Kenapa Cipeueut, Cipaku Timur Ditenggelamkan?




Tahukah Anda yang dimaksud dengan Cipaku?

Dalam Naskah Medang Kamulyan (Jagat Raya) yang ada di Darmaraja Sumedang Arti "Cipaku" sebagai berikut :

"Karajaan Medang Larangan Anu Ngageularkeun Manusa Linuhung Turunan Tapel Adam Babu Hawa Jeneng Ratu Di Karajaan Medang Larangan Ngalalakon Darma Pancen Gawena Ti Allah Taalla Jadi Ratu Ti Alam Medang Kamulyaan...Hirupna Rundayan Ti Saidina Anwar Ngabogaan Turunan Ratu Di Karajaan Medang Larangan. Bagenda Syah Jeneng Ratu Di Karajaan Medang Larangan, Anu Karatonna Di Cipta Ku Sayyidina Sis Alahis Salam Di Cai Paku Satutasna Surutna Cai Sagara Ngeueum Alam Medang Kamulyaan. Ari Di Sebut Cai Paku Ieu Mangrupa Pangeling-ngeling Ieu Tempat Anu Geus Orot Tina Cai Sagara Loba Tangkal Paku. Ku Ayana Prahara Alam Medang Kamulyan Ka Keueum Ku Cai Sagara..."

Artinya :

"Kerajaan Medang larangan yang menurunkan Manusia Luhung keturunan Nabi Adam dan Hawa jadi pengisi alam dunia melakukan darma dari Allah jadi Ratu/Raja di Alam Dunia...Hidupnya merupakan silsilah dari Saidina Anwar mempunyai keturunan Ratu (pemimpin) di kerajaan Medang Larangan...Raja Syah bersama ratu di Kerajaan Medang Larangan yang keratonnya diciptakan oleh Nabi Sis alahis salam di CIPAKU sesudah surutnya air laut menenggelamkan alam Dunia, yang disebut CIPAKU ini merupakan tempat peringatan yang sudah surut dari air lautan banyak pohon Paku. Oleh sebab bencana alam Dunia tenggelam oleh air Laut. waaAllahu a'lam


 


Berdasarkan Naskah Sewaka Darma Kabuyutan Ciburuy yang dibuat pada tahun 1405 Saka (1484 Masehi) dan mengacu kepada konsep  Papat Kalima Pancer maka di Tatar Sunda ada Lima Daerah Cipaku yang terdiri dari Satu Cipaku sebagai pusatnya/Pancer dan Empat Cipaku lainnya tersebar sesuai arah penjuru mata angin yaitu Cipaku Timur, Cipaku Barat, Cipaku Utara, dan Cipaku Selatan. Kata “Tji” (Ci) yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah.

Berdasarkan Konsep Papat Kalima Pancer tersebut maka lokasi 5 Cipaku yang merupakan Mandala/Kabuyutan Tatar Sunda dengan masing-masing dihuni oleh hyang pelindung dunia adalah sebagai berikut:

~  Cipaku Timur (Purwa) Sumedang : Mandala Timur Sunda yang memiliki simbol warna PUTIH, dengan material perak tempat Hyang Iswara. Merupakan penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban manusia, jaman para leluhur bangsa, berlokasi di Situs Lemah Sagandu Cipaku Darmaraja Sumedang yang ditenggelamkan oleh Proyek Bendungan Jatigede.

~ Cipaku Barat (Pasima) Bogor : Mandala Barat Sunda yang memiliki simbol warna KUNING dengan material emas/bokor tempat tinggal Hyang Mahadewa, merupakan penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai penanda menurunnya masa kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran, berlokasi di Cipaku Prasasti Batutulis Bogor.

~ Cipaku Utara (Utara) Subang  : Mandala Utara Sunda yang memiliki simbol warna HITAM dengan material besi/Tarum, tempat tinggal Hyang Wisnu. Merupakan penanda malam hari, yang juga menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau kehancuran peradaban manusia untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk lain (non-manusia) di Bumi, berlokasi di Situs Eyang Taruma Jaya Cipaku Subang.

~ Cipaku Selatan (Daksina) Garut : Mandala Selatan Sunda yang memiliki simbol warna MERAH dengan material tembaga atau api/Braja, tempat tinggal Hyang Brahma. Merupakan penanda siang hari, namun juga sebagai penanda jaman beradab atau masa kejayaan (kemakmuran), berlokasi di Cipaku Garut Kabuyutan Ciburuy dan sekitarnya.

~ Cipaku Tengah (Madya) Bandung : Mandala Tengah Gunung Sunda Purba yang memiliki simbol SEGALA WARNA Cahaya di Pusat yang merupakan tempat tinggal tempat Hyang Siwa. adalah penanda penguasa waktu/era/jaman yang mengembalikan segala kehidupan di Bumi seperti pada mulanya, jaman sebelum manusia menguasai (merusak) planet Bumi, berlokasi berpencar di Rajamandala, Dago Pakar dan Gunung Puntang.

Catatan : Mandala adalah tempat orang bertapa/bersemadi/bertirakat menurut leluhur Sunda dulu.

Corrie Kastubi : "Para leluhur Sunda sudah menyatukan orang-orang sunda lalu kenapa kita terpecah belah, padahal kita bisa kembali berjaya dan kembalikan cita-cita leluhur kita".

Pristi Mooney : "Oleh sebab susah menyatukan sedulur dan sekocoran, masing-masing tidak mau bersatu, egois, cuek malah sudah tidak merasa rasa belas kasih terhadap sesama. Sudah tidak ada punya perasaan terhadap leluhurnya"

Corrie Kastubi : "Ia teh Pristy juga rada aneh mestinya bandung jadi Powernya, kok malah yang pencet tombol Jatigedenya, ini gambaran nyata hati kita sudah terkontaminasi oleh Uang bukan power kesucian"

Pristy Mooney : "Menyedihkan memang mental saudara-saudara orang sunda, yang begitu mudah keyakinanan luntur hanya dengan uang sudah pasti yang lemah ekonominya, yang cukup bahkan berlebihanpun tetap bisa dibeli dengan uang, jati dirinya, harga dirinya, dan keyakinannya juga"

Corrie Kastubi : "Insya Allah Cipaku Timur (Jatigede) tidak akan cuek jika permasalahan yang terjadi di Cipaku-Cipaku lainnya, karena kami Cipaku Timur berbasis putih/aji putih"

Corrie Kastubi : "Insya Allah yang jelas dampak kemiskinan akan terjadi pada korban sosial jatigede yaitu warga Darmaraja, kami akan bangkit dan kuat dengan kesucian seperti karuhun/leluhur kami"

Pristy Mooney : "Aamiin 3x, Semoga Allah masih ada keturunan-keturunan leluhur kita yang berhati bersih, berniat ikhlas tanpa pamrih dan berprilaku yang benar dalam menjalankan amanah hidup dan amanah leluhurnya"

Corrrie Kastubi : "Pristy zaman sudah berbeda dan berubah, zaman sekarang harus dengan kebersamaan karena kesucian kita tidak seperti beliau-beliau karuhun kita. Modal kita adalah smart dalam berpikir dan bertindak dan membuat keputusan tinggalkan ego pribadi untuk popularitas jangan akhirnya kita Gigit Jari rugi bandar istilahnya Akhirnya Gigit Jari dan melonggo mari kita bangkit"

Pristy Mooney : "saya tidak diam dan saya tidak merasa rugi dengan apa yang sudah saya lakukan selama ini untuk tanah leluhur kita. Tanpa pamrih dan ingin popularitas, semuanya sekedar dharma bakti untuk leluhur kita. Saya sedang mengatur strategy dan persiapan bekal serta evaluasi diri dan team serta kinerja kita. Bersamaan alampun tengah menyaring orang-orang yang betul-betul murni dalam perjuangannya atau masih memiliki kepentingan-kepentingan pribadi. Insya Allah SWT dan para karuhun kita mengaping menjaring kepada keturunannya yang masih peduli dengan amanah dan tugas yang diembannya"

Corrie Kastubi : "Bersatulah semua yang terkena dampak Jatigede, bersihkan kebencian berbuat sesuatu untuk orang-orang, ingat kita punya leluhur bukan orang sembarangan Tata Negara CIPAKU harus dikembalikan diisi dengan penempatan orang-orang yang bermartabat ingat kita keturunan orang-orang pintar dan jujur dalam tindakan dan ucapan kita bukan orang-orang munafik. Mungkin suatu hal yang mustahil...tapi Insha Allah terjadi, bersama mari kita bersihkan hati kita mohon kepada Alloh SWT, agar air surut tidak menenggelamkan Situs karuhun Eyang Resi Agung, Aji Putih dan Ratu Nawang Wulan, bagaimanapun adalah leluhur orang Sumedang semuanya dari trah Galuh"

Pristy Mooney : "Aamiin Insya Allah dan Semoga Allah menunjukkan orang-orang munafik itu, pengkhianat-pengkhianat itu, orang-orang yang bermuka dua, orang-orang yang anu beungeut nyanghareup hate mungkir teh. Jauhkan perjuangan kami dari semua orang-orang itu dan saya yakin alam tengah menjaringnya sekarang"

Dedie Kusmayadi : "Cipaku tengah masih aman tidak tenggelam oleh waduk Saguling, meskipun tersebar dibeberapa tempat situs Sanghyang Tikoro masih ada, kok kenapa leluhur kita Situs Cipeueut ditenggelamkan"

Corrrie Kastubi : "Alhamdulillah Cipaku Tengah jangan sampai situs-situsnya dihilangkan. Pelajaran besar di Kasus Jatigede pelihara dengan baik Situs Makam Karuhun Kita, Entah kenapa Situs Jatigede diincar untuk ditenggelamkan padahal kalau mau bisa dialihkan cathment areanya"

Dedie Kusmayadi : "Betul Bu Corrie Kastubi Cipaku tengah seperti Dago Pakar dibagusin tempatnya begitu juga dengan Gunung Puntang dikelola oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, padahal plan pilot projet Jatigede dams direncanakan 30 tahun ke belakang, begitu rencana situs akan ditenggelamkan baru menjadi pembicaraan dan menjadi ramai"

Corrrie Kastubi : "Makam salah satu keluarga ti Kastubi ada juga yang tergenang oleh Saguling, dulu suka nyekar/ziarah sekarang sudah tak bisa. Sekarang karuhun dari Ibu saya yang akan tenggelam dan sebagian sudah tenggelam, beliua nampak sedih karena makam keluarga sudah tidak ada"

Dedie Kusmayadi : "Saya turut prihatin teh seandainya makam leluhur saya juga berada disana, Salam baktos Teh Corrie, belum lagi masyarakatnya yang betul-betul bermukim di sana"

Pristy Mooney : Tahun 2015 hampir berakhir dengan hitungan hari saja, bagiku tahun yang berduka begitu banyak peristiwa dalam perjalanan hidupku. Namun yang terutama adalah ditenggelamkannya Kabuyutan Cipaku Dharmaraja yang Nota bene adalah peradaban Sunda yang Agung dengan membawa ajaran Tauhid sebelum Islam masuk ke Indonesia. Makom-makom dan makam leluhur yang tenggelam satu persatu demi mengatasnamakan mega proyek nasional demi kesejahteraan rakyat sebagai kamu flasenya, padahal sebenarnya adalah ambisi proyek bisnis para konglomerat yang salah satunya ingin mendapatkan loyalty dimasa pensiunnya. Sungguh mengenaskan ketika bangsaku tidak dapat menghargai dan memelihara situs cagar budayanya. Genosida telah terjadi dan berlangsung berkelanjutan dari tahun ke tahun dan selalu suku Sunda yang menjadi sasarannya dikarenakan Suku Sunda sejak jaman leluhur dahulu kala sudah memegang konsep SUNDA yang Agung dalam tatanan berkehidupan, berlingkungan berkenegaraan dan menyakini Sang Maha Pencipta. Dengan konsep Tri Tangtunya SILIH ASIH-SILIH ASAH-SILIH ASUH, hingga mencapai SRI LUNGGUH DUNYAnya bagi seluruh rakyatnya. Pemimpin negaranya yang selalu mengibarkan bendera SILIH WAWANGIKEUN, dengan menjajarkan negara yang berkedudukan sama atau sejajar. Kini semuanya tinggal cerita dan sejarah tanpa bukti karena ditenggelamkan oleh ambisi dan nafsu keserakahan para pengelola negara dengan waduk Jatigede. Tahun berduka bagi kita rakyat se Nusantara khususnya suku Sunda yang sudah berhasil dipecah belah, dihilangkan Jatidirinya secara perlahan-lahan. Jatigede adalah Jatidiri bangsa yang besar yang dikorbankan. "LEMAH SAGANDU DIGANGGU, BALAI SADUNYA" - wilayah yang kecil maka bencana sedunya.

