Mandala Kawikwan atau Padepokan Karesyian Permana Ajar Padang Di Darmaraja Sumedang

Sampurasun...
Ku margi aya patarosan aya situs nyimas Cakrawati di Gunung Padang, simkuring uar babad heula ngeunaan Ki Ajar Padang anu dudukuh ngadamel kamandalaan Kawikwan (karesyian) anu pernahna di Daerah Gunung Padang Darmaraja.

Ngeunaan Nyimas Cakrawati mah simkuring oge kirang uninga, kumaha sajarahna Nyimas Cakrawati ayana abad sabaraha? Sareng jaman saha? Margina nu ka aos dinu buk Pakuning Alam ku abdi mah di Gunung Padang Darmaraja mung aya catur rangga Ki Ajar Padang atanapi Sang Permana Ajar Padang atanapi Pemana Dikusuma ramana Ciung Wanara  (Buyud Maja), sareng situs kabuyutan nu aya di 12 Gunung anu dicirian dina jaman dapora ku Purbawisesa, nya di antawisna di Gunung Padang Darmaraja ieu. 

Keterangan : Purbawisesa sareng Teurawisesa jalmi anu sumping ka tanah Sunda dina Dapora, jaman lungsurna cai satutasna jaman Nabi Nuh a.s, apan aya geuning dinu sahadat Darmaraja mimiti anu ugerana kieu : “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Teurawisesa, Ratu Galuh"

Daerah rata sekitar Madala Kawikwan Gunung Padang Darmaraja

Catur Rangga nu aya dinu buk mangrupikeun papantun bari kedah dipesek (diguar) deui dina sajarah saleresna.

Aya oge dipalih di Gunung Padang Darmaraja nyaeta situs Gagak Lumayung duka eta oge kanggo panamian saha?  Kitu deui aya batu situs Mbah Pamulang, saurna na mah kanggo spiritual miceun teuluh atawa werejit, sajarahna na oge sami teu ka pesek. 

Seueur versi mgeunaan Sajarahna Permana Ajar Padang dibagi janten dua bagean, Tina ngawitan Sajarah Kerajaan Galuh sareng Prabu Permana Ajar Padang Versi Darmaraja Sumedang.

Mandala Kawikwan Alami Gunung Padang Darmaraja Sumedang
Mandala Kawikwan Alami Gunung Padang Darmaraja Sumedang

1. VERSI SEJARAH KERAJAAN GALUH 
Tokoh Resiguru dalam carita parahiyangan adalah Raja Resiguru Manikmaya suami Dewi Tirtakencana atau menantu Prabu Suryawarman penguasa Tarumanagara ketujuh (515 - 535 M). Resi Manikmaya oleh Prabu Suryawarman diberi wilayah Kendan untuk penyebaran ajarannya, setelah pengikutnya banya Resiguru mendirikan Kerajaan Kendan sebagai negara bawahan Tarumanagara. Pada tahun 568 M, Resiguru wafat, sebagai penerus Kerajaan Kendan adalah Sang Baladhika Suraliman. Penobatan Rajaputra Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagean poek bulan asuji tahun 490 Saka atau 5 Oktober 568 M.

Dalam perkawinannya dengan Dewi Mutyasari putri Kerajaan Bakulapura (Kutai) keturunan keluaraga Kundungga, memiliki seorang putra dan putri. Yang putra diberi nama Kandiawan (sebagai penerus tahta) dan Kandiawati. Prabu Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun, dari tahun 568 - 597 M.


Selanjutnya tahta Kerajaan Kendan dipegang oleh Kandiawan. Sebelum ayahnya wafat, Kandiawan telah menjadi Raja daerah di Medang Jati, karena itu ia digelari Rahiyangta ri medang jati.

Setelah menjadi Raja, Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Kandiawan menjadi Raja Kendan hanya 15 tahun, yaitu dari tahun 597 - 612 M. Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, ia menjadi pertapa di Layungwatang daerah Kuningan. Sebagai penggantinya ia menunjuk putra bungsu yang bernama Wretikandayun yang saat itu sudah menjadi Rajaresi sebagai raja daerah di wilayah Menir.

