Makam Mintaraga di Kampung Tenjonagara Kelurahan Cipameungpeuk Kecamatan Sumedang Selatan

Photo : Makam Mintaraga di Kampung Tenjonagara Kelurahan Cipameungpeuk
Kecamatan Sumedang Selatan (03/01/2021)

Sampurasun Mugia Rahayu Sagung Dumadi

Makam Mintaraga berada di areal tanah  pribadi almarhum pak Haji Ukas dan merupakan pemakaman keluarga, tepatnya di Kampung tenjonagara Kelurahan Cipameungpeuk Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.  Nisan makam eyang Mintaraga ditandai dengan batuan batu kali, di dekat makam Eyang Mintaraga terdapat pohon besar tanaman keras yang telah berumur ratusan tahun, makam eyang Sengkuni, dan makam yang tidak teridentifikasi identitasnya.

Dari penuturan Iwan Kurniawan, eyang Mintaraga adalah orang yang menamai awal tempat Tenjolaya dan Tenjonagara.  Namun Iwan Kurniawan pun tak memberi penjelasan sejarah Mintaraga lebih lanjut.

Sumber referensi sejarah dalam buku sejarah Sumedang sambungan V.A tahun 1935 karangan Raden Asikin Natanagara dan Sasakala Nu Ngandung Sajarah di Kabupaten Sumedang,  yang mengisyahkan siapakah Eyang Mintaraga ini adalah sebagai berikut :

Setelah peristiwa penyerangan di Mesjid Tegalkalong dan pendopo Keadipatian Tegalkalong dikuasai oleh Tjilikwidara atau Ngabehi Satjaparana. Oleh sebab Tjilikwidara atau Ngabehi Satjaparana ditarik lagi oleh kesultanan Banten, oleh Sultan Haji putranya Sultan Ageng Tirtayasa yang pro belanda. Yang paling dulu dilakukan oleh Sultan Haji yaitu berunding dengan Belanda di Betawi, terutama merubah surat perjanjian persahabatan, yang dibuat pada tahun 1659, meskipun berunding tersebut belum cukup namun telah membuat Sultan Haji senang juga, sebab buktinya Kesultanan Banten dan VOC Belanda di Betawi tidak lagi bermusuhan. Selain itu Kesultanan Banten tidak akan lagi dalam hal perkara Cirebon dan Sumedang.  

Oleh sebab itu Tjilik Widara dipanggil oleh Sultan Haji. Dan Bulan Oktober 1680 Tjilik Widara atau Ngabehi Satjaparana harus meninggalkan Sumedang. Barang-barang hasil rampasan dari Sumedang harus dikembalikan lagi dan kalau mau selamat harus pulang ke Banten, oleh sebab kalau tidak kembali ke Banten, Sultan Haji tidak menanggung terhadap jiwanya Tjilik Widara dan pasukannya.

Dua tahun lamanya Sumedang diduduki oleh pasukan Banten yang merusak tatanan masyarakat Sumedang. Pangeran Panembahan yang selamat dalam peristiwa penyerangan mesjid Tegalkalong dan berada di Cirebon, meminta ijin kepada Kompeni Belanda untuk kembali lagi ke Sumedang, Pangeran Panembahan lalu pulangnya diantarkan oleh kapten Joachim Michiefs lalu Pangeran Panembahan memerintah lagi di Sumedang. Ini kejadiannya dalam awal tahun 1681.

Ibukota Tegalkalong yang dirusak oleh pasukan Banten dibetulkan lagi oleh Pangeran Panembahan, Kebupatian di Tegalkalong dipindahkan ke Kebupatian yang sekarang.

Mengenai pemindahan ibukota tersebut diceritakan, bahwa Mintaraga diperintahkan untuk mencari lokasi oleh Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol 3, untuk memindahkan ibukota Tegalkalong ke tempat yang sekarang dalam tahun 1709.

Mintaraga dari  Keadipatian Tegalkalong lalu berangkat ke arah selatