Bujangga Manik: Sang Legenda Pengembara Sunda
Dalam sejarah kita mengenal beberapa pengembara yang informasinya sangat membantu dalam mengungkap keberadaan peradaban di daerah yang dikunjungi dimasanya.tidak sedikit Karyanya seolah abadi, dan sering dijadikan sumber sejarah yang akurat, dalam mengungkap peradaban suatu daerah.
Jika di Eropa kita mengenal Marcopolo sang penjelajah yang sangat terkenal kemudian Dalam peradaban Islam di Maghribi kita juga mengenal Ibnu Batutah, sang pengembara yang informasinya juga sangat bermamfaat dalam mengungkap sejarah negeri-negeri yang ia kunjungi, termasuk Indonesia.
Selain itu, ada pula di negeri Cina kita mengenal Laksamana Cheng Ho dengan beberapa penulisnya seperti Ma Huan, yang juga begitu banyak mengungkap sejarah negeri yang dikunjunginya, termasuk indonesia, yang banyak mengambil mamfaat dari tulisan-tulisannya.. Cheng Ho atau Zheng He atau lebih terkenal lagi dengan nama Laksamana Cheng Ho adalah petualang bahari (lautan) muslim yang berasal dari Cina pada masa dinasti Ming. Ia telah melakukan petualangan antar benua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun 28 tahun (1405-1433 M). Tidak lebih dari 30 negara di Asia, Timur Tengah dan Afrika yang pernah ia singgahi. Cheng Ho mendahului petualang-petualang Eropa : Cuolumbus (87 tahun kemudian), Vasco Da Gama (1497 M) dan Ferdinand Magellan (114 tahun kemudian).
Di Indonesia meskipun dalam skala kecil, juga ada seorang pengembara asal tanah sunda yang bernama bujangga Manik.Bujangga manik adalah seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama Prabu Jaya pakuan, yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta.Ia melakukan perjalanan 2 kali ke wilayah timur (jawa dan bali). Ia menulis kisah perjalanannya yang kemudian dinamai Naskah Bujangga Manik. Kisah perjalanannya dari tanah Sunda ke Bali telah begitu banyak menceritakan nama tempat, nama sungai dan keadaan masyarakat dizamannya. Meskipun tidak terlalu detail, tetapi kisah perjalanannya ini banyak memberikan keterangan yang bermamfaat dalam hubungannya dengan upaya mengungkap peradaban di indonesia di zamannya, prasasti-citarum-sanghyang-tapak. Naskah bujangga Manik merupakan salah satu naskah primer peradaban Sunda yang ada hingga kini. Naskah ini ditulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, dan dipekiraan ditulis pada abad ke-15 M. Manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England. Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University.
Bujangga Manik atau nama aslinya Prabu Jaya Pakuan adalah seorang pangeran kerajaan Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja) yang kemudian mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Dalam tulisannya ia mengambil nama Bujangga Manik. Dan ia juga menamakan dirinya dengan nama “Ameng Layaran” (petualang yang berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.
Ia melakukan pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang hingga akhir hayatnya. Bujangga Manik merupakan seorang intelektual mumpuni dizamannya, ia mengetahui isi kitab-kitab, mengenal susunan buku buku, mengetahuai hukum dan nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa. Ia juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah terbengkalai, dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya maupun tempat pertapaanya.
Ia juga terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.
Tekadnya untuk mengembara begitu kuat, disamping menolak terhadap pinangan putri raja, ia juga dengan tegas mengatakan kepada ibunya diawal keinginan keberangkatannya :
“Bunda, tetaplah terjaga ketika berada di belakang, walau Bunda menarikku sekuat buaya, pertemuan ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka, kau, Bunda, dan diriku, masih ada satu hari lagi, hari ini. Aku akan pergi ke Timur.”
1. Kisah Perjalanan Pertamanya
Pangeran Jaya Pakuan merencanakan akan pergi ke timur. Ia berangkat dari Pakancilan. ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya dan berjalan. Setelah ia meninggalkan pintu masuk aula, dan dari mimbar yang paling ujung. Ia menapakkan kakinya di tanah, dan ia membuka pintu gerbang. Setelah melewati Umbul. setelah pergi dari Pakancilan, ia kemudian sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, berjalan dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai hiasan kepala.
Pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya dengan segera.Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus), aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung). Setelah naik menuju ke Banggis, aku melewatinya, dan sampai di Telaga Hening, aku meneruskan perjalanan ke Peusing. Berjalan lurus ke depan, Aku menyeberangi Sungai Cilingga.