Praburesi Kandiawan memilih Wretikandayun, oleh penulis Carita Parahyangan dengan selubung halus, menerangkan :
1. Sang Mangukuhan memilih hidup menjadi peladang
2. Sang Karungkalah memilih hidup menjadi pemburu
3. Sang Karungmaralah memilih hidup menjadi penyadap
4. Sang Sandanggreba memilih hidup menjadi pedagang.

Peladang, panggerek, panyadap dan padagang merupakan sindiran halus bahwa ke empat kakak Wretikandayun tersebut lebih memilih hidup untuk kepentingan pribadi, daripada kepentingan untuk ketatanegaraan dan ketatawilayahan.


Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan pada tanggal tanggal 14 suklapaksa Caitra-6-534 Caka atau 23 maret 612 M, dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa. Wretikandayun (nama masih kanak-kanak sang Amara), Raden Daniswara (dani = kerbau);  lahir 0513 Caka (0619 Masehi), dinobatkan menjadi Raja usia 21 – 111 tahun. 

Setelah naik tahta Rajaresi Wretikandayun memindahkan ibukota kerajaan dari Kendan ke tempat yang baru yang diberi nama Galuh (Permata). Wilayah Galuh diapit oleh sungai Cimuntur dan Citanduy. Lokasi sekarang dikenal sebagai Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Rajaresi Wretikandayun memerintah di Galuh antara 640 - 702 M.
 

Rajaresi Wretikandayun menikah dengan putrinya Resi Makandria yang bernama Manawati. Setelah menjadi permaisuri, Manawati bergelar Candraresmi, dalam carita parahiyangan permaisuri ini disebut sebagi Pwah Bungatak Mangale-ale.

Dalam perkawinnya dengan Manawati, Wretikandayun memiliki tiga orang putra, yaitu :
1. Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja, resiguru Galunggung, lahir 542 C (639 M)
2. Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, resiguru Denuh, lahir 544 C (641 M)
3. Sang Jalantara, Rahyang Mandiminyak, putra mahkota Galuh, lahir 546 C (643 M)


Pada tahun 669, Prabu Linggawarman, Raja Tarumanagara wafat digantikan oleh menantunya yang bernama Tarusbawa dari kerajaan Sundapura yang menikahi Dewi Manasih purti Prabu Linggawarman.

Wafatna Prabu Linggawarman dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan diri sebagai negara merdeka. Prabu Tarusbawa menyetujui permintaan Wretikandayun, dengan daerah kekuasaan wilayah Citarum sebelah Timur. Rajaresiguru Wretikandayun merubah nama Kerajaan Kendan menjadi Kerajaan Galuh dengan Ibukota Kawali.

Sempakwaja dan Jantaka memiliki cacat tubuh, menurut tradisi keraton saat itu tidak mungkin keduanya menjadi yuwaraja sebagai calon pengganti Rajaresi Wretikandayun.

Sempakwaja kemudian dijadikan Resiguru di daerah Galunggung dan diberi gelar Batara Danghiyang Guru. Ia menikah dengan Pohaci Rababu, ia berputra :

1. Rahiyang Purbasura, lahir 565 Caka (670 M)
2. Rahiyang Demunawan, Sang Seuweukarma, lahir 568 C (673 M)


Sedangkan Jantaka dijadikan Resiguru di Denuh, terkenal dengan gelarnya Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak telaga Denuh berada di daerah Galuh Selatan.
Ia menikah dengan Dewi Sawitri dan berputra :  Arya Bimarkarsa.

Pada sebelumnya diterangkan bahwa Rajaresiguru Wretikandayun memerdekakan kerajaan Kendan dari Tarumanagara, pada tahun 669 Masehi dan merubah Kendan menjadi Kerajaan Galuh dengan Ibukota Kawali.

