Sumedanglarang Masa Kekuasaan Prabu Geusan Ulun

A. SUMEDANG LARANG AWAL ABAD KE-16 M


Sumedang Larang adalah nama kerajaan yang berdiri pada abad ke 7 M, dan mulai mengeksiskan diri menjadi suatu kerajaan yang indpenden diakhir kejatuhan kerajaan pajajaran pada akhir abad ke 16 M.  Kerajaan ini berdiri dan merupakan bagian dari kerajaan Sunda Galuh. Dan secara hierarki Sumedang Larang merupakan bagian dari kerajaan Galuh.

Sumedang Larang oleh Bujangga Manik, seorang pengembara dari kerajaan Sunda dalam naskah yang ditulisnya diakhir abad ke-15 M disebut dengan nama Medang Kahiyangan. Dan dalam naskah Carita Parahiyangan wilayah Sumedang ini juga disebut dengan nama Medang Kahiyangan.

Sumedang Larang didirikan oleh Batara Prabu Aji Putih, seorang tokoh keagamaan di lingkungan kerajaan Galuh yang mumpuni. Dan ia kemudian mendirikan suatu kebataraan atau kabuyutan atau padepokan  di wilayah  Sumedang (daerah Cipaku Darmaraja sekarang). Kabataraan atau Kabuyutan dalam tradisi Sunda merupakan suatu tempat yang disakralkan oleh masyarakat Sunda  dan mempunyai suatu kekuasaan yang independen, baik wilayah maupun otoritasnya terutama dalam bidang keagamaan

Sumedang menjadi suatu negara mula-mula dibangun oleh anak Prabu aji Putih yang bernama Prabu Tajimalela. 

Prabu tajimalela ini memiliki banya nama diantaranya Prabu resi Agung Cakrabuana dan Batara Tuntang Buana. Dan nama kerajaannya pun berevolusi dari nama Tembong Agung yang dibangun oleh Prabu Aji Putih kemudian menjadi Himbar Buana di era Prabu Tajimalela, Medang kahiyangan dan Sumedang Larang d era berikutnya.

Dalam tradisi Sunda Klasik sistem kenegaraan dalam tradisi Sunda lebih bercorak  sistem negara Federal seperi sekarang ini. Suatu wilayah kerajaan negara bagian (negara dalam negara) diakui independensinya. Dan negara yang muncul kemudian selalu setia terhadap kerajaan utamanya. Demikian juga Sumedang Larang yang secara hirarki menjadi bagian dari kerajaan Galuh, dan merupakan suatu wilayah dari kerajaan Sunda (atau Sunda Galuh).

Hingga awal abad ke-16 M, Sumedang larang mengambil corak agama Hindu sebagai agama resminya, meskipun secara tradisi masyarakatnya masih berpegang teguh kepada kepercayaan aslinya. Baru pada awal abad ke-16 M, Sumedang Larang telah beralih menjadi suatu kerajaan yang berbasiskan Islam, dengan adanya pernikahan putri kerajaan Sumedang Larang, Ratu Pucuk Umun dengan seorang bangsawan dari kerajaan Cirebon, yang bernama Pangeran Kusumah Dinata, atau dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Santri.

Setidaknya terdapat 9 penguasa Sumedang larang dari Batara Prabu Aji Putih hingga Ratu Pucuk Umun. Secara berurutan penguasa Sumedang larang itu antara lain:

1. Batara Prabu Aji Putih
2. Prabu Tajimalela (Batara Tuntang Buana)
3. Prabu Lembu Agung (Prabu Jayabrata/ Prabu Lembu Peteng Aji)
4. Prabu gajah Agung (Prabu Atmabrata)
5. Prabu Pagulingan (Prabu Wirajaya Jagabaya)
6. Sunan Guling (Prabu Mertalaya)
7. Sunan Tuakan (Prabu Tirta Kusuma)
8. Ratu Sintawati (Nyi Mas Patuakan) menikah dengan Sunan Corenda dari Kerajaan Talaga.
9. Ratu Satyasih (Ratu Inten Dewata / bergelar Ratu Pucuk Umun), menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon.

1. Sumedang Larang tahun 1558 M
Di Sumedang Larang, tepatnya di Ibukota Kutamaya, pada tahun 1558 M (1480 Saka) telah lahir seorang bayi laki laki di Istana kerajaan  dari ibu seorang ratu (ibu negara)  Ratu Pucuk Umun. Dan bayi tersebut oleh ayahnya, Pangeran Santri diberi nama Pangeran Angka Wijaya. Pangeran Angka wijaya ini dikrmudian hari setelah menjadi raja, dikenal dengan nama  Prabu Geusan Ulun.

