Pembahasan Naskah Carita Parahiyangan
Dalam historiografi (penulisan sejarah) akan mengalami perubahan dalam setiap periodenya. Hal tersebut tergantung dengan perkembangan intelektual, kondisi serta situasi masyarakat, dan pribadi sejarawan. Hampir senada dengan pendapat diatas, menurut Prof. Dien Madjid dan Johan Wahyudin dalam bukunya “Ilmu Sejarah; Sebuah Pengantar” (2014: 252), menyatakan bahwa “ setiap penulisan sejarah memiliki perbedaan tergantung pada negeri, masa, dan kepribadian seorang Sejarawan.
Dalam perkembangan historiografi di Indonesia, terdapat beberapa corak historiografi yang memiliki karakteristik yang saling berbeda jenisnya, antara lain: historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi nasional. Di antara jenis penulisan sejarah tradisional yaitu babad, hikayat, wawacan carita, dan sejenisnya.
Menurut Husein Jayadiningrat, di Indonesia sudah sejak lama berkembang tradisi penulisan sejarah. Di Jawa misalnya, tradisi itu menghasilkan sejumlah karya “Kisah Sejarah” yang disebut babad sejarah, dan serat kanda; di dunia Melayu namanya dikenal sebagai hikayat, sejarah , tutur dan salsilah. Dalam pada itu masyarakat Sunda mengenal karya tradisional itu sebagai sajarah, carita dan wawacan (1965:74).
Sepanjang data yang terkumpul dapat diketahui bahwa karya “kisah sejarah” tertua yang diwariskan leluhur Sunda hingga saat ini adalah CP (Carita Parahyangan) yang dituliskan sekitar tahun 1580 Masehi (Aca 1968). Dari masa yang lebih kemudian muncul karya yang lain, di antaranya adalah CRP (Carita Ratu Pakuan) (Aca 1970), Carita Waruga Guru (Pleyte 1911) dan Carita Waruga Jagat (Edi S. Ekajati dkk 1985:12).
Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarna diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda.
Untuk pertama kalinya naskah ini diteliti oleh K.F. Holle, kemudian diteruskan oleh C.M. Pleyte. Kemudian naskah ini dialihbahasakan oleh Purbacaraka, sebagai tambahan terhadap laporan mengenai Batu Tulis di Bogor. Upaya ini diteruskan oleh H. ten Dam (tahun 1957) dan J. Noorduyn (laporan penelitiannya dalam tahun 1962 dan 1965). Selanjutnya naskah ini juga diteliti oleh beberapa sarjana Sunda, di antaranya Ma’mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaédi, Édi S. Ékajati, dan Undang A. Darsa.
Dalam Carita Parahyangan (CP) disebutkan kata selam “Islam”, yang digunakan sebagai salah satu kata kunci untuk mengakhiri kisah sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Artinya, kisah itu berhenti dengan dikalahkannya Sunda oleh pasukan Islam dalam tahun 1579. Kisah sejarah itu hampir utuh berbicara tentang Negara (dan masyarakat) Sunda sebelum Islam. Menurut Aca (1973) yang menyatakan bahwa istilah “carita” lebih dulu digunakan dalam tradisi tulis Sunda, dalam makna yang sama dengan babad.
Carita Parahyangan (CP) sangat menarik untuk diketahui dan didalami isinya, karena merupakan karya tulisan kuna yang melukiskan sejarah parahiyangan tempo dulu sebagai asal mula atau nenek moyang orang Sunda/Jawa. Untuk memahami langsung teks tersebut dirasakan sulit, maka penulis berinisiatif untuk mengkaji CP dari para ahli dari berbagai versi baik dari media on line atau buku para ahli sejarah bahasa Sunda. Maka dari itu akan dibahas, sekilas namun semoga jelas dan tuntas.