Prabu Resiguru Wretikandayun menjadi Raja Galuh Ke 1 di Kerajaan Galuh, memerintah sampai tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang ke tiga bernama Amara atau Mandiminyak.
Amara atau Mandiminyak menggantikan kedudukan Wretikandayun sebagai Raja Galuh ke 2.
  Prabu Mandiminyak sebelum naik tahta di Kerajaan Galuh, sedang berkuasa di Kerajaan Kalingga mewarisi tahta ibu mertuanya dari Parwati (Putri Ratu Maharani Sima, yang wafat pada tahun 695 Masehi). 

Sebelum wafat, Ratu Sima membagi dua Kerajaan Kalingga, yaitu :
1. Parwati, memperoleh bagian Utara yang disebut Bumi Mataram (695-716 M).
2. Narayana, memperoleh bagian Selatan dan Timur yang disebut Bumi Sambara, ia bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala (679 - 742 Masehi).

Dengan permaisuri Parwati, Prabu Mandiminyak memiliki seorang putri bernama Sanaha, sebelum menikah dengan Parwati, Mandiminyak memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya (Pohaci Rababu). Setelah kedua putranya dewasa dinikahkan, antara Sena dan Sanaha (saudara lain ibu) atau disebut kawin Manu.

Tahun 702 Prabu Mandiminyak pulang ke Galuh untuk menggantikan tahta ayahnya, sedangkan untuk pemerintahan di Bumi Mataram dijalankan oleh istrinya yaitu Ratu Parwati. Prabu Mandiminyak berkuasa di Kerajaan Galuh dari tahun 702 - 709 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya bernama Bratasenawa (709 - 716 M) Raja Galuh ke 3

Permaisuri Prabu Bratasenawa bernama Ratu Sanaha, dari hasil penikahannya memperoleh putra bernama Sanjaya.

Prabu Bratasenawa memerintah Kerajaan Galuh sampai tahun 716, karena digulingkan oleh Purbasora putra Sempakwaja dari Kerajaan Galunggung. Purbasora merasa lebih hak dengan tahta Galuh daripada Sena (saudara se ibu-nya lain ayah, hasil fair dengan Mandiminyak). Prabu Bratasenawa tewas ditangan Purbasora yang dibantu oleh ayah mertuanya (Prabu Darmahariwangsa Kerajaan Indraprahasta) yang mengerahkan angkatan perangnya.

Tahun 716, Prabu Purbasura naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73 - 80 tahun (716 - 723 Masehi) Raja Galuh ke 4,  bersama permaisuri yang bernama Citra Kirana, dengan gelar Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna.


Setelah Prabu Tarusbawa wafat, diganti oleh Sanjaya menjadi raja Sunda. Sanjaya putra Prabu Bratasenawa dan Sanaha menaruh dendam kepada Purbasura, karena dulu telah merebut tahta Galuh dan mengusir Sena, ayahnya Sanjaya. Dendam ini diwujudkan dengan merencanakan perebutan Galuh kembali dengan membunuh Purbasura. Mula-mula Sanjaya pergi ke Denuh (sekarang di Tasikmalaya Selatan) untuk menemui Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Maksudnya ialah agar Wanayasa bersedia membantu menggulingkan Purbasura dan diganti oleh Aria Bimaraksa atau Balangantrang, putra sulung Resiguru Wanayasa. Tapi ia menolak. Ia memilih bersikap netral. 

Lalu Sanjaya berangkat ke Rabuyut Sawal dengan maksud yang sama. Setelah mendapat ijin, maka gunung Sawal dijadikan markas tentara untuk menyerang Galuh. Dengan angkatan bersenjata yang terlatih, maka pada tengah malam, angkatan bersenjata Sanjaya berhasil masuk ke keraton Galuh dan membunuh Prabu Purbasura pada tahun 645 Caka (747 Masehi). Dalam penyerbuan itu seluruh penghuni keraton gugur. Aria Bimaraksa yang juga menyaksikan kejadian ini dibiarkan lolos. Ia kemudian bermukim di Geger Sunten.  Kelak dari tempat ini menjadi bencana yang menimpa keluarga Sanjaya.