Pangeran Angkawijaya  tumbuh dibawah bimbingan ayahnya yang terkenal sebagai turunan ulama dan ksatria (panglima)  yang gagah berani dan juga penganut Islam yang taat. Ayah Sang Bayi terkenal dengan julukan Pangeran Santri, karena ia merupakan lulusan pesantren, disamping ketaatan terhadap agama yang luar biasa. Pangeran Santri berkuasa di Kerajaan  Sumedang Larang bersama istrinya, Ratu Pucuk Umun, yang merupakan turunan dan pewaris tahta Sumedang Larang.

Pangeran Santri dan istrinya Ratu Pucuk Umun merupakan penguasa Sumedang Larang yang beragama Islam pertama kali. Ratu pucuk Umun mengikuti jejak suaminya, Pangeran Santri menjadi muslimah pertama di kalangan istana Sumedang Larang. Pada masanya, mereka membangun ibukota kerajaan di Kutamaya, dan kemudian  memindahkan ibukota Sumedang Larang  dari Ciguling ke ibukota baru tersebut (Kutamaya). Dan Prabu Geusan Ulun lahir diibukota baru tersebut.


a. Pangeran Santri (1505-1579 M)
Pangeran Kusumahdinata atau terkenal dengan sebutan Pangeran Santri, merupakan penguasa (raja) Sumedang larang yang pertama kali menganut agama Islam. Pada agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan, dan dia danggap yang berjasa dalam islamisasi di kerajaaan Sumedang Larang.

Pangeran Santri merupakan cucu dari Syekh Maulana Abdurahman  (Sunan Panjunan) dan  cicit dari Syekh Datuk Kahfi, dan  merupakan putra dari Pangeran Maulana Muhammad. Maulana Muhammad terkenal dengan nama Pangeran Palakaran menikah dengan putri dari Sindangkasih (Majalengka) yang bernama Nyi Amrillah. Dari pernikahan ini lahirlah Ki Gedeng Sumedang atau terkenal juga dengan nama Pangeran Santri.

Syekh Datuk Kahfi adalah  seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekah, dan yang merupakan salah seorang yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di tanah sunda era awal.

Pangeran Santri lahir pada tangga 6 bagian gelap bulan Jesta tahun 1427 M (29 Mei 1505 M), dan  dilantik menjadi raja sumedang  pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (21 Oktober 1530 M), dengan gelar Pangeran Kusumah Dinata, bersama istrinya.

Karena ia masih punya kekerabatan dengan kesultanan Cirebon, setelah mengawini Ratu Pucuk umun, maka Sumedang Larang dengan otomatis berada dalam lingkaran kekuasaan kesultanan Cirebon. Meskipun telah  menjadi penguasa Islam di tanah Sumedang Larang, Pangeran Santri tetap mempertahankan independensi Sumedang dari pengaruh kesultanan Cirebon, dan ia tidak melakukan komplik dengan negara induknya, Pajajaran. Pangeran santri lebih senang melakukan islamisasi di tanah Sumedang daripada ia melakukan komplik horizontal dengan Pajajaran. Karena itu meskipun Sumedang Larang telah Islam, tetapi oleh Pajajaran tidak dianggap  membahayakan bagi kekuasaan Pajajaran. Karena itu ketika Pajajaran jatuh, maka justru mahkota diserahkan kepada putra mahkota atau anak dari Pangeran Santri yang bernama Prabu Geusan Ulun.

Pangeran Santri dinobatkan sebagai Penguasa (raja) Sumedang Larang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka atau sekitar tanggal  21 Oktober 1530 M. Dan tiga bulan setelah penobatannya, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 saka di keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan syukuran untuk merayakan kemenangan kesultanan Cirebon atas Galuh, dan sekaligus merayakan penobatan Pangeran Santri.

Pada masa Pangeran santri berkuasa, Pajajaran sedang diambang kekalahan melawan Pasukan Maulana Yusuf dari Banten. Dan pada tanggal 8 Mei 1579 M (atau tanggal 11 bulan Wesaka 1501 Saka.