Jejak Pendapat Keberadaan Situs Cipeueut Yang Telah Tergenang di Akhir Tahun 2015

Berita, Sumedang Cipaku, Drs Wisahya dari PLB mengeluarkan pendapat tentang Pemindahan Situs Cipeueut Cipaku di Account Facebooknya mengenai setuju atau tidak setuju jika Situs Cipeueut dipindahkan. Beberapa komentar account Facebook dengan  berbagai alasan. 

Komentar tersebut diantara :

Maximilan Angel :"Sangat tidak setuju, karena hal itu adalah bukti sejarah bangsa ini, khususnya masyarakat Sumedang. Bagaimana kalau Burung Garuda diganti dengan burung hantu, kan sama gagahnya dari jenis Elang, namanya pun lebih menyeramkan Burung Hantu...boleh tidak diganti?"

Lodongdobol : "Apanya yang dipindahkan kang? kalau dipindahkan bisa jadi acuan kedepannya, dimana ada kejadian serupa Jatigede dan punya alesan bahwa situs mudah dipindahkan, waspada,,, ya"

Asep Enang Hasanudin : "Kalo dianalogikan yang mudah pak, kalau misalkan mata dipindahkan ke lutut, gimana kang?"

Lodongdobol : "kejadian sekarang yang menjarah kayu, kalau ditanya bisa itu bisa dijadikan alasannya daripada mubah, menjarah kayu lebih dari satu kali kita tahu itu kita juga marah"

Maximilian Angel : "Saatnya satu hati sehaluan, selamatkan sejarah bangsa ini dari penindasan para perusak kabuyutan, siapapun dia. Mereka yang memindahkan baik perorangan maupun Yayasan apalagi Instansi. Adalah perusak kabuyutan yang melakukan penjarahan terhadap situs-situs, menjarah kayu-kayu tua saksi bisu sejarah"

Abah Kabayan : "Kalau di negara lain situs itu dijaga dan dipelihara, masa ini mau dirusak, tak setuju kang"

Andri Sandoel Mulyadi : "Tidak Setuju kang, alasan apapun titik! Situs tidak bisa dipindahkan, supaya tetap terjaga tidak tenggelam solusinya tinggal atur ketinggian air bendungan, buka pintu airnya"

Danies Lisenda : "Kalau yang punya hak waris Situs Cipeueut siapa kang? kalau memperhatikan situs cipeueut bersama-sama bersama paguyuban?"

Panggawung Rangga : "Yang punya hak waris yaitu yang punya niat baik mau memperhatikan yang mau menjarah, tidak mementingkan diri sendiri tentunya dan yang ikut serta. Masing-masing punya cara-carana tersendiri meskipun banyak paguyuban juga. Paguyuban sama punya cara masing-masing. Kalau mau melihat hak waris dari mana saja hak waris asalnya yaitu yang menjadi sekeseler atawa rundayanya".

Yaya Rusyana : "Katanya Sunda dimaknaan masalah isinya, bukan itu dimaknai, yang benar gimana kiatnya. Kalau Paguyuban tidak bergerak, mesti dihargai yang bergerak jangan terlalu tanya masalah adminitrasinya dan air jatigede terus naik"

Panggawung Rangga : "pemaham yang berbeda, pastinya pro dan kontra. Alasan saya mah tetap tak setuju dipindahkan, ketika dulu beliau tafakur nyuhunkeun petunjuk ka yang maha kuasa tempat yang pastinya untuk tempat tirakat pasti ada ciri yang mandiri, yang tidak boleh diganggu sampai hancurnya alam jagat raya, soalnya kisah keresiannya demikian"

Aji Darma Kusumah : "Tak setuju, tidak ada alasan"

Dewi Sriwulan Ariwinata : "Kang, selaku pelestari lingkungan budaya saya mempercayakan ke kang wisahya, percuma suara banyak juga kalau prakteknya nol besar. Saya salut ke Kang Wisahya memperjuangkan yang sakral. Orang lain belum tentu sayang ke peninggalan leluhur dengan prakteknya dalam memperjuangkan. Saya mendukung perjuangan Akang, abdi yakin akang bisa ngamernakeunana. Saya juga punya pancen dari Kabuyutan".

Danies Lisenda : "Saya percaya ke Kang Wisahya, yang lagi maluruh situs Jatigede. Namun katanya bukan udah ada perjanjian antara paguyuban dengan pemerintah mengenai Situs yang katanya sudah ada kesepakatan. Maafkan saya kurang info perkembangan situs di Jatigede. Ikut mendengarkan semoga selamat mulus rahayu tidak terjadi apa-apa.

Dari Team PLB juga heran ada perjanjian apakah yang ditanyakan Danies Lisenda.

Seftian Kevin Rifaldi : "Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena mereka harus ingat bahwa kekayaan negeri ini dari tatar Sunda. Mereka ingin menghilangkan jejak peradaban, semoga karuhun tidak marah apa yang mereka ucapkan. Siapa yang menanam akan menuai akibat silahkan saja makan sama mereka, silahkan kalungkan sawah, gunung, hutan, tanah, kebun dan kolam"

Hadibar Naledra : "Kesepakatan bersama pada tanggal 12 Agustus di Gedung Negara yang ditandatangani oleh Wakil Bupati, Disparbud, DKS, YPS, RWS, GMBI, Persatuan Kuncen (PKBS), Agamawan. Sepakat Situs Utama Cipeueut tidak akan direlokasi pada tanggal 18 Agustus 2015. Diinisiatifkan dengan TRISULA (Paguyuban Keuyeup Bodas, Pagauban Seuweu Siwi Cimanuk dan Nonoman Karaton Sumedang Larang). Hadir juga para kuncen se Jatigede kumpul di Situs Tanjungsari dihadiri oleh DKJB (Jabar). Sepakat situs-situs di Jatigede tidak bisa dirubah apalagi dirusak dipindahkan itu dasar TRISULA membuat surat tembusan ke Presiden Jokowi, dilanjutkan dengan pertemuan malamnya tanggal 18 Agustus tempat di Gedung Negara yang dipimpin oleh Sekda, begitu juga keputusan sama Situs tidak boleh direlokasi. Ditindaklanjuti oleh Surat (YPS) Nomor 096/U.LL/Peng-YPS/XII/2015 perihal penanganan situs cagar budaya di Genangan Waduk Jatigede ke Kepala Desa Cipaku dan Cibogo tembusan ke Bupati, Sekda, Disduk, Polres, Dandim, Danramil, Kapolsek dan juga kepada Tim Fasilitasi Penanngan Situs di Jatigede.

Aditia Seta Lalana : "Teu satuju...cicingkeun pageuhkeun, kukihkeun...titik"

Corrie Kastubi : ""Semua sudah terlambat Abah...nasi sudah menjadi bubur...kami menangis..yang kita tunggu adalah keajaiban InsyaAlloh...sekarang hanya bisa berserah diri menunggu pengadilan terhadap manusia-manusia yang sudah tidak bertanggung jawab yang hanya memanfaatkan kasus jatigede untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Mari kita berpikir masa depan warga terkena dampak yang sudah dizholimi oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab...agar mereka semua bisa menata hidup bermartabat dan berahklak baik sesuai dengan sejarah yang sudah dibentuk oleh karuhunnya. Apalagi, mental warga darmaradja sudah dirusak karena uang". Dari zaman belanda sampai sekarang oknum ada dirumah sendiri sebagai kaki tangan, selama ini niat penyetopan project jati gede dan penyelamatan situs hanya untuk mengembirakan saja, karena sebenarnya bisa distop dari 5 tahun yang lalu. Kami menangis karena diperdaya oleh dulur sendiri".

Zank Uwan : "Sangat sangat tidak setujuu sekali"....apapun alasanya titik"

Meiriyani Purnama : "Sangat tidak setuju, apabila dipindahkan apapun alasannya jejak sejarah ,tidak akan sama lagi aneh...!, pengertian situs. Situs Purbakala Adalah LOKASI, TEMPAT DI TEMUKANNYA PENINGGALAN PURBAKALA SEBAGAI BUKTI ADANYA AKTIFITAS MANUSIA PADA MASA LAMPAU".

Dedie Kusmayadi : Betul,  dulu pernah di musyawarahkeun di Gedung Negara kang Wisahya seperti yang diceritakan oleh kang Hadibar Nalendra, malah Kang Surahman Al Hajj menyarankeun Penyelamatan Situs dengan situs Terapung namun tidak ada titik temu. Waktu dimusyawarakan di Gedung Nagara Sumedang itu Situs tetap mesti ada ditempatna semua Nonoman Sumedang, kang lucky, kang Rudi Brata Manggala, Bu Uly Sigar, teh Pristi Mooney, Pemda sama perwakilan kadis ada kang. Dan Sepakat Situs Tetap pada tempatnya.
Dan juga diwacanakeun/dirapatkeun dengan pihak DPRD Jabar oleh Kang Surahman sebagai kelanjutan upaya penanganan Situs.

Yaya Rusyana : "Saya cuma mewakili anak saya yang masih kecil, nanti kalau pengen tahu sajarah karuhunya mesti bagaimana? berangkat kemana".

Masa mesti marah dan juga tidak tahu, mesti ngimpleng atau mesti jalan-jalan ke Jatigede ka padepokan urang sunda yang didalamnya ada cerita, saeutik bukti jeung sajabana? seperti di Kampung Naga terasa Sundanya"

Koko Baranyai Baranyai : "Mana ada ahli warisnya siapa yang tahu jamanuna tersebut, dan itu bukan Manusia beliau dari NUR DAT. Dari asal Manusia kesinikan baru ada manusianya lalu ada kita yang jadi ahli warisnya semuanya. Jadi siapa yang mengaku ahli warisnya? Asal-usulnya juga mereka belum tentu hapal, Beliau ada di cipeueut lebih dari 1000 tahun"

Pristi Mooney : "Banyak yang mengaku ahli warisnya, sayang tujuannya tidak murni, cuma punya maksud dan tujuan masing-masing. waAllahu a'lam.

