeran Singasari, dan Raden Gede. Dan saudara yang lain yang lain ibu ialah Raden Raya Natpada. Juga dari ibu yang lain bernama Raden Pamot. Juga dari ibu yang lain bernama (h. 73)

Raden Dana Raja. Juga dari ibu yang lain bernama Ki Suryanala. Kenyataannya dari kedudukan Sunan Mangkurat di Mataram kemudian diteruskan oleh Ki Tarunajaya yang masih merupakan keturunan Ki Banyu Biru yang dahulu telah menanam pohon kelapa.

Tarunajaya putra dari Gedeng Langkung yaitu putra dari Gedeng Alas. Gedeng Alas merupakan putra dari yang bernama Gedeng Lenyep. Gedeng Lenyep  adalah putra dari Buyut Banyu Biru. Karenanya Ki Tarunajaya dapat meruntuhkan Mataram karena kesaktiannya. Tarunajaya adalah seorang putra yang berpengalaman dalam berperang.

Sebagai emaban-emaban Pangeran Kuning turunan Sunan Kali yang membantu segala tindakannya di situ. Karena itulah tujuannya terkabul dalam memperoleh takhta kerajaan Sunan Mangkurat. Sunan Mangkulat meninggal dunia dan dikuburkan di Tegal Arum. (h. 74)


PUPUH MIJIL
Selanjutnya setelah hilangnya keraton Mataram itu muncul Ki Tarunajaya yang bertakhta di keraton Kartasura. Tarunjaya kemudian menjadi sultan di negara Kartasura itu.

Kekuasaan yang ada pada Mataram kemudian diteruskan di keraton Kartasura sebagai emban-emban (pewaris) Kanjeng Pangeran Jene yang pada saat itu bertemu Sunan Kalijaga. Hal itu juga sebagai hasil baktinya pada Sunan Kalijaga.

Hasil bakti dan kepatuhan kepada Sunan Kalijaga yang telah membimbingnya hingga selamat sejahtera sampai pada kedudukan keturunannya sebagai Sultan Kartasura. Kemudian Sultan Kartasura memiliki putra laki-laki yang bernama

Pangeran Taruna Sakti Adipati Anom Kertasura. Lama kelamaan Sultan Kartasura meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang bernama Taruna Sakti Adipati Anom Kertasura.

Kemudian Taruna Sakti bertakhta di Kartasura sebagai Sultan Kartasura Anom yang sangat dihormati dan menguasai seluruh tanah Jawa. (h. 75) Tidak ada kerajaan lain yang dapat menandinginya.

Lama kemudian datanglah keturunan Mataram yang terbuang di hutan yang menjadi kesatria yang berjiwa kusuma yang bernama Ki Janur Kuning Sukma Ningrat Sakti.

Di ceritakan bahwa Ki Sukma Ningrat Janur Kuning adalah putra dari seorang yang bernama Kartawirya. Kartawirya adalah putra dari Adipati Mataram yang dapat menyusup ke dalam lingkungan keraton Kartasura.

Adipati Mataram itu mengungsi ke hutan sejak runtuhnya Mataram oleh Tarunajaya. Adipati Mataram ini sesungguhnya putra dari Sunan Mangkurat. Yaitu Sukma Ningrat Janur Kuning yang masih memiliki keturunan ratu.

Sukma Ningrat Janur Kuning sebagai pewaris takhta Mataram, malah Sukma Ningrat Janur Kuning inilah yang nantinya dapat meruntuhkan kekuasaan Kertasura sebagai lingkaran pewaris yang sah yaitu yang bernama Gedeng Landhoh Lurung.

Gedeng Landhoh putra dari Gedeng Lurung Lengkot. Ki Gedeng Lurung putra dari Gedeng Neba Sayana Candi. Gedeng Neba Sayana Candi (h. 76) putra dari Syekh Canduk.

Syekh Canduk putra dari Taburi. Taburi putr dari Pangeran Jambu Kawes yang menjadi menantu dari Sunan Gunungjati. Adapun Sunan Atas Angin adalah orang yang sama dengan Karang Jambu.

Yang menjadi suami dari Ratu Winahon. Karena itulah Gedeng Landhoh menjadi pengasuh dari Sukmaningrat Anjanur Kuning yang pada pokoknya masih punya hubungan dengan Sunan Gunungjati yang selalu membantunya.

Gedeng Landhoh adalah seorang yang menjadi pendahulu dalam sebuah peperangan yang terjadi di Kartasura yang berakhir hingga kejatuhan takhta Sultan Kartasura. Kesaktian Sultan Kartasura telah habis dalam pegangan Gedeng Landhoh.

Sultan Kartasura telah runtuh sebagaimana pribahasa yang berkembang kemudian Sukmaningrat Anjanur Kuninglah yang menggantikan kedudukannya menjadi penguasa atas seluruh peloksok tanah Jawa. Sultan Kartasura menyerahkan kekuasaanya yang telah jatuh.

Jika masih ada rasa belas kasihan darimu terhadapku hingga kematianku wahai Ki Janur Kuning untuk aku tetap tinggal hanya di Kartasura saja, maka ini akan menjadi kebaikan. Ki Sukmaningrat Anjanur Kuning meuruti permintaannya. Oleh karenanya Ki Sukmaningrat Anjanur Kuning mendirikan (h. 77) takhta keratonnya

Berdiri terpisah menjadi sunan di Negeri Solo untuk mengendalikan pemerintahannya guna menata pemerintahan seluruh Jawa. Hal itu Ki Sukmaningrat Janur Kuning bisa dibilang mengembalikan kembali takhta waris Mataram yang selama ini hilang.

Karena Sukmaningrat Janur Kuning masih merupakan turunan Ki Senapati Mataram lama yang belum putus. Hal itu juga sebagai bukti kebenaran akan petuah Sunan Kalijaga kepada Senapati Mataram yang terdapat dalam ilmu “jati wisik” yang sepuluh.

Oleh karena jasa Gedeng Landhoh dalam kala itu, maka Gedeng Landhoh diberi pemberian sebagai penguasa yang besar menjadi Panembahan di Negeri Pati. Pemberian gelar Panembahan di Negeri Pati kepada Gedeng Landhoh itu merupakan anugerah dari Sunan Solo.

Setelah Gedeng Landhoh memerintah sebagai Panembahan di Negeri Pati, maka ia kemudian berputra Pangeran Curug Landong namanya. Lama kelamaan Gedeng Landhoh Panembahan Pati tidak tidak tahu diri terhadap kekuasaan yang telah diberikan padanya

Sehingga Gedeng Landhoh Panembahan Pati tidak mau menghadap seba ke Keraton Solo. Hal itu berjalan kurang lebih sekitara tiga tahun lamanya. Karena itulah hal itu kemudian dimengerti oleh Sunan Solo bahwa Panembahan Pati sudah tidak (h. 78) seperti dulu lagi.  Seperti juga Senapati Mataram sewaktu

Tidak mau menghadap seba ke Pajang pada masa dahulu, yang akhirnya lama kelamaan menjadi merbut takhta Pajang. Sunan Solo curiga jangan-jangan nanti Panembahan Pati juga akan merebut takhta Kasunanan Solo yang tentunya akan menimbulkan kekacauan dikemudian hari.


Oleh karena itu, maka pada saat itu juga Sunan Solo mengambil sikap untuk menangkap Panembahan Pati Landhoh untuk disingkirkan dan diasingkan dari pulau Jawa dan dibuang ke pulau yang jauh beserta keluarga dan anak cucunya.

Semua keluarga Panembahan Pati Landhoh dicari dan dibuang jauh dari pulau Jawa. Semua anak keluarga Panembahan Pati Landhoh telah dimusnahkan agar tidak lagi dapat berkuasa.

Sehingga di Solo anak, keluarga, dan keturunan Panembahan Pati Landhoh sudah tidak ada lagi yang tersisa umtuk meneruskan kerajaan. Hanya tersisa Ki Curug Landung namanya tidak diketahui dan tidak ikut terbuang. Sebab pada saat pemusnahan keluarga Panembahan Pati Landhoh Ki Curug Landung sudah pergi mengungsi.

Ki Curug Landung sebagai keturunan Panembahan Pati Landhoh sudah menyingkir untuk bertapa dan berlaku birahi masuk ke dalam negeri Cirebon. Ki Curug Landung berlindung pada berkah Sunan Jati Cirebon. Malahan Ki Curug Landung menurunkan anak cucu (h. 79) yang berlaku birahi. Ki Curug Landhung akhirnya mendapatkan putra yang bernama

Ki Tuan Jopak. Ki Tuan Jopak berputra Ki Tuan Jayaka. Ki Tuan Jayaka berputra Ki Tuan Candi. Ki Tuan Candi berputra Ki Bagus Rohman.

Ki Bagus Rohman berputra Ki Bagus Rohim. Kemudian Ki Bagus Rohim berputra Ki Ulung yang selalu menurunkan anak-anak yang selalu birahi. Orang-orang yang selalu birahi itu tidak lain merupakan keturunan Ki Gedeng Landhoh Panembahan Pati itu.


PUPUH MAGATRU
Diceritakan bahwa sinuhun kaprabon di Solo yaitu Sunan Janur Kuning itu menduduki takhtanya hingga akhir hidupnya. Sunan Janur Kuning dalam memimpin Jawa itu memiliki dua orang putra.

Yang pertama bernama Pangeran Watek yang menduduku kasunanan Solo sebagai Adipati di Keraton Solo. Yang kedua yang muda bernama Pangeran Tabengat Haji. Keduanya adalah putra Solo. (h. 80)

Sunan Janur meninggal dalam kejayaan yang terus berkembang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Watek. Pangeran Watek menggantikan kedudukan ayahandanya menjadi Sinuhun Solo.

Setelah Pangeran Watek diangkat ia dijuluki Susunan Masalah Ratu. Ia dapat menjalankan kasunanan di Solo hingga mencapai kesejahteraan. Adapun yang bernama Pangeran Tabengat di negeri Solo itu menjadi

Seperti seorang patih yang yang ada di situ. Lama kelamaan Sang Sunan Solo Masalah berputra laki-laki yang diberi nama Pangeran Ngadat yang menjadi

Adipati di negeri Solo itu sebagai pembantu sang sunan. Sepeninggal Sunan Masalah kedudukan sunan Solo dilanjutkan oleh putranya yang bernama Pangeran Ngadat yang menduduki kesunanan Solo.

Nama Sunan Masalah Jaya membawa kejayaan di Solo. Pada saat itu seorang paman yang bernama Pangeran Tabengat itu mengambil sebagian wilayah negara Solo agara dibagi menjadi dua wilayah pemerintahan.

Sunan Masalah Jaya tidak memperdulikan terhadap pembagian wilayah Solo karena hal itu akan menimbulkan peperangan (h. 81) dan bermusuhan dengan sang paman berlama-lama, kemudian Masalah Jaya berpikir untuk mengalah.

Sunan Masalah Jaya mempersilahkan pembagian wilayah untuk dua kasunanan. Karena itulah Pangeran Tabengat berhasil lungguh menjadi sultan berada di keraton Yogyakarta.

Sesungguhnya sekarang telah berdiri secara terpisah dua kedaulatan Yogya dan Solo. Yogya dan Solo memiliki kedudukan yang sama sejajar, tidak ada abdi mengabdi, keduanya masing-masing memiliki kewenangan dalam kekuasaannya.

Yogya dan Solo masing-masing dalam mengurusi hukum secara sendiri-sendiri. Hal itu berbeda dengan Cirebon dan lagi di Cirebon selalu bersamaan dalam penghukuman. Jumat pun bareng bergiliran bergantian. Di Solo tidak seperti di Cirebon.

Yogya malah mendirikan Jumat sendiri. Sultan Yogya berputra laki-laki yang bernama Pangeran Ratu. Setelah ayahnya meninggal Pangeran Ratulah yang menduduki kasultanan Yogya.

Pangeran Ratu sebagai Sultan Yogya diberi nama Mangkubumi. Lama kelamaan Sultan Yogya Mangkubumi berputra laki-laki yang bernama Pangeran Balangkas yang memiliki pendirian tidak sama dengan orang tuanya. (h. 82)

Tidak sependapat dengan orang tuanya hingga selama hidupnya. Kemudian ia disingkirkan oleh orang tuanya dari keraton. Ia disingkirkan dari keraton Yogya dan dibuang ke Ambon. Ia tidak mau menduduki takhta keraton Yogya.

Sultan Yogya Mangkubumi jumeneng sultan di Yogya hingga beberapa lamanya. Setelah sekitar satu tahun sejak kejadian itu, Sultan Yogya Mangkubumi kemudian meninggal dunia dan kemudian takhtanya diteruskan oleh putranya yang muda.

Sultan Muda Yogya telah naik takhta menggantikan ayahnya, Sultan Yogya Mangkubumi, yaitu sultan yang mau bekerjasama dengan Inggris. Sebenarnya Inggrislah yang telah menguasai dan meratui tanah Jawa, Sultan Yogya hanya sebagai simbol.

Sultan Yogya hanya menerima pemberian gaji dari Inggris pada setiap bulannya. Sultan tidak diberi kewenangan memerintah negara. Sultan tinggal diam, duduk manis, makan, dan tidur. Tidak perlu mengatur segala macam kepentingan para prajurit dan rakyat.

Lama kemudian Sunan Solo yang bergelar Susunan Ngadat telah memiliki dua orang putra. Putra yang pertama bernama Pangeran Nata Reja Gung dan putra yang kedua diberi nama Pangeran Purobaya,

Susunan Ngadat menjabat sebagai sultan Solo hingga wafatnya. Kemudian kedudukan sultan Solo digantikan (h. 83) oleh putra tertuanya yang bernama Pangeran Nata Reja. Pangeran Nata Reja jumeneng menjadi sultan Solo menggantikan ayahnya.