Sebelum Pajajaran Jatuh, pada tanggal 22 April 1578 M, pada hari jum’at bertepatan dengan hari idul fitri di keraton Kutamaya Pangera santri menerima 4 Kandaga Lante yang dipimpi oleh Sanghiyang Hawu atau Jaya Perkosa. Dan ketiganya lagi adalah: Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondang hapa, dan Batara Pancar Buana (Mbah Terong peot).

Pangeran Santri meninggal pada 2 Oktober 1579 M, lima bulan setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran, yang diserang oleh tentara kesultanan Banten, dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf.


b. Ratu Pucuk Umun (Masa Pemerintahan (1530-1578 M)

Ratu Pucuk umun atau Ratu Inten Dewata  adalah seorang wanita yang merupakan turunan dari Raja Raja Kuno Sumedang. Ia mewarisi tahta dari ayah dan ibunya, Sunan Corenda /Shintawati. Karena ayahnya Sunan Corenda berasal dari Sindangkasih (Majalengka), ada kemungkinan perkawinan dihubungkan dengan sistem kekerabatan. Dan waktu itu Majalengka atau Sindangkasih telah lebih dulu masuk Islam berkat jasa kakek dari Pangeran Santri, Maulana Abdurrahman. Dan ayah Pangeran santri yang bernama Maulana Muhammad, yang menikah dengan salah seorang putri bangsawan yang bernama Nyi Siti Armillah. Kemungkinan  kekerabatan antara ayah Ratu Pucuk Umun (Sunan Corenda) dengan Nyi Amrillah ini yang akhirnya menjodohkan antara angeran Santri dengan Ratu Pucuk Umun (Ratu Inten Dewata). Ratu Pucuk Umun mengikuti keyakinan suaminya, Pangeran Santri, yang beragam Islam. Dengan demikian proses Islamisasi di Sumedang Larang terkesan lebih halusa dan tidak terjadi konfrontasi seperti daerah daerah di eks Pajajaran lainnya.

Dari perkawinannya dengan Pangeran Santri, ia dikaruniai 6 anak, yaitu : Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiai Rangga Haji, Kiai Demang Watang  Walakung, Santoan Wirakusumah, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar. Karena merupakan anak pertama, maka Pangeran Angkawijaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya. Santowan Wirakusumah menurunkan keturunan di Pagaden Subang.

Prabu Geusan Ulun merupakan anak pertama pasangan penguasa Sumedang Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun.  Ia lahir pada tanggal 3 bagian terang bulan Srawana tahun 1480 Saka ( 19 Juli 1558 M). Karena anak pertama, kemudian ia diangkat menjadi putra mahkota, dan menggantikan ayah dan ibunya menjadi Raja Sumedang Larang.

Dengan demikian Prabu Geusan Ulun dari pihak ibu merupakan turunan Raja raja Sumedang kuno, sedang dari pihak ayah merupakan turunan pendakwah Islam pertama di tanah sunda, Syekh Datuk Kahfi atau yang terkenal dengan nama Syekh Nurjati. 


B. TANAH SUNDA HINGGA AWAL TAHUN 1579 M

Di tanah Sunda hingga awal tahun 1579 M terdapat 3 kekuasaan besar di tatar Sunda yang sudah menganut agama Islam, yaitu Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Panembahan Ratu, Sumedang Larang di bawah pimpinan Pangeran Santri, Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan pimpinan Sultan Maulana Yusuf.


Jika kesultanan Cirebon sangat agresif menyerang kerajaan Pajajaran di bagian timur dan selatan yang berbasis kerajaan Galuh, dan sebelum tahun tahun 1530 M, wilayah tersebut dapat dikuasai. Dan puncaknya dengan perkawinan putri  Raja Sumedang Larang dengan Bangsawan dari Cirebon menandai dominasi kesultanan Cirebon di bekas tanah Galuh. Meskipun berbeda dengan wilayah lain, Sumedang Larang etap menjaga independensinya sebagai negarayang merdeka. Sehingga pada tahun 1530 M diadakan syukuran diibukota kerajaan Cirebon di Pakungwati,  perayaan kemanangan Cirebon atas Galuh dan juga penobatan Pangeran Santri sebagai Raja Sumedang Larang, yang merupakan kerabat dari sultan cirebon itu sendiri.