Pristi Mooney : "Salah satu cara yang paling bagus dengan di Benteng sekeliling wilayah situs kabuyutan yang mencakup 3 makom tsb.

kalau di Benteng tak asa yang dirubah hanya sekedar jangan tergenang saja. Bahkan baik terlindungi, tidak akan ada yang menjarah pepohonannya juga apa-apa yang ada di wilayah situs. Salah satu cara mulasara dan melestarikeun kabuyutan untuk keturunan kita kedepannya. Namun tidak ada yang mengganggu. Sekarang sudah susah mau dibagaimanakan, soalnya air sudah menggenanggi.

Pangawung Rangga : "Saya percaya dengan "TRISULA", apalagi mengenai perjanjian antara situs tak bisa dipindahkan, diam ditempatnya sudah jadi ciri pasti nu mandiri, cuma kalau ada yang mau niat keluar dari TRISULA...."

Hadibar Nalendra : "Kalau mau menyelamatkan Site/Situs/Makom Cagar budaya, bukan dipindahkeun sebab tak bisa dipindahkan, tetapi air jangan sampai ke tempat itu situs. Bukti nyata orang sunda menghargai kepada jasa leluhur kepada amanat buyut : "Lebak teu meunang di ruksak. Larangan teu meunang di rumpak. Buyut teu meunang di robah. Laer teu  meunang di potong pondok teu meunang di sambung".  Dan digenangi bukan oleh alam atau bencana alam, tetapi disengaja dibuat oleh manusia yang sekarang jadi penguasa. Tinggal sekarang memperhatikan alam mau bagaimana orang-orang yang merusak alam.  Apa mungkin alam sudah bosan melihat tingkah manusia. kata Ebiet G Ade

Pristi Mooney : "Seandainya kalo permulaan ada persetujuan dari para ahli waris katurunan tur seweu-siwi putu buyutna, situs Kabuyutan di Benteng saluas wilayah aturanya yang melingkup 3 makom tsb. Untuk menghindarkan tergenangnya, dan juga tidak ada dirobah malah ini diubah, tetap pada ditempatnya. Mungkin tidak akan begini kejadiannya. Oleh sebab masih banyak yang bersifat keegoan merasa benar sendiri, dan budaya musyawarah sudah dilupakan. Rakyat sudah tidak belanya dan hormatnya ke leluhurnya. Nah sekarang "WAYAHNA" : Wayahna da geus cunduk waktuna ninggang mangsa uga kudu ngabukti. Wayahna ku teu wasa da teu sabeungkeutan boh hate jeung pikiranna masing-masing boga egona jeung tujuanna. WaAllahu a'lam"

Béy Mauludin : ""Betul,  meskipun situs tersebut dihianati, tergenang oleh jatigede suatu waktu akan ada kembali pada semulanya. Dan ceritanya dulu sebelum sekarang, dulunya Jatigede bekas lautan/sagara waduk purba. Dimana  situs tetap disitu. marking gps adalah posisinya, diarsipkan. Barangkali nanti keturunan sumedang bisa memudahkan untuk mencarinya kalo sudah diarsip dan marking gps mengenai Situs tersebut.

SASAKALA PRABU SILIWANGI DINA KULIT MAUNG


Kaula Prabu Siliwangi nyakenkeun ka sadayana jamaah
Diya sakayan kaula nu Insya Allah ngabalai
Diya nyusuk nudihapurankeun kaagama Islam
Nyian anaka arang-arang nuka kaula di wastupun
Nyakeun hate diyaya sakala dikailkeun di kaitkeun
Dipahetkeun nyakeun lelembut diyaya sakala arang-arang marifat
Puran kayan kegeugeuh diyayakeun ka gusti Allah
Diya dihampurakeun ka agama Islamna
Haturan dajar nyakeun hapur kaula kasabab
Neuteup diyaya teu nyakeun diaya sakala bisa musrik
Sakitu nu kaula bisa dibantoskeun diya kecapna
Susuhun dihampura diya kecap parit ieu upami aya kalepatan
Kaula Prabu Siliwangi Pangeran Pamanah Rasa.

(Teks ini bukti tertulis dalam bahasa dan tulisan Sunda kuno jaman Pajajaran, yang di tulis di kulit harimau berasal dari Kitab Suawsit Sasakala Prabu Siliwangi).

Meureun kieu, amun dibasakeunana dina jaman kiwari janten unina kieu :
Kaula Prabu Siliwangi ngayakinkeun ka sakabeh jama’ah
Maneh sakabeh (ra’yat) kaula nu Insya Alloh netepkeun
Maneh asup ka agama Islam heug dihampura tur geus nyararita sumanggem ka kaula
Nya heug neangan kajayaan ulah kagok sing bener sing yakin
Eta intina ngararomong supaya jadi ma’rifat
Gusti Alloh nu ngawasa ieu alam, maka kajayaan sampurna
Tah lamun kitu asup ka agama Islam teh kafah
Tapi poma ulah ngayakeun na jero hate tur ngagung-ngagungkeun Siliwangi
Eta bisa musyrik
Sakitu kaula mere dina kecap kaula menta dihampura kaula bisi aya kecap kaula salah
Kaula Prabu Siliwangi Pamanah Rasa


Surahan tina Surahan harfiah Sasakala Prabu Siliwangi
Beberkeun !

Bejakeun ka balarea, sangkan nyaraho yen kula ngagem ajaran KaRosulan, poma ulah jadi papasean jeung adu renyom anu ngajadikeun nur dhohir nur batin pasolengkrah, da deukeut-deukeutna tina suudzon. Tanbih aranjeun kudu longkewang ceuk basa, ceuk rasa, kabeh kudu bisa nganteur sangkan bashiroh muncul dina sakabeh alur getih nu aya dina raga. Mangka aranjeun kabeh ulah rek gasab dina harti lamun teu neundeun entong  nyokot, hartina urang sakabeh kudu  mepende hate, engkening jaga bakal patemu bakal panggih pangbalikan, pan urang kabeh geus arapal urang balik ka Alloh.

Ari ngaji larapna sakabeh gegebeng aya dina waruga urang, kudu ikhlas jeung teu weleh syukuran , naon atuh anu dipake agul ku urang, urang mah teu daya teu upaya. Sanggeus ngaji karek ngaju, neuleuman sakabeh ciciptaan nu dhohir jeung nu teu dhohir sangkan panggih jeung Mari’fatna Alloh, eta sakabeh urang kudu muhit. Laju kana ngaja, ngajalankeun sakabeh parentahNa nu digelar ngalangkungan Sang Rosul, sakabeh ageman tina Al Qur’an.

Catetan :

Prabu Siliwangi ngabasakeun Al Qur’an ku istilah Cupu Manik. Agama Islam diistilahkeun ku anjeunna Ageman KaRosulan.

Dina hiji waktu kula ngimpi dibawa kana hiji riungan nu gunem catur ngeunaan ageman, di antara dina eta riungan aya Syeh Quro.

Puspa Sarining Rahayu nu ngenas jaman harita di mana jelema nu surti ka diri nyaah ka awak heman  kana renghapna napas sadami-sadami nyusud tepus ngahontal darajat kahirupan dina enggoning hirup di marcapada, nya eta neangan pangbalikan anu harita kacatet Hyang Aji Nalendra, nya eta anu geus nyiptakeun saged sadunya anu mere obor panonpoe nyatana eta ageman the ngawincik jero-jeroan ati meulah alur-alurna getih sangkan wanoh jeung sifat opat anu aya dina urang sakabeh , nya balikna urang sakabeh hayang balik ka nu nyiptakeun .

Sakabeh guntrengan dina eta impian ahirna kula wacis jeung ngarti gening luyu ageman anu diagem ku anak incu kula nyatana AGAMA ISLAM, mere warna ka nu di luhur (Puspa Sarining Rahayu) nya kula sumujud ti harita ngikrarkeun diri seja nyembah ka Yang Agung nu murbeng alam nyatana ALLOH nu ngagaduhan sifat Irodat 99 Asma anu Agung.

Bray caang tandes pisan batu hideung ngajegir, harita kula dibawa ngurilingan batu hideung, dibawa deui lulumpatan bari ngalung-ngalungkeun batu, diinuman ku cai nu ngagenyas. 



PERJALANAN SANG PRABU SILIHWANGI

Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit. Kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa sunda kuno di dalam selembar kulit Macan Putih yang ditemukan di desa pajajaran Rajagaluh Jawa Barat. Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti mandraguna, arif dan bijaksana memerintah Rakyatnya di kerajaan Pakuan Pajajaran. Putra Prabu Anggalarang atau Prabu Dewa Niskala Raja dari kerajaan Gajah dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh di Ciamis Jawa Barat.


Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan Singapura (sebelum bernama kota Cirebon). Setelah Raden pemanah Rasa Dewasa dan sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh ki Gedeng Sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk mengabdi kepada ayahandanya Prabu Angga Larang/Dewa Niskala.


Setelah itu Raden Pemanah Rasa menikahi Putri  ki Gedeng Sindangkasih. Yang bernama nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasanya. Wilayahnya terbentang luas dari Sungai Citarum di Karawang yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Sunda, sampai sungai Cipamali berbatasan dengan Majapahit.



Silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maharaja Adimulia
 

RAJA GALUH AJAR SUKARESI Menikahi Dewi Naganingrum/Nyai Ujung Sekarjingga berputra : PRABU CIUNG WANARA berputra : SRI RATU PURBA SARI  berputra : PRABU LINGGA HIANG berputra : PRABU LINGGA WESI berputra : PRABU SUSUK TUNGGAL berputra : PRABU BANYAK LARANG berputra : PRABU BANYAK WANGI berputra : PRABU MUNDING KAWATI/PRABU LINGGA BUANA berputra : PRABU WASTU KENCANA (PRABU NISKALA WASTU KANCANA) berputra : PRABU ANGGALARANG (PRABU DEWATA NISKALA) menikahi Dewi Siti Samboja/Dewi Rengganis berputra : SRI BADUGA MAHA RAJA PRABU SILIHWANGI/PRABU PEMANAH RASA (1459-1521M) .

Pada suatu Hari Prabu AnggaLarang geram karena banyak dari penduduknya di muara jati yang beragama Hindu pindah keagama baru yang dibawa oleh alim ulama dari Campa kamboja bernama Syekh Quro. Agama tersebut bernama Islam. Maka diutuslah beberapa orang kepercayaannya Untuk Mengusir Ulama itu dari tanah jawa.

Konon kabarnya, ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin, beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulam yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di Negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali RA dan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW.

Sebelum Beliau datang ke tanah jawa sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro pertama kali menyebarkan Agama islam di negeri Campa Kamboja, lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampailah ke Pelabuhan Muara Jati yang saat itu syahbandar digantikan oleh ki Gedeng Tapa karena Ki Gedeng Sindangkasih telah Wafat. 


Disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana Ayah dari Prabu Anggalarang dan oleh masyarakat sekitar. Mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam. Sampailah para utusan itu di depan pondokan syech Quro, utusan itu menyampaikan perintah dari Rajanya Agar penyebaran agama Islam di muara jati Harus segera dihentikan.