Setelah Prabu Purbasura wafat Sanjaya naik tahta di Kerajaan Galuh dengan permaisuri Sekar Kancana yang bergelar Teja Kancana Ayu Purnawangi (cucu Prabu Tarusbawa), dengan gelar Prabu Sanjaya adalah Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapumajaya. Sejak saat itu Prabu Sanjaya menjadi Raja Sunda dan Raja Galuh dan tinggal di Ibukota kerajaan Sunda.

Sebelum kembali ke Bumi Mataram, Maharaja Sanjaya yang menguasai Kerajaan Galuh-Sunda dan Bumi Mataram, menguasakan Kerajaan Sunda kepada putranya yang bernama Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan), 732 M. Sedangkan tahta Kerajaan Galuh dikuasakan kepada cucu Purbasora yang bernama Permana Dikusuma, 732 M. Sang Patih Anggada sebagai duta patih atau wakil raja, ialah penguasa yang memberi perintah kepada ratu‑ratu taklukan, wakil pejabat kerajaan kepada ratu‑ratu wilayah.  654 Caka (756 Masehi), kekuasaan Sanjaya di Jawa Barat dibaginya dua kawasan, antaranya sebagian kepada uwanya ialah wilayah Saunggalah, sebagian lagi diberikan kepada puteranya, Tamperan Barmawijaya, yang memerintah Sunda dan Galuh wilayahnya

Prabu Permana Dikusuma terkenal sebagai seorang pertapa, ia dijuluki Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala. Ia menikahi Dewi Naganingrum cucu Patih Aria Bimaraksa. Dengan permaisuri Dewi Naganingrum ia berputra Rd. Suratama alias Sang Manarah yang lahir pada tahun 718 M. Juga menikahi Dewi Panrenyep putri Patih Anggada. Dewi Pangrenyep lahir pada tahu 704 Masehi, 6 tahun lebih muda dari Dewi Naganingrum, 698 M

Kehadiran Dewi Pangrenyep sebagai istri yang dipaksakan oleh Sanjaya, bagi Premana Dikusuma yang sudah berusia 40 tahun dan berpredikat Bagawat atau Resi tidak memperdulikan kebeliaan dan  kecantikannya.
 
Prabu Premana Dikusuma, seorang yang alim dan gemar bertapa, pernikahan tersebut merupakan kekangan bagi dirinya. Prabu Pemana Dikusuma lebih sering bertapa daripada mengurus pemerintahan. Akhirnya Premana Dikusuma memutuskan pergi bertapa di hutan Gunung Padang Darmaraja Sumedang, sebelah  Timur Citarum, urusan pemerintahan diserahkan pada Patihnya Arya Bimaraksa.

Dewi Pangrenyep yang masih muda belia merasa kecewa dengan sikap suaminya. Ia merasa asing berada di Keraton Galuh, keluarga keraton Galuh tidak menyenangi dirinya karena peristiwa kematian Prabu Purbasora. Keselamatan dirinya hanya terjamin oleh Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) dan prajurit Sunda yang melindunginya.

Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) belum memiliki permaisuri, sebetulnya ia menghendaki Dewi Pangrenyep menjadi Permaisurinya, karena mereka berdua sama-sama dilahirkan dan dibesarkan di keraton Pakuan. Ia pun merasa kecewa Dewi Pangrenyep ditikahkan pada Premana Dikusuma oleh ayahnya.

Kepergian Premana Dikusuma untuk bertapa, dimanfaatkan oleh Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan)  dan Dewi Pangrenyep untuk saling bertemu,
Mereka adalah sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa, dilahirkan pada tahun yang sama 704 M di Keraton Sunda. Akibat sering bertemu antara Barmawija dan Dewi Pangrenyep, pada tahun 724 lahirlah Sang Banga 6 tahun lebih muda dari Sang Manarah.
 