Sedang di wilayah bagian barat, kesultanan Banten sedang berada diatas angin. Setelah Sunan Gunung Jati meninggal. Hasanuddin mengeksiskan diri menjadi kesultanan yang terpisah dari Cirebon, dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pertama (sultan) yang independen di wilayah banten. Sehingga Sultan Maualana Hasanuddin dan diteruskan oleh anaknya, Sultan Maulana Yusuf   sangat agresif untuk menaklukan pusat Ibukota pajajaran di Pakuan. Dan puncaknya terjadi di era sultan maulana Yusuf berkuasa, ibukota Pajajaran, Pakuan dapt ia taklukan pada tahun 1579 M. Tepatnya pakuan jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M, seperti diungkapkan dalam kitab Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan: ” Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka). Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.


Karena masih keturunan dari Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi dari istrinya Subang Larang, Sulltan Maulana Yusuf merasa paling berhak atas tahta di wilayah Pajajaran. Disamping itu juga secara silsilah, ia juga merupakan paling berhal atas tahta sunda di eks Pajajaran, karena baik di pihak bapak dan dari pihak ibu, masuh turunan bangsawan Sunda. Dan mungkin ia juga menegetahui bahwa raja raja sunda merupakan turunan dari raja raja di banten sebelumnya, yaitu dari kerajaan Salakanagara di sekitar Pandeglang sekarang. Jadi Sultan Maulana Yusuf seolah ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang paling berhal atas tahta Pakuan. Karena itu ia sangat agresif menyerang ibukota Pakuan, meskipun ibukota tersebut sudah ditinggalkan oleh rajanya sejak tahun 1567 M.


Untuk mendapatkan legitimasi sebagai raja Sunda, Sultan maulana Yusuf setidaknya mengincar 2pusaka kerajaan Pajajaran yang menjadi simbol  menjadi penguasa di tanah Sunda tersebut, yaitu Mahkota kerajaan yang terkenal dengan nama Sang Binokasih, dan tempat penisbatan raja raja Sunda yang dikenal dengan nama Palangka Sriman Sri Wacana.


Setelah ibukota pakuan dapat ditaklukan pada tahun 1579 M, Sultan Maulana Yusuf hanya bisa memboyong tempat penisbahan raja raja palangka Sriman Sriwacana, sedangkan Mahkota sang Binokasih diselamatkan oleh 4 Senopati utama kerajaan Pajajaran yang disebut Kandaga Lante untuk diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun di kerajaan umedang Larang. Ke-4 kandaga Lante tersebut adalah: Jaya perkosa (Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot).


Ke-4 Kandaga lante berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).


Karena sikapnya yang tidak kompromis dari Sultan maualan Yusuf, para bangsawan Pajajaran yang masih tersisa seolah enggan untuk menyeerah, dan menyerahkan lambang kebesaran kerajaan Sunda tersebut kepada Sultan maulana Yusuf tersebut. Karena itu mereka kemudian mencari sosok dari turunan raja raja Sunda yng masih eksis di bekas kerajaan Pajajaran. Kerajaan galuh yang berhak atas tahta tersebut, telah kehilangan tahtanya sejak ahun 1530 M, sejak kekalahannya dari penguasaCirebon. Dan hanya 1 turunan raja raja Sunda tempo dulu yang masih eksis dan independen, meskipun secara agama ia telah menganut agamaIslam, yaitu Pangeran Angkawijaya di kerajaan Sumedang larang.


Tahun penaklukan ibukota Pajajaran hampir sama dengan meninggalnya penguasa Sumedang larang, pangeran Santri. Sehingga tahta Sumedang secara otomatis jatuh kepada Pangeran Angkawiajaya, yang bergelar Prabu Geusan Ulun. Meskipun ibukota Pakuan dapat ditaklukan oleh Sultan Maulana yusuf, tidak berarti seluruh kekuasaan Pajajaran jatuh padanya. Bahkan karena mahkota kerajaan Jatuh tangan Prabu Geusan Ulun, maka kekuasaan Pajajaran yang tidak dikuasai oleh kesultanan Cirebon dan juga Banten menjadi milik kekuasaan Sumedang Larang.



C. MENJADI RAJA SUMEDANG LARANG DAN PEWARIS TAHTA PAJAJARAN

1. Menjadi raja kerajaan Sumedang Larang
Sebelum Pangeran Santri, ayah Prabu Geusan Ulun meninggal pada 2 Oktober 1579 M. Pada tanggal 22 April 1578 M, pada hari jum’at bertepatan dengan hari idul fitri di keraton Kutamaya Pangera santri kedatangan 4 Kandaga Lante dari Pajajaran yang dipimpin oleh Sanghiyang Hawu atau Jaya Perkosa. Dan ketiganya lagi adalah: Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondang hapa, dan batara Pancar buana (bah Terong peot). Mereka membawa atribut lambang kekuasaan Pajajaran, berupa mahkota Binokasih dan lainnya, untuk dipersembahkan kepada putra mahkota Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun, sebagai lambang pewaris kerajaan Pajajaran.


Dan tidak lama setelah peristiwa itu, Pangeran Santri meninggal pada 2 Oktober 1579 M. Dan secara otomatis Pangeran Angkawirya dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahnya,dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Dengan demikian ia kemudia memeiliki keabsahaan sebagai penguasa Sumedang larang dan juga mewarisi wilyah eks pajajaran yang tidakk dikuasai oleh Banten dan Cirebon.


Jaya Perkosa amerupakan seorang senopatii kerajaan Pajajaran. Batara Wiradijaya atau sekarang disebut dengan Mbah Nangganan, dimasa pajajaran menjabat sebagai Nangganan.  



a. Konstalasi Politik Bekas kerajaan Demak Setelah Sultan Trenggana Meninggal
Setelah Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 M,  kerajaan Demak berada diambang kehancuran. Pengganti Sultan Trenggono,  putranya yang bernama Sunan Prawoto terbunuh pada tahun 1549 M dalam perang melawan Arya Penangsang (sepupu Prawoto) yang menjabat Bupati Jipang. Arya Penangsang menganggap bahwa dirinya yang berhak menjadi sultan menggantikan Sultan trenggono.   Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang merupakan menantu Sultan Trenggono jaga menganggap dirinya berhak menjadi raja Demak, karena ia merupakan menantu Sang raja, dan hal ini mendapat dukungan dari Ratu kalinyamat (bupati Jepara) yang juga merupakan adik Prawoto. Hadiwijaya kemudian mengadakan Sayembara, bahwa yang dapat mengalahkan Arya penangsang, akan mendapat wilayah Pati dan Mataram. Dan sayembara ini diikuti oleh  Ki ageng pamanahan dan Ki Penjawi. Dan Arya Penangsang dapat dikalahkan. Karena jasanya tersebut, kemudian Ki Ageng Pamanahan mendapat tanah di mataram, sedang KiPenjawi mendapat tanah di Pati.


Setelah menjadi raja, Hadiwijaya kemudian memindahkan ibukotanya dari Demak ke Pajang. Setelah hadiwijaya meninggal tahun 1582 M, terjadi perebutan kekuasaan antara putra bungsu hadiwijaya yang bernama Pangeran benawa, dan menantunya (suami anak pertama sang raja) yang bernama Arya Pengiri, yang merupakan putra dari Sunan Prawoto. Dengan dukungan panembahan Kudus, dan juga perkawinan anaknya, ratu Harisbaya  dengan Sultan Cirebon, akhirnya Arya Pengiri naik tahta menjadi raja pada tahun 1583 M.  Pada awalnya sultan Cirebon, panembahan ratu mendukung Pangeran Benawa, tetapi karena perkawinan dengan anaknya, akhirnya panembahan Ratu mendukung Arya Pangiri. Tetapi pada tahun 1586M, Pangeran Benawa dengan bantuan Sutawijaya dari mataram memberontak terhadap Arya pangiri, dan arya pangiri dapat dikalahkan. Pada tahun itu juga akhirnya pangeran benawa menjadi raja Pajang yang ketiga hingga tahun 1587 M. Setelah itu Pajang menjadi bawahan sutawijaya dari mataram.



b. Berkunjung Ke Demak dan Pajang

Setelah Prabu Geusan Ulun berkuasa pada tahun 1579 M, tidak lama setelah itu, ia melakukan kunjungan ke Demak dan Pajang. Waktu itu kekuasaan Islam di jawa berpusat di Pajang dengan rajannya, Hadiwijaya atau Joko Tingkir.


Prabu Geusan Ulun merupakan turunan bangsawan islam yang disegani. Ia berkunjung ke Pajang kemungkinan besar untuk mempelajari agama dan sistem pemerintahan di negeri itu.  Disini ia berjumpa dengan Ratu Harisbaya, dan kemungkinan sudah ada benang cinta diantara mereka berdua.