Perintah dari Raja Gajah tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro, namun kepada utusan prabu Anggalarang yang mendatangi Syekh Quro, beliau mengingatkan, meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya. Tapi kelak, dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Berangkatlah Syeh Quro bersama Nyi Subang Larang dengan menggunakan Perahu kembali ke negri Campa Kamboja.

Sebagai seorang putra Raja, beliau tidak betah tinggal diam di istana. Raden Pamanah Rasa kerap mengembara menyamar menjadi rakyat jelata dari daerah satu ke daerah lainya. Menolong yang lemah dan memberantas keangkaramurkaan. Gemar bertapa dan mencari kesaktian, di dalam salah satu pengembarannya. Ketika beliau hendak beristirahat di curug atau air terjun, curug itu bernama Curug Sawer yang terletak di daerah Majalengka, Raden pemanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih Pertempuran pun tak terelakkan. Raden Pamanah Rasa dan siluman Harimau putih yang diketahui memiliki kesaktian tinggi itu pun bertarung sengit hingga setengah hari. Namun kesaktian Prabu Pamanah Rasa berhasil memenangi pertarungan dan membuat siluman Harimau putih tunduk kepadanya. Harimau putih itu memberi sebuah pusaka yamg terbuat dari kulit Macan. Dengan pusaka itu beliau bisa bergerak cepat laksana burung, menghilang tak terlihat oleh mata (ajian halimun), berjalan secepat angin (ajian saepi angin) dan bisa mendatangkan bala tentara Jin.


Harimau itupun memutuskan untuk mengabdi kepada Raden Pamanah Rasa sebagai pendamping beliau. Dengan tunduknya Raja Siluman Harimau Putih, maka meluaslah wilayah kerajaan Galuh. Siluman Harimau Putih beserta pasukannya selanjutnya dengan setia mendampingi dan membantu Raden Pamanah Rasa. Salah satunya kala kerajaan Gajah menundukkan kerajaan-kerajaan yang memeranginya. Siluman Harimau Putih juga turut membantu Raden Pamanah rasa saat kerajaan Pajajaran diserang oleh pasukan Mongol pada Masa kekaisaran Kubilai khan. Karena jasa-jasa anaknya yang begitu besar dalam Kejayaan Kerajaan Gajah, maka diangkatlah Raden pemanah Rasa sebagai Raja kedua di kerajaan tersebut.

Prabu Pamanah Rasa pun selanjutnya mengubah nama kerajannya menjadi kerajaan Pajajaran. Yang berarti menjajarkan atau menggabungkan kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih. Seiring meluasnya wilayah kerajaan Gajah, Prabu Pamanah Rasa kemudian membuat senjata sakti yang pilih tanding. Beliau menyuruh Eyang Jaya Perkasa untuk membuat senjata pisau berbentuk harimau sebanyak tiga Buah, Dalam Tiga Warna, yaitu Kuning, Hitam, Putih.


Senjata pertama yang berwarna hitam, dibuat dari batu yang jatuh dari langit yang sering disebut meteor, yang dibakar dengan kesaktian Prabu Pamanah Rasa dalam membentuk besi yang diperuntukkan untuk membuat senjata tersebut. Senjata Kedua dibuat dari air, api yang dingin, yang warnanya kuning dibekukan menjadi besi kuning, Senjata ketiga dari besi biasa yang direndam dalam air hujan menjadi putih berkilau.


Senjata itu selesai dalam waktu tujuh hari semalam penuh Pengeran Pamanah Rasa memikirkan nama untuk senjata sakti tersebut, tepat ayam berkokok ditemukan nama untuk ketiga barang tersebut. Pisau pusaka itu di beri nama KUJANG, dikarenakan Pusaka itu ada tiga, maka kujang tersebut di beri nama KUJANG TIGA SERANGKAI, yang artinya BEDA-BEDA TAPI TETAP SAMA.


Senjata itu berbentuk melengkung dengan ukiran harimau digagangnya. Ukiran harimau di gagang Kujang konon sebagai pengingat terhadap pendamping setianya, Siluman Harimau Putih. Dan pusaka itu yang kini menjadi lambang dari propinsi Jawa Barat.


Beberapa Tahun kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang dan serta didalam rombongan adalah, Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.

Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum, yang waktu itu di kali tersebut ramai dipakai keluar masuk para pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang. Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut, Pura Dalem. Mereka masuk Karawang sekitar 1416 M, yang mungkin dimaksud Tangjung Pura, dimana kegiatan Pemerintaahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem. Karena rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, sehingga aparat setempat sangat menghormati dan, memberikan izin untuk mendirikan Mushola (1418 Masehi) sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro menyampaikan dakwah-dakwahnya di mushola yang dibangunya (sekarang Mesjid Agung Karawang), dari urainnya mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar Karawang.

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti, Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).


Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama Islam di muara jati, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup pesantren Syekh Quro dengan paksa. Utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di depan pesantren Raden pemanah Rasa tertambat hatinya oleh alunan suara merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, saat menlantunkan Ayat-ayat Al-Qur’an. Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa, menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya. Beliau pun menyampaikan keinginanya untuk mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya.


Pinangan tersebut diterima tapi, dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang dimaksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berdzikir.
Selain itu, Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja. Seterusnya menurut cerita, semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah. Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik.


Prabu Pamanah Rasa merasa kaget, ketika namanya diketahui oleh seorang kakek. Dan kakek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan "Dua Kalimah Syahadat". Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan, Dua Kalimah Syahadat, yang makna pengakuan pada Allah SWT, sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya. Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa atau Prabu Silihwangi masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, sejak saat itu Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama Islam yang sebenarnya.

Setelah itu Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran, untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M, pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin oleh Syekh Quro. Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu :


1. Raden Walangsungsang/Kian Santang (1423 Masehi)
2. Nyi Mas Rara Santang (1426 Masehi)
3. Raja Sangara (1428 Masehi)


Nama Silihwangipun dan dikenal sebagai raja yang mencintai rakyatnya. Dia meminta agar pajak hasil bumi tidak memberatkan rakyat. Dia juga mengatur pemerintahan dengan cukup baik sehingga Pajajaran disegani.

Kemudian Prabu Silihwangi menikahi putri Prabu Susuktunggal Raja dari Kerajaan Sunda, yang bernama Kentrink Manik Mayang Sunda. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. Pada tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Raden pemanah Rasa atau Jaya Dewata.


Demikian pula dengan Prabu Susuktunggal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.

Prabu Siliwangi memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sina menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.


Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Prabu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja prabu silihwangi yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran mencapai puncak perkembanganya. Gemah Ripah Loh Jinawi, daerah kekuasaanya sepertiga pulau Jawa yang terbentang luas dari Ujungkulon sampai ke dataran tinggi Dieng Jawa Tengah. Wilayah ini kala itu disebut tataran Sunda.


Singkat Cerita Setelah Prabu Silihwangi ditinggal nyi Subang Larang ke Rahmat Allah, istri yang paling dicintainya. Beliau sering melakukan perjalanan spiritual ke berbagai tempat. Sedangkan Raden Walangsungsang yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran berkeinginan untuk berguru agama Islam seperti ayahanda. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang lahir dikeraton Pajajaran bertepatan dengan Tahun 1423 Masehi. Pada masa mudanya ia memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik, kurang lebih 17 tahun lamanya ia hidup di Istana Pajajaran. Pada suatu malam, Walangsungsang pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama Islam kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati Cirebon.


Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha bernama Resi Danuwarsi. Kemudian Beliau pergi menuju Gunung Dihyang di Padepokan Resi Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Resi Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Kerajaan masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha. Tapi Mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih. Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putri satu-satunya yang bernama Endang Geulis. Dari nya lah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Sunan Gunung jati.


Begitupun Rara Santang adik Walangsungsang yang juga berkeinginan untuk mempelajari agama Islam, Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Lalu, Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri.
Patih Arga tidak diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tadjimalela (Sumedanglarang).

Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban Perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi.

Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi yang juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita, yang tengah mengajar Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang dinikahkan dengan Indang Geulis putri dari Resi Danuwarsi. Sesuai dengan petunjuk Resi Danuwarsi,
Walangsungsang beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup.

Di bukit Ciangkup tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang Naga, Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang yang bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang menenemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua. Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga beberapa jenis pusaka : kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.


Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja jin bangau yang segera mendekati rakyatnya.


Raja Jin Bangau berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kepada Walangsunsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pusaka.


Di dalam istana, Raja jin Bangau menyerahkan benda pusaka berupa : periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara.
Raja jin Bangau memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan Nabi Muhammad dari Jenal Ngabidin. Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan adiknya. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan sebutan Ki Cakrabumi.

Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan golok cabang. Dengan kesaktian golok cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya bekerja membabat hutan, pohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat pekerjaan sudah selesai, sementara Walangsungsang tidur mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat, pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya dan mereka menamakan Cakrabuana dengan sebutan Kuwu Sangkan. Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang terletak di Kanoman, ternyata gurunya Syekh Datuk Kahfi telah berada disana.  


Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di Mekkah kemudian mereka berkenalan dengan patih dari mesir yang sedang mencari permaisuri untuk rajanya, dari perkenalan itu akhirnya Raja Mesir menikah dengan nyi Rara Santang dengan maskawin sorban nabi Muhammad SAW, Rara Santang tinggal di Mesir bersama suaminya dan Kian Santang Pulang kembali ke pulau Jawa. 

Ketika Rarasantang sedang hamil tersiarlah kabar Bahwa Raja Mesir Wafat saat berkunjung ke negri Rum di kerajaan saudaranya. Kesedihan Rarasantang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan. Rara santang di karuniahi anak kembar yaitu Syarif Hidayatulloh dan Syarif Arifin. Ketika mereka berdua dewasa, tahta kerajaan mesir di turunkan ke pada syarif hidayatullah tapi beliau menolaknya dan memberikanya pada adik kembarnya syarif Arifin, Syarif Hidayatullah lebih memilih berdakwah ke Pulau Jawa di tanah Leluhurnya. 

Setelah sampai di muara Jati Beliau bertemu dengan Walangsungsang, uwaknya yang telah berganti Nama pangeran Cakrabuana, kemudian dinikahkanlah Syarif Hidayatullah dengan putri uwaknya yg bernama Nyi mas Pakung Wati.

Kemudian Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Waliyulloh dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana sebagai Raja di keraton Pakung Wati kemudian digantikan Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati lalu mendirikan Kesultanan Cirebon Sebagai Pusat Penyebaraan Agama islam di tatar Sunda, pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai oleh Syarif Hidayatullah dengan membentuk Dewan Dakwah Sembilan Wali atau Wali Songo sebagai tokoh Ulama penyebar Agama Islam di Jawa. Dan kemudian Syarif Hidayatullah diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Ciamis), Sunda Kelapa  dan Banten.

Di kisahkan, setelah kerajaan-kerajaan kecil bawahan Pakuan Pajajaran berhasil ditaklukan oleh kesultanan Demak dan Cirebon dan rakyat pajajaran hampir seluruhnya masuk Islam dan para pejabat tinggi pajajaran kebanyakan lari kedaerah banten yaitu daerah baduy kabupaten Rangkas dan ada yang ke Garut serta ke Cirebon. Rakyat dan pembesar kerajaan pajajaran yang tidak mau masuk Islam dan masih setia mengikuti ajaran terdahulunya yang masih bertahan di kerajaan Pajajaran. 