Pembahasan
1. Kandungan pokok Naskah Carita Parahiyangan
Cerita diawali dengan kemunculan tokoh Sang Resi Guru yang berkedudukan di wilayah Kendan dan pengkisahannya cukup terurai diselingi bentuk dialog para tokohnya. Resi Guru berputra Rajaputra, kemudian Rajaputra menurunkan dua orang anak, Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan disebut juga dengan Rahyangta Dewaraja dan bertahta di Medangjati. Ia berputra lima orang yang masing-masing adalah Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah pendiri kerajaan Galuh, dan berputra tiga orang, yaitu Rahyang Sempakwaja, Rahyangta Kedul, dan Rahyangta Mandiminyak, yang sekaligus mewariskan tahta dari ayahnya. Periode kerajaan Galuh inilah yang merupakan inti kisah bagian pertama Carita Parahyangan. Dalam hal ini, peranan tokoh Sanjaya cukup menonjol karena ia sendiri mendapat restu dari Tohaan di Sunda (Maharaja Trarusbawa).
Di dalam kita Carita Parahyangan disebutkan bahwa di kerajaan Galuh waktu itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.
Diceritakan dalam Carita Parahiyangan, Raja Sanjaya ini banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitar yaitu Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, yang dilanjut perang dengan Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Setelah berkuasa selama 9 tahun, ia menyerahkan kekuasaannya di Sunda (Galuh) kepada Rakean Tamperan atau Rakean Panaraban, puteranya. Sanjaya yang menikahi Sudiwara lebih memilih berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, yang mana dari Sanjaya-lah diturunkan raja-raja Mataram, Kediri dan Majapahit. Jadi, bisa dikatakan Rakean Jambri atau Rahiang Sanjaya sebagai bapak dari Raja-raja di Sunda dan Jawa.
Menurut Saleh Danasasmita (2015 : 24) dalam Carita Parahiyangan, silsilah raja-raja Pajajaran dimulai dari Rahyang Banga. Sewaktu mudanya Rahyang Banga dibesarkan di Keraton Galuh. Ketika Tamperan wafat, kerajaan dibagi dua: wilayah timur untuk Sang Manarah, wilayah barat untuk Sang Banga.
Bagian kedua Carita Parahyangan mengkisahkan periode Pakuan Pajajaran yang uraiannya cenderung lebih singkat karena lebih banyak memuat daftar raja yang disebut lama masa pemerintahanya, kecuali tokoh Rakeyan Dharmasiksa dan Prabu Niskala Wastukancana. Dikisahkan pula mengenai periode Jawa Pawwatan yang berawal dengan kemunculan tokoh Manarah, dan tokoh Rahyang Banga yang memperoleh bagian kerajaan Pakuan Pajajaran.
Raja-raja di Parahiyangan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Raja-raja di Sunda, Raja-raja di Galuh, dan Raja-raja di Sunda Galuh. Raja-raja Sunda bermula dari raja Tarusbawa (669-723) sampai Sri Jayabupati (1030-1042), raja-raja Galuh dari Wretikandayun (670-702) sampai Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891), dan raja-raja Sunda Galuh dari Darmaraja (1042-1065) sampai raja Susuk Nunggal (1475-1482). Sedangkan raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran (di Bogor sekarang) hanya enam orang dari Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sampai Raga Mulya (1567-1579).
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran dihitung dari masa Sri Baduga Maharaja berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh raja-raja sebagai berikut :
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan di mana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Citatih, Cibadak, Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda, di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakuan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Dalam Carita Parahiyangan diceritakan pula Ratu Niskala Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita. Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun, dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Di dalam Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut :
Dalam perkembangan historiografi di Indonesia, terdapat beberapa corak historiografi yang memiliki karakteristik yang saling berbeda jenisnya, antara lain: historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi nasional. Di antara jenis penulisan sejarah tradisional yaitu babad, hikayat, wawacan carita, dan sejenisnya.
Menurut Husein Jayadiningrat, di Indonesia sudah sejak lama berkembang tradisi penulisan sejarah. Di Jawa misalnya, tradisi itu menghasilkan sejumlah karya “Kisah Sejarah” yang disebut babad sejarah, dan serat kanda; di dunia Melayu namanya dikenal sebagai hikayat, sejarah , tutur dan salsilah. Dalam pada itu masyarakat Sunda mengenal karya tradisional itu sebagai sajarah, carita dan wawacan (1965:74).