Tetapi setelah Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582 M, terjadi perebutan kekuasaan. Sebagian ulama dan pembesar ada yang mendukung suami anak pertama raja yang bernama Arya Pangiri, yang juga anak dari Sunan Prawoto. Dan ada pula yang mendukung anak bungsu Joko Tingkir yang bernama pangeran Benawa. Dan salah satu yang mendukung Pangeran Benawa adalah Panembahan Ratu yang merupakan sultan Cirebon. Untuk mendapat dukungan panembahan ratu, akhirnya Arya pangiri menikahkan anaknya, yang bernama Ratu Harisbaya dengan Panembahan ratu.


Ratu Harisbaya terkenal akan kecantikannya. Ia merupakan putri Pajang  berdarah Madura.. Latar belakang Arya Pangiri menjodohkan anaknya, ratu Harisbaya, dengan Panembahan Ratu, penguasa Cirebon, agar Panembahan Ratu bersifat netral. Karena setelah raja Pajang atau  Hadiwijaya (Joko Tingkir),  meninggal terjadi perebutan kekuasaan di keraton Pajang, yang didukung oleh Panembahan Ratu, yang menghendaki yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya. Tetapi dipihak turunan  keluarga Sultan Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto, dan merupakan menantu Hadiwijaya. Karena itu kenetralan Panembahan Ratu, akhirnya Arya pangiri kemudian yang menjadi penguasa Pajang berikutnya.


Setelah kunjungan selesai, akhirnya Prabu Geusan Ulun meninggalkan Pajang, dan singgah di keraton kesultanan Cirebon, dan disambut  oleh panembahan Ratu, penguasa Cirebon, yang secara silsilah masih paman.


Di keraton Cirebon, iaberjumpa kembali dengan Ratu harisbaya. Ratu harisbaya memintanya  untuk membawanya ke Sumedang. Hal ini ditolak oleh Prabu Geusan Ulun, karena akan merusak kekerabatannya dengan Sultan Cirebon tersebut. Tetapi ketika rombongan raja Prabu Geusan Ulun meninggalkan Cirebon, Ratu Harisbaya, mengikutinya. Dan ketika di perjalanan diketahui, bahwa Sang ratu ikut dalam rombongan, dan ia disuruh kembali, ia mengancam akan bunuh diri. Dilema bagi sang Prabu, yang akhirnya membawanya ke Sumedang.


Mengetahui istrinya ikut dalam rombongan Prabu Geusan Ulun. Maka Sultan Cirebon marah besar, maka terjadi perselisihan antara kedua kerajaan tersebut. Panembahan Ratu memintanya untuk mengembalikan Ratu Harisbaya tersebut, sehingga ia mempersiapkan tentaranya untuk mengejar rombongan kerajaan Sumedang. Tetapi tentaranya itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Sumedang.


Peristiwa Ratu harisbaya ini memancing peperangan antar kedua kerajaaan tersebut. Dan untuk antispasi keamanan, maka ibukota kerajaan kemudian dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi di Dayeuh Luhur.


Dengan mediasi kerajan mataram, akhirnya disepakati bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Ratu Harisbaya, dengan syarat Talak, bahwa wilayah Sindangkasih  (Majalengka sekarang) harus diberikan ke Cirebon.



c. Kemarahan Jaya Perkosa
Ketika ada mediasi antara Prabu Geusan Ulun dengan Panembahan ratu dari Cirebon, dengan memberikan talak berupamenyerahkan wilayah Sindangkasih (majalengka sekarang) membuat Jaya perkosa marah besar.


Jaya Perkosa melihat bahwa Cirebon waktu itu merupakan negara terlemah di bekas kerajaan pajajaran. Karena itu ia kemudian berencana untuk menguasai kembali wilayah Cirebon jika terjadi peperangan besar antara Sumedang Larang dan kerajaan Cirebon. Karena kekusaan baik kesltanan Pajang atau kesultanan banten sedang berada dalamperpecahan intern.


Dia termasuk seorang mantan pembesar pajajaran  yang idealis. Dengan peristiwaHarisbaya seolah menjadikan awal dalam upaya upaya tersebut.  Setidaknya dengan peristiwaHarisbaya dapatmempermalukan kesultanan Cirebon. Sehingga kemungkinan mereka akan menyerang ke Sumedang. Dan jika menyerang ada kemungkinan pasukanannya dapat dikalahkan.