Pangeran Nata Reja masih dapat menguasi negara sebagaimana para pendahulunya di dalam hal mengelola kekuasaan. Kedudukkannya di negeri Solo selamat, tidak ada sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Sunan Nata Reja kedudukkannya langgeng hingga ia memiliki putra yang bernama Pangeran Janaki. Setelah Pangeran Nata Reja wafat meninggalkan takhta, kemudian Pangeran Janaki duduk menjadi sunan Solo menggantikan ayahandanya.

Pangeran Janaki jumeneng menjadi Sunan Solo merasa kuat sehingga ia tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Keengganan itu dikarenakan Pangeran Janaki merasa mempunyai kelebihan sehingga tidak mau berkerja sama dengan Belanda. Oleh karenanya Belanda mencari siasat.

Belanda mengangkat anak kepada Pangeran Purobaya. Oleh Belanda Pangeran Purobaya dimanjakan dan dididik agar menjadi orang yang dapat diperintah dan menjadi kepanjangan tangan Belanda.

Pangeran Purobaya dapat memahami arti budi Belanda. Lama kelamaan Belanda menipu Sultan Solo Pangeran Janaki ketika berada di Giri Gresik. Sultan Solo Pangeran Janaki tidak menduga bahwa undangan Belanda di Gresik

Dan mau untuk melakukan pesta jamuan makan di Samarang. (h. 84) Sultan Solo Pangeran Janaki masih merasa dihormati, tidak diduganya Belanda telah menyiapkan pasukan penyergap untuk menangkap Sultan Solo Pangeran Janaki untuk dibuang ke Ambon.

Sultan Solo Pangeran Janaki diberi penghidupan secukupnya di Ambon. Dan karena kekosongan sultan di Solo, maka Belanda menaikkan Pangeran Purobaya sebagai Sunsn Solo untuk menggantikan Pangran Janaki.

Sudah diwasiatkan kepada anak cucunya agar selalu mengikuti kemauan dan perintah Belanda untuk menerima gaji yang sudah ditetapkan untuk kehidupan sultan agar dapat makan dan tidur tenang sehingga tidak mempedulikan tentara dan rakyatnya.

Hal demikian itu sudah merata terhadap seluruh para raja yang ada di pulau Jawa. Para raja di pulau Jawa hanya tinggal namanya saja yang tersisa disebuat-sebut sebagai Yang Agung, akan tetapi mereka sudah tidak memiliki kewenangan apa pun.

Para raja diagung-agungkan dengan sebutan Ratu Agung, padahal mereka sudah tidak peduli dengan batasan wilayah kekuasaannya sendiri. Oleh Belanda, para raja di pulau Jawa diberi kenikmatan makan dan tidur, sementara para abdinya dijadikan sapi perahan.

Mereka hanya tinggal makan, minum, dan duduk manis. Tidak pernah berpikir tentang penghasilan. Apakah aku terjadi dari situ yang telah menumbangkan tatanan negara sebagai penutup nyanyian (h. 85) kaparabon.

Hanya Allah-lah Yang Maha Tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, semuanya masih dalam rahasia Allah Yang Widi tentang semua perjalanan dunia ini. Sekejap tumbuh dan sekejap sirna, tidak ada keabadian bagi cerita hidup manusia.


SEJARAH CIREBON SEBAGI MANUSIA PENERUS LAKSANA MENANTI TITISAN

PUPUH KINANTHI
Bismillah, semoga diluluskan dalam menceritakan sejarah Cirebon, yaitu yang memiliki martabat (hubungan) silsilah dengan Rasulullah yang memiliki seorang putri yang bernama Fatimah. Fatimah memiliki putra yang bernama Sri Husen Syahid.

Husen memiliki putra yang bernama Zaenal Abidin. Zaenal Abidin memiliki putra yang bernama Sayidina Zaenul Kabir. Sayidina Zaenul Kabir memiliki putra yang bernama Sang Imam Jumadil Kabir.

Sang Imam Jumadil Kabir memiliki putra yang bernama Raja Umdah yang ada di Mesir. Raja Umdah memiliki putra yang bernama Ratu Banisrail. (h. 86) Kemudian Ratu Banisrail wafat dan meninggalkan dua orang putra.

Putra pertama bernama Sayid Hidayatullah dan putra yang kedua bernama Sayid Nurullah. Karena ayahandanya telah wafat, demi untuk kemakmuran negara Sayid Hidayatullah diarahkan untuk naik takhta.

Agar menggantikan kedudukan ayahandanya. Sayid Hidayatullah bersikukuh sikap tidak mahu menggantikan ayahandanya. Ia hendak mencari Nabi Muhammad Rasulullah saw. Hal itu dikarenakan Sayid Hidayatullah sejak membuka kunci.

Gedung perpustakaan menemukan sebuah kitab Ushul Qalam, yaitu sebuah kitab yang menjelaskan Hakikat Muhammad saw bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah pokok asal asul dan pancaran seluruh ruh dunia. Karenanya ia hendak membuktikannya.

Malahan sang ibunda sangat melarangnya untuk pergi mencari Rasulullah saw karena bukankah Rasulullah saw telah lama wafat, kemudian apanya yang hendak dicari, bukankah makbarahnya juga ada di Madinah. Masih mendingan berziarah saja besok lusa.

Sang Paman pun ikut berkata, mustahil bagi semua orang hidup dapat bertemu dengan orang yang mati. Dari (h. 87) manakah pertemuan keduanya itu dapat terjadi? Sayid Hidayatullah menjawab, “Itu bisa terjadi, karena aku tidak ‘mencipta mati’ terhadap Rasulullah saw.

Bukankah Allah Yang Maha Kuasa dalam mencipta, hal yang sulit bisa menjadi mudah.” Sayid Hidayatullah sudah bulat untuk pergi, dihalangi dengan apa pun juga tidak bisa, semua keluarga merasa sedih. Sayid Hidayatullah kemudian jadi pergi.

Lama perjalanan itu ditempuhnya, entah sudah berapa hutan belantara ia masuki. Ia tidak tidur dan juga tidak makan. Seluruh jiwa (cipta)-nya menghadap fokus ke Rasulullah saw. Siang dan malam Rasulullah terbayang, hatinya penuh rindu birahi pada Rasulullah.

Ia terus berkelana memasuki gua-gua, menaiki gunung gemunung, menuruni jurang terjal, tebing-tebing yang curam yang menuju kepada sebuah rumah (gua) ular naga. Sang Naga kaget dan bertanya, “Hai anak muda, kamu ini orang mana berjalan sampai kemarai?”

Sayid Hidayatullah menjawab sambil bercucuran air mata, “Aku ini orang yang tersesat, aku orang yang tidak tahu jalan, aku hendak mencarai Nabi Muhammad saw?” Sang Naga segera menjawab, “Rasulullah sudah lama wafat.

Beliau dikuburkan di Madinah, kenapakah kamu datang kemari, kamu tidak (h. 88) menapaki jalan yang terang.” Sayid Hidayatullah pelan menjawab, “Bukanlah kuburannya yang hendak aku cari. Tapi aku hendak mencari orangnya.”

Sang Naga berkata memelas, “Hal yang mustahil orang yang sudah mati dapat menemuimu.” Sang Anom Sayid Hidayatullah pelan menjawab, “Bisa saja, kan Rasulullah itu tidak aku cipta sudah meninggal. Allah Maha Kuasa untuk menolong hal seperti itu.

Yang sulit akan menjadi mudah.” Sang Naga dengan suara nyaring berkata lagi, “Jika nanti kamu dapat menemukan Rasulullah, pastilah kamu seorang wali sejati. Sampaikanlah salam dan shalawatku pada Gusti Kanjeng Nabi.”

Sang Naga bengong menyaksikan tekad Sayid Hidayatullah. Kemudian Sayid Hidayatullah melanjutkan langkahnya. Sayid Hidayatullah sangat teguh membanting raga malahan sudah dapat seratus hari lebih. Sayid Hidayatullah berhenti berjalan saat menemukan tempat berteduh di bawah camara putih.

Tak lama kemudian datanglah seorang Pendeta Ngipin, Sang Pendeta bertanya kepada Sayid Hidayatullah, “Kamu orang manakah tersesat sampai di sini? Apa yang sedang kamu kerjakan?” Sayid Hidayatullah pelan menjawab,

“Aku orang yang tersesat. Tujuanku hendak mencari (h. 89) Kanjeng Nabi, aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku berasal dari Banisrail.” Sang Ngipin berkata sambil tersenyum, “Mustahil ada orang mati.

Dicari dapat ditemukan.” Sayid Hidayatullah pelan menjawab, “Rasulullah tidak aku cipta wafat, Allah Maha Kuasa menolong, yang sulit menjadi mudah. Lalu kemudian kamu hendak ke mana.

Dari situ kamu datang dan pulang juga ke situ. Dan siapakah namamu?” Sang Ngipini lantang menjawab, “Ngipin namaku, aku bermaksud mengunjungi

Kubur Nabi Sulaiman yang ada di situ, yang ada di Pulau Majeti, tidak susah di capai oleh naga, sudah berulang kali aku katakan, jika kita mau bersama marilah kita bersama mengunjungi kuburan Nabi Sulaiman.”

Sayid Hidayatullah bersedia ikut, Sang Naga Putih dapat membawa mereka berdua pergi, tapi Sang Naga Putih masih sedang asyik bermain di neraka bersama temannya. Jika keluar tidak bisa pulang kembali.

Sang Naga Putih memberikan permohonan kepada Pandita Ngipin, (h. 90) “Aku minta susu sebanyak-banyaknya agar dapat mabuk sehingga keluarlah sawang dari telingaku, ambillah sawang itu olehmu.”

Gunakanlah sawang itu sebagai sirep untuk menidurkan para naga yang menjaga kuburan Nabi Sulaiman.” Begitu yang sudah dikatakan oleh Pendeta Ngipini. Susu sudah diminumkan kepada Naga Putih dengan sempurna, kemudian Sang Naga Putih mengeluarkan sawang diambil oleh Pendeta Ngipini.

Setelah itu para naga tertidur dan mereka dapat masuk ke dalam dengan leluasa. Mereka berdua sudah sangat dekat dengan jasad Nabi Sulaiman as. Pendeta Ngipini niatnya sangat jahat, ia bermaksud mencuri cemeti.

Juga mencuri dan merampas Cincin Mamlukat dari tangan jasad Nabi Sulaiman as. Karena jasad Nabi Sulaiman as masih utuh terpelihara di dalam singgasanya tanpa cacat sedikit pun. Tidak lama setelah Pendeta Ngipini merampas Cincin Mamlukat, ada halilintar menyambar Pendeta Ngipini.

Hingga Pendeta Ngipini hancur lebur menjadi abu. Sementara itu Sayid Hidayatullah terpental ke langit dan di bawa oleh mega dan mendung. Sayid Hidayatullah pingsan tidak sadarkan diri hingga gumpalan mega mengapitnya dan terus menerbangkannya.


PUPUH DANGDANGGULA (h. 91)
Kemudian gegumpalan mega itu segera meletakkan Sayid Hidayatullah di atas sebuah gunung yang ditempati oleh seorang pertapa. Di sebelah pertapa itu ada Kendi Mirah Hijau yang cahayanya berkilau bagaikan cahaya emas yang berpendar ke segenap penjuru. Sayid Hidayatullah terbangun dan memberikan salam pada pertapa yang ada disebelahnya. Kemudian salam itu dijawab oleh pertapa. Sayid Hidayatullah bertanya kepada pertapa, “Kendi apakah ini?” “Aku juga tidak tahu. Kendi itu sudah ada semenjak aku datang ke tempat ini,” jawab sang pertapa.

“Kendi ini sudah ada di sini,” lanutnya. Sayid Hidayatullah bertanya lagi, “Wahai pertapa, cobalah Anda tanyakan pada Kendi itu, dari manakah asalmu Kendi?” Sang pertapa menjawab dengan tegasnya, “Sangat aneh jika ada Kendi dapat berbicara.” Sayid Hidayatullah bertanya kepada Kendi, “Wahai Kendi, dari mana asalmu dan apa yang kamu lakukan?”

Ternyata Sang Kendi dapat berkata dan menjawab, “Aku Kendi dari surga, di tempat ini aku sedang menanti kedatangan tuan.” Kemudian Kendi diminum airnya, akan tetapi airnya tidak dihabiskan.” Sang Kendi berkata, “Tuan meminum airku tidak sampai habis, pasti anak cucu tuan nanti (h. 92) menjadi penguasa ada menyelela kekuasaannya.”

Kemudian Sang Kendi diminum lagi sehingga habis air di dalamnya. sang perapa merasa sangat heran ujarnya dalam hati, “Mengapakah aku ini, aku telah bertapa selama bertahun-tahun belum juga mendapatkan anugerah seperti anak muda ini.” Anak muda, Sayid Hidayatullah, kemudian pergi meninggalkan Sang Pertapa bermaksud untuk mencari Kanjeng Nabi kembali, ia telah naik ke lain negara.

Yaitu surganya para arwah yang dahulunya Perang Sabil. Para syuhada itu tampak bersuka ria, luka-lukannya tampak menganga, darahnya harum semerbak. Mereka dapat makan, minum, dan tidur di singgasana yang indah. Ada para arwah yang lain yang sedang mandi di sebuah telaga yang bernama Telaga Adi Mulya. Ada arwah yang lain yang sedang menaiki Kuda Sembrani dengan riang gembira.

Ada arwah yang lain lagi yang memanggil dan berseru kepada Sayid Hidayatullah, “Bersabarlah dan bertawakallah, sebentar lagi apa yang kamu harapkan akan kamu dapatkan!” Mendengar panggilan dan seruan itu Sayid Hidayatullah semakin bertambah kerinduannya kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sayid Hidayatullah semakin larut dalam pujiannya sehingga ia menemukan seperti jendela air yang terbuka. Ketika Sayid Hidayatullah mengucapkan salam, jendela itu menguak dirinya (h. 93) hingga berubah menjadi samudra.

Samudra yang berair tawar dan asin. Ombaknya begitu besar menggulung-gulung dan bergemuruh menggetarkan dada. Tidak berapa lama, tampak dari kejauhan ada seorang yang sedang naik kuda datang dan memberikan buah-buahan yang teramat lezat kepada Sayid Hidayatullah. Sang penunggang kuda itu berkata, “Buah ini sudah lama masak, terimalah! Buah ini sudah ada sejak zaman Nabi Nuh dahulu. Siapa yang dapat memperoleh buah ini dipastikan ia menjadi seorang wali.” Buah itu kemudian diterimanya.

Sayid Hidayatullah kemudian memakannya, setelah selesai memakan buah itu ia bertanya, “Siapkah gerangan tuan ini?” Sang penunggang kuda menjawab gembira, “Hidhir namaku.” Kemudian Nabi Hidhir mencambuk kudanya. Melihat itu, Sayid Hidayatullah ingin ikut untuk melepaskan kerinduannya dan segera Sayid Hidayatullah melompat ke atas punggung kuda yang telah ada Nabi Hidhir as di atasnya. Sayid Hidayatullah segera memegang dan memeluk Nabi Hidhir as.

Kedua jasmani itu telah rekat berpelukan menjadi satu. Sayid Hidayatullah di bawa terbang naik kuda Nabi Hidhir. Kuda itu berlari kencang melesat seperti tak terkendali menempuh entahberentah. Setelah lama berjalan, Sayid Hidayatullah diturunkan di atas sebuah gunung yang bernama Gunung Mirah Wulung Dumilah. Sayid Hidayatullah setelah penyatuan jasad dirinya dengan Nabi Hidhir as, Sayid Hidayatullah merasa tinggal sendiri, lenyap sirna, rasanya jasad dirinya berubah menjadi seperti badan rohani yang halus meraga sukma. (h. 94)

Tidak lama setelah Sayid Hidayatullah merasakan badannya menjadi seperti badan rohani, datanglah seeokor burung yang bernama Paksi Bayan Putih yang menjadi utusan dari Sang Ratna Netra Komala yang berada jauh di puncak gunung. Kemudian keduanya berjalan ke arah puncak bukit sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Sang Paki Bayan Putih. Sesampainya di puncak gunung yang telah ditunjuk itu Sayid Hidayatullah menemukan Masjid Mirah Wulung yang besar namun sepi tanpa penghuni. Sayid Hidayatullah merasa merinding, rasanya ia seperti masuk ke dalam perut naga raksasa.

Lama kelamaan kemudian terlihatlah Sang Nyawa Rasulullah saw terang benderang cahayanya bagaikan bulan purnama tanggal empat belas yang bersinar menerangi semesta raya. Di sisinya nyawa para nabi dan para wali berkumpul mengelilingi. Semua para nyawa itu berkumpul disertai para malaikat dan para rijalullah. Sang Anom Sayid Hidayatullah tertegun dalam asyik masyuk kemudian segera bersujud memberi hormat, namun Sang Nyawa Rasulullah saw mencegahnya.

Katanya, “Ketahuilah olehmu wahai Sayid Kamil, janganlah kamu menyembah kepada makhluk yang baru, karena itu merupakan larangan dan kekufuran. Bersujudlah kepada Yang Maha Agung. Sebutlah Kalimah Tahlil seperti yang aku ucapkan. Yakinkan dirimu dalam berbai’at karena aku adalah hakikat guru yang pasti bagimu. Oleh karena itu janganlah kamu tersamarkan.

Sukmamu itu, wahai Sayid (h. 95) Kamil, tidak antaranya dengan Allah. Karena sukmamu tidak terkirakan oleh akal pikiran. Seluruh jalan dan gerak hidupmu terliputi oleh oleh Yang Maha Agung. Bagaikan bayanganmu yang terlihat dalam cermin itu tidak memiliki sikap dan gerak sendiri. Hakikatnya hal itu tidak ada keduaan di dalamnya. Tunggal bukan tunggal.

Kekuasaan Yang Maha Agung tidak dapat terukur, Yang Maha Agung itu Kadim dan kamu baru adanya, nanti di kemudian hari ada dzat yang ditakdirkan oleh Yang Agung untuk mendekati Diri-Nya dalam bimbingan para nabi dan wali. Itulah keberadaanmu sekarang ini. Janganlah kamu merasa sombong, ingatlah selalu pada pribahasa ‘kematianmu adalah sebagai keabadianmu di sisi Yang Agung’. Karena kamu hanalah perhiasan bagi Diri-Nya.

Itu sebagai keabadianmu di dalam rasa jasmanimu. Kematian tidak dapat memusnahkanmu, bahkan kamu akan tumbuh muda pada akhirnya. Wahai Sayid Kamil, dengarkanlah sabdaku, yang harus kamu lakukan adalah selalu ingat pada perjanjian sejati tentang hakikat sejati; kamu diperintahkan untuk menyatukan jiwamu pada-Nya. Rasa tunggal yang tak dapat terpisahkan lagi dengan-Nya, baik lahir maupun batin.

Sekarang ini, wahai Sayid Kamil, kamu berdirilah (h. 96) sebagai ratu dan ulama, bergurulah kepada para syekh, jangan menginggalkan syariat Islam, naik hajilah kamu sebagaimana agama Islam mengajarkannya. Laksanakan semua syariat agam itu, jangan sampai mengabaikannya. Wahai Sayid Kamil, kamu harus bisa menutupi keunggulan diri dengan perbuatan yang bisa.

Karena di dalam hidup ini jangnalah kamu berlaku sombong. Berlakulah sesuai adat kebiasaan yang sudah ada yang telah dilakukan oleh banyak orang. Karena Yang Maha Agung lebih tahu terhadap kejernihan hati yang bersih. Jika pun ibadahmu sedikit maka sembahmu makbul karena kejernihan hati. Jika kamu berbuat sewenang-wenang menyakiti sesama mukmin, maka sembahmu akan sia-sia belaka.”



PUPUH SINOM
Setelah mensabdakan nubuwah nyawa Rasulullah hilang. Sang Anom Sayid Hidayatullah kembali pada raganya sendiri. Ia sedang di papah oleh segumpalan mega hingga sampai di negara Ngajam. Sayid Hidayatullah menyaksikan suasana bagaikan malam hari karena gegumpalan mega yang membawa dirinya. Raja Ngajam sangat takut melihatnya. Tidak lama terlihatlah apa yang ada di dalam gulungan mega.

Cahayanya memendar berkilapan bagai cahaya bulan purnama, cahayanya berkilau mencerminkan cahaya dari Dzat Allah swt. Raja Ajam sangat menghormatinya. Raja Ngajam (h. 97) menghargai tamu agung yang baru saja datang, malahan tamu itu tidak diperkenankan pergi dan supaya tinggal di Negeri Ngajam agar dapat memberikan syafaat dan berkat. Namun demikian Sayid Hidayatullah menolak dan tidak bermaksud tinggal di Negeri Ngajam.

Sayid Hidayatullah segera tiba di kota Banisrail dan bertemu sang ibu dan sang paman. Mereka semua merasa berbahagia dalam hatinya. Semuanya menyarankan kepada Sayid Hidayatullah agar segera menikah dan segera naik takhta untuk menggantikan sang rama prabu yang telah wafat. Namun demikian, Sang Anom Sayid Hidayatullah masih belum mau menjadi raja dan masih akan melaksanakan semua sabda dari Nyawa Rasulullah.

Sabda yang disebut “wangkid nubuwah”, yaitu agar melayani seorang guru dan juga masih harus melakukan ibadah haji. Sang ibu pun tidak dapat mencegah keinginan Sayid Hidayatullah untuk melakukan itu semua. Kemudian pergilah Sayid Hidayatullah menuju Mekah mencari guru utama yang dapat dijadikan pembimbingnya. Ternayata telah ada seseorang yang dapat ditanyai berdiri di hadapan Sayid Hidayatullah.

Orang yang berdiri di hadapan Sayid Hidayatullah adalah Sultan Mekah. Sayid Hidayatullah ditanya hendak kemana, ia pun menjawab ingin berguru kepada dirinya. Akan tetapi Sultan Makah tidak menyanggupi untuk menjadi guru Sayid Hidayatullah. Kemudian Sayid Hidayatullah pergi dan menghadap kepada wali kutub yang bernama Syekh Najmuddin al-Kubra. Di penjuru Mekah sudah dipelajari semua. Kemudian Sayid Hidayatullah berguru kepada wali Jadzab Syatori (h. 98) tentang “wirid syugul salsilah”.

Kemudian Sayid Hidayatullah melakukan Haji Arafah dan mengunjungi Madinah Nabawiyah sebagaimana adat kebiasaan Islam. Setelah melakukan Haji Arafah dan ziarah ke Madinah Nabawiyah secara sempurna, maka telah sempurnalah ajaran dari wangkid nubuwah. Setelah itu Syekh Najmuddin al-Kubra memerintahkan Sayid Hidayatullah agar mencari guru yang lain lagi agar jalan suluk kepada Yang Maha Agung semakin terbuka luas. Kemudian Syaid Hidayatullah pergi ke hadapan

Guru Syekh Athaullah yang berada di Negara Sadali. Di sana Sayid Hidayatullah menekuni pelajaran tentang ilmu jati wisik dzikir istila ‘isyqiyah Naqisybandi, dan juga runtutannya seperti dzikir minsyar khiyar. Setelah selesai berguru kepada Syekh Athaullah tentang ilmu jati wisik dzikir istila ‘isyqiyah Naqisybandi, maka dzikir istila ‘isyqiyah Naqisybandi diperintahkan untuk berguru kepada yang lain.

Tidak berapa lama Sang Anom Sayid Hidayatullah berada di samping sang guru Syekh Athaullah, kemudian pergi dari situ. Sayid Hidayatullah sepenunya mengikuti apa yang menjadi pemikirannya yang teguh hingga Sayid Hidayatullah menyeberang menempuh jalan laut. Sayid Hidayatullah mendengar kabar bahwa di sana ada pandita di Gunung Surandil yang berada di wliayah negara Pase.

Pandita Sidik itu bernama Syekh Ikhlasul Islam yang tersohor dengan kewaliannya. Di Gunung Surandil sana, Sayid Hidayatullah sudah berguru kepada Syekh Ikhlasul Islam dengan berbai’at (pejanjian murid kepada diri, guru, dan Allah), (h. 99) mushafahah (penyalaman murid kepada guru), dan talqin (pengajaran tarekat oleh guru kepada murid) semua ‘dzikir sir’ (dzikir yang dilakukan dengan hati atau nadi) sehingga Sayid Hidayatullah mendapatkan harqah (hirqah, jubah wisuda kelulusan) dari sang guru. Seperti itu juga, Sayid Hidayatullah diperintah oleh guru Syekh Ikhlasul Islam untuk mencari guru yang lain lagi. Tidak berapa lama setelah Sayid Hidayatullah diperintah untuk mencari guru yang lainnya,

Sayid Hidayatullah sudah pergi menyeberang sampai ke tanah Jawa. Setibanya di tanah Jawa, Sayid Hidayatullah mendengar kabar bahwa di Gunung Gundul ada Sang Yakti (sang guru yang sungguh) namanya, seorang guru yang penuh kebenaran (wong sidik), yang disebut dengan nama Syekh Madzkur. Bermaksud hendak dijadikan guru, Syekh Madzkur tidak bersedia menerimanya, hanya memberikan petunjuk bahwa Sayid Hidayatullah harus berjalan ke arah timur.

Jalan yang ditempuhnya adalah ia memulai menyisir perjalanannya dari Kudus. Ditengah-tengah sebuah lautan ada seorang pandita agung yang patut untuk dijadikan guru. Nama pandita agung itu ialah Syekh Datuk Bahrul. Sayid Hidayatullah segera berjalan menuju ke arah pandita agung yang bernama Syekh Datuk Bahrul untuk dijadikan guru olehnya dalam hal silsilah ratib dan doa.

Dan juga Sayid Hidayatullah belajar tentang dzikir syugul (Dzikir Syughul Syatariyah). Ilmu sang wali Syekh Datuk Bahrul telah tuntas dan sudah selesai diajarkan semuanya. Namun demikian sang pandita agung Syekh Datuk Bahrul memerintahkan kepada Sayid Hidayatullah untuk mencari guru lain yang dapat mengajarkan ilmu kewalian kepada Sayid Hidayatullah. Kemudian (h. 100) Sayid Hidayatullah segera pergi ke arah timur untuk datang kehadapan seorang Maha Wali Sunan Ampel yang bermukim di Ampel Denta.

Sunan Ampel telah mengetahui bahwa Sang Anom Sayid Hidayatullah itu adalah seorang wali. Karena itulah kemudian Sunan Ampel berkata kepada Sayid Hidayatullah, “Anakku, kamu hendak berguru kepadaku tentang kewalian, marilah kita bersama-sama menjalankan Dzikir Khalwatiyah, kharqah, dan wasiat ratib.” Sayid Hidayatullah segera mengikuti arahan Sunan Ampel dan itu tidak membutuhkan waktu terlalau lama.

Setelah semua pengajaran yang diberikan oleh Sunan Ampel dirasa sudah selesai, maka Sunan Ampel berkata, “Anakku, sekarang sudah waktunya bagimu untuk menjadi pandita dan duduk di Gunung Jati karena wilayah (wewengkon) itu adalah bagian waris dari ibundamu Nyai Sari Kabunan, yang sungguh Nyai Sari Kabunan dahulu telah terbawa pergi ke Ka’batullah

Oleh saudara tuanya yang bernama Prabu Kian Santang ketika menjalankan ibadah haji. Yang secara kebetulan di daerah Arab itu ada seorang Ratu Banisrail yang sedang ditinggal mati oleh permaisurinya. Ratu Banisrail itu mencari seorang isteri pengganti yang serupa dengan yang telah meninggal sehingga ia melakukan penyisiran terhadap seluruh peloksok negara. Seluruh penjuru negara itu diteliti sehingga menemukan Nyai Sari Kabunan yang roman mukanya mirip dengan yang telah meninggal.

Nyai Sari Kabunan mukanya sangat mirip dengan yang telah wafat. Karena itulah Nyai Sari Kabunan dijadikan (h. 101) isteri. Kemudian Nyai Sari Kabunan itu melahirkan seorang putra, yaitu adalah hakikat dirimu, yang lahir di tanah Arab. Pada hari esok nanti akan banyak para wali di pulau Jawa yang menolong perkembangan agama Islam.

Yang menjadi pemimpin dari para wali itu nanti adalah kamu yang secara bersama-sama dengan warga pendukung para wali berjuang untuk nashiril islam wal iman, menolong islam dan iman. Kamu berdiri sebagai pemimpin mereka dengan gelar Maulana Jati. Pergilah kamu ke arah barat dari sini, ada sebuah gunung yang berada di pinggir laut (Gunung Jati) yang dahulunya wilayah itu dinamakan Medang Kamulan. Dahulu kala Gunung Jati dinamakan Medang Kamulan

Dikarenakan Gunung Jati merupakan gunung yang hakiki, yang menjadi tanduk dari Gunung Sumedang. Sayid Hidayatullah, kamu harus bermukim di Gunung Jati itu dengan mempertaruhkan hidup dan mati. Esok kelak nanti turunkanlah keberuntungan dirimu kepada anak cucumu sehingga keselamatan terus bertumbuh dan sirna segala marabahaya kesusahan.”


PUPUH ASMARANDANA
Kemudian Sayid Hidayatullah berpamitan kepada Sang Ampel Denta untuk melanjutkan perjalanannya. Sayid Hidayatullah berjalan melalui lautan. Singkat cerita, Sayid Hidayatullah (h. 102) ditengah lautan bertemu dengan Larungan Jasad Raja Keling yang sedang dijaga oleh patihnya. Larungan Jasad Raja Keling itu terapung terombang-ambing oleh ombak air lautan.

Sang Anom Sayid Hidayatullah berkata pelan, “Apa yang kamu semua lakukan sekarang ini tidak ada faidahnya buatmu. Buat apa kamu menunggu larungan jasad ini, lebih baik kamu memeluk agama islam bersama denganku.” Sang Patih menjawab, “Aku telah mencari perkara

Jika aku sampai meninggalkan larungan Jasad Raja Keling ini. Hal itu pasti akan diketahui oleh Raja Keling (yang baru), yang nanti akan mengirimkan perbekalan ke tempat ini. Tentunya pada saat itu aku akan dikejar dimana pun aku berada yang kemudian ia akan memenggal leherku.”

Sayid Hidayatullah menjawab, “Jika memang itu ketakutanmu, aku tunggu pengejaran yang dilakukan oleh Raja Kaling itu hingga esok kelak.” Kemudian Sang Patih hatinya merasa tersentuh dan luruh oleh ucapan Sayid Hidayatullah, sehingga Sang Patih menjadi ikut menganut agama islam dengan semua teman-temannya.

Kemudian larung itu dirusak dan dibawa naik ke daratan. Setelah sampai di Gunung Sembung, kemudian kayu-kayu larung itu dibuat menjadi Langgar Patani Islam. Hal itu yang menyebabkan Sayid Hidayatullah tersohor sebagai Maulana Jati yang telah masyhur sebagai seorang wali (h. 103) Allah.

Yang berasal dari Arab yang menduduki posisi nāshiril islām wal imān, penolong islam dan iman, menggelarkan islam dengan syariat, tarikat, hakikat, hingga sampai makrifat yang sejati. Lama kelamaan dalam diri Sayid Hidayatullah Maulana Jati merasa perlu untuk

mencari seorang guru lagi. Sayid Hidayatullah berjalan ke arah selatan dan bertemu dengan seorang pandita yang sangat tartil, fasihat, ahli tilawat, ahli dalam membaca Alquran. Sayid Hidayatullah bermaksud menjadikannya sebagai guru, yaitu Pangeran Makdum, adik dari Maulana Maghrib.

Pangeran Makdum sudah tahu terhadapa ketenaran orang yang baru datang, Sayid Hidayatullah, tampak bercahaya menerangi sisi kanan kirinya, bersinar dengan cahaya Dzatullah, karenanya Pangeran Makdum berkata, “Janganlah kamu berguru kepadaku, karena bukankah kamu telah lebih utama dibanding denganku.

Lebih baik kamu mencari ke arah barat.” Ketika Pangeran Makdum melihat apa yang tersimpan di dalam hati Sayid Hidayatullah, maka hal itu telah nyata sebagai apa yang telah dirasakannya. Kemudian Maulana Jati Sayid Hidayatullah berjalan ke arah barat. Di Banten ada Ki Gedeng Dukuh yang masyhur sebagai seorang pandita

yang berasal dari Judah. Pandita itu bernama Syekh Maulana (h. 104) Huda. Hanya saja ia telah tersohor menjadi seorang Ki Gedeng Dukuh dengan sebutan Kiyahi Gedeng Babadan. Pada saat itu Kiyahi Gedeng Babadan sedang prihatin karena tanaman yang diurusnya sedang terkena layu, bahkan rusak terserang hama penyakit.

Tanpa disangka Kiyahi Gedeng Babadan mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa barang siapa yang dapat mengobati tanamannya yang sedang terkena hama, pastilah orang tersebut akan dijadikan sebagai menantu. Tidak lama setelah itu Maulana Jati Sayid Hidayatullah tiba di Babadan.

Kemudian Maulana Jati meletakan baju jubah kuning yang tersampir di dadanya untuk disamprkan ke perkebunan yang sedang terkena hama penyakit. Seketika itu juga tanaman yang ada di perkebunan Kiyahi Gedeng Babadan menjadi segar kembali dan tampak hijau sebagaimana dahulu sebelum terkena penyakit. Melihat itu, Nyimas Babadan segera mengambil baju jubah kuning

bermaksud untuk diserahkan kepada pemiliknya. Melihat sikap anaknya ini, Kiyahi Gedeng Babadan terkejut dan bertanya, “Rara anakku, mengapakah kamu berani mengambil baju jubah kuning yang disampirkan di kebun itu? Bukankah kewenangan mengambil itu hanya bagi pemiliknya.

Tidak pantas bagi badan ragamu untuk memakai baju jubah kuning ini. Rara anakku, baju jubah kuning ini tidak pantas dipakai untuk sembarangan orang kecuali dipakai oleh pemiliknya.” Tidak lama kemudian Maulana Jati datang (h. 105) dan mengucapkan salam serta berjabatan tangan.

Kiyahi Gedeng Babadan melihat kilau cahaya Sang Pemuda Maulana Jati yang datang itu terang memenuhi penjuru angin terpancar memendar kemilau Dzatullah. Serta semua yang semula layu telah tersegarkan kembali. Semuanya telah menjadi hijau dan sehat.

Kemudian segera Kiyahi Gedeng Babadan menyerahkan putrinya untuk dinikahi Maulana Jati. Pada saat itulah Maulana Jati mulai menikah dan itu dengan Nyimas Babadan. Hanya saja Maulana Jati dari pernikahan dengan Nyimas Babadan ini Maulana Jati tidak mendapatkan keturunan. Kemudian Nyimas Babadan dibawa ke Gunung Sembung (Cirebon) dan lama bermukim di sana.

Kemudian Patih Keling (yang menjadi penjaga Gunung Sembung) itu dipertemukan menikah dan dijodohkan dengan seorang putri dari Nyi Gedeng Jati yang berasal Cempa, yang bernama Nyi Rarajati. Sudah terlaksana pernikahan itu dan mereka sudah menjalani rumah tangga.

Kemudian menurunkan seorang putri yang bernama Dewi Koja Mani, yaitu yang nantinya menikah dengan seorang yang agung yang berasal dari Kobthi yang bernama Abdul Kafi. Putri Dewi Koja Mani itu kemudian terkenal dengan nama Nyi Gedeng Kedokan.

Karena itulah Nyai Dewi Koja Mani lebih terkenal dengan nama Nyi Gedeng Kedokan. (h. 106) dari situlah asal-usulnya kejadiannya. Kemudian juga melahirkan seorang putri yang bernama Nyai Gedeng Majagung, yang nanti dikemudian hari dinikahi dan dijadikan isteri

Oleh Ki Tanda Mohi. Dari pernikahan itu melahirkan seorang putri yang bernama Nyi Ajimaya yang dikemudian hari nanti dijadikan isteri oleh Sultan Badridin (Kanoman), yang di hari kemudian nanti melahirkan Sultan Khadhirudin (Kanoman).

Adapun Nyi Koja Mani yang memiliki putra laki-laki yang bernama Ki Pali Dadi. Karenannya Kanjeng Panembahan Ratu (Maulana Jati) berpesan dan meminta agar Ki Gedeng Kedokan (Ki Pali Dadi) itu segera datang sebagai bapak uwa (untuk membimbing dirinya).

Tidak lama kemudian datanglah Babu Dampul putri yang berasal dari Mesir. Dari Mesir Babu Dampul melihat sinaran cahaya geilang-gemilang Dzatullah tampak begitu nyata, cahaya itu terlihat sangat terang sekali. Karenanya Babu Dampul ingin melihat kilatan cahaya itu.

Babu Dampul berjalan dari Mesir dan bertemu (dengan Maulana Jati) di Gunung Amparan. Ia adalah mutiara yang hakiki yang berjalan menuju surga. Ia si surga menjadi (salah satu) isteri dari Maulana Jati Sang Nur Agung. Hal itu telah terlaksana.

Selalu bersama di dalam batin. (h. 107) Di dalam lahiriyahnya, Babu Dampul hanya dijadikan sebagai babu pribadi (asisten) Kanjeng Maulana Jati. Babu Dampul terlihat sangat sopan dan penuh tatakrama menjalani sebagai babu (asisten) dari Kanjeng Maulana Jati.


PUNGKUR
Kemudian Maulana Jati menginginkan pergi ke luar untuk meninjau negara Banisrail. Ia bermaksud mendudukkan adiknya yang bernama Nurullah ke atas takhta Banisrail. Mulanya Babu Dampul bermaksud ingin mengiringi perjalanan Maulana Jati ke Banisrail.

Namun Maulana Jati mencegahnya karena di belakang hari banyak orang yang akan datang bertamu ke Gunung Amparan. Akhirnya Maulana Jati berangkat sendirian menuju Negara Banisroil. Sang Ibu (Ratu Rarasantang Nyahi Syarifah Mudaim) sangatlah senang hatinya. Begitu juga dengan para paman. Semuanya merasa bahagia dan suka hati.

Mereka menginginkan Maulana Jati untuk segera naik takhta. Akan tetapi Maulana Jati sudah yakin dan mantap untuk tidak menduduki takhta Banisrail. Malahan Maulana Jati menginginkan adiknya, Nurullah, agar segera naik takhta. Akhirnya Maulana Jati memaksa Nurullah (h. 108) untuk menaiki takhtanya.

Sayid Nurullah akhirnya mau menduduki takhta sebagai raja di negara Banisrail. Hal itu karena dorongan dari seorang kakak, yaitu Sayid Hidayatullah. Sayid Hidayatullah Maulana Jati berpamitan lagi kepada sang ibu bermaksud pulang kembali ke tanah Jawa untuk kembali menyebarkan ajaran islam.

Setelah kepulangannya dari Arab, Sayid Hidayatullah Maulana Jati membawa putra Sang Raja Qabthi yang bernama Abdul Kafi. Juga Sayid Hidayatullah Maulana Jati membawa orang yang bernama

Ki Abdurrohim, yaitu Ki Agus Murid, yang pada esok nanti menduduki dan bertempat tinggal di Kandangngahur. Ki Abdurrohim atau Ki Agus Murid itu adalah orang yang berasal dari Nagara Johor. Dan lagi Sayid Hidayatullah Maulana Jati membawa orang yang berasal dari Surandil.

Orang itu bernama Raja Lahut. Yaitu yang nanti bertempat tinggal di Batawi. Dan satu lagi orang yang dibawa oleh Sayid Hidayatullah Maulana Jati adalah seorang wanita yang berasal dari Cina, yaitu yang bernama Nyi Gedeng Petis. Nyi Gedeng Petis itu hakikatnya adalah sama saja dengan putri Cina.

Setelah Maulana Jati tiba (h. 109) di pulau Jawa, dan pada sebuah negri Kikisik Maulana Jati bertemu dengan Raja Cangkuwang dan bertemu juga dengan patihnya (Patih Cangkuwang). Tubuh Raja dan Patih Cangkuwang sudah kurus kering mencari yang dituju, yaitu Rebon Sajodoh yang tidak putus songotnya sama sekali.

Maulana Jati berkata, “Udang sejodoh itu hakikatnya adalah aku dan Babu Dampul. Maksudnya itu adalah agar kamu berdua segera masuk islam bersama denganku.” Sang Raja Cangkuwang akhirnya menerima islam dengan hati yang tentram.

