2 Mandala Awal Medang dan Galuh di Sumedang

Kamandalaan di tatar Pasundan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Resi Guru. Kabuyutan berasal dari bahasa Sunda yaitu uyut (bait atau bayt dalam bahasa arab) yang dapat diartikan leluhur. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut.

Adapun kata buyut mengandung dua pengertian. Pertama, sebagai turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, sebagai pantangan atau tabu alias cadu atau pamali. Kadang-kadang pengertian kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Ada juga istilah satru kabuyutan yaitu musuh kabuyutan (musuh bebuyutan) berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir. Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda.

Dalam pembahasan dalam artikel ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwi Damar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan. Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius.

Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai "benda nyata".

Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

Kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Pengaruh Agama Hindu dan Budha
Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi. Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru. kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Kabuyutan atau Kamandalaan di tatar Sunda
Kata mandala yang berarti “wilayah kekuasaan lembaga keagamaan” diserap dari bahasa Sanskerta dan berarti “lingkaran suci”. Bagi Urang Kanekes adalah melakukan tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. Hal itu karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara keseluruhan, masyarakat Baduy memunyai kedudukan sebagai mandala. Sedangkan, masyarakat Sunda lainnya di luar mandala berkedudukan sebagai

nagara dan semua warganya mengemban tugas untuk melakukan tapa di nagara. Tugas dan kedudukan masing-masing ini mereka emban secara turun-temurun.

Dalam kerajaan Sunda lama, mandala berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan tempat para pendeta, murid-murid, atau bahkan pengikut mereka hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidupan beragama. Ini artinya masyarakat hanya boleh tinggal di sana selama mematuhi seluruh aturan yang ada. Kawasan mandala juga berarti tidak boleh didatangi oleh sembarang orang.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu (masih menganut ajaran Jati Sunda), hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara. Tidak hanya itu, Kelangsungannya dan keamanannya dijamin oleh Kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran.

Jati diri kesundaan sebaiknya bukan hanya tersaji dalam bentuk tampilan fisik berupa pakaian tradisional, atau simbol budaya lahiriah lainnya. Beragam nilai hidup yang telah diwariskan nenek moyang justru menjadi substansi jati diri Sunda serta menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda.

“Jauh lebih penting adalah substansi kesundaan. Seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Itulah yang mencetak cara berpikir kita,” kata Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum.

Nilai-nilai itu di antaranya tersirat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Dr. Undang menjelaskan, melalui filologi, dipelajari perkembangan kebudayaan suatu masyarakat melalui konsep-konsep pemikirannya yang di antaranya tertuang dalam tradisi tulis, khususnya naskah.

“Jadi, mempelajari naskah itu bukan hanya menyalin, mengedisi, lalu disajikan untuk bacaan baru, tetapi jauh lebih dari itu,” tutur Kepala Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad ini.

Menurut Dr. Undang, tidak semua unsur atau produk budaya memiliki kearifan lokal. Dengan mendalami naskah kuno, dapat dipelajari kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah terendap. Lebih dari itu, sebaiknya yang diangkat adalah local genius yang terkandungnya.

“Jadi, local wisdom mungkin tidak akan begitu bermanfaat kalau penyangga-penyangganya tidak memiliki local genius yang kuat. Local genius inilah yang mesti dicetak melalui sekolah dan perguruan tinggi untuk menykapi serta mengimplementasikan tata nilai,” paparnya.

Dr. Undang pun menyebut naskah-naskah kuno itu sebagai “produk kaum intelektual yang lahir lewat lembaga formal pendidikan pada tiap-tiap masanya”. Pria kelahiran Tasikmalaya 19 Oktober 1962 ini meyakini, penulis naskah bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas.

“Ada naskah, pasti ada yang menulis. Pertanyaan saya, di mana pabrik-pabrik orang cerdas itu? Ternyata, adalah ‘mandala’ sebagai lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kerajaan, dan pesantren merupakan lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kesultanan,” kata Dr. Undang.