Sepanjang data yang terkumpul dapat diketahui bahwa karya “kisah sejarah” tertua yang diwariskan leluhur Sunda hingga saat ini adalah CP (Carita Parahyangan) yang dituliskan sekitar tahun 1580 Masehi (Aca 1968). Dari masa yang lebih kemudian muncul karya yang lain, di antaranya adalah CRP (Carita Ratu Pakuan) (Aca 1970), Carita Waruga Guru (Pleyte 1911) dan Carita Waruga Jagat (Edi S. Ekajati dkk 1985:12).
Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarna diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda.
Untuk pertama kalinya naskah ini diteliti oleh K.F. Holle, kemudian diteruskan oleh C.M. Pleyte. Kemudian naskah ini dialihbahasakan oleh Purbacaraka, sebagai tambahan terhadap laporan mengenai Batu Tulis di Bogor. Upaya ini diteruskan oleh H. ten Dam (tahun 1957) dan J. Noorduyn (laporan penelitiannya dalam tahun 1962 dan 1965). Selanjutnya naskah ini juga diteliti oleh beberapa sarjana Sunda, di antaranya Ma’mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaédi, Édi S. Ékajati, dan Undang A. Darsa.
Dalam Carita Parahyangan (CP) disebutkan kata selam “Islam”, yang digunakan sebagai salah satu kata kunci untuk mengakhiri kisah sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Artinya, kisah itu berhenti dengan dikalahkannya Sunda oleh pasukan Islam dalam tahun 1579. Kisah sejarah itu hampir utuh berbicara tentang Negara (dan masyarakat) Sunda sebelum Islam. Menurut Aca (1973) yang menyatakan bahwa istilah “carita” lebih dulu digunakan dalam tradisi tulis Sunda, dalam makna yang sama dengan babad.
Carita Parahyangan (CP) sangat menarik untuk diketahui dan didalami isinya, karena merupakan karya tulisan kuna yang melukiskan sejarah parahiyangan tempo dulu sebagai asal mula atau nenek moyang orang Sunda/Jawa. Untuk memahami langsung teks tersebut dirasakan sulit, maka penulis berinisiatif untuk mengkaji CP dari para ahli dari berbagai versi baik dari media on line atau buku para ahli sejarah bahasa Sunda. Maka dari itu akan dibahas, sekilas namun semoga jelas dan tuntas.
Pembahasan
1. Kandungan pokok Naskah Carita Parahiyangan
Cerita diawali dengan kemunculan tokoh Sang Resi Guru yang berkedudukan di wilayah Kendan dan pengkisahannya cukup terurai diselingi bentuk dialog para tokohnya. Resi Guru berputra Rajaputra, kemudian Rajaputra menurunkan dua orang anak, Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan disebut juga dengan Rahyangta Dewaraja dan bertahta di Medangjati. Ia berputra lima orang yang masing-masing adalah Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah pendiri kerajaan Galuh, dan berputra tiga orang, yaitu Rahyang Sempakwaja, Rahyangta Kedul, dan Rahyangta Mandiminyak, yang sekaligus mewariskan tahta dari ayahnya. Periode kerajaan Galuh inilah yang merupakan inti kisah bagian pertama Carita Parahyangan. Dalam hal ini, peranan tokoh Sanjaya cukup menonjol karena ia sendiri mendapat restu dari Tohaan di Sunda (Maharaja Trarusbawa).
Di dalam kita Carita Parahyangan disebutkan bahwa di kerajaan Galuh waktu itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.
Diceritakan dalam Carita Parahiyangan, Raja Sanjaya ini banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitar yaitu Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, yang dilanjut perang dengan Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Setelah berkuasa selama 9 tahun, ia menyerahkan kekuasaannya di Sunda (Galuh) kepada Rakean Tamperan atau Rakean Panaraban, puteranya. Sanjaya yang menikahi Sudiwara lebih memilih berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, yang mana dari Sanjaya-lah diturunkan raja-raja Mataram, Kediri dan Majapahit. Jadi, bisa dikatakan Rakean Jambri atau Rahiang Sanjaya sebagai bapak dari Raja-raja di Sunda dan Jawa.