Keadaan itu membuat Prabu Siliwangi bersedih hati, ketenangan, kedamaian dan ketentraman batinnya. Prabu Siliwangi bingung karena sedah muslim sedangkan di kerajaan pajajaran masih beragama hindu/sunda. Prabu Siliwangi memikirkan bagaimana Gejolak dari rakyat-rakyatnya apabila mereka tahu bahwa dirinya sudah di Islamkan oleh Syekh Quro. Bagaimana caranya menghilangkan fitnah atau perkataan-perkataan dari rakyatnya.

Pada suatu hari berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi telah mengetahui akan kedatangan cucunya Sunan Gunung Jati bersama pasukannya yang bermaksud mendakwahkan Islam kepada rakyatnya untuk memeluk Islam. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun pajajaran dan membaca mantra aji, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Kemudian Prabu Siliwangi dibantu Harimau Putih menyirep/menidurkan orang-orang keraton pajajaran. Dan Negara Pajajaran di pindahkan ke Alam ghoib (alam Jin).


Kemudian prabu Silihwangi menghilang/berkelana keluar dari pajajaran, jadi bukan berdasarkan perang melawan anak dan cucunya melainkan hanya semata-mata tidak ingin banjir darah dengan anak dan cucunya apa lagi Prabu Siliwangi adalah ayah yang bijaksana dan Raja yang penuh wibawa pada rakyatnya.

WaAllahu a'lam
================
Tulisan berdasarkan
- Kitab Suwangsit
- Babad Tanah Karawang
- Naskah Martasinga
- Dan sedikit suntingan yang dipertimbangkan akal sehat. 

Rumpaka Silih Wangian: Silih Asah, Silih Asih Jeung Silih Asuh

Pajajaran kiwari, Galuh kiwari nyatana nu ajeg kana papagon nu geus natrat dituturusan tina pitutur sepuh yen nangtungkeun kawibawaan nu sajati lain ngan ukur dina reka catur tapi panceg na tatapakan nu jauh tina kacingcirihi, lugayna rundayan dibarengan hate wening jeung pikir nu lantip kalayan didadasaran ku kaiklasan. Tos kantenan dina tekad, ucap, lampah luyu  sareng Al Qur’an diwuwuh Hadits.

Ari hirupna manusa nya dihirupkeun ku anu ngahirupkeunana.
Ngudag hirup jeung hurip nya eta ngalalakonna urang di marcapada.
Nu digelarkeun kalawan takdir ti Nu Murbeng Alam.
Ayana urang karana aya nu ngersakeunana nu mibanda kasampuluran katresna ka nu diciptakeunana.
Sampurnaning hirup manusa didadasaran ku kayakinan jeung yakinna anu bener dina yakinna.
Kalimah Syahadat unina, anu jadi saksi pikeun yakinna manusa ka nu nyiptakeunana sakabehna tur ka Rosul-Na.
Muru hambalan tingkatan makom nu disorang kalawan daria jeung kayakinan anu yakin ayana.


Tangtu haremeng arinyana, nyukcruk galur sepuh, neangan baraya
Baraya nu pasiuh disapih ku jaman, jaman silem diganti ku jaman nyata
Nyata nu nyaluprih ngaler ngidul ngulon ngetan disaba ka saban madhab
Katimu tina dongeng , tina pantun, tina watu, siga nu keuna kana uga
Uga kula nyanding di mana saestuna ? loba nu beunta tapi lolong
Naha lolong? Teu rek kitu kumaha arandika miangna tanpa lulugu
Lulugu batin dikamanakeun? Kalah seah kalah eprak ahirna rumahuh
Sasakala teu narembongan da rujit ku nu nyaluprih teu keuna kana tutumpakan
Sapta pangandika ngaberung dibarung murukusunu
Loba pantangan nu dirumpak, pamali teu diaji, ngoah tandana adigung adiguna
Prak geura pake na nyarungsum sepuh , neangan baraya
Dipayungan hate wening, ngisat diri nirakatan nagari
Ulah lunca ti temah wadi ari hayang ngajadi katurunan wawangian
Nya Siliwangi tea.  

 
Tangtu moal patimu, ngaguar sajarah Sunda ngagunakeun tina jihat spiritual jeung kaelmuan, hese nyurupkeunana, ari marga lantaran titik panginditanana beda, saestuna diperlukeun nu lantip kalawan taliti malah mandar nu kakoreh, sanajan saeutik narembonganana sing nyiki ngaruntuy nu sanyatana, teu didingdingkelir ambeh rundayan surti salangsurupna naon nu geus ditaratas ku karuhun, dina harti bisa dipake cecekelan pikeun menyatkeun ieu nagari anu teu patojaiah reujeung aturan Alloh anu geus diwawadian dina panuntun hirup manusa nyatana Al Qur’an reujeung Haditsna.

Nyuprih seja nyukcruk galur nu kapungkur mapay raratan carita nu baheula, lamun na lumaku teu make hate nu wening, meunang nu aya pasalia, ka dieunakeun beuki mumbul ngajauhan lir nu dpisirik ku somah jauh ti baraya, nu diagul-agul karadenan ngajadikeun karadian kasered ku hate nu pinuh ku werejit, geura rarujit, rujit da arandika hayangna dieuleuhgoeng, jauh nyumponan kabarayaan, da cenah eta arandika ngarasa menak legok, legok na harti museur na uleukan. Cenahna urang teh ngocor na kokocoran kamenakan, padahal nu saestuna mun bener aya na alur rundayan, diyana teu weleh depe-depe, handap asor ka sasama, da era ku nu nyiptakeun, jauh tina adigung-adiguna, nu pasti arinyana nyusud tur nyaliksik pikeun neangan rundayan, mawa hate nu salawasna rehan kula teu daya teu upaya, geura talingakeun tur guar na geus luyu jeung terahna.

Jeung sabenerna dina patula-patali nyuprih diri, ngaji hirup jeung huripna tina tengah panca buana, rumanggeum kana sumebarna cahaya nu nyaangan ieu alam marcapada. Ari hirup diwates ku tilu mangsa, mangsa bareto, mangsa ayeuna, jeung mangsa nu bakal datang.

Urang Pasundaan hayu urang udag kahirupan bari mawa pedang kaikhlasan, nyiku kana ngaco, ngaca, jeung ngaci. Bral geura tarandang menerkeun bebeneran, di mana geus ngalenyepan tina basa ngaci sangkan hirup ngaji kana diri, eta pisan nu dipikahayang rundayan kabeh. Sapasundan nangtung mawa bebeneran hirup na saujratna, ngalem lamun memang alemeun, menerkeun lamun aya benerkeuneunana, tong diembohan ngalem hayang dibales ku pamerena, menerkeun ngece kana pagaweanana, pan ajen pinajen urang Sunda teh "SILIHWANGIAN: SILIH ASAH, SILIH ASIH JEUNG SILIH ASUH".

Upama nitenan,  riweuh jeung pusing, ulah gedag kaanginan anggur geura dituyun hate aranjeun kabeh, tur kudu tumarima, hakekatna ka Alloh, kana tali ari-ari bali geusan ngajadi. Lempengkeun paniatan kalayan urang meredih ka Alloh Nu Murbeng Alam, depe-depe ngadagoan nur alannnuri sawer rahayu. sangkan panggih jeung bujal kawawangian, dangiang  muncul ti tatar jeung tutur kidung karahayuan.

Mangka geuwat arucapkeun jangji na diri sewang-sewangan pikeun nangtung golah cai, ngolah nagari, inditna tina jero hate, ulah moro hayang tapi kudu muru kakuduan, tah eta pisan dasarna Ki Sunda.

Loba catur nu geus kasuprih patulayah na wujud wanda tulisan, tinggal ku disiar, dilenyepan sarta aranjeun geura bral dipigawean hamo ulah kaleked komo bari jeung ngahuleng jentul, ngalengkahkeun suku katuhu pikeun neruskeun lalampahan sangkan ngahontal gemah ripah loh jinawi ieu nagari. Kade kudu apal jeung wawates budaya nu aya na jero hate, ulah nyangkalak ngagero-gero, siga enya nu nyuprih, padahal kabalinger tur katalimbeng lir jelema teu apal ka pamulangan.    
            
Na reureuh wanci pecat sawed, na lugay karek satengahing perjalanan nu disusud, tah di dinya aranjeun kabeh, geuwat nangtung bari arajeg, ajeg na renghap pinuh ku kaagungan nu mere hirup.     
               
Neuleuman pitutur sepuh boh tina lisan boh tina tulisan, singhoreng karuhun urang Sunda teh  gening sakitu jembar tur luhung, enggoning ngokolakeun nagari jeung rahayatna. Namung atuh  ka marana rundayanana? Bet kiwari Sunda teh leungiteun dangiang, ilang wibawa komara keur makihikeun ieu nagari, malih aya nu nyebatkeun ngan saukur idealis, upami aya di antara urang nu gaduh emutan “ Iraha urang Sunda janten presiden?”.  Punteen…sanes bade ngagugulukeun kaseleran, da tos kantenan kiwari mah Indonesia teh NKRI tea. Nu dicatur dina kereteg, Sunda teh hoyong majeng…majeng ku dua ku tilu, bawiraos  henteu awon-awon teuing ieu kahoyong teh …manawi eta ge.

Ajen sabilulungan sareng gotong royong kiwari mah digentos ku individualis, nu diugung-ugung mung kaperyogianana kanggo ajangna, ieu kasauran para pakar. Saleresna urang Sunda seueur nu ngalartos,  palinter, tur rancage. Tangtos dina widang garapann sewang-sewangan luyu sareng kamampuh nu nyampak. Namung teu ku hanteu karaosna teh  meni liat bade menyat teh, nu aya pagirang-girang tampian, eh…malih tampianana oge ayeuna mah parantos gaduh sewang-sewangan ketang…heheheee. Asa nalangsa puguh ge…budaya Sunda katoler-toler, urang Sunda ngaraos gengsi nyarios ku Basa Sunda, majarkeun teh kuno, kampungan, henteu intelek, jrrd. Di sagedengeun eta, Karawitan Sunda  oge henteu di unggal sakola lebet kana kurikulum anu cenah KTSP tea, padahal ieu lembaga mangrupi hiji-hijina kanggo rumawat  budaya Sunda nu sipatna resmi.  

Rumawat jeung ngamumule budaya Sunda kaasup ngeunaan  basa Sunda teu kudu nu ngawang-ngawang.

Biasana urang sok nganggap enteng kana hiji hal nu sigana teu sapira, conto upama di kulawarga urang Sunda, sekeseler Sunda, cicing di Sunda, di lembur deuih. Naha atuh basa nu digunakeun dina nyarita sapopoe lain basa Sunda ? Ari nu jadi alesanana teh  ambeh teu ngawagu cenah make basa Indonesia, lain hartina di dieu rek nyapirakeun basa Indonesia paralun teuing …, da eta ge sami peryogi dina frame NASIONALISME.

Dina palebah dieu eta alesan teh teu nyurup lantaran ari lambe manusa mah ELASTIS, hartina bisa ngawasa sababaraha basa , matak dina kahirupan kumbuh manusa di masarakat teu saeutik jalma nu bisa nyarita dina sababaraha basa, enya nu disebut MULTIBAHASAWAN tea.