Setelah tiba di Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, (yang aku lakukan sedikit demi sedikit). Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia melihat pegunungan : Terdapat Bukit Ageung (sekarang Gunung Gede), tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.
Setelah pergi dari sana, aku pergi ke daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi Sungai Citarum. Setelah berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas (sekarang nama Gunung Tampomas, menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay. Setelah aku tiba di Luhur Agung (sekarang Luragung di daerah Kabupaten Kuningan), menyeberangi Sungai Cisinggarung (Cisanggarung) Altar 3.
Setelah mencapai ujung dari Sunda, menyeberangi Sungai Cipamali, tibalah di daerah Jawa. Aku berkelana melewati wilayah-wilayah berbeda di Majapahit, dan daerah dataran Demak. Setiba di Jati Sari, aku datang ke Pamalang. Di sana aku tidak singgah terlalu lama. Aku merindukan ibuku, yang telah ditinggalkan terlalu lama.Aku harus segera pulang. Tak ingin melalui jalan yang telah kulewati.Ada kapal dari Malaka, ia kemudian pergi dari Pamalang lalu menumpang berlayar. Tiba aku di muara, senapan ditembakkan tujuh kali, gong ditabuh, simbal dibunyikan, genderang dan gendang dimainkan, suara yang keras datang dari gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan keras.
Ia Berlayar setengah bulan, kami berlabuh di Kalapa. Namaku Ameng Layaran. Aku meninggalkan kapal.Sesampai di Pabeyan, (pelabuhan), aku berjalan melewatinya, berjalan melalui Mandi Rancan, sampai di Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), dan melewati Samprok.(Semprug sekarang?), Setiba di hutan yang luas, aku menyeberangi Sungai Cipanas, berjalan melewati Suka Kandang.Telah terlewati olehku Suka Kandang, aku menyeberangi Sungai Cikencal.Sesampai di Luwuk, aku menyeberangi Sungai Ciluwer. (Sungai Ciluar), Sesampai di Peteuy Kuru, aku berjalan lewat Kandang Serang.Setelah mencapai Batur, yang telah kulewati, aku menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampainya di Pakuen Tubuy, aku melewati Pakuen Tayeum) (Tayem sekarang) Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan, aku membuka pintu gerbang, dan pergi menuju rumah tamu yang dihias dengan baik. Paviliun yang dihiasi dengan indah.
2. Perjalanannya Kedua
Keinginan untuk merantau lagi yang kedua kalinya begitu kuat pendiriannya, seperrti diungkapkan dalam tulisannya :
“Bunda, tetaplah terjaga saat ditinggal,
meski Bunda menarikku sekuat buaya,
aku akan pergi ke Balumbungan,
ke arah timur Talaga Wurung,
di atas puncak pulau ini,
pada puncak paling timur,
mencari tanah untuk makamku,
mencari lautan untuk hanyut,
tempat matiku kelak,
tempat membaringkan tubuhku.”
Ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya dan pergi.Meninggalkan tempat di mana mereka duduk,turun dari ujung mimbar,berjalan turun pelan-pelan. Setelah meninggalkan aula-masuk, dan melewati alun-alun istana, membukakan pintu gerbang.
Sepeninggal Pakancilan, dan Umbul Medang ada di belakang, pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol. Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis. Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin Bentik. Setelah naik menuju Bala Gajah,aku berjalan melewatinya, bergerak turun ke Kandang Serang, dalam perjalanan menuju Ratu Jaya. Ketika aku berjalan melalui tempat itu, aku sampai di Kadu Kanaka, menyeberangi Sungai Cileungsi, memutar ke arah selatan menuju Gunung Gajah.
Setelah tiba di Bukit Caru, tanda peringatan dari Raja Cupak, menuju arah timur ke Citeureup, aku sampai di Tandangan, menyeberangi Sungai Cihoe, menyeberangi sungai Ciwinten, dan sampai di Cigeuntis.
Setelah naik ke Goha, setiba di Timbun, pergi menuju Bukit Timbun, aku tiba di Mandata, menyeberangi Sungai Citarum, berjalan melewati Ramanea.Setiba di Gunung Sempil, berada di belakang Gunung Bongkok, dan tiba di Gunung Cungcung, dalam wilayah Saung Agung.