Dan semua balatentara Sang Raja Cangkuwang masuk islam, termasuk juga Patih Cangkuwang yang bernama Ki Patih Kering masuk islam. Kemudian Ratu Cangkuwang terkenal dengan sebutan Pangeran Carbon Girang. Lama kelamaan Maulana Jati bermaksud ingin menjemput Sang Ibu Sari Kabonan (Syarifah Mudaim yang masih berada di Banisrail) untuk dibawa ke tanah Jawa.

Nyai Babu Dampul bermaksud ingin mengikuti Maulana Jati ke negara Banisrail, namun Maulana Jati mencegahnya untuk menemui para tamu yang nanti akan datang ke Gunung Amparan. Maulana Jati sudah sampai di negara Banisrail. Maulana Jati meminta kesediaan adiknya bahwa Sang Ibu (Syarifah Mudaim) hendak dibawa ke tanah Jawa. Dan dibawa juga beberapa pusaka keraton Banisrail

Seperti Zimat Mamluwat (Cincin Mamlukat), (h. 110) Tongkat Nur, dan Bedil Mas. Juga pusaka yang berupa duhung (keris) yang bernama Kantha Naga. Adik Nurullah tidak kuasa menolak apa yang dikehendaki sang kaka Maulana Jati. Apa yang dikehendaki sang kaka Maulana Jati semuanya dipenuhi.

Maulana Jati berpamitan kepada sang adik Nurullah. Dari Banisrail itu Sang Ibu juga membawa Kendi Pratullah. Keduanya mampir di Cempa. Raja Cempa melihat cahaya gemerlapan bagaikan sinaran dari nur Dzatullah. Raja Cempa terpesona melihat keindahan cahaya itu.

Raja Cempa menyerahkan nagaranya kepada Maulana Jati agar sang wali Maulana Jati tidak menginginkan pulang, agar Sang Raja Cempa mendapatkan kecintaan yang lebih kepada Nur Agung. Akhirnya, karena Raja Cempa terpesona dengan Nur Agung Maulana Jati , Raja Cempa menyerahkan negara kepada putranya sendiri.

Raja Cempa sendiri bermaksud mengembara mengikuti perjalanan Maulana Jati. Raja Cempa juga membawa serta isterinya. Mereka telah tiba di Gunung Amparan. Raja Cempa bertekad ingin hidup dan mati bersama dengan Nur Agung Maulana Jati. Oleh karena itulah para kerabat Cempa banyak yang masyhur di tanah Jawa.

Maulana Jati adalah orang Cempa yang hakikatnya masih keturunan (h. 111) Banisrail (dari pihak ayah), sementara ibunya itu dari Pajajaran yang bernama Sari Kabunan. Mereka sudah berkumpul Gunung Sembung. Lama kelamaan datanglah Pangeran Panjunan.


Keinginan Pangeran Panjunan menjadi orang tua untuk memimpin seluruh pulau Jawa. Lama kelamaan kelihatan bahwa wahyu (kaprabon) dirinya lebih rendah dibanding dengan Maulana Jati. Oleh karenanya para warga Panjunan mempersilahkan Maulanan Jati (untuk menjadi pemimpin).

Orang-orang Domas semuanya mempersilahkan dan mengangkat kedudukan (sebagai pemimpin) kepada Maulana Jati. Warga Panjunan mengangkat diri Sang Sayid Hidayatullah Maulana Jati yang akhirnya Pangeran Panjunan juga menjunjung kedudukannya. Syekh Maulana Jati sudah terlaksana jumeneng aebagai Susunan Jati.

Kemudian para warga Panjunan membangun Tembok Negeri Caruban, membuat Pintu Gapura Lawang Yastra Dalem Agung. Oleh karena jasa-jasa warga Panjunan, malahan (salah satu) warga Panjunan yang bernama Syekh Datuk Hafid telah telah masyhur dengan nama Ki Gede Gunung Jati, (h. 112)

Yang memiliki putra seorang wanita yang bernama Nyahi Rarapi itu dikehendaki dan dinikahi oleh Sinuhun Jati. Dari pernikahan itu Sinuhun Jati malah mendapatkan putra yang bernama Pangeran Jayakalana dan juga seorang putra yang bernama Pangeran Sedang Lahutan yang meninggal sebagai syahid.


MIJIL
Lama kelamaan kemudian Nyahi Gedeng Tepas menyaksikan secara nyata sebuah cahaya yang terang benderang dari arah utara barat dapat terlihat dari Majapahit. Sehingga penglihataanya itu menjadikan dirinya senang dan suka mencari-cari sumber asal dari cahaya terang itu.

Nyahi Gedeng Tepas menemukan cayaha itu ada di Gunungjati sehingga kemudian ia berguru (di Gunungjati kepada Sinuhun Jati), serta menyerahkan putrinya yang bernama Nyi Rara Tepasan kepada Sinuhun Jati. Sinuhun Jati menerima pernikahan dengan Nyi Rara Tepasan yang kemudian melahirkan putri yang bernama Ratu Ayu.

Dan putra yang bernama Pangeran Pasarehan. Ratu Ayu sebagai kakak dari Pangeran Pasareyan kemudian menjadi permaisuri dari (menikah dengan) Sultan Demak Sabrang Ler. Hanya saja, setelah setelah Ratu Ayu menjadi janda dari Sultan Demak, kemudian bertemu (menikah dengan)

Seorang yang bernama Ratu Bagus Pase. Ratu Bagus Pase itu masih merupakan satu keturunan Panjunan yang berada di Pase. Karenanya di tanah Jawa telah masyhur bahwa orang Panjunan itu adalah (h. 113) orang-orang yang berasal dari Pase.

Dan juga hakikatnya adalah bahwa orang-orang Bagdad itu berasal dari seorang ibu yang berasal dari ‘lemah putih’ (Pase) yang berdatangan ke pulau Jawa. Kemudian Pangeran Pasrehan itu

Menikah mendapatkan putranya Sang Penguasa Demak, yaitu Sultan Terenggana Anom, yaitu Ratu Nyawa yang berparas rupawan semerbak yang telah menjadi janda dari Pangeran Sedang Lahutan yang (perkawinan itu bisa) diibaratkan dengan mengganti tikar dan bantal.

Sabab Pangeran Sedang Lahutan telah meninggal dikarenakan ulah para bajak laut yang membajaknya. Hal itu dikarenakan Ratu Nyawa merasa belum puas menjadi menantu (Sinuhun Jati) sehingga dijodohkan dengan sang adik.

Lama kelamaan Susunan Jati bermaksud ingin membersihkan kekotoran (yang ada di wilayah Pajajaran), sebab Pucuk Umun setelah kepergiannya masih juga bergentayangan dan bergerilya di sekitar perbukitan dan selalu bersembunyi di gua-gua yang angker.

Sehingga Susunan Jati berangkat bersama dengan dua orang yang bernama Haji Mansur dan paman misannya yang bernama Syekh Aba Yazid. (h. 114) Susunan Jati jelas sudah menemukan rumah (istana) Sang Prabu Pucuk Umun.

Hanya saja Pucuk Umun tidak mau menemui Susunan Jati. Prabu Pucuk Umun hanya memerintahkan patihnya untuk menemui kedatangan sang wali Susunan Jati. Susunan Jati bertanya kepada patih utusan Prabu Pucuk Umun, “Dimanakah rajamu?” Sang Patih menjawab,

“Sudah merad, hilang, musnah dari kematian.” Susunan Jati berkata pelan, “Lah, ini sudah aku jepit, coba lihat siapakah ini?” Sang Patih melihat dan ia merasa sangat menyesali (kejadian itu).

Prabu Pucuk Umun tampak berada terjepit di jempol kaki Susunan Jati. Prabu Pucuk Umun dijepit kemudian menyerah dan diajari membaca syahadat dengan sungguh-sungguh ia menerima iman dan islam. Oleh karena itulah kemudian ia terkenal dengan nama Ki Dalem Panungtung.

Maksudnya adalah sebagai raja terakhir Budha yang memulai mau menerima iman langsung dari Kanjeng Susunan Jati. Adapun Ratu Sindangkasih yang diperangi oleh Ki Gede Tegalgubug

Dan Ki Gedeng Susukan yang sudah mendapatkan restu dari Susunan Jati, Raja Galuh (Ratu Sindangkasih) yang diberikan kepada Gedeng Suroh (Ki Gedeng Tegalgubug) dan Jeng Nyahi Panguragan juga sudah mendapatkan restu (h. 115) dan izin dari Sinuhun Jati.

Oleh karenanya telah terlihat bahwa ia sudah menjadi budak lelaki dan wanita bagi seseorang, sebab islamnya dengan sebab peperangan. Tidak seperti keluarga dan isterinya Sri Prabu Pujuk Umun.

Adapun yang bernama Sari Ratu Mandapa terlah pergi dan tidak mau melihat negaranya lagi karena telah dihancurkan oleh orang-orang islam dan kekuasaannya telah diambil alih. Sari Ratu Mandapa membantin di dalam dirinya, “Hanya orang Cempa

Yang dapat melakukan semua ini. Aku tidak sudi dengan semua ini. Besok aku akan menuntut balas. Saat itu tiba pada waktu putusnya Rantai Betawi. Kemunculanku esok lusa tidak seorang pun yang akan mengenalinya.”

Tidak lama kemudian Sunan Jati dan semua para wali menghukum Syekh Lemahabang dikarenakan Syekh Lemahabang telah mengaku bahwa dirinya adalah Allah. Setelah Syekh Lemahabang meninggal, tiba-tiba ada suara berbunyi, “Wahai para wali dan ratu

Saat ini kalian telah merdeka duduk bertakhta sebagai penguasa dan tidak ada seorang pun yang memerintah kalian. Namun demikian, esok kelak di belakang hari, pada anak cucu, janganlah kamu melupakannya.

Jika ada (h. 116) muncul “kerbau putih” (orang kulit putih), saat itulah pembalasan dariku.” Kemudian Sunan Jati berkata, “Sampai kepada duriyat, anak cucuku yang kesembilan, jika tidak bisa bangkit, maka harus banyak bersyukur.”

Tidak berapa lama kemudian Suhunan Jati melihat tanah yang ada di sebelah barat. Pajajaran sudah diperiksa semua. Semuanya kosong tidak ada penghuni seorang manusia pun. Hanya saja ada seorang wanita yang bernama

Ratu Kawunganten yang masih saudara dari Sri Katong Cangkuang (Raja Cangkuang). Kemudian Ratu Kawunganten diambil sebagai isteri oleh Sinuhun Jati. Dari pernikahan itu menurunkan dua orang putra yang bernama Pangeran Sebakingkin dan Ratu Winahun.

Kemudian Ratu Winahun diperisteri oleh Wong Agung yang terkenal dengan nama Pangeran Atas Angin. Adapun Pangeran Sebakingkin mendapatkan jodoh dengan putri dari Sang Ratu Demak

atau yang bernama Sultan Demak Terenggana. Nama putri itu adalah Dewi Pangeran Ratu. Dari pernikahan Pangeran Sebakingkin dengan Dewi Pangeran Ratu melahirkan seorang putra yang bernama Pangeran Yusuf yang menjadi bibit takhta Banten.

Hal itu atas kehendak Sunan Jati. Karenanya dijodohkan dengan keturunan Demak (h. 117) bermaksud untuk ketetapan anak cucu, duriyat, agar selalu dapat menduduki takhta Banten hingga turun-temurun sebagai ratu Banten.

Pada saat Sultan Demak masih bertakhta, perbatasan wilayah itu diatur mulai Tuguh Mangkakang ke arah barat. Adapun wilayah Banten perbatasannya diserahkan penuh kepada Yang Guru Sinuhun Jati.

Hal itu ditetapkan sebagai ‘ajang’ (wilayah kekuasaan) kepada menantu Ki Mas yang berkuasa di Cirebon dan sebagai ‘ajang’ (wilayah kekuasaan) bagi Ki Mas menantu Banten. Malahan Sultan Demak membangunkan Istana Gadang bagi Astana Sang Sinuhun Jati yang berada di Gunung Sembung.

Sultan Demak telah benar-benar berguru yang bermukim di pengguron sehingga Sultan Demak membangun tembok kota yang besar dan jalan undak-undakan yang menuju ke Astana Sinuhun Jati.


MAGATRU
dan lagi atas kehendak Sinuhun Panembahan Pakungwati, dirinya dijodohkan dengan putri Sultan Pajang yang sangat cantik yang bernama Ratu Gulampok.

Sabab pada waktu itu Pajang adalah salah satu negara yang unggul. Oleh karenanya sangat perlu untuk diberi titipan (pesan) untuk masa yang akan datang agar duduk sebagai ratu. Pada saat (h. 118) Susuhunan Cirebon sudah wafat.

Negara Mataram menjadi sebuah negara yang unggul dalam menduduki wilayah sehingga Cirebon dan Banten pun ditarik ke dalam kekuasaannya untuk ikut berseba (menghadap dan melapor). Karena tidak mau tunduk kepada penerangan Mataram

Hingga turun temurun kepada anak cucu, mangka Banten menghentikan kegiatan seba kepada Mataram. Akhirnya Sultan Maulana Ahmad Banten jika saja berseba kepada Mataram mungkin akan dibunuh karena pembangkangannya itu. 

Sehingga Banten diperangi oleh Mataram dan Sultan Maulana Ahmad Banten meninggal dunia di medang perang. Putrannya meloloskan diri ke luar Jawa menyeberang dan naik haji di Mekah. Sang putra itu bernama Pangeran Kananton.

Pangeran Kananton mendapatkan restu dari Sultan Mekah bahwa Pangeran Kananton dapat menjadi Sultan lagi di negara Banten. Sepulangnya dari naik haji, Pangeran Kananton kemudian kembali menduduki takhta Banten sebagai Sultan Banten.