Ceuk nurutkeun panalungtikan para ahli, malah nu ngagunakeun basa Indung dina nyarita sapopoena, prestasi diajar basa Indonesiana  leuwih onjoy ti batan anu ngagunakeun basa Indonesia sapopoena di kulawargana. Ngandung harti basa Indung, nya pikeun urang Sunda mah basa Sunda tea, teu sing jadi bangbaluh pikeun kamekaran basa Indonesia, malah loba kauntungan pikeun ngajembaran kosa kata dina basa Indonesia, lantaran saeutik gedena dina hal  ieu , basa-basa daerah  nu nyampak di nagara Indonesia mere pangaruh kana tingkat kamekaran basa Indonesia. Sarta ari hirupna hiji basa teh ceuk nurutkeun hasil panalungtikan deui,  nya eta ayana PROSES INTERFERENSI di antara basa-basa anu silih mangaruhan, da teu aya hiji basa anu bener-bener fiur sorangan. Hal ieu didasarkeun kana sifatning manusa anu dina kahirupanana henteu leupas tina intervensi manusa lianna ngaliwatan KOMUNIKASI.

Dina kabengharan kecap-kecap basa Sunda oge, loba kecap-kecap lamun ditalungtik dumasar ETIMOLOGINA, singhoreng seueur anu tina basa deungeun oge basa dulur.
Hal nu kasebut di luhur tangtu balukar tina ayana proses interferensi tea, ngajadikeun hiji basa DINAMIS milu jeung robahna PANEKA JAMAN.

Punten ngaglobal basa Sunda oge bisa digunakeun pikeun nalungtik KAILMIAHAN, tangtu pikeun urang SUNDA jeung di SUNDA, oge pikeun ngawalakayakeun budaya Sunda dina frame “KEARIFAN LOKAL” nu jadi tatapakan pikeun ngajegkeun IDENTITAS SUNDA boh di tingkat nasional boh di tingkat Internasional. Hartina urang Sunda GO NASIONAL GO INTERNATIONAL.

Horeng panyawang teh bet nyalahan, nyalahan ku dua ku tilu, naha bet kapirengpeunan, nu aya bati hanjelu lain meumeueusan, kuciwa lain caritakeuneun. Ah munasabah atuh ari hirup jalma mah lir ibarat gilinding roda, sakapeung di luhur sakapeung di handap, anu puguh mah kudu waleh ulah dapon, di dinya meureun aya pangajen pikeun nangtungkeun sikep. Sikep nu mawa katengtreman, boh keur sadirieun boh keur nu lian.

Nyaan ari elmu mah datangna geus tangtu ngaliwatan jeung papada kaula deui, jeung ari elmu mah moal enya beurat mamawa. Elmu nu dicangking geus tangtu bakal ngajembaran pangaweruh, tina elmu nu dicangking tangtu bakal ngawujudkeun kaparigelan jeung karancagean nu luyu jeung kamampuhna sewang-sewangan.


BALUWENG

Asa lieur ngabandungan retorika/catur para gegeden, nu dipadungdengkeun ngan saukur egona sewang-sewangan. Ra’yat leutik nu katalangsara jeung katideresa alatan ku meuweuhna musibah nu tumiba, tapi teu dipalire, antukna aral nu pagaliwota.

Kudu ka mana atuh ari geus kieu? minangsaraya kasusah jeung kabingung? Aya bantuan nu  dipiharep bakal menyatkeun, ngocorna seuseut seuat. Da puguh katalikung ku ugeran nu cenah kudu tartib administrasi, ah..

Manusa-manusa horeng nu dipikiran jeung dibajoangkeun teh ngan sawates keur mipindingan kahengjer diri. Bancang pakewuh durder di mana-mana: caah, banjir, longsor. gempa, parasea jeung sasama, wates gaul antara awewe jeung lalaki geus teu didingdingkelir, geus puguh korupsi mah mahabu ti nu gede ka nu leutik ge teu tinggaleun, naha geus paroho? Padahal da’wah di unggal madhab tapi teu didarenge atawa memang teu kadenge?

Rosulullah ngadawuh nu eces natrat dina Al-Qur’an “Dina mangsa ahir jaman bakal loba karuksakan nu dilantarankeun kasarakahan manusa”.


SASIEUREUN SABEUNYEUREUN


Salah sahiji conto rengkak paripolah hirup kumbuh dina kahirupan sapopoe nu nyampak di sakuriling bungking kedah aplikatif tina hal naon anu diparentahkeun anu geus natrat dnai Al-QUR’AN tur HADITSNA, nya eta anu rambat kamalena jeung HABLUMINNAAS.

“NGADORESAKEUN” , rada kagugu ku ieu istilah teh ! Naon atuh patalina jeung ungkara anu di luhur?

Ngadoresakeun, upama ditarik tina konteks ungkara nu sok remen kapireng atawa kabandungan, ieu kecap teh ngandung harti mere karipuh, mere karudet, mere kabalangsak alatan ku hiji pagawean anu teu dijieun ku sorangan. Hartina aya anu nyababkeun ku sababiah tina hiji pagawean anu holna ti nu lian, nu antukna  tina hiji pagawean eta nimbulkeun atawa ngawujudkeun hiji paripolah sejen nu kaasup henteu hade nya eta KUTUK GENDENG, SUUDZON, HUMANDEUAR, NGAGEREMET, jeung sajabana, eta hal kaasup kana  panyakit hate lamun ditarimana tuna kasadrahan.

Sabage illustrasi nu nyampak  dina kahirupan sapopoe, nya eta ngeunaan “MIARA HAYAM”. Miara hayam kaasup salah sahiji conto karancagean atawa kaparigelan, anu lamun bener-bener dina ngokolakeunana bakal mawa kauntungan atawa benefit ceuk basa gaulna mah nya boh keur dirina nya boh keur nu lian.

Miara hayam sangkan teu ngadoresakeun ka batur nu jadi tatangga, tangtu kudu luyu jeung ajen-ajen kahirupan dina ngawangun hirup kumbuh tea. Upama urang dina miara atawa ngukut hayam diabur, tinangtu bakal ngabalukarkeun bangbaluh pikeun nu lian. Hayam bakal marodol di teras batur, lamun kabeneran teras imah tatangga teh teu make benteng paluhur-luhur kawas di pakotaan. Ilaharna pan di pakampungan mah ajen sifat kagotongroyonganana masih diparake, jadi loba keneh terasna anu nalembrak. Lian ti eta lamun ngingu hayam diabur geus pasti bakal ngaranjah pepelakan batur di buruan imahna, atuh bisa jadi gehger tah.

Jadi lamun dilenyepan tur diteuleuman, horeng ari ngaji teh lain ngan saukur nu kawates dina fadhilah atawa anu neoritis ngapung ngawang-ngawang, tapi jero-jerona Al-Qur’an reujeung Hadits teh pikeun nungtun manusa dina enggoning kahirupanana anu salawasna ngawangun katengtreman batin boh keur dirina boh keur nu lian.

Dina nyuprih teu karana aya nu diseja nu saukur panghias dunya
Nyamunikeun nu patojaiah komo bari didadasaran kacingcirihi diri
Mesek wewesen ngalap kaberekahan ayana dina sumerah diri nu teu daya teu upaya
Ngudag kasajatian sajatining nyukang lakuning jejem jauh tina kariaan nu dieuleuhkeun
Nyiloka dina ngajen jeung papada kaula bari mamandapan ka Yang Agung
Teu perlu nembongkeun kapunjulan nyieuhkeun kapinteran nu kodek
Lantip rintih bari nitenan yen nu dilakonan asup kana salangsurup pangrasa sakabehna
Pon kitu deui nu dipalar enggoning umajak teu dibarengan ngajadmen nu lain sakuduna.


Mipir-mipir kaheman neang asih nu kapegung dina jaman tarate digenggong, sulaya tina tuturus nu geus diembarkeun, yen isuk baring supagi bakal katohyan saha nu nyiliwuri dina ngareka-perdaya. Reka perdaya nu patojaiah reujeung kaagungan Illahiah nu sampurna.

Pek arandika nyungsi nu bener jeung benerna da Alloh mah moal pahili dina ngajen mahluk ciptaanana, naha arandika teu nyaho aya pangbalikan nu moal bisa dinaha-naha?
Ulah ngadurenyomkeun ieu aing...ieu aing.

Di payuneun Gusti Nu Maha Suci nu geus digelarkeun dina  Al QuranNa, teu aya hiji mahluk nu alus iwal ti anu boga kayakinan nu yakin jeung yakinna ka Nu Maha Tunggal nu geus nyiptakeun alam sakabehna.

Geura tuh tenjo tingarigelna manusa dina kamonesan dunya anu teu lana, ulah hayang diugung-ugung nu ngan saukur kumagungan. Nu agung mah anging Nu Maha Agung nu linuhung dina nyampurnakeun hirupna manusa.

Ulah rek kabobodo tenjo geura eusian hate ku wening galih nu bakal muka hijab arandika sakabehna sangkan nyaho kana diri nu sajati, sajati dina nyubadanan raga jeung jiwana nu moal pareum dina nyuprih jatining diri ka Alloh nu Maha Wisesa.

Sumedanglarang Merdeka Sabada Karajaan Sunda Runtag

Kecap Sumedang nurutkeun legenda nu hirup di kalangan rayat Sumedang asalna tina runtuyan kecap “Ingsun medal ingsun madangan”. Ingsun hartina kuring, medal hartina lahir; mandangan hartina nyaangan, mere panerangan. Harti sagemblengna “Kuring lahir pikeun mere panerangan”. Eta kalimah dikedalkeun ku Prabu Taji Malela, dumasar kana pangalaman aheng Sang Prabu. Caturkeun dina waktu masrahkeun tahta karajaan ka salah sawios putrana anu sohor jenenganna Prabu Gajah Agung nu unggul saembara, aya kajadian nu kacida ahengna. Prabu Taji Malela . ningali kaahengan alam sabudeureun Tembong Agung, langit ngadadak hibar kacaangan ku cahaya anu melengkung lir karembong (malela), tilu poe tilu peuting teu robah jeung henteu pareum-pareum, tetep ngagebur. Ari Sumedanglarang, nu dipake ngaran karajaan, bisa age dihartikeun “Tanah upluk-aplak lega taya babandinganana”. Su hartina alus, medang hartina lega, larang, langka babandinganana.

Nurutkeun historiografi tradisional, Karajaan Sumedanglarang nu perenahna di Leuwihideung Darmaraja teh diadegkeun ku Batara Tuntang Buana, putra Guru Aji Putih Raja Tembong Agung. Batara Tuntang Buana, anu ngadegkeun karajaan Sumedanglarang saterusna ngagentos jenenganana jadi Prabu Taji Malela. Sabada mundur tina kalungguhan Raja, jenenganana jadi leuwih mashur Resi Cakra Buana.