Ia pun tergelitik untuk menelusuri, di mana Raja-raja Sunda zaman dahulu menempuh pendidikan formalnya. Dr. Undang meyakini, para Raja Sunda merupakan orang-orang berpendidikan. Menurutnya, saat ini belum banyak peneliti yang mendalami mengenai hal ini.

“Pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali,” ungkapnya.

Istilah belajar pendalaman ilmu itu pun disebut dengan “tapa”. Berbeda dengan pengertian “tapa” saat ini, yang bahkan banyak masyarakat mengaitkannya ke hal-hal bernuansa magis, “tapa” di sini berarti menuntut ilmu. Dr. Undang menjelaskan, bahwa kegiatan tapa dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, yakni di mandala.

“Kalau begitu, tempat bertapa itu mandala, tempat tolabul ilmu itu pesantren, dan Unpad ini pada dasarnya tiada lain adalah tempat bertapa alias tempat tolabul ilmu” imbuhnya.

Berbagai penelitian terkait naskah-naskah Sunda kuno sudah dilakukan Dr. Undang sejak ia menempuh Pendidikan Sarjana di Jurusan Sastra Daerah (Sunda) Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan Magister dan Doktornya di Program Pascasarjana Unpad, dengan mendalami ilmu Filologi.

Dr. Undang memang tertarik untuk mendalami Ilmu Kesundaan. Bukan hanya mengenai bahasa, tetapi mengenai cara hidup orang Sunda sejak dulu, seperti bagaimana mereka mengatur sistem tata kelola pemerintahannya, bagaimana tata cara bersinergi dengan lingkungannya, bagaimana perkembangan kuliner dan teknik busananya, bagaimana mereka menjalani kehidupan keagamaan sehari-hari, dan sebagainya.

Saat ini, Dr. Undang pun ingin mewujudkan cita-citanya, yakni membangun laboratorium naskah kuno Sunda dalam bentuk digital. Laboratorium naskah digital ini diharapkan dapat turut membantu para peneliti lain dalam mempelajari naskah kuno Sunda tanpa harus mengunjungi langsung lokasi ditemukannya naskah. Digitalisasi ini juga diperlukan untuk menjaga agar naskah-naskah ini dapat terpelihara dengan baik dan tidak cepat rusak.

Menurutnya, Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi penyelamat naskah-naskah Sunda. Naskah-naskah Sunda ini merupakan salah satu tangible cultural heritage atau warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage atau warisan budaya nonkebendaan yang bersifat abstrak (immaterial culture).

“Itulah kewajiban kami di Prodi Sastra Sunda, untuk mendata, menginventasisasi, mencatat, mendigitalisasi, dan mengkaji sekaligus mengungkap kandungan naskah, juga mencetak kader-kader muda yang concern terhadap itu,” tuturnya.

Bagi Urang Sunda yang tinggal di Priangan Timur barangkali pernah mendengar Mandalaherang. Nama tersebut adalah satu satu kabuyutan di Tatar Pasundan. Namun berdasarkan informasi dari Naskah Sunda Kuno, kabuyutan ini termasuk Mandala, seperti terlihat dari namanya Mandala Mandalaherang.

Mandala ini termasuk dalam Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.

Mandala Mandalaherang atau Kabuyutan Mandalaherang berada di tutugan (kaki gunung) Tampomas Sumedang. Mandala atau Kabuyutan ini, mungkin cikal bakal Kerajaan Medang Kahiyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat batu satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh” (Hukum Leluhur Galuh). Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat/ puseur (inti) pemerintahan disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (‘Maharaja’) dan Rasi atau Resi (raja-raja kecil/ karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri-Tangtu atau Tri-Su-La-Naga-Ra.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat suci) secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu ;
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)

Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada).