Telah aku lalui, lalu berbelok menuju timur, menyeberangi Sungai Cilamaya, menyeberangi Sungai Cipunagara, dalam wilayah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas, menyeberangi Sungai Cimanuk, pergi melalui Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk-Manis. Aku berjalan melewati Conam, Gunung Ceremay telah kutinggalkan, Timbang dan Hujung Barang, Kuningan Darma Pakuan, semua tempat itu telah kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung, aku menyeberangi Sungai Cisinggarung.Setelah tiba di ujung Sunda, sampailah di Arga Jati, dan tiba di Jalatunta, yang menyimpan kenangan Silih Wangi.
sisa - tembok - benteng - lumajang. Setelah pergi dari tempat itu, aku menyeberangi Sungai Cipamali, menuju selatan Gunung Agung, ke bagian sebelah kiri wilayah Brebes. Berjalan melewati Medang Agung, menyeberangi Sungai Cibulangrang, berjalan melewati Gunung Larang, pedalaman di wilayah Gebuhan, aku berjalan melewati Sangka, melewati Suci, ke Agi-Agi, melewati Moga Dana Kreta. Setelah pergi dari tempat itu, aku menyeberangi Sungai Cicomal, menyeberangi Sungai Cipakujati, berjalan melewati Sagara, sampai di Balingbing, kekuasaan Arga Sela, dari Kupang dan Batang.
Ke arah kiri ke Pakalongan. Setelah tiba di Gerus, di Tinep dan Tumerep, aku telah melaluinya, tiba di wilayah Tabuhan, tiba di Darma Tumulus, berjalan melewati Kali Gondang Setiba di Mano Hayu, berjalan melewati Panjinaran, sampailah aku di Panjalin. Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan. Sedatang aku ke Padanara, menunjuk pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung Rahung, dari arah barat Gunung Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan ada Gunung Damalung, tempat-tempat itu adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan dewi-dewi.
Di arah timur terdapat Gunung Merapi, menjaga peninggalan Darmadewa, yang merupakan wilayah Karangian.Aku meninggalkan Danara, datang ke Pidada. Setelah aku tiba di Jemas, di sebelah kiriku adalah wilayah Demak, ke arah timur Gunung Welahulu. Aku berjalan melalui Pulutan, pergi ke Medang Kamulan.
Setelah tiba di Rabut Jalu, aku berjalan melewati Larangan. Setelah tiba di Jempar, aku menyeberangi Sungai Ciwuluyu, tiba di wilayah Gegelang,ke arah selatan Medang Kamulan, lalu tiba di Bangbarung Gunung.
Setiba di Jero Alas, aku menyeberangi Sungai Cangku, berjalan melewati Daha.Setelah meninggalkan tempat itu, tibalah aku di Pujut, menyeberangi Sungai Cironabaya, berjalan melewati Rambut Merem. setiba di Wakul, sampai di Pacelengan, aku berjalan melewati Bubat, dan tiba di Maguntur, alun-alun Majapahit, pergi melewati Darma Anyar, dan Karang Kajramanaan, sebelah selatan Karang Jaka.
Setiba di Palintahan, setelah meninggalkan Majapahit, aku mendaki Gunung Pawitra, gunung suci Gajah Mungkur. Ke arah timur adalah wilayah Gresik, ke arah selatan Gunung Rajuna.
Telah kulalui, aku berjalan melewati Patukangan, dan tiba di Rabut Wahangan, berjalan ke arah timur. Lereng Gunung Mahameru, Aku melewatinya di sisi sebelah utara. Sampai di Gunung Brahma, tibalah aku di Kadiran, di Tandes, di Ranobawa.Berjalan aku ke timur-laut.Tiba aku di Dingding, pusat kedudukan dewaguru. Sepergi dari tempat itu,tibalah di Panca Nagara.
Setelah aku tiba di Sampang, sesampai di Gending, aku menyeberangi Sungai Cirabut-Wahangan. Setelah aku tiba di Lesan, yang merupakan wilayah Panjarakan, kuberjalan ke arah tenggara, berjalan melewati Kaman Kuning, melewati Gunung Hiang,yang aku lewati dari sisi utara.
Ketika aku tiba di Gunung Arum, yang merupakan wilayah Talaga Wurung, ke arah utara adalah Panarukan, ke arah kiri adalah Patukangan. Sesampai di Balangbungan, di sana aku bertapa, Sementara melepas lelah. Kemudian aku bercocok tanam, lalu mendirikan lingga, menyembah … memuja …, berdoa untuk kekuatan diri. Di sana aku tidak tinggal lama, Selama satu tahun lebih saja.
Post a Comment