Ngadegkeun karajaan oge henteu jangji deg, Sang Prabu tapakur tatapa heula nyepi diri nyirnakeun emutan. Tarapti tur tartib pisan. Samemehna, Batara Tuntang Buana ngalalana milari tempat kanggo panumpen, tempat nu sepi, jauh tina karamean duniawi, di dieu Sang Batara kersana langkung neuleuman elmuning Kasumedangan anu diwangun ku 33 pasal. Di satengahing lalampahan milari kanggo panumpen, Batara Tuntang Buana ngalangkung ka gunung Merak, Gununq Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga, jeung tempat-tempat sejenna. Ahirna Sang Batara mendak tempat anu tumaninah, garenah, sepi simpe tebih tina karamean duniawi, ditelahna Gunung Mandala-Sakti. Nya di dieu neuleuman elmu Kasumedanganana teh, ku gentur-gentuma anu ngelmu, tepi ka Gunung Mandala Sakti teh jadi beulah. Awahing ku luhungna elmu ageman Sang Batara, gunung anu beulah teh heug ku anjeunna dibengker (disimpay) ku elmuna. Tug tepi ka ayeuna eta gunung katelahna Gunung Simpay. Sabada tamat neuleuman elmu, Batara Tuntang Buana lungsur ti Gunung Mandala Sakti, nya ahirna ngadegkeun Karajaan Sumedang-larang. Sabada jeneng Raja mashur jujulukna Prabu Taji Malela. Wilayah kakawasaanana ngalimpudan wilayah Jawa Barat ayeuna dikurangan ku Banten, Cirebon jeung Jakarta.

Ari anu disebut Elmu kasumedangan, eta teh nurutkeun salah sahiji sumber, engkena jadi palsapah hirup urang Sumedang. Tapi sumber sejen nyebutkeun, henteu aya saurang age anu mammpuh ngulik Kasumedangan sabab memang sulit pikeun diteuleumanana.


Karajaan Sumedanglarang
Dumasar kana sumber sajarah anu kaasup historiografi tradisional, Karajaan Sumedanglarang sabada diadegkeun ku Prabu Taji Malela taun 900-an, aya age anu nyebut abad ka 15, terus mekar tur nanjung. Prabu Taji Malela digentos ku putrana anu unggul saembara tea, Sang Prabu Gajah Agung. Harita puseur dayeuh karajaan di Ciguling. Gajah Agung digentos ku putrana nu jenengan Sunan Pagulingan anu digentos ku putrana kaleresan istri, jenenganna Ratu Rajamantii anu nikah sareng Prabu Siliwangi, Raja Sunda Pajajaran. Tayohna mah ieu teh perkawinan pulitis sabab saterusna Sumedanglarang jadi bawahan Pajajaran. Ratu Rajamantri digentos ku saderekna nu jenengan Sunan Guling. Raja-raja saterusna nu ngasta kaprabon Sumedanglarang sacara turun tumurun, ti Sunan Guling ka Sunan Tuakan, terus disambung ku Nyimas Ratu Patuakan, Nyimas Ratu Dewi, Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum). Sang Ratu Puck Umum ditikah ku Pangeran Santri putra Pangeran Pamekaran. Mangsa harita puseur dayeuh karajaan dialihkeun ka Kutamaya. Sumedanglarang harita ngalimpudan sababaraha “nagari” kayaning Sumedang (inti karajaan), Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung jeung Parakanmuncang.

Dumasar kana metoda sajarah, bukti-bukti historis ngeunaan ayana raja-raja anu ditataan tadi, pangpangna dina mangsa awal ngadegna karajaan Sumedanglarang, lemah pisan, ngingetkeun teu ayana sumber sejen anu sajaman nu bisa dipake keur pembanding.

Tapi wondening kitu, sahenteuna makam-makam para raja eta teh nurutkeun katerangan rundayanana anu jarumeneng keneh, makamna bisa kapendak di sababaraha tempat. Upamana bae, makam Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, makam Prabu Gajah Agung di Ciganting Darmaraja, Sunan Pagulingan sareng Sunan Guling mah di Ciguling, makam Sunan Tuakan di Heubeul Isuk Desa Pasanggrahan. Makam-makam ieu bisa dipake bukti, awal gelama para raja. Keur bukti tambahan, sajumlah pakarang pusaka, nu dipercaya milik para raja tadi, masih di-simpen dimumule di Musieum Prabu Geusan Ulun Sumedang, di antarana Pedang “Ki Mastak’” gagaman Prabu Taji Malela, Keris “Ki Dukun” gagaman Prabu Gajah Agung jeung nu sejen-sejenna deui.

Waktu karajaan Sunda runtag taun 1579, Sumedanglarang jadi karajaan merdeka. Jaman kaprabuan dipungkas ku generasi ka 9 Prabu Geusan Ulun. Geusan Ulun teh putra Pangeran Santri ti Ratu Pucuk Umum. Nurutkeun salah sahiji sumber, Pangeran Santri masih rundayan Sunan Gunung Jati ti Cirebon. Ari silsilahna kieu; Sunan Gunung Jati kagungan putra jenengan Pangeran Panjunan anu kagungan putra jenengan Pamelekaran atawa Maulana Magribi nu nikah ka putri Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiang, ti dieu (ahir Pangeran Santri. Jadi, ti pihak rama, Pangeran Santri katetesan getih Sunan Gunung Jati, ari ti pihak ibu tetesan getih

Sumedang. Tapi sumber sejen, Carita Purwaka Caruban Nagari historiografi tradisional Cirebon anu ditulis taun 1720 nyebutkeun, Pangeran Panjunan teh putra sobatna Sunan Gunung Jati nu sohor jenenganna Syaiif Abdurachman, jadi sanes Syarif Hidayatullah. Atawa Sunan Gunung Jati. Ari Prabu Linggawastu raja Pajajaran anu nyakrawati ngabahudenda di Galuh.


Ngadegna Kasultanan Banten
Katerangan sejen anu medar hal ihwal Pangeran Santri, di antarana nye-butkeun, Aria Deamar putra Prabu Brawijaya Raja Majapait pamungkas, anu dijungjung lungguh di Palembang nikah sareng putri Campa (Gina), tapi waktu ditikah ku Aria Damar sang putri teh keur bobot. Orok anu dibabarkeun ku putri Campa mashur jenenganna Raden Patah anu engkena ngadegkeun Karajaan Demak. Ti putri Gina Aria Damar kagungan putra nu jenenganna Raden Kusen anu engkena ngabaktikeun dirina ka Majapait turta ngagem agama Hindu. Raden Kusen dijungjung lungguh jadi adipati di Terung (Surabaya), gelarna Pangeran Pamelekaran.

Sajeroning kitu, Raden Patah raja Islam munggaran di Pulo Jawa sasarengan jeung Pangeran Pamelekaran tea nalukeun Majapait. Sabada peperangan lekasan, Pangeran Pamelekaran angkat ka Cirebon guguru ka Sunan Gunung Jati anu saterusna nikah ka putri Sunan Gunung Jati nu jenengan Nyai putri Mertasari. Pangeran Pamelekaran jeung Putri Mertasari kagungan putra anu dipaparin jenengan Pangeran Santri. Rupa-rupa versi nembrakeun pamanggihna masing-masing ngeunaan Pangeran Santri. Nu poenting nu jenengan Pangeran Santri bener-bener kungsi aya. Jadi jelas, Pangeran Santri teh memang Pangeran, tapi teu dijentrekeun naha disebat Santri. Naha Sang Pangeran teh memang santri nu nyantri (soleh) atawa memang santri teh jenengan Sang Pangeran. Kusabab Pangeran Santri nikah sareng Ratu Pucuk Umum, jadi dianggap Bupati munggaran di Sumedang. Bukti historisna, makam Pangeran Santri ayana di Pasarean Gede Gunung Ciung, Sumedang.

Taun 1526 Sunan Gunung Jati nalukeun Banten Girang anu jaman harita mangrupa kata palabuan Karajaan Sunda anu kacida ramena tur penting. Teu kungsi lila Sundakalapa age palabuan Karajaan Saunda di Jayakarta direbut. Sunan Gunung Jati ngadegkeun karajaan di Banten, waktu Sunan Gunung Jati ngalih ka Cirebon, Karajaan Banten dipasrahkeun ka purana nu mashur Pangteran hasanudin anu saterusna ngalakukeun konsolidasi kakawasaan sakaligus ngamantepkeun agama Islam di patilasan Karajaan Sunda ieu. Taun 1579 putra Maulana Hasanudin nu mashur Maulana Yusuf ngagentos ramana jadi pangawasa Karajaan Banten, ngarebut Karajaan Sunda di Pakuan Pajajaran. Ku jalan kitu, Karajaan Sunda runtag, sajeroning kitu Sumeanglarang merdeka.


Sabada Karajaan Sunda runtag, Prabu Geusan Ulun nalendra Sumedanglarang, nyoba-nyoba ngagentos kalungguhan Raja Sunda ku jalan ngabewarakeun, wilayah Karajaan Sunda di antara walungan Cisadane jeung Cipamali iwal tri Banten, Jayakarta jeung Cirebon jadi wilayah Sumedanglarang. Eta teh dumasar kana kajadian sajarah dipasrahkeunana Makuta Binokasih ku opat kandaga lante ti Karajaan Pajajaran, Embah Jayaperkosa (Sayanghawu), Terong Peot, Kondang Hapa jeung Nagganan, anu kaamanatan ku Prabu Seda raja Pajajaran pamungkas. Dialihkeunana pusaka hiji karajaan, nurutkeun sistim pamarentahan tradisional, bisa dihartikeun upaya legitimasi pangalihan kakawasaan. Jadi, Geusan Ulun geus nyoba ngalegitimasikeun kakawasaanana ka wilayah Karajaan Pajajaran ku jalan mastikeun jeung ngayakinkeun, pusaka Pajajaran geus dipasrahkeun ka Raja Sumedanglarang. Makuta Binokasih tepi ka ayeuna disimpen di musieum Geusan Ulun Sumedang, (duplikatna sok ditarambut ku para menak Sumedang keur anggoeun panganten, malah waktu Tutut Siti Hardiyanti putra Pa Harto nikah ka Indra Rukmana age makuta Binokasih dianggo ku sang panganten).

Sajeroning kitu, nagari-nagari anu perenahna jauh ti pusat Karajaan Pajajaran, sabada nyarahoeun Banten geus nalukeun Raja Sunda, tingporosot ngaleupaskeun diri. Sumedangarang anu hayang ngaganti posisi Karajaan Sunda kapaksa kudu ngalakukeun konsolidasi deui. Tapi teu mampuh sabab tibabaradug kana rupa-rupa masalah. Kahiji ayana kakawasaan karajaan sejen nu ngepung ti saban madhab. Ti kulon Banten, ti kaler Cirebon, ti wetan Mataram. Banten anu nalukeun Pajajaran moal sukaeun Geusan Ulun ngaganti posisi urut daerah patalukanana.

Lian ti kitu, tindakan Prabu Geusan Ulun ku anjeun dina kalungguhan Nalendra geus ngalemahkeun kakawasa-anana. Caturkeun Geusan Ulun ngadeuheus ka Cirebon guguru ka Panembahan Girilaya ngulik bagbagan kaagamaan malah teu kapameng, Naklwenbdra Sumedanglarang teh leuwih neuleuman Islam di Demak. Ku jalan kitu Cirebon ngarasa diaku Superioritasna sanajan ukur dina widang agama. Ku kituna Cirebon ngaku Geusan Ulun jadi pangawasa Sumedanglarang. Tapi silaturahmi anu hade ngadadak ancur lebur lantaran Geusan Ulun geus milampah kalakuan nirca. Samulihna guguru di Demak, Geusan Ulun Sindang di Cirebon, kulem di Karaton Pakungwati. Di dieu sang Nalendra tepang teuteup sareng Ratu Harisbaya garwa Panembahan Ratu anu yuswana geus sepuh. 