Hal ini kembali membuat geger keraton Galuh setelah kejadian antara Mandiminyak dan Pohaci Rababu kakak iparnya (kakek buyutnya Tamperan). Dewi Pangrenyep semakin tidak disukai oleh keluarga keraton Galuh. Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan)  berniat menikahi Dewi Pangrenyep, namun Dewi Pangrenyep masih menjadi istri Premana Dikusuma. Selain itu juga, Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) menginginkan tahta Galuh juga ke dua istrinya yaitu Dewi Naganingrum (yang terkenal dengan kecantikannya) dan Dewi Pangrenyep. 

Untuk menyelesaikan ganjalannya, Prabu Tamperan menugaskan seorang prajurit kepercayaannya untuk membunuh Premana Dikusuma (Ajar Sukaresi) di pertapaannya. Sang prajurit pergi seorang diri dengan cara rahasia dan berhasil menunaikan perintah rajanya. Dengan lega prajurit keluar dari pertapaan, namun ia terkejut saat dihadang pasukan pengawal, ia dibinasakan oleh pengawal Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan)

Berita terbunuhnya Premana Dikusuma cepat tersebar di keraton Galuh, karena sengaja disebarkan. Dan dikatakan bahwa pembunuhnya telah ditangkap dan diadili oleh Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan), dengan demikian ia berjasa atas keraton Galuh. Karena jasanya itu,
Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan)  berhasil memperistri Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep juga berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh. 

Musibah tersebut membuat Sang Manarah sangat berduka, saat peristiwa itu berlangsung usia Sang Manarah 14 tahun. Terbunuhnya Premana Dikusuma, tercium oleh senapati tua Arya Bimaraksa yang bermukim di Geger Sunten, yang dikenal sehari-hari sebagai Ki Balangantrang.  Saat terjadi peristiwa itu senapati Bimaraksa berhasil membawa Ciung Wanara dan bersembunyi di daerah Sumedang Larang.
 
Dalam usaha merebut Kerajaan Galuh dari tangan Tamperan, Ciung Wanara dibimbing oleh Aria Bimaraksa yang telah berpengalaman dalam urusan kenegaraan Sejak jaman Prabu Purbasora dan Prabu Permana Dikusuma. Sejak kecil Ciung Wanara atau Sang Manarah telah ditempa oleh berbagai ilmu pengetahuan dan siasat perang, karena Balangantrang bermaksud menjadikan Ciung Wanara sebagai Raja di Kerajaan Galuh, sebagai penerus ayahnya, yang pada waktu itu Kerajaan Galuh diduduki oleh Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan). Akhirnya Ciung Wanara mengetahui rahasia negara setelah diberi tahu oleh Aria Bimarkasa. Dia dipersiapkan dengan matang sekali untuk merebut kembali Kerajaan Galuh.

Ketika itu pihak Kerajaan Galuh tidak mengetahui bahaya yang akan mengancamnya, mereka tidak mengetahui pula dimana Ciung Wanara berada dan persiapan apa yang sedang di lakukan oleh Balangantrang. Pertahanan negara tidak terpusat pada peperangan, karena di Kerajaan sedang dimabuk dengan berbagai permainan yang mengasyikan, seperti permainan sambung ayam yang sedang menjadi kegemaran di negara.

Sebagai mantan senapati Galuh di masa Prabu Purbasora dan Permana Dikusuma, Aria Bimaraksa mudah mendapatkan pengikut dan pendukung, terutama tokoh-tokoh yang luput dari pembinasaan Sanjaya.

Selain mendapat pasukan dari Sumedang Larang pada masa Prabu Tajimalela dan pasukan Limbangan Garut Aria Bimarkasa juga mendapat sumbangan pasukan dari raja-raja daerah bawahan Kerajaan Saunggalah dan  terutama dari bekas daerah kekuasaan Tritunggal : Pandawa - Wulan - Tumanggal.