Dengan gelar Sultan Banten yang memiliki kekuasaan yang besar. Dikarenakan masih ada Sultan Mataram yang tidak menerima tandingan gelar dua sultan di Jawa, hal itulah yang menyebabkan pertengkaran Banten dan Mataram.

Sehingga terjadilah perang besar antara Banten dan Mataram yang memakan waktu cukup lama. (h. 119) Kemudian muncullah kekuatan besar Belanda yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Kapiten Emur yang dapat melerai pertikaian Mataram dan Banten.

Dapat membersekan terhadap penerimaan kedua belah pihak, Mataram dan Banten. Sultan Matharam menjadi dan menerima sebagai lungguh agung, kekuasaan tinggi, menurut pandangan balatentaranya, dan Sultan Banten menerima kedudukan lebih yang rendah.

Dan menerima kewajiban menghadap dan menjaga Mataram pada setiap tahun secara bergantian. Setelah kesepakatan itu telah tercapai, maka Belanda memastikan meminta tarif upah untuk menduduki dan berkuasa

di bumi Batawi dengan wilayah seluas kulit sapi dan permintaan untuk menduduki wilayah Betawi itu disetujui oleh Sinuhun Mataram. Tidak seperti kulit sapi yang diikat secara halus. Semua sudah terjadi.

Kapitan Emur diperlakukan sebagai orang tua oleh Kanjeng Sultan Mataram, dan Sultan Banten mengikuti semua ketetapan dan peraturan yang dibuat oleh Belanda ketika hendak menobatkan (menaikkan takhta) raja.

Juga penobatan Bopati pun mengikui ketetapan dan peraturan yang dibuat oleh Belanda. Setelah ketetapan Belanda itu berjalan dengan baik, maka hal itu membuat wilayah bertambah mendapatkan wilayah baru (h. 120) lagi dimulai dari Karawang ke arah selatan barat.

Sumedang, Bandung, Cianjur, dan Bogor. Kecintaan Sultan Mataram kepada Kapitan Emur dalam memperindah Nagara Batawi. Hal itu hakikatnya adalah bahwa Kapitan Emur itu masih merupakan

Kebangkitan dari Ratu Mandapa yang telah diceritakan di atas, yang berkulit putih. Keturunan pertapa telah timbul. Karena pimpinan Negara Cirebon masih berseba kepada Mataram.

Panembahan Ratu Cirebon meninggalnya diracun di kota Mataram. Oleh karenanya Panembahan Ratu Cirebon dikebumikan di (Astana) Girilaya. Sesungguhnya Sultan Mataram pada saat itu

Sudah tidak berniat lagi untuk mendudukkan takhta di Negara Cirebon. Semua kekuasaan di Jawa ingin dihancurkan oleh Mataram. Ternyata Banten yang menjunjung (takhta Cirebon) agar dapat tegak kembali hal itu karena adanya unsur kekerabatan Banten dan Cirebon.

Maka Pangeran Anom dan Pangeran Sepuh dijemput di Keraton Banten berrunding dengan Kapitan Emur. Pangeran Anom dan Pangeran Sepuh akan dinobatkan sebagai sultan

Kasepuhan dan Kanoman setelah mereka sampai (h. 121) di nagari Carbon. Bukankah Belanda yang menjaga dan mengawasi kedudukan kedua sultan di Cirebon.

Nama orang Belanda yang menjaga itu Kapitan Karang yang dijadikan sebagai kepercayaaan dalam penyelesaian masalah. Waktu itu Cirebon masih mendapatkan tugas jaga setiap tahun di Mataram.

Setelah Mataram runtuh karena dihancurkan dan Kartasura naik sebagai kekuasan baru, maka pada saat itulah tugas piket jaga setiap tahun di Mataram telah berhenti karena mereka menjadi ratu secara masing-masing.

Adapun Cirebon menjadi tiga penguasa, yang hal itu karena rasa kasih dari Sultan Anom dan Sultan Sepuh kepada saudaranya, yaitu dijadikan sebagai Sri Panembahan Carbon.

Yang memiliki beberapa desa dari Kasepuhan sebanayak limabelas. Juga Kanoman memberikan limabelas desa, hal itu sebagai tanda kasih dari kedua saudaranya


Adapun di Cirebon menjadi ada empat ratu (penguasa), hal itu murni memaruh dari Kasepuhan Kasepuhan, yaitu adiknya Sri Sultan (h. 122) Jamaludin, yang bernama Pangeran Arya Carbon. Pangeran Arya Carbon

Membawahi duapuluh ribu orang. Belanda ikut memegang hukum untuk diajak merundingkannya. Pangeran Arya Carbon bertakhta di Kacarbonan dan itu berlangsung selama tiga generasi kemudian selesai.

Begitu juga kedudukan Kapanembahan hanya berlangsung selama tiga generasi kemudian berhenti. Adapaun yang dapat terus menurunkan generasi ialah hanya dua sultan yang bernama Kasultanan Carbon (Kasepuhan dan Kanoman).

Setelah enam generasi kemudian kekuatan Inggris muncul untuk mengganti kekuasaan semua para raja yang ada di Nusa Jawa yang mengambil keuntungan dari seluruh peloksok negeri.

Hanya saja Inggris tidak menganggap kedudukan ratu di Jawa. Jika Inggris menghendaki maka diberikan pegangan kekuasaan dan mendapatkan rizki (gajian) yang ditentukan. Jika ada ratu yang kuat (dapat memberontak)

Yang dapat bertingkah kepada Inggris, maka digempur dan diperangi oleh Inggris. Karena itulah Banten kehilangan kekuasaannya. Berlangsungnya kekuasaan Inggris itu berlangsung sampai kedelapan generasi. Munculnya Inggris sirnanya keraton.

Siapakah yang lupa yaitu (h. 123) tentang kemunculan bukti kebenaran dari wali sejati Syekh Lemabang sewaktu terhukum bahwa balasannya adalah sesuatu yang sedang dijalani oleh para duriyat, anak cucu (dalam penjajahan bangsa lain).

Renungilah perjalanan (sejarah) yang telah dijelaskan (di atas) bagi orang yang memiliki pertimbangan dan pilihan. Jangan sampai salah dan sombong. Sikap dan perbuatan harus penuh kesadaran hanya sekedar menjalankan cerita (takdir).


SEJARAH PANJUNAN LAKSANA HAKIKAT KIDUNG ASMARA

KASMARAN
Dengan menyebut nama Allah, perkenankanlah menceritakan sajarah Panjunan. Ketika (Panjunan itu) satu martabat nasab dari Rasulullah, maka yaitu Sang Raja Ngumdah, putra sulungnya itu menjadi Sultan Baghdad.

Sultan Baghdad berputra empat yang pertama bernama Maulana Huda, yang kemudian disebut Maulana Judah. Anak yang lainnya lagi adalah seorang putra yang bernama Maulana Abdurrahman.

Dan lagi seorang putra ialah Syekh Datuk Khafid (h. 124) dan seorang putri yang bernama Rara Bagdad. Pada saat itu Kanjeng Sultan Bagdad kedatangan malapetaka, kertaonnya dimasuki oleh seorang maling.

Maling yang sangat sakti yang mencuri semua harta benda milik sultan. Maling itu tidak kelihatan oleh siapa pun dan hal itu membuat Sultan Bagdad terheran-heran tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Kemudian Sultan bermaksud mengundang para maulana.

Syekh Juned pun juga diundang tanpa kecuali sekali pun ia adalah seorang Maulana Agung yang ada di Bagdad. Semua para maulana diundang tanpa kecuali agar berkumpul menghadap sang Sultan Bagdad untuk dimintai penjelasan karena apakah keterangan (takwil) oleh sebab apakah keraton dapat dikuras kekayaannya oleh seorang pencuri.

Dan pencuri itu tidak diketemukan. Menurut pendapat semua para maulana, mereka menyebutkan hal itu sebagai pertanda nanti para putra dan putri Sultan Bagdad memiliki anjing peliharaan dan para putra-putri itu berlaku sebagai syekh yang kerjaannya selalu menabuh Terbang (rebana).

Karena anjing itu adalah hewan yang dibenci malaikat, sebab hakikatnya para malaikat bagi umat Islam itu sama dengan para manusia. (h. 125) Oleh karenanya dalam hal itu harus sama. Syekh Junaid menambahkan dengan berkata,

“Betul diperbolehkan dalam memelihara anjing yang terlatih, yang dapat membantu terhadap ratu (majikannya) untuk mengejar kijang (yang diburu). Karena Rasulullah saw sebelum menjadi rasul pernah berlaku seperti para syekh ketika

Hendak mengetahui seorang putri Basaroh yang bernama Dewi Khadijah dan segala tindak-tanduknya. Betul (pada saat itu Rasulullah) memelihara anjing terlatih, hanya saja sikap Rasulullah pada saat itu tidak boleh ditiru. Karena Rasulullah saw telah bersabda, “Barangsiapa yang memelihara anjing

Dosanya itu tidak akan bersih sebelum bisa membedah benteng orang kafir dalam tujuh kali peperangan dan sebelum dapat meramaikan tujuh masjid. Dan jika dosanya belum terbayar, maka ia tidak ada mendapatkan ampunan.”

Seorang maulana berkata, “Betul diperbolehkannya seorang sang raja (tuan) memelihara srigala (anjing) itu jika di luar srigala itu mampu menahan lapar di sungai besar, atau srigala itu dapat berlaku seperti seekor onta (h. 126)

Dapat berjalan sehari semalam. Adapun persoalan Terbang (rebana) jika tidak dapat mengetahui hakikatnya, maka akan menjadikan kekufuran terhadap penabuhnya. Karena Rasulullah saw telah menabuh Terbang (rebana) semenjak hari Kamis hingga malam Jumat selalu memukul Terbang.

Ketika memburu kancil jalan para masyaikh itu satu, tidak boleh ditertentukan siapa orangnya; di Arab atau di luar Arab. Semuanya harus menggunakan izin raja, sudah seperti itu jalannya.” Sultan Bagdad sangat bersedih.

Semua putra dimarahi oleh Sultan Bagdad. Padahal tidak semua putra Sultan Bagdad itu sama. Semuanya diterkena kemarahan sang Sultan sehingga diusir dari kerajaan Bagdad. Itulah permulaan perjalanan mereka.

Karenanya mereka berangkat ke Jawa. Ke emapat para putra itu ibunya berasal dari Tanah Putih anak dari Ki Dampu Awang. Oleh sebab itu mereka muncul sebagai keturunan dari rama Mang Pa Hung yang terbiasa mengembara.

Sang Guru Syekh Juned segera saja memberi petuah, “Oleh karena hal ini sangatlah penting, maka haru (h. 127) tetap bersama-sama dalam perjalanan dengan seluruh keluarga.” Laki-laki dan wanita sebanyak delapan ratus orang memenuhi tiga perahu.

Salah satu nama perahunya adalah Margata yang sangat kuat dan besar. Abdurrahman dengan teman-temannya sebanyak duaratus enampuluh enam orang. Kendaraan yang satunya lagi bernama perhau Gagangkali yang kuat dan kokoh.

Perahu itu dinaiki oleh Datuk Khafid bersama dengan duaratus enampuluh enam orang. Kendaraan perahu yang satunya lagi bernama Panenga yang sangat kuat dan kokoh dinaiki oleh Rara Bagdad dengan teman-temannya sebanyak duaratus enampuluh enam orang.

Adapun yang bernama Maulana Judah itu bepergian sendirian ke sana-kemari dan membuat perdukuhan di Banten. Oleh karenanya Maulana Judah terkenal dengan nama Ki Gede Dukuh atau Ki Gedeng Babadan.

Adapun tiga bersaudara itu (Abdurrahman, Abdurrahim, dan Rara Bagdad) bersama-sama mampir di negara Paseh (Aceh). Di sana mereka membicarakan untuk mencari tempat di mana saja ada negara yang rajanya masih kafir bermaksud untuk memintanya secara lisan. (h. 128)

Kehebatan Abdurrahman menguasai asal tanah yang diarah dan dituju adalah hutan milik Ki Kuwu Carbon serta ikut kemana-mana dan tak terhindarkan juga membangun desa perantauan bertetangga dengan Ki Kuwuh yang disebut Panjunan.

Seluruh keluarga Abdurrahman berpencaran sepanjang pesisir lautan hingga ke arah timur mendekati Demak dan ke arah barat mendekati Banten sehingga keluarga Abdurrahman diperkirakan kurang lebih sepertiga penduduk muslim Jawa.


Untuk menenangkan orang-orang islam (Arab) tidak lain yang dikehendaki adalah mendirikan kekuasaan yang dapat memerintah pulau Jawa jika hal itu tampak sesuai dengan kehendak Allah.


PUPUH DANGDANGGULA
Lama kelaman mereka berpencar. Datuk Abdurrahman tinggal di Panjunan. Datuk Khafid berada di sebelah utara, yaitu di atas puncak Gunung Jati. Rara Bagdad berada pasisir, berada di sebelah utara Gunung Jati yang bernama Desa Jati. Ketika (h. 129) Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) datang dan Pangeran Panjunan juga semua keluaarganya berkunjung. Pertemuan itu diadakan

di Carbon Girang ketikan tahun Alip hari Senin bulan Ramadhan. Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) bertanya, “Wahai yang baru jumpa, siapakah nama panggilanmu, dari manakah asalnya, dan apa yang dikehendaki?” Pangeran Panjunan menjawab, “Abdurrahman namaku, hanya orang kecil, Bagdad asalku.

Putra Sultan Bagdad, cucu dari Sang Raja Umdah negara Mesir. Kami mengembara hingga ke Paseh dan sampai ke tempat ini, doaku kepada Allah adalah agar pulau Jawa berganti dengan agama (orang) mukmin.”
Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata lagi, “Jika begitu adanya, maka aku mendapatkan sahabat yang bertujuan sama.”

