SEJARAH KERAJAAN GALUH


Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun, letak Kerajaan Galuh awal sendiri entah berlokasi di wilayah Cipancar Limbangan Garut, karena menurit data di pemakaman umum Pasir Astana Desa Balubur Kecamatan Limbangan Garut, ada makam Wretikendayun dan makam saudara-saudaranya, yaitu : Karung Maralah, Karung Kalah, Mangkukuhan, Kandiawan dan Dewi Minasih isterinya Wretikendayun. Kendati hingga kini belum ada bukti otentik di mana letaknya yang pasti Kerajaan Galuh awal.

Wretikandayun memerintah Galuh selama 90 tahun, dari tahun 612 hingga tahun 702 masehi. Wretikandayun menikah dengan putri Resi Makandria, yaitu Manawati atau disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga orang anak, yaitu : Sempakwaja,  Jantaka alias Wanayasa dan Mandiminyak alias Amara. 

Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi Raja Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu. 

Sempakwaja yang bergigi ompong, menjadi resi di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Jantaka alias Wanayasa alias Rahyang Kidul memilih jadi resi di Denuh karena dirinya menderita Kemir atau hernia.

Mandiminyak memerintah di Galuh selama tujuh tahun, dari 702-709 masehi. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Prabu Kartika Jasingha dan Ratu Sima dari Kerajaan Keling Kalingga. 

Namun, ternyata Mandiminyak menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari, isterinya Sempakwaja. 

Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari dihasilkan anak lelaki bernama Sena alias Bratasenawa. 

Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa Tengah, yakni Sanjaya. 

Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal yang dibuat tahun 732 masehi, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.

Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana, yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.


Kudeta Pertama
Raja Galuh ketiga, Sena antara 709-716 masehi, memiliki nama nobat Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Prabu Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun antara 669-723 masehi. Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu  Prabu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi alias Sekarkancana. 

Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Prabu Tarusbawa, yaitu Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Prabu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun antara 723–732 masehi.

Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 masehi. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua antara 702-709 masehi. 

Karena, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, yaitu Sempakwaja tidak diangkat menjadi raja karena dinilai tidak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.

Hubungan Purbasora dan Sena tidak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun, Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari.  

Ayah Sena, yaitu Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari isterinya Sempakwaja. 

Dari Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan dalam Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha.

Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Merapi yang termasuk wilayah Kalingga, Kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. 

Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun antara 716-723 masehi. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.

Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera Sanjaya, yang penganut Hindu Siwaisme, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, sahabat baik ayahnya Sena atau Bratasenawa. 

Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung, sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari secara diam-diam dan sangat mendadak, sehingga seluruh keluarga Purbasora tewas.

Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yaitu Arya Bimaraksa yang menjabat Patih Galuh, istrinya yaitu Dewi Komalasari, Wiradikusumah dan Wijaya Kusumah putra-putri Purbasora, bersama segelintir pasukan menyelamatkan diri dan sampai ke Segara Manik Cipancar Sumedang. Dimana Arya Bimakrasa dan Dewi Komalasari mendidik putranya yaitu Prabu Aji Putih untuk dipersiapkan menjaidi Raja Tembong Agung di Sumedang.

Arya Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki Balangantrang karena ia pun merupakan Senapati Kerajaan. Bimaraksa juga merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa mula-mula bersembunyi di kampung Geger Sunten. dan diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora dalam usaha menjatuhkan Sena.

Sena sempat menasehati anaknya Sanjaya bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa menghubungi Balangantrang karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian, Sanjaya merupakan raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda dan Galuh.

Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan asli Galuh melainkan orang Pakuan (Sunda). Maka dari itu, ia menobatkan Premana Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Premana Dikusuma merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Karena itu, ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana Dikusuma, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.

Permana Dikusuma dan Naganingrum kemudian memiliki anak lelaki bernama Jaka Suratama alias Manarah. Suratama lahir pada 718 masehi. Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra (literatur) Sunda klasik, Surotama dikenal sebagai Ciung Wanara. Di hari kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan balas dendam. Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.

Di lain pihak, Premana Dikusuma pun terpaksa menerima kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana dalam keadaan serba sulit. Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri. Sebagai solusinya, Premana Dikusuma memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Cimanuk dan sekaligus juga meninggalkan istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi “telik” sekaligus anak Sanjaya. Menurut buku “Pakuning Alam”, ia bertapa di Gunung Padang Darmaraja Sumedang.

Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya Mandiminyak, yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, istri Premana Dikusuma, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga lahir tahun 723 masehi. Hubungan terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19 tahun. Kedua, baik Tamperan maupun Pangreyep umurnya sebaya dan telah mengenal satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.

Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Permana Dikusuma. Dan setelah si pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Premana Dikusuma, sungguh malang ia pun dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang alias Arya Bimaraksa.

Pada tahun 732 masehi, Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan (lahir pada 646 M). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana raja-raja Sunda-Galuh selama beberapa kali.

Sumber :
- Websites Galuh Pangauban
- Buku Pakuning Alam Darmaraja Sumedang.
- Rucatan Buku Darmaraja Sumedang.
- Buku Penelitian Situs Budaya Makam, Tembong Agung, Raja-raja Galuh dan Sumedang Larang, 2004.

Tidak ada komentar

Posting Komentar