Dalam jangka 6 tahun gerakan pasukan rakyat Geger Sunten telah terhimpun kuat, tanpa diketahui oleh Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan). Sebagai putera pendeta Ajar Sukaresi, Sang Manarah pandai menyembunyikan perasaan dihadapan ayah tirinya.

Taktik strategi yang dipilih oleh Aria Bimaraksa untuk menyerang Ibukota Galuh, bertepatan dengan pesta sabung ayam sebagai tradisi tahunan kegemaran Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan). Sementara yang menyiapkan senjata untuk pasukan Geger Sunten adalah Ki Anjali seorang Pandai omas di ibukota, sehingga saat Pesta Sabung Ayam prajurit Geger Sunten berbaur dengan rakyat biasa tanpa senjata, mereka hanya membawa ayam.

Dalam suasana hiruk pikuk pesta sabung ayam, Sang Manarah beserta pasukannya menyergap dipenyabungan ayam.  Semua Pembesar dan pasukan bayangkara yang sedang menonton disergap secara tiba-tiba. Hanya dalam waktu setengah hari, Sang Manarah dan pasukannya berhasil menguasai keraton Galuh. Prabu Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) dan Dewi Pangrenyep ditangkap dipenjara dalam kurungan jeruji besi yang telah dipersiapkan. Sedangkan Hariang Banga yang tidak tahu apa-apa segera dilepaskan, dibebaskan berbuat apapun seperti biasanya, hanya satu hal yang tidak boleh dilakukan tentang ayah ibu-nya.


Hariang Banga yang sudah berusia 15 tahun, merasa bimbang. Apalah arti kebebasan bagi dirinya kalau ayah-ibunya menderita dipenjara sebagi tawanan. Hingga suatu malam Hariang Banga nekad melepaskan kedua orang tuanya, dengan melumpuhkan para penjaga terlebih dahulu. Sang Banga berhasil melepaskan kedua orang tuanya untuk melarikan diri menuju Keraton Bumi Mataram.

Namun kejadiaan tersebut segera diketahui, akhirnya adik-kakak itu saling berhadapan antara Hariang Banga dengan Sang Manarah. Sang Manarah yang begitu menyayangi adik tirinya berusaha menangkap tanpa melukainya. Setelah lama pertarungan kedua satria Sunda itu akhirnya Hariang Banga dapat dikalahkan tanpa terluka.

Sementara Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) dan istrinya yang lari dikegelapan malam terus dikejar pengawal kerajaan serta dihujani anak panah. Akhirnya Raja dan Ratu yang akrab sejak kecil tewas bersimbah darah jauh dari Pakuan tempat mereka dilahirkan.

Peristiwa kematian Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) akhirnya sampai ke Bumi Mataram, alangkah murkanya Raja Sanjaya mendengar peristiwa tersebut. Dengan mengerahkan angkatan perang  yang besar Raja Sanjaya bergerak dari Medang Bumi Mataram menuju purasaba Galuh. Namun Sang Manarah telah memperhitungkan kemungkinan tersebut dan mengerahkan seluruh pasukan Galuh diperbatasan. Dua keturunan Wretikandayun sudah saling berhadapan, masing-masing mengerahkan angkatan perangnya. Akhirnya gotrayudha (perang saudara) yang sangat dahsyat pecah kembali. Perang berlangsung beberapa hari namun belum menunjukkan ada yang kalah dan menang. Akhirnya Resiguru Demunawan dengan pengiringnya barisan pendeta turun dari Saung Galah menuju palagan (medan perang) Galuh. Dengan wibawanya yang besar sebagai tokoh tertua Galuh yang masih hidup, Resiguru Demunawan berhasil menghentikan pertempuran sehingga terjadi gencatan senjata.

Dalam usia 93 tahun Resiguru Demunawan kelahiran Kabuyutan Gunung Galunggung memimpin perundingan perjanjian antara Sanjaya dan Manarah di keraton Galuh. Hasil perjanjian tersebut :

1. Kerajaan Sunda dengan  dirajai oleh Hariang Banga alias Kamarasa dengan gelar Prabu kretabuana Yasawiguna Ajimulya, dengan batas Negara dari Sungai Citarum ke Barat.