Pangeran Panjunan cepat bertanya, “Lah kamu siapa panggilannya dan dari mana asalnya?” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) menjawab, “Hidayatullah namaku, Banisrail asalku, putra (h. 130) sang ratu, dan cucu Raja Umdah. Menurut cerita yang muda Raja Banisrail dan yang tua Sultan Bagdad.

Aku berkelana sampai di Cempa dan ke sini bertemu dengan kakak. Aku menduga kakak belum sampai di sini dan ternyata kakak sudah berada di sini terlebih dahulu, bahkan telah mendirikan pemukiman di tepian laut.” Pangeran Panjunan berkata, “Syukur kepada Allah bertemu dengan adik. Hanya saja adik

ingin mengislamkan pulau Jawa, bekal apakah yang telah adik bawa?” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) menjawab pelan, “Kakak, sungguh aku kemari tidak berbekal apa pun selain syahadat yang ingin aku ketahui secara benar.” Lama sekali Pangeran Panjunan diam dan tidak berkata sepatah kata pun. Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata,

“Janganlah kakak mendiamkan aku, jika aku bodoh ajarilah hingga paham haikatnya!” Pangeran Panjunan berkata, “Kamu salah kaprah adikku. Jika masih syahadat adik masih kufur.” (h. 131) Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) menjawab, “Jikalau aku masih kufur, maka islamkanlah aku, kakak!”

Pangeran Panjunan berkata riang, “Jika adik sungguh-sungguh percaya, marilah kita sama-sama membicarakannya secara terbuka, ‘ilman mutakallimun, bahwa bentuk jasad kita ini, adikku, adalah rupa Syahadat itu sendiri!” Makhdum Carbon terdiam masygul, hatinya riuh berkecamuk, sehingga Pangeran Panjunan berkata lagi, “Dan yang dinamakan iman

Yaitu juga badan ini adikku, nama shalat juga badan ini adikku, waktu pun sesungguhnya badan ini. Sesungguh begitulah adanya adikku dan itulah yang aku tahu.” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Aku memohon lebih kepada kakak, adik ingin berguru, janganlah kakak merasa khawatir.”
Pangeran Panjunan berkata,

“Aku sebagai saudara dengan adik (Syarif Hidayatullah) dari dunia hingga akhirat. Lahirnya Allah itu sifat kasih-Nya, begitu juga cinta–Nya. Wujud Allah itu sama dengan sifat-Nya. Yang dinamakan Allah adalah badan ini, bukan yang lain, luar dalamnya (h. 132) sesungguhnya Allah. Adikku, janganlah kamu meragukan-Nya.


Adikku, itulah keyakinanku. Syahadat tanpa asyhadu, iman tanpa percaya. Yaitu sama dengan shalat tanpa waktu, tauhid tanpa tunggal, makrifat tanpa mengenal, dan ilmu tanpa amal. Adikku, nasihat ilmu rasa jati dariku ini adalah bahwa siapa yang memilikinya,

maka akan menjadi raja hingga sampai kepada anak cucunya yang kelima terlindungi oleh manfaatnya.” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) menjawab, “Betul kakak, sesungguhnya kakak adalah orang yang menjelaskan hakikat syuhud.” Kemudian Pangeran Panjunan berkata lagi, “Adikku, aku titip ilmu, tolong adikku, sebab ilmu (hakikat syuhud / rasa jati) ini

tidak patut dengan syariat, jika seseorang belum tega memotong lehernya dan membelah dadanya untuk mengalirkan darah putihnya, maka belum diperbolehkan memegang ilmu ini. Adikku, aku dan kamu telah sebadan senyawa tak bisa terbagi.” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata,

“Betul kakak, kakak tidak perlu merasa khawatir. (h. 133) Teruskanlah penjelasannya hingga membahas jati makrifat (makrifat jati / hakikat makrifat) menurut yang dipahami oleh kakak.” Pangeran Panjunan berkata, “Betul adikku, yang bernama Yang Widi (Allah) hakikatnya adalah nama bagi Dzat Yang Suci, Azali, dan Nyata. Rasululah itu adalah darah putih yang ada di antara kulit dan daging yang bernama Muhammad.

Yang bernama Yang Widi itu adalah hakikat nama Allah itu sendiri. Nama yang hakiki yang bergelar Sang Prabu Cakrawati di dalam lahir dan batin, dunia akhirat satu, juga nyawa, juga sukma itu satu; maksudnya Sang Badan yang halus, luar dalam Allah.

Adikku, maksudnya sukma itu adalah badan yang langgeng tidak terkena perubahan, Esa dzat, sifat, dan af’al-Nya. Itulah hakikat Allah. Itulah yang aku yakini dan itulah yang sesungguhnya. Adikku, silahkan memberi koreksi. Hanya saja aku sudah tidak memiliki ilmu lagi selain yang sudah aku jelaskan.”


SINOM
Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Aku paserah, kakak (Pangeran Panjunan) tidak hanya sekali berbuat (h. 134) dan itulah adanya; ilmu hakikat hidup dan hakikat bentuk yang sebenar-benarnya.”
Pangeran Panjunan berkata, “Sudah, betul. Kepentingan adik sekarang, tinggallah di sebelah selatan aku.

Tempat itu aku namakan Pakungwati, tempat Pajlagrahan. Adapun tempatku ini nantinya, yang berada di sebelah utara Pakungwati, akan bernama Wanawati. Bersama-sama menjalankan ilmu Yang Widi. Wanawati adalah nama tempat buatan Panjunan.”

Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Apa tidak sebaiknya aku tinggal di bukit utara, Gunung Jati?” Pangeran Panjunan menjawab, “Permintaanku, adikku, janganlah adik tinggal di bukit (Gunung Jati) itu karena di sana sudah ada yang menempati yaitu Datuk Khafid dan itu masih saudaraku.”

Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Aku juga sudah mendapatkan kabar bahwa ada seorang wanita pandai.” Pangeran Panjunan menjawab pelan, “Sama juga adikku, ia saudaraku juga. Rara Bagdad namanya. Ia berada di pasisir (h. 135) naik sedikit sebelah utara Desa Jati.”

Makhdum Carbon berkata, “Oooh, kakak, berapakah semua saudara kita?”

Pangeran Panjunan berkata, “Sangat banyak adikku, mereka semua betah di setiap tempat yang disinggahi. Ada Babu Dampul yang ada di Dempul tempatnya sebelah sungai yang membujur ke arah uatar. Itulah keluargaku. Juga yang ada di sebelah barat Gua Upas semua saudaraku.

Mereka aku bawa dari Bagdad.” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Kebetulan sekali kakak, nanti kita akan belajar bersama-sama.” Pangeran Panjunan menjawab, “Silahkan jika adik menghendaki, mengambil hikmah sekedarnya, jangan putus mendatangi saudara. Bukankah adik telah menjadi waliyullah.

Juga menjadi penguasa di Cirebon.” Makhdum Carbon menjawab pelan, “Jika saja kakak yang berkuasa, aku yang muda akan iku dibelakang.” Pangeran Panjunan menjawab, “Tidak bisa dua kali bicara bagi seorang manusia, sekali ucap sudah terjadi untuk selama-lamanya hingga sampai ke anak cucu.

Anak cucuku kuserahkan (h. 136) semuanya pada kehendak adik. Aku rela dunia akhirat. Bagaimana caranya dan sebaiknya sudah kuserahkan pada adik. Juallah sehari tujuh kali, aku tidak akan mencabut keputusan itu.” Makhdum Carbon (Syarif Hidayatullah) menjawab, “Selebihnya aku mohon kasih, kepercayaan kakak yang sebegitu besarnya pada adik ini.

Tentu saja semua keturunan kakak semua akan aku bela dan urusi sekalipun namaku sudah sirna, tentunya akan kutitipkan pada keturunanku untuk selalu menjaga anak cucu Panjunan, karena aku berada (berkuasa) seperti ini dikarenakan mendapatkan izin dari kakak Pangeran Panjunan.

Namaku tidak akan renggang (berjarak) dengan nama kakak walaupun hanya sejari tangan ini.” Kemudian Pangeran Panjunan segera mengumpulkan semua sanak saudaranya untuk dikumpulkan di Cirebon Girang sebagai tempat berkumpulnya. Datanglah Datuk Khafid dan Gedeng Dempul, hanya saja yang berda di Gua Upas tidak ikut hadir.

Karena sudah makrifat secara sempurna, tidak mungkin berbuat salah. Sudah lengkap semuanya di hadapan Sang Makhdum Carbon. Segera saja (h. 137) Pangeran Panjunan mengundang para saksi, yaitu Pangeran Drajat dan Pangeran Makhdum, mereka berdua sudah datang. Dan juga Pangeran Kalijaga.

Datang sebagai saksi (atas undangan Pangeran Panjunan). Pangeran Panjunan memerintahkan kepada sanak saudara Panjunan Orang Domas agar mendukung Makhdum Carbon sarta kepada orang Domas agar menjunjung lungguh dan kedudukan Makhdum Carbon menjadi penguasa Cirebon dan sebagai Raja Wali yang masyhur dengan sebutan Susuhunan.

Setelah mengangkat susuhunan Pangeran Panjunan berkata, “Tetaplah anak cucuku agar selalu mengabdi kepada adik (Syarif Hidayatullah). Aku sumpahi (ipat-ipati) sebagai sumpah yang yakin dariku bahwa siapa saja anak cucuku berani memungkiri terhadap anak cucu adik (Syarif Hidayatullah), maka aku mohon agar

Menemukan malapetaka, jangan ada keselamatan pada dirinya.” Susuhunan Jati (Syarif Hidayatullah) berkata, “Sudah, aku pun akan menyumpahi anak cucuku bahwa siapa saja anak cucuku yang tidak mengakui anak cucu raka (Pangeran Panjunan), aku pinta (h. 138) semoga ia tidak menemukan kebahagiaan.

Haruslah saling tolong menolong. Haruslah saling menjaga dengan sungguh-sungguh. Jika suatu saat nanti keluarga Panjunan difitnah, maka segeralah anak cucuku memberikan pertolongan. Dan segeralah merebut Panjunan jika Panjunan telah tejarah dan terjual kepada orang zalim, jangan sampai anak cucuku tidak menebusnya.”

Pangeran Panjunan berkata, “Adikku, aku titipkan Rara Bagdad ini. Pada waktunya nanti, ia akan menjadi bencana karena direncanakan (makar) oleh seorang pertapa. Kota ini akan masyhur ke semua penjuru dunia bahwa di sini ada gelar ilmu dan rasa.”

Susunan Carbon (Syarif Hidayatullah) berkata, “Karenanya kelak nanti ada seorang pandita yang mendapatkan hukuman, jika ia menerima bisikan-bisakan sesat yang menghancurkan.” Pangeran Panjunan menjawab, “Betul adikku, koreksilah, negaramu ini ibarat lelaki dan wanita.” Susuhunan Carbon berkata, “Jika diperkenankan


Dengan restu kakak, jika aku ada jodoh dengan keluarga (h. 139) kakak.” Pangeran Panjunan menjawab, “Sekehendak adikku saja, bukankah semuanya sudah aku serahkan. Janganlah hati adik merasa sungkan saat kebahagiaan itu datang. Janganlah memiliki hati khawatir.”


KINANTI
Susuhunan Carbon berkata, “Saya mohon ijin kepada kakak Pangeran Panjunan, juga kepada semua keturunan kakak dan saya semuanya satu dengan rasa kebesaran hati.”

Pangeran Panjunan manjawab, “Silahkan sekehendak adik saja, saya hanya mengawasi dari kejauhan. Saya tidak akan turut campur. Terserah kebijakan adik. Saya tidak memiliki wewenang itu

Terhadap perkara itu.” Kemudian putri dari Syekh Datuk Khafid yang bernama Nyi Rara Fillah diambil untuk dijadikan isteri oleh Sunan Gunungjati kemudian mendapatkan putra.

Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki dinamakan Pangeran Jayakalana. Kedua yang dinamakan Pangeran Sedang Lautan. Oleh karenanya Syekh Datuk Khafid (h. 140)

Dinamakan, setelah beliau bermukim di suatu tempat, Ki Gede Gunungjati. Beliau terhitung sebagai salah satu mertua dari Sunan Gunungjati. Begitu juga Pangeran Panjunan termasuk ‘mertua uwa’ dari Sunan Gunungjati. Apa lagi Rara Bagdad.

Sebagai martua uwa. Sunan Carbon apa lagi sebagai keluarga Panjunan mendapat nama satu persatu; Nyi Gedeng Mundu, Ki Gedeng Gorogol.

Nyi Gedeng Lemahbang Selatan, Nyi Gedeng Cidung, Ki Gedeng Weru, Ki Gedeng Sungapan, Ki Gedeng Kaliwulu, Ki Gedeng Luwung Salawi,

Dan Ki Gedeng Candi. Adapun yang dijadikan mantri ialah Ki Patih Warak, ialah yang menjadi sespuh di Desa Jati. Dan juga Ki Gusti di Karangkendal, Patih Waringin.

Yang mukim dan beranak pinak di Dusun Bedulan. Pati Galaga yang mukim di Dusun Pagagan. Patih Lumut yang mukim di Karangkeng. Ada yang bernama Patih Dhatar

Yang bermukim di Calangcang. (h. 141) Atau juga Ki Buyut Sajati yang Dusun Dempul di Alas Urang. Ada juga yang mukim yang beranama Ki Kanduruhan. Ada yang bernama Adipati Japura.