Menurut Saleh Danasasmita (2015 : 24) dalam Carita Parahiyangan, silsilah raja-raja Pajajaran dimulai dari Rahyang Banga. Sewaktu mudanya Rahyang Banga dibesarkan di Keraton Galuh. Ketika Tamperan wafat, kerajaan dibagi dua: wilayah timur untuk Sang Manarah, wilayah barat untuk Sang Banga.
Bagian kedua Carita Parahyangan mengkisahkan periode Pakuan Pajajaran yang uraiannya cenderung lebih singkat karena lebih banyak memuat daftar raja yang disebut lama masa pemerintahanya, kecuali tokoh Rakeyan Dharmasiksa dan Prabu Niskala Wastukancana. Dikisahkan pula mengenai periode Jawa Pawwatan yang berawal dengan kemunculan tokoh Manarah, dan tokoh Rahyang Banga yang memperoleh bagian kerajaan Pakuan Pajajaran.
Raja-raja di Parahiyangan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Raja-raja di Sunda, Raja-raja di Galuh, dan Raja-raja di Sunda Galuh. Raja-raja Sunda bermula dari raja Tarusbawa (669-723) sampai Sri Jayabupati (1030-1042), raja-raja Galuh dari Wretikandayun (670-702) sampai Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891), dan raja-raja Sunda Galuh dari Darmaraja (1042-1065) sampai raja Susuk Nunggal (1475-1482). Sedangkan raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran (di Bogor sekarang) hanya enam orang dari Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sampai Raga Mulya (1567-1579).
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran dihitung dari masa Sri Baduga Maharaja berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh raja-raja sebagai berikut :
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan di mana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Citatih, Cibadak, Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda, di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakuan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Dalam Carita Parahiyangan diceritakan pula Ratu Niskala Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita. Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun, dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Di dalam Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut :
“Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.”
Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi kekosongan pemerintah Pajajaran diisi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.
Wastu Kencana di bawah asuhan pamannya tekun mendalami agama (Bunisora dikenal juga sebagai Satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia 23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi kekosongan pemerintah Pajajaran diisi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.
Wastu Kencana di bawah asuhan pamannya tekun mendalami agama (Bunisora dikenal juga sebagai Satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia 23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan disebutkan: “Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.”
Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan mengalami beberapa peristiwa:
1. Menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg / perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan damai. Ia pun rajin beribadat.
2. Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.
Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit (wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber kejayaan dan kesentausaan negara.
Apabila dikaji dan dianalisis dengan seksama, kandungan pokok isi naskah Carita Parahiyangan itu menceritakan tentang tiga hal, yaitu; silsilah dan runtutan (daftar nama-nama) Raja-raja Parahiyangan (Galuh dan Pajajaran), durasi kekuasaannya, dan kausalitas suksesi/naik turunnya Raja.
a. Silsilah dan Daftar nama-nama raja Parahiyangan
Daftar nama Raja-raja parahiyangan ini berjumlah sekitar 43 nama raja. Untuk mengefesienkan pembahasan akan diambil sampel/contoh diawal CP, tengahnya dan diakhir tentang silsilah atau runtuyan raja-raja tersebut. Karena untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada teks naskah CP dan nanti juga akan dibuat dalam sebuah tabel (yang akan dilampirkan).