Tina tepang teuteup bet jadi kapentang mamaras manahna ku panah asmara anu geulis Harisbaya, cinta lila bersemi deui, geus henteu bisa disieuhkeun deui, anggur tambah lengket masket. Geusan Ulun nekad nyandak kabur Harisbaya ka Sumedang. Kantenan Sulran Cirebon bendu. Balukarna kajadian perang campuh Sumedang-Cirebon. Geusan Ulun ngalihkeun puseur karajaan ti Kutamaya ka Dayeuh luhur hiji pasir nu anggang ti Kutamaya. Panembahan Ratu mundut bongbolongan ka Sultan Mataram anu parantos ngahadiahkeun Harisbaya terah Pajang-Madura ka anjeunna. Harisbaya ahima dipirak, Geusan Ulun kudu nebus talakna ku jalan masrahkeun sabagean wilayah Majalengka ka Sultan Cirebon. (Dicutat tina Mangle No. 2158)


Sumedang Larang di Jaman Prabu Geusan Ulun
PANGERAN Angkawijaya alias Geusan Ulun, dijungjunglungguh jadi raja Sumedang, 13 bulan sabada wafatna Pangeran Santri. Kaharti sabab harita Geusan Ulun umurna Karek 22 taun, sedengkeun nurutkeun tradisi heubeul, nu diangap dewasa teh umur 23 taun. Ari sababna nu utama, nurutkeun Pusaka Kertabhumi I/2, nya eta: Ghesan Ulun nyankrawartti mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedanglarang haneng Kutamaya ri Sumedangmanala. (Geusan Ulun marentah wilayah Pajajaran nu geus runtag, nya eta sirna ti bumi Parahyangan. Karaton ieu raja Sumedang teh ayana di Kutamaya di wewengkon Sumedang).

Saterusna disebutkeun ”Rakryan samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa sejen di Parahyangan/raja daerah, ngarojong Pangeran Geusan Ulun). Kecap samanta = bawahan. Istilah anyakrawarti biasana ngan dipake ka pamarentahan, raja merdeka tur lega kakawasaanana. Daerah kakawasaan Geusan Ulun, watesna Cipamali di wetan, jeung Cisadane di kulon. Sedengkeun di kaler jeung kidul watesna laut. Sabenerna legana daerah kakawasaan Geusan Ulun teh katembong tina surat nu kungsi dikirim ku Rangga Gempol III ka Gubernur Jendral Willem van Outhoorn tanggal 4 Desember 1690. Dina eta surat Rangga Gempol menta sangkan daerah kakawasaanana dibikeun deui, sakumaha legana kakawasaan buyutna nya eta Geusan Ulun. Ceuk Rangga Gempol III, dina mangsa kakawasaan Geusan Ulun teh ngawengku 44 raja daerah 26 kandaga lante jeung 18 umbu (tapi ceuk babad mah, ngan 4 kandaga lante). Rangga Gempol III ngan ngawasa 11 daerah tina 44 teh. Sesana geus jadi kawasan Bandung (8 kandaga lante), Parakanmuncang (9 kandagalante), jeung Sukapura(16 kandagalante).

Pereleanana :
Di Kabupaten Bandung: Timbanganten, Batulayang, Kahuripan, Tarogong, Curug Agung, Ukur, Marunjeng, jeung daerah ngabei Astra Manggala.

Di Kabupaten Parakanmuncang : Selacau, daerah ngabei Cucuk, Manabaya, Kadungora, Kandangwesi (Bungbulang), Galunggung (Singaparna), Sindangkasih, Cihaur, jeung Taraju.

Di Kabupaten Sukapura : Karang, Parung Panembong, Batuwangi, Saungwatang (Mangunreja), daerah ngabei Indrawangsa Taraju, daerah ngabei Yudakarti Taraju, Suci, Cipinaha, Mandala, Nagara (Pameungpeuk), Cidamar, Parakan Tiga, Muara, Cisalak, jeung Sukakerta.

Dumasar eta kanyataan katangen yen kakawasaan Geusan Ulun ngawengku Sumedang, Garut, Tasik, jeung Bandung. Wates ti wetan walungan Cimanuk-Cilutung ditambah Sindangkasih. Beulah kulon walungan Citarum-Cisokan. Nu luput tina perhatina panulis babad, nyaeta ti taun 1482, Cimanuk geus jadi wates Kasultanan Cirebon. Anapon Ciamis jeung Majalengka, ti mimiti perang Palimanan(1528), jeung perang Talaga (1530) geus jadi bawahan Cirebon.

Geusan Ulun/Angkawijaya meunang pangrojong, ti 4 sadulur urut senapati jeung gegeden Pajajaran, Nya eta Jayaperkosa, Wiradijaya (Nanganan), Kondang Hapa, jeung Pancar Buana. Arinyana veteran perang Pakuan nu masih keneh mibanda kapanasaran, sabab gagal mertahankeun “Pakuan” puseur dayeuh Pajajaran nu geus dibelaan salila welasan taun. Najan kitu arinyana bisa keneh nyalametkeun mahkota, jeung atribut karajaan, nu nepi ka ayeuna masih keneh diteundeun di museum Sumedang. Sacara singget Pustaka Kertabhumi ngabewarakeun, ngeunaan eta 4 sadulur ”Sira paniwi dening Pangeran Geusan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirya” (Maranehna ngabdikeun diri ka Pangeran Geusan Ulun. Maranehna mepek balad , ditugaskeun ngatur pamarentahan jeung lian ti eta). Jayaperkosa urut senapati Pajajaran, sedengkeun Wirajaya, urut nanganan. Nurutkeun kropoak 630, nanganan leuwih luhur satingkat ti mentri tapi sahandapeun mangkubumi.

Kulantaran Geusan Ulun ngora keneh, teu kabeh ngarojong tina 44 raja daerah teh, tangtu we pangrojong teh teu ngadadak, bisa kateguh mun 44-anana kabeh ngarojong, hartina aya nu ngagarap tur dina waktu nu lila. Tangtu ieu teh usaha Jayaperkosa jeung adi-adina. Sabab Jayaperkosa jeung adi-adina dipiserab jeung diarajenen, jadi jaminan, kabeh raja daerah nu 44 samiuk ngarojong Geusan Ulun jadi ”narendra” ngaganti pangawasa Pajajaran nu geus musnah. Faktor umur jeung faktor politis ieu kawasna nu “nunda” Geusan Ulun jadi raja nepi ka sataun leuwih sabada wafatna Pangeran Santri.

Waktu anu dipilih pikeun ngajungjunglungguh Angkawijaya ge, geus ngagambarkeun suasana ka-Islaman, tanggal 18 Nopember 1580 M, poe Jum’ah legi/manis, ninggang tanggal 10 Syawal 988 H. Suasana lebaran jeung poe Jumaah, mangrupa waktu nu hade, di sagigireun pasaran Legi/manis, mangrupa waktu nu alus keur mitembeyan perkara anu gede jeung penting. Sabab ngajenengkeun Geusan Ulung nyakrawati atawa jadi narendra, mangrupa “proklamasi” kabebasan Sumedang , sajajar jeung karajaan Banten jeung Cirebon. Harti penting tina eta kajadian, lir ngumumkeun yen Sumedang ahli waris nu neruskeun kakawasaan Karajan Pajajaran di bumi Parahyangan. Mahkota raja jeung barang sejenna nu dibawa ku Senapati Jayaperkosa ka Sumedang, dijadikeu bukti jeung legalisasi kakawasaan, Pajajaran, kawas pusaka Majapahit nu jadi ciri kaabsahan Karajan Demak, Pajang, jeung Mataram.


Peristiwa Harisbaya
Sajarah Geusan Ulun meh teu dipikawanoh, mun seug taya kajadian peristiwa Harisbaya. Ceuk carita babad, Prabu Geusan Ulun jeung 4 pangirIngna mulang guguru ti Demak, nyimpang heula, anjangsono ka Panembahan Ratu nu ngawasa Cirebon. Di dinya panggih jeung Harisbaya, istri ka dua Panembahan Ratu, nu masih keneh rumaja, geulis, tur can lila ditikahna ku Panembahan Ratu. Cenah inyana putri Pajang teureuh Madura, nu dihadiahkeun ku Panembahan Senopati Mataram ka Panembahan Ratu. Cenah sang pribumi Harisbaya, kapincut ku kakasepan jeung kagagahan tamuna. Nepi ka kawas kaedanan. Kalawan teu bisa ngawasa diri, Harisbaya ngolo, nyombo Geusan Ulun, sangkan mawa dirina ka Sumedang, ngalolos ti karaton. Tengah peuting pasukan bhayangkara Cirebon ngudag Geusan Ulun, tapi bisa dihadang ku pangiringna nu 4-an. Geusan Ulun salamet nepi ka Kutamaya. Urut jurit jeung pasukan bhayangkara Cirebon, disebut Dago Jawa atawa Sindang Jawa.

Dua urang telik sandi nu ditugaskeun ti Cirebon, nyamur jadi tukang dagang peda, manggihan Harisbaya keur balanja di pasar. Sanggeus laporan ka Cirebon, langsung Sumedang digempur tentara Cirebon. Tapi pasukan Cirebobon teh teu kungsi nepi ka Kutamaya, sabab dielehkeun ku tentara Sumedang nu dipingpin Jayaperkosa. Samemeh indit mapag musuh cenah Jayaperkosa nancebkeun tangkal hanjuang keur panayogean, yen mun inyana gugur pasti hanjuang teh perang/garing, tapi mun hanjuang mulus, ciri hirup keneh. Kulantaran kajongjonan ngudag musuh, Jayaperkosa teh sasab, lila misah ti pasukanana, nepika disangka gugur. Ki Nanganan mulang ka Kutamaya, ngolo Geusan Ulun sangkan ngungsi ka Dayeuhluhur.

Kacida ambekna Jayaperkosa, basa mulang nyampak Kutamaya kosong ditinggalkeun ngungsi. Inyana nyusul, tuluy mateni Nanganan. Kulantaran ambek jeung kanyenyerian ku Geusan Ulun pedah ngungsi, Jayaperkosa indit ninggalkeun rajana, teu puguh jugjugan tur taya nu nyaho kamana leosna. Akibatna, pernikahan Geusan Ulun ka Harisbaya, kakara dilaksanakeu sanggeus talaqna ditukeuran ku daerah Sindangkasih. Kitu cenah lalakon Harisbaya jeung Geusan Ulun nurutkeun babad-babad kalawan versina sewang-sewangan. Kawasna nu nulis babad kaleungitan cecekelan waktu, nepi ka tokoh jeung kajadian nu beda dicampuradukkeun, mere gambaran nu surem tina kajadian sabenerna. Utamana hubungan tokoh Harisbaya jeung Panembahan Senopati, umur Panembahan Ratu, beh ditu na kajadian nalukkeun Sampang ku pancakaki Rangga Gempol I. Sababaraha hal nu teu luyu jeung kajadian sabenerna. Nurutkeun Pustaka Kertabhumi I /2 kaca 70, kajadian Harisbaya dina taun 1585 M. Harita puseur kakawasaan lain di Demak, sabab geus diganti ku Pajang ti taun 1546 M. Kalungguhan Senopati Sutawijaya masih keneh sahandapeun Pajang, mustahil Senopati bisa mere hadiah putri Harisbaya ka Panembahan Ratu Cirebon. Mataram ge can ngadeg. Pajang muncul sanggeus huru-hara Demak