2. Kerajaan Galuh dirajai oleh Suratama alias Sang Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.

Sang Manarah menikahi Kancana Wangi, sedangkan Hariang Banga menikahi Dewi Kancana Sari, kedua putri tersebut adalah cicit Resiguru Demunawan
dan cucunya Patih Tambakwesi, putrinya Prabu Kretamanggala (Raja Saunggalah). Dengan perjodohan itu, maka berbaurlah darah Sunda-Galuh dan Saung Galah.



Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya sendiri yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung suami dari Putri Purbasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara,  berkuasa dari tahun 783 - 799 M. Tahun 783 Masehi Prabu Manarah mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan Manurajasunya Di Darmaraja Sumedang.

2. PRABU PERMANA AJAR PADANG VERSI DARMARAJA SUMEDANG
Upami ngeunaan Ki Ajar Padang mah, yakin tadina ngadamel padepokan / Mandala kawikwan (karesyian) di daerah eta jamanna Tembong Agung, margima Sanghyang Resi Agung (Arya Bimaraksa) masih mamangna keneh Permana Dikusuma.

Nalika ki Ajar Padang nuju soson-soson Munia raja sunyi  di Padepokan / Mandala Kawikwan Permana Padang di Darmaraja, anjeunna ditelasan pati ku telik sandi Tamperan (Raja Bondan) anu nyepeng kakawasaan Karajaan Sunda, sedengkeun Ki Ajar Padang ngawasaan di Karajaan Galuh.

Kumargi Ki Ajar Padang resep miliraian kasajatian diri, waktos harita Permana Dikusuma nuju soson-soson milraian kasajatian diri Arya Bimaraksa (Sanghyang Rsi Agung) dinohonan ngawakilan janten papatih Galuh Kawali Ku Permana Ajar Padang. Ku margi Permana Ajar Padang tos minandhita kitu deui yuswana tos sepuh, sanajan tos dijodohkeun ku Raja Sanjaya, tapi tos teu malire kanu kapangkatan sareng istri nu geulis anu dijodohkeun ku Raja Sanjaya nyaeta Dewi Pangrenyep. Ayana Dewi Pangrenyep di Kaprobonan Galuh Kawali nambih persoalan dina milari kasajatian hirupna, nya anjeunna ninggalkeun kaprabonan Galuh kawali, teras lunta ngadamel Mandala / Padepokan Kawikwan (Karesyian), anu pernahna diwewengkon Gunung Padang Darrmaraja mandala kawikwan anu alami teu mangrupikeun bangunan candi.

Waktos nuju Permana Dikusuma soson-soson milraian kasajatian diri di Mandala kawikwan (Karesyian), Arya Bimaraksa (Sanghyang Rsi Agung) dinohonan ngawakilan janten papatih Galuh Kawali ku Permana Ajar Padang.

Ku lantaran Dewi Pangrenyep sering papandak sareng Tamperan / Raja Bondan (Raja Karaton Sunda), nya timbul pasalingkuhan dugi ka gaduh putra tina pasalingkuhanna nyaeta Hariang Banga, anu umurna leuwih ngora 5 taun

ti batan Ciung Wanara (Rd. Suratama Kusuma), putrana Permana Dikusuma / Permana Ajar Padang / Prabu Rsi Ajar Padang ti garwana nu sepuh nyaeta Naga Ningrum.

Ngadangu wartos ditelasan pati, pikeun nyalametkeun putrana Permana Ajar Padang / Permana Dikusuma dicandak ka Sumedang ku Arya Bimaraksa (sanghyang Rsi Agung), nu harita janten Patih Galuh anu dinohonan ngawakilan Raja Permana Dikusuma di Kaprabonan Galuh, nya saterasna dididik elmu katatanagaraaan, elmu kaprajuritan, elmu lahir jeung batin ku Patih Arya Bimarkasa putra Rsi Jantaka ti Denuh sareng Dewi Komala Sari putrina Prabu Purbasora (Ki Balangantrang sareng Nini Balangantrang) di Sumedang.