Tetapi dengan pemberian talak wilayah Sindangkasih (Majalengka) kepada Cirebon, seolah perjuangannya  memberikan mahkota ke Prabu Geusan Ulun sia sia. Karean ia sekuat tenaga mempertahankan wilayahnya, meskipun sejengkal ia pertahankan. Tetapi hanya karena peristiwa wanita, seolah segala usahanya dianggap sia sia.  Karena itu setelah itu ia bersumpah untuk tidak lagi mengabdi kepada penguasa setelahnya.



2. Daerah Kekuasaan Prabu Geusan Ulun
Setelah mewarisi mahkota kerajaan Pajajaran yang dibawa oleh 4 Kandaga Lante Pajajaran. Maka secara otomatis kekuasaan Sumedang Larang meewarisi seluruh kekuasaan Pajajaran yang tidak dikuasai oleh Kesultanan Cirebon dan juga kesulatanan Banten. Dan menurut babad, daerah kekuasaannya meliputi di sebelah timur dibatasi oleh sungai Cipamali. Disebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisadane. Dan sebelah utara (Bekasi, karawang,Bogor, Sukabumi, Cianjur, Subang, Bandung dan Indramayu) dan selatan (Tasikmalaya, Sukabumi,Garut, Ciamis) dibatasi oleh laut. Kekuasannya di timur hingga Cilacap, Purwekerto, Purbalingga dan lain sebagainya.


Karena berbagai hal kekuasaan Prabu GeusanUlun lama kelamaan menyempit hanya meliputi: kabupaten Sumedang, garut, tasikmalaya dan bandung.  Hal ini disebabkan  diantaranya perselisihan antara kesultanan Cirebon dengan Sumedang larangkarena peristiwa Putri Harisbaya yang kemudian jadi istrinya. Dimana Sumedang larang harus rela menyerahkan wilayah Majalengka ke kesultanan Cirebon.


Dan diakhir  kekuasannya, ia berkuasa di 40 penguasa daerah parahiyangan, yang terdiri diantaranya: 22 Kandaga Lante dan 18 Umbul. Hal ini berdasar dari Surat Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumah Dinata VI), bupati Sumedang waktu itu, yang dikirimkan kepada penguasa VOC Belanda di Batavia, Gubernur Jendral Willem Van Outhoorn. Surat itu dibuat pada hari senin, 2 Rabi’ul Awal tahun Je atau 4 Deseember 1690 M, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 januari 1691 M. Dalam surat tersebut, Rangga gempol II menuntut agar kekuasaanya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya yang meliputi 44 penguasa daerah parahiyangan.


Ke-44 daerah kekuasaan Prabu Geusan Ulun di akhir kekuasaannya tersebut, adalah:

  • ..Di Kabupaten Bandung
  • Tibanganten
  • Batulayang
  • Kahuripan
  • Tarogong
  • Curug Agung
  • Ukur
  • Marunjung
  • Daerah Ngabai Astramanggala
  • Kabupaten Parakanmuncang
  • Selacau
  • Daerah Ngabai Cucuk
  • Manabaya
  • Kadungora
  • Kandangwesi (bungbulang)
  • Galunggung (Singaparna)
  • Sindangkasih
  • Cihaur
  • Taraju
  • Kabupaten Sukapura
  • Karang
  • Parung
  • Panembong
  • Batuwangi
  • Saung Watang (Mangunreja)
  • Daerah Ngabai Indawangsa di Taraju
  • Suci
  • Cipiniha
  • Mandala
  • Nagara (Pameungpeuk)
  • Cidamar
  • Parakan Tiga
  • Muara
  • Cisalak
  • Sukakerta

Mudah mudahan ke depannya banyak pecinta sejarah kebudayaannya sendiri di kalangan kita sendiri, sehingga ada sejarah kesinambungan. Sehingga pembuat sejarah berikutmya tidak hanya berangkat dari nol ke nol.

Hidup itu harus membuat sejarah, begitu kata orang bijak. Jangan menjadi kaum yang diombang ambing sejarah. Sehingga kita dalam sejarah hanya menjadi pelengkap penderita dalam menempuh sejarah kehidupan.

Tiada gading yang tak retak. Tulisan ini mudah mudahan bermamfaat untuk kita semua. Minimal bagi penulisnya, sebagai upaya belajar dan belajar mencari kesempurnaan dalam hidup. 

Terima kasih.

Tidak ada komentar

Posting Komentar