Yang mukim di Dusun Japura. Adapun yang pergi dari hadapan Susuhunan Jati yang berkehendak menjadi Ki Gedeng, maka dijadikan Ki Gedeng di Kerawang. Ki Husain Jana Khatib.

Menjadi Pepatih Ratu (Wakil Raja) di Demak. Ada lagi yang menjadi Ki Gedeng di Batang. Juga kakaknya yang ikut serta mukim di daerah Batang yang bernama Ki Gedeng Lokawali.

Itu tempat yang pernah dimukimi oleh buyut Sang Sayid Panjunan, dan juga yang mukim dan menduduki menjadi Dipati Pancur, Adipati yang ada di Pemalang. Ada yang menjadi patih (Pembantu Raja).

Yang berdiam di Kalinyamat ataupun yang menduduki Dipati yang mukim daerah Pamatingan. Juga yang menjadi Dipati Dermayu ada yang bernama Arya Sundaka dan Ki Arya Sendi.

Yaitu adik dari Nyi Gedeng Dempul. Ada Patih Kancil Belik, Patih Sambung (h. 142) Pati Ramat, dan Patih Sarangen yang bermukim di daerah Bayalangu. Ditempat lain juga ada Patih Kadut (Tegalgubuk).

Ada yang bernama Tumenggung Maduraja yang duduk di daerah Singaraja (Indramayu). Ada yang digelari dengan nama Tumunggung Batulayang. Saudaranya juga menjadi seorang.

Tumenggung yang ada di Campaluk. Desa-desa yang berjajar sepanjang Bangawan Pancur yang ada di (Muara) Angke ada nama Ratu Bagus Angke, ada juga yang bernama Ki Gedeng Pontang.


Ada yang bernama Gedeng Tanare (Banten). Adapun Gedeng Dukuh yang ada di Banten tampaklah nama seperti Ki Gedeng Babadan atau juga yang terkenal dengan sebutan Maulana Judah, itu satu orang.

Yaitu yang menurunkan putra yang dinamakan Kanjang Pangeran Pasalakan (Sumber), dan juga terlihat nama Kanjeng Pangeran Kasunyatan. Ada juga yang menjadi keponakan Pangeran

Panjunan yang mengalami ‘kasmaran ilahi’ bernama Pangeran Kajenar. Yang mukim di Cirebon yaitu Pangeran Tayuman (h. 143) memiliki empat putra; putra yang sulung seorang perempuan


Yang ketiganya seorang laki-laki semua. Adapun adiknya Kanjeng Nyahi Gedeng Munduh yang laki-laki yang berangkat ke Aceh juga tampaknya menjadi raja kemudian berputra dua orang.

Putra yang pertama yang menduduki jabatan Raja Besar Kapuratan. Seorang lagi yang lainnya yang bernama Raja Bungsu yang masuk ke pulau Jawa dan diam di Cirebon kemudian ia berputra (menurunkan) seorang lelaki yang bernama Datuk Rangkaya.

Datuk Rangkaya berputra (menurunkan) orang yang bernama Ki Mas Ragil, yaitu yang mempunyai Sajarah Panjunan Sayid, yang selalu diikuti oleh seseorang yang bernama Ki Lurah Cilki.

Yang punya rumah tinggal di Kuningan, cucu Ki Mas Oyi. Oleh karenanya barangsiapa yang menjadi Ratu Pakungwati, maka tidak boleh melupakan (jasa-jasa orang-orang) Panjunan. Sesungguhnya barangsiapa yang jika

Menyia-nyiakan Panjunan, maka tentuntaya akan menemui malapetaka, karena raja Cirebon itu bisa dapat berdiri oleh karena berkat bantuan Panjunan yang mengangkat dan menjadikannya sebagai raja dan Panjunan juga yang meramaikan negeri Cirebon ini. (h. 144)

Pun Bala Domas itu adalah keluarga Panjunan juga. Bukankah awal permulaan Domas adalah awal pendirian Pakungwati. Pakungwati dapat terlaksana berdiri setelah runtuhnya Pakuwon (Pajajaran).

Adapun awal permulaan sebagai keluarga Bagdad yang diwakili Panjunanlah yang dapat melayani dan mendukung pemerintahan (Pakungwati), oleh karenanya dipesankan agar jangan sampai tidak merawatnya.


PANGKUR
Dan lagi keluarga Panjunan yang melakukan pertapaan di Grenjeng (Cirebon) ialah seseorang yang bernama Gedeng Kagok, yaitu orang yang pada masa dahulu ikut serta membangun Benteng Cirebon. Didalam jajaran Benteng Cirebon ada sebuah cengkal Domas yang berbentuk persegi.

Dan ada nama empat Lawang Sayastra yang dibuat oleh Gedeng Kagok. Sungguh Cengkal Domas dan empat Lawang Sayastra itu merupakan buatan Ki Gedeng Kagok, yang juga turut serta memelihara dan mengajarkan pembuatan Bneteng. Saat itu Cirebon masih menggunakan Benteng Gebyog (kayu) kemudian diganti menjadi Benteng Bata dengan saudra yang bernama

Pangeran Reken untuk bersama ikut membangun Cirebon dalam menata alun-alun (h. 145) menata tataletak keraton, membelakangi gunung mengkanankan laut, dan mengkirikan pesawahan agar menghadap sahbandar raja (Pelabuhan Muarajati).

Setelah selesai membangun kota kemudian Pangeran Reken mengundurkan diri untuk menetap di Losari, menitipakan anak cucu kepada Kanjeng Susunan. Dan berkatalah Sunan Carbon, “Jangan merasa berduka hati, bukankah engkau berhak atas ini semua.

Aku titipkan dari sekarang kepada semua penggantiku semua agar mereka semua ingat terhadap orang-orang yang telah berjasa membangun Benteng Cirebon ini. Maka barangsiapa anak cucuku lalai terhadap orang-orang tersebut, maka aku doakan agar jangan sampai menjadi penguasa (dawulat). Jangan sampai hal ini terjadi. Amiin.

Dan apa lagi nanti jika anak cucu (duriyat) makananmu besok kelak terkena bencana, terkena fitnah yang bukan-bukan, terjual, dan teraniaya, maka segenap anak cucuku wajib merebutnya kembali dan memberikan pertolongan kepada Panjunan. Dan aku titipkan kembali

Semua anak cucuku yang menjadi ratu agar mereka memiliki karya tulis Sajarah Panjunan ini agar mereka tidak samar dan tidak lalai terhadap asal-usul (h. 146) berdirinya Benteng Cirebon oleh sabab Panjunanlah yang telah membangunnya dengan sunguh-sungguh.

Karenanya Sumber nanti dibelakang hari agar dijaga dan dirawat karena di dalamnya ada tempat pemandian kakak Pangeran Panjunan, dan juga Grenjeng karena hal itu dahulunya menjadi tempat peristirahatan keluarga kakak Pangeran Panjunan yang bernama Ki Gedeng Kagok saat melakukan pertapaan.

Seluruh keturunan keluarga Panjunan aku titipakan kepada semua anak cucuku hingga turun kelima, dan juga masih aku titipkan hingga seterusnya. Jangan sampai mengabaikan hal itu, baik laki-laki maupun wanita sama saja.

Peganglah dengan teguh pegangan dan patok dari Nagara Pakungwati. Buatlah menjadi ikatan yang sesunggunya berkah dari kakak Pangeran Panjunan. (Penghormatan itu bisa dilaksanakan) walapun berupa seorang pengarit rumput (dari Panjunan) agar dimasukkan ke dalam Istana Pakungwati dengan tanpa meremehkan. Terlebih lagi

Keturunanku janganlah ada perselisihan, tidak aku relakan itu, dengan keturunan Panjunan. Bahkan jika ada kesukaran dan kesusahan jangan tidak diajak berunding walaupun persoalan dan kesukaran itu amatlah kecil. (h. 147)

Karena rasa syukur dan kegembiraan kakak Panjunan sangatlah besarnya. Juallah sehari tujuh kali, maka kakak Panjunan membelinya. Oleh karenanya, wahai anak cucu Cirebon, haruslah yang menjadi penguasa di Cirebon memiliki Sajarah Panjunan.

Agar tidak mengabaikan terhadap sejarah Panjunan. Bagi orang-orang yang memiliki tulisan Sejarah Panjunan merupakan orang yang memiliki Cirebon karena Cirebon itu ada berkat usaha keras dan dukungan Panjunan. Dan aku ipat-ipatena (larang dengan keras) kepada anak cucu semuanya

Barangsiapa yang tidak membenarkan terhadap pesan ini, maka dia tidak akan menjadi penguasa Cirebon dan tidak akan kokoh Cirebon, karena hal itu pelajaran dari Guru Gusti yang tidak boleh ditentang. Yang bernama Guru Gusti.

Ketika ditentang, maka tidak akan selamat dunia akhirat; menjadi tertimpa dengan segala macam kesusahan karena itu sudah dinazarkan kepada Allah swt dari awal hingga akhir. Wahai Kakak Kanjeng Pangeran Panjunan, aku bertanya apa sebabya

Kakak Pangeran Panjunan menobatkan aku menjadi penguasa Cirebon di tempat (h. 148) ini, apa saja yang nanti kakak larang dalam tindakan, karena aku ini kakak, hanyalah menjalankan darma semata. Sekarang ini aku menjadi penguasa berjalan atas izin kakak.” Pangeran Panjuna menjawab,

“Tidak ada dua kali tindakan yang menjadi penguat Cirebon selain larangan itu sendiri, yaitu orang yang memelihara srigala, orang yang menabuh terbang, dan orang yang berprilaku masyaikh karena aku diusir oleh saudara (keluarga)

Lantaran menjalankan prilaku itu pada saat kami di Bagdad karena aku ini adikku, tidak boleh ditiru-tirukan. Pangeran Kadarajat itu adalah seorang yang luhur yang memelihara anjing, oleh karenanya Pangeran Darajat itu tidak sampai menjadi seorang wali.

Betul, hal inilah yang salah. Pangeran Palakaran pun juga begitu, hingga habis umurnya taubatnya belum sempurna untuk menebus semua dosa-dosa lama yang telah dilakukannya, yaitu membunuh orang-orang islam seperti Ki Sunan Undung.

Pangeran Makhdum pun sama, tidak akan sampai menjadi seorang wali karena (h. 149) terlalu banyak was-wasnya, terlalu berhati-hati, akibatnya hal itu menjadi kegagalan dalam laku seorang wali. Adikku, sudahlah. Sekarng ini aku ingin membuang diri.”

Pangeran Panjunan berjalan mulai perjalanannya itu dari Pangkalan, oleh karenanya dinamakan Dusun Pangkalan. Pangkalan itu adalah ketika Pangeran Panjunan memulai perjalanan dan melaju untuk berlaku tapa di Gunung Palalangon (Sumber).


PAMIJIL
Pangkalan permulaan saat memulai datang dan sampai dengan menggunakan parahu dari Bayalangu, ketika Rara Bagdad datang sampai di Pangkalan Jati. Seperti itu juga yang dialami Syekh Datuk Khafid.

yang pangkalannya ada di Panguragan itu dan ada terlihat desa yang bernama Desa Calancang itu karena digunakan sebagai tempat mengikat (cangcang) terhadap parahunya.

Berkata Sunan Pakungwati, “Tidak ada duanya yang mendapatkan nama pertapa sejati selain Raka Bagdadi (h. 150) Abdurrahman (Pangeran Panjunan) yang sudah sempurna tapanya.

Oleh karenanya ia telah terlihat dan terhitung sebagai keluarga kaum yang telah meninggalkan kewibawaanya dan meletakkan kekuasaannya menutupi kelebihan diri. Untuk itu dikemudian hari anak cucuku

Janganlah tidak mengindahkan terhadap wasiat yang aku pesankan dan wasiat Raka Palangon (Pangeran Panjunan). Barangsiapa anak cucuku tidak melestarikan (ora muri-muri) terhadap wasiatku.

Dan wasiat Raka (Pangeran Panjunan), maka tentunya ia akan menemukan bencana. Pun begitu, jika ia (anak cucuku) selalu melestarikan wasiatku, maka tentunya selamat menjadi penguasa. Seluruh keturunannya akan menjadi penguasa yang memiliki sifat bersyukur.

Dan sebaiknya pada menjauhi semua laranganku dan juga larangan Raka Panjunan, yaitu seorangpun janganlah ada yang memelihara anjing, jangan ada masyaikh, dan jangan ada menabuh


Tarebang. Camkan itu selamanya, selalu pegang teguhlah. Selalu titip-titikan selamanya kepada semua anak cucu yang akan datang nanti. Jangan sampai wasiat ini terputus kepada semua keturunan.”

Tuliskan olehmu wasiat ini. Jelas hal ini merupakan hal penting. (h. 151) Sejarah Panjunan ini ditulis pada hari Ahad (Minggu) bulan Rabiulakhir, tahun Jim Awal telah selesai ditulisanya.

Ditulis oleh, menganggap sebagai hal penting, seorang pemuda yang bernama Kiyahi Mas Ragil, oleh karenanya nanti desa akan dinamai Karagillan (Jamblang) untuk mengenang martabat itu.

Selesai sudah seperti itu yang telah diceritakan tentang kesempurnaan pekerjaan kaum yang mengerjakan anjun (gerabah) sebagai hasil karyanya, seperti gegethak (nama perabotan rumah tangga) untuk mempertahankan hidup, dan semua wewadahan (perabotan rumah tangga) yang bisa ditemukan.

Pangeran Panjunan senantiasa lestari (bertapa) berada di Palalangon (Sumber) di Waringin Pitu, nama tempatnya, untuk selalu bertapa guna menemukan hakikat jati hingga makrifat dan kefanaan.
(baru sampai halaman 151 dari total halaman 279)

[1] Banyubiru

Baca Juga :

Tidak ada komentar