Mangsa keur alitna dumasar caritaan sepuh Cipancar sateuaan ngadeg Tembong Agung, Rd. Suratama Kusuma, di didik di Mandala Karesyiaan Cipancar Hilir, teras di Mandala / Padepokan Cipeueut ku Arya Bimarkasa sareng Prabu Aji Putih babarengan sareng Brata Kusuma Tajimalela dina bidang katata-nagaraaan, kaprajuritan, lahir sareng batin di Mandala kawikwahan “Bagala Asih Panyipuhan”, anu teu sabaraha jauh yuswana.

Samalih mangsa ngarebut deui Kaprabonan Galuh Kawali ti Raja Bondan (Tamperan), dibantosan ku Wadya Balad Sumedanglarang Prabu Tajimalela sareng ti Padepokan Cipancar Girang Limbangan Garut seke-seler Wijaya Kusuma putrana Prabu Purbasora, dinu caritaan Ciung Wanara seterasna, mah diibaratkeun hayamna Ciung Wanara (Pasukan Rakyat), ngalawan Raja Bondan / Tamperan. Mimitina Ciung Wanara datang ka kamatren, bade ngadeuheusan Raja Bondan (Tamperan).

Harita nagara Sumedanglarang oge kalebet dibawah kakawasaan Bojong Galuh. Tuluy Ciung Wanara niat ngadu hayamna ka Bojong Galuh kawali, ngan kusabab hayam Raja Bondan eleh, daerah anu dibawah kakawasaan Galuh Bondan harita wilayah nagara sabeulahna dipasihkeun ka Rd. Suratama Kusuma (Ciung Wanara), anu taya sanes Sumedanglarang, sok sanajan dinu kakanyataan na mah Kaprabonan Sumedanglarang dina mangsa prabu Tajimalela, teu pernah dikuasai ku Raja Bondan (Tamperan), aos deui dina Carita Parahyangan. Karajaan Sumedanglarang hiji Karajaan nu mandiri jauh ti Kaprabonan Galuh Kawali.

Dinu mangsa ngadu hayam nu kadua Arya Bimaraksa nyieun strategi pikeun ngarebut kakawasaan Raja Bondan (Tamperan), anu geus khianat ka Permana Dikusuma, bapana Ciung Wanara anu dibantuan ku wadya balad Sumedanglarang anu harita tos di rajaan ku Prabu Brata Kusuma Tajimalela, sareng wadya ti Limbangan Garut, nya akhirna Raja Bondan diasupkeun kana Panjara beusi sareng Dewi Pangrenyep, pupus di panyerangan eta.

Caritaan Ciung Wanara nu dicatur-ranggakeun atanapi dipantunkeun anu turun tinurun, numutkeun simkuring mah mung nyumputkeun identitas sabenerna, di mana ayana Ciung Wanara (media masa pangecoh / catur rangga pagecoh harita), margina lamun apaleun ayana Rd. Suratama Kusuma (Ciung Wanara) di Sumedang mah tangtos ditumpes nepi ka akar-akarna ku Tamperan (Raja Bondan).

Sabada ngecagkeun ti Kaparabonan Galuh Kawali Prabu Suratama  (Ciung Wanara), Kaprabonan di Galuh Kawali dilungsurkeun ka putrana nyaeta Purbasari anu ditikah ku Sang Manistri. Prabu Ciung Wanara,
anu katelahna Buyud Maja atanapi Raja Udik ngabukbak Padepokan Karesyian, anu pernahna di Ciseuma Darmaraja dugi ka ngantunkeunna

Kitu kasimpulan simkuring anu ka telaah dumasar, tina sumber Carita Parahyangan sareng Buk Pakuning Alam.

Rampesan.

Baca Juga :

Tidak ada komentar