Berawal dari penyebutan Sang Resi Guru yang mempunyai anak yang bernama Rajaputra. Rajaputra menurunkan kerajaannya kepada Kandiawan atau Rahiangta di Medangjati sebagai anak pertamanya. Rahiangta di Medangjati menurunkan tahtanya kepada kepada lima anaknya yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun. Namun yang pertama Jadi raja anak bungsunya yaitu Wretikandayun yang bergelar Rahiangta di Menir, setelah itu silih berganti dari kakak tertuanya sampai kakak yang keempat. Ini termaktub dalam CP larik ke-1 dan ke-4 :
“Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra. Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra; Sang Apatiyan Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun”. “Sang Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh Rahiyangta Tali Menir. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu nyieunna Purbatisti.………
Disilihan ku Rahiyangtang Kulikuli, ………………
Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan,………………
Disilihan ku Rahiyangtang Rawunglangit, ……………”.
Di tengah cerita dalam Carita Parahyangan, Rakean Jambri atau Rahyang Sanjaya mewariskan kekuasaannya kepada anaknya Rakean Panaraban atau Rahiang Tamperan. Karena kelakuannya yang jelek, di antaranya membunuh Pandita Sakti pertapa yaitu Bangawal Sajalajala (Pandita Ajar Padang), runtutan kekuasaannya tidak kepada anaknya tetapi kepada anak titisannya Pandita tersebut yang menuntut balas yaitu Sang Manarah (Ciung Manarah). Hal tersebut tertulis dalam larik ke-13 dan ke-14 berikut :
“Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang
Tamperan : “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.”
Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan……..
Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan,…….
Carék Jawana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu.
Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama”.
Di akhir Carita Parahyangan, diceritakan Sang Ratusakti Sang Mangabatan diganti oleh Sang Nilakendra yang suka melanjur nafsu, bergelimang kesenangan. Raja terakhir kerajaan Sunda (pakuan Pajajaran) yaitu Nusia Mulya yang menggantikan raja Nilakendra. Runtutan raja-raja tersebut tremaktub di larik 22, 24 dan 25 sebagai berikut:
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan………
Sang Nilakéndrawwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdumcereng…….Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda….
b. Durasi kekuasaan Raja-raja parahiyangan
Dalam Carita parahiyangan (CP) kebanyakan bahkan mungkin semua Raja-raja yang disebutkan selalu diberitahukan masa lamanya memerintah. Ini dapat dilihat dalam suntingan-suntingan di awal naskah CP, sebagai berikut :
ka Rahiyangta ri Medangjati……Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, …………
Rahiyangta ri Menir …………….. Lawasniya ratu salapan puluh tahun………..
Disilihan ku Rahiyangtang Kuli-kuli, lawasniya ratu dalapan puluh tahun.
Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan, lawasniya ratu genep tahun, katujuhna panteg kana goréng twah. Disilihan ku Rahiyangtang Rawunglangit, lawasniya adeg ratu genep puluh tahun.
Ditengah naskah CP pun banyak disebutkan lama memerintah seorang raja, seperti Rahiyang Sanjaya dalam bait akhir ke-14, dan Sang Manarah (Ciung Wanara), Sang Manisri, Sang Tariwulan, Sang Welengan terdapat di bait akhir ke-15. Isi teks CP-nya sebagai berikut :
Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, ……
Lawasniya ratu salapan tahun,disiliban ku Rahiyang Tamperan.
Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama.
Sang Manisri lawas adeg ratu geneppuluh tahun, kena isis di Sanghiyang Siksa.
Sang Tariwulan lawasniya ratu tujuh tahun.
Sang Welengan lawasniya ratu tujuh tahun.
Pada akhir teks CP, lamanya memerintah raja disebutkan pula. Hal ini terdapat dalam cerita Sang Ratusakti sang Mangabatan, cerita Sang Nilakendra, dan raja terakhir Nusia Mulya. Pengisahan tersebut ada di larik ke-22, 24 dan 25, teksnya sebagai berikut :
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, …………Sang Nilakéndrawat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan. Lawasniya ratu kampa kalayan pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan beunghar. Lawasniya ratu genepwelas tahun. Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa …………
c. Kausalitas Suksesi/Turun dan Naiknya Raja
Dalam Carita Parahiyangan ini banyak diceritakan pula sebab musabab naik dan turunnya (suksesi) seorang raja. Dalam awal CP, dikisahkan putra bungsu Rahiangta di Medangjati yaitu Sang Wretikandayun yang pertama jadi raja, mengalahkan keempat kakaknya, dikarenakan perlombaan berburu di tegalan; yang dimenangkan oleh Wretikandayun. Setelah jadi Raja, ia mengganti namanya menjadi Rahiangta di Menir. Hal itu tertulis dalam larik ke-3, sebagai berikut :
Carék Sang Mangukuhan, “Nam adiing kalih, urang ngaboro leumpang ka tegal.”