I. Mandala Mandalaherang dan Kerajaan Medang Kahyangan Di Sekitar Gunung Tampomas

Asal Usul Mandalaherang
Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Larasakti di Cisusuru (Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas). Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu dan lahirnya sebuah ajaran yang disebut dengan istilah Insun Medal.




Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu.

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Tarumanagara dari Kerajaan Kendan (keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke-6 dengan lahirnya negeri Medang Kamulyan oleh Ratu Komara? Siapakah Ratu Komara, Beliau adalah Dewi Komalasari bin Prabu Purbasora yang dinikahi oleh Arya Bimaraksa bin Jantaka dari Galuh Kendan). (lihat peta di bawah)




Mandalaherang dan Kerajaan Medang Kahiyangan
Kerajaan Medang Kahiangan atau Medang Kahyangan adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Sunda. Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 M di kaki Gunung Tampoomas (Tampomas) yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh seorang resi keturunan raja Tarumanagara ke lima.

Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahiyangan (252-290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari Raja Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa pemegang kekuasaan Kerajaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan.

Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahyangan merupakan keturunan Raja Tarumanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.

Namun sayangnya sumber sejarah Kerajaan Medang kahyangan/Medang kahiangan tidak banyak diceritakan dalam carita Parhyangan maupun dari sumber-sumber kuno lainnya yang ada di tatar Sunda.

Gunung Tamposan Sumedang

Gambar di bawah sisa-sisa Mandala Medang Hyang sekitar Gunung Tampomas :

Patung Manusia tanpa Kepala (Patah) akibat jaman, yang diketemukan di Narimbang Sisi Gunung Tampomas sisa Peradaban Medang Kahyangan
Dolmen tempat duduk para resyi atau tempat bersamadhi di sekitar Medang Kahyangan Gunung Tampomas
Batu sebagai Simbol ke-Mandala-an atau sebagai arah Sang Kala Waktu dan Arah Mata Angin
di sekitar Gunung Tampomas


II. Mandala Cipancar - Citengah Sumedang dan Mandala Bagala Asih Panyipuhan Cikal bakal kerajaan Tembong Agung
Ada kalanya Kabuyutan / Mandala tsb berubah fungsinya menjadi komplek Pemakaman / makam contohnya : Mandala Cipancar Hilir (Semasa Ratu Komara atau Dewi Komala Sari bin Purbasora), Ibu dari Prabu Aji Putih, kakaknya Wiradi Kusuma bin Purbasora yang berada di Cipancar Kab. Sumedang Selatan, namun di sekitarnya bergelatakakan batu yang bekas latihan kanuragan (batu Sanghyang tapak tangan), batu kotak persegi (mirip batu telapak panggung rumah di sawah) dan tumpukan batu-batu lainnya. 

Kenapa saya menamakan dengan tambahan Mandala Cipancar Hilir untuk Sumedang, karena Mandala Cipancar Girangnya adalah Limbangan Garut yang dimulai oleh kakaknya Ratu Komara yaitu Wijaya Kusuma bin Purbasora.











Bisa saja fungsi batu kotak berdiri tsb, selain untuk penyangga bangunan menjadi penunjuk waktu (Sang Kala) pada jamannya dengan posisi arah mata angin.

Dari Mandala Cipancar (Citengah), lalu Arya Bimaraksa bin Jantaka dan putra Prabu Aji Putih beralih mendirikan mandala Citembong Girang di Ganeas, lalu hijrah lagi membuat Mandala Bagala Asih Panyipuahan di Cipaku Darmaraja hingga akhir berdiri Mandala Kerajaan Tembong Agung.

Salam Santun Semoga bermanfaat,

Referensi
=========
- Melacak Jejak Riwayat Sumedang..sumedangnews.net diakses 3 April 2108.
- Kusmayadi, Dedi E. "Kerajaan Medang Kahiangan Suku Gunung Tampomas | Cipaku Darmaraja"


Baca Juga :

Tidak ada komentar