Sadatang ka tengah tegal, kasampak Pwah Manjangandara deung Rakéyan Kebowulan. Digérékeun ku sang pancaputra; beunangna samaya, asing nu numbak inya ti heula, nu ngeunaan inya, piratueun. Keuna ku tumbak Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara. Lumpat ka patapaanana, datang paéh. Dituturkeun ku Sang Wretikandayun. Pwah Bungatak Mangaléngalé kasondong nginang deung Pwah Manjangandara; ku Sang Wretikandayun dibaan pulang ka Galuh, ka Rahiyangta ri Medangjati.……
Dikisahkan pula dalam larik ke-18, seorang raja yang bernama Prabu Niskalawastu Kencana naik dan berjaya menjadi raja karena bagus menjalankan agama, mendapat pendidikan yang baik sehingga negara gemah ripah. Ini tertulis dalam CP sebagai berikut :
Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretajuga. Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Paké, basa nu wastu dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké Sanghiyang Indra, ruku ta.
Sakitu, sugan aya nu dék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daék éléh ku satmata. Mana na kretajuga, éléh ku nu ngasuh. Nya mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas. Ku béét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.……..
Di larik ke-17 diceritakan pula dalam CP ini, Rahiang Banga (Hariang Banga) yang turun tahtanya karena kelakuannya tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang benar, dalam arti menyalahi aturan. Hal itu tercermin dalam teks CP sebagai berikut :
Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena twah siya, mo makéyan agama bener. …………
Begitupun pada larik ke 23 dan ke-24 (sebelum larik akhir), diceritakan Sang Ratusakti yang dholim, suka ke perempuan, tidak menghormati orang tua dan menghina Pandita yang menyebabkan kekuasaannya tidak lama dan tidak diberkahi. Hal tersebut ditulis dalam larik sebagai berikut :
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha , asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata.Mangkana S ang Prebu Ratu, carita inya. …… Sang Nilakéndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng.
Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan . Lawasniya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan beunghar.……
Tulisan Sejarah Carita Parahyangan
Naskah asli atau manuskrip Carita Parahiyangan terdapat di Perpustakaan Nasional di lantai 5 Nomer Plt. 7 dan Peti Nomer 121. Ternyata naskah aslinya ditulis dengan tulisan tangan (manuskrip) di kertas tua ukuran kertas polio yang menguning dan mau rapuh. Naskah tersebut ditulis dengan aksara latin bersambung berbahasa Sunda. Tintanya itu sebagian tebal dan sebagian tipis. Naskah CP ini terdiri dari 111 halaman. Naskah CP ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada tahun 1677.
Naskah Carita Parahyangan jika dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap (menjadi terang), seperti kisah Sanjaya, pendiri Wangsa Sanjaya di Mataram Kuno, yang prasastinya ditemukan di Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder.
Dalam Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke Karang kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan pemerin tahan dan kegiatan keagamaan.
Naskah Carita Parahiyangan benyak menyebut nama tempat / wilayah yang termasuk dalam kekuasaan Sunda dan juga tempat-tempat lain di pulau Jawa dan pulau Sumatra. Sebagian dari nama-nama tempat tersebut masih ada sampai sekarang.
Nama-nama tempat tersebut di antaranya adalah: Ancol : Ancol (Jakarta Utara), Arile (Kuningan), Balamoha, Balaraja, Balitar, Barus, Batur, Berawan, Cilotiran, Cimara-upatah, Cina, Ciranjang, Cirebon, Datar, Demak, Demba (nusa), Denuh (wewengkon pakidulan), Galuh (Kerajaan Galuh / salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Sunda), Galunggung, Gegelang, Gegeromas, Gunung Banjar, Gunungbatu, Gunung Merapi, Hanum, Hujung Cariang, Huluwesi, Sanghiyang, Jampang, Jawa (wilayah orang Jawa), Jawakapala, Jayagiri, Kahuripan, Kajaron, Kalapa (pelabuhan utama Sunda, disebut juga Sunda Kalapa), Keling, Kemir, Kendan (kerajaan yang berada di sekitar gunung Kendan di wilayah Nagreg, tempat ditemukannya banyak batu obsidian yang disebut batu kendan), Kiding, Kikis, Kreta, Kuningan (pusat kabupaten Kuningan), Lembuhuyu, Majapahit, Majaya, Malayu (kerajaan Malayu di Sumatra), Mananggul, Mandiri, Medang, Medangjati, Medang Kahiangan, Menir, Muntur, Nusalarang, Padang, Padarén, Pagajahan, Pagerwesi, Pagoakan, Pajajaran (Pakuan Pajajaran pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, yang berlokasi di kota Bogor), Pakuan Pajajaran, Pangpelengan, Paraga, Parahiyangan, Patégé, Puntang, Rajagaluh (Rajagaluh, Majalengka), Rancamaya, Sanghiyang (wilayah sebelah barat Ciawi, Bogor, sekarang dijadikan permahan mewah), Rumbut, Salajo, Saung Agung, Saunggalah, Simpang, Sumedeng, Sunda ( kerajaan Sunda yang pusatnya di Pakuan Pajajaran, Bogor, dan pernah juga berpusat di Galuh, Ciamis), Taman, Tanjung, Tarum: Citarum, Tasik, Tiga, gunung, Wahanten-girang ( Banten Girang), Wanakusuma, gunung, Winduraja, dan Wiru.
Kata “Tohaan di Sunda” adalah mertua Raja Sanjaya (Raja Galuh), sama dengan Maharaja Tarusbawa (Raja Pakuan Pajajaran). Jadi, dalam naskah kuno pun, Raja Sunda (Toohan di Sunda) ternyata juga disebut Raja Pakuan Pajajaran.
Apabila dikritisi, Historiografi dari Carita Parahiyangan ini dipertanyakan semua matannya tentang keshahihannya (kebenarannya), karena naskah ini dibuat pada abad ke-17 (tujuh belas), dalam arti pada waktu itu ada unsur tendensius kaum Kolonial Belanda untuk melakukan politik adu dombanya (Devide Et Empera), sehingga dituliskan dalam CP tentang terjadinya perang bubat antara kerajaan Majapahit dan Pakuan Pajajaran. Sementara naskah CP pun ada dalam berbagai bentuk, kalau yang ditemukan penulis di Perpustakaan Nasional naskah CP tersebut ditulis beraksara latin Bahasa Sunda dengan hurup sambung sementara di Media online itu bertuliskan dengan aksara Hanacaraka.
Jadi untuk mengkaji Babad, Hikayat, Carita dan sejenisnya tidak mesti dibenarkan dan disalahkan seluruhnya. Dalam arti, harus dikaji dengan seksama dengan melihat realita (artefak dll.), dan diperbandingkan dengan teks atau naskah yang lain.
Kesimpulan dan Penutup
Carita Parahiyangan adalah naskah yang berisi sejarah yang dibuat oleh Pangeran Wangsakerta pada abad ke-16. Dalam sebagian buku disebutkan Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang dibuat pada akhir abad ke-17, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarna diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda.
Carita Parahiyangan pada pokoknya menceritakan dua kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Dalam Kajian Penulis, kandungan pokok isi naskah Carita Parahiyangan itu pada pokoknya menceritakan tentang tiga hal utama, yaitu; silsilah dan runtutan (daftar nama-nama) Raja-raja Parahiyangan (Galuh dan Pajajaran), durasi kekuasaannya, dan kausalitas suksesi/naik turunnya raja.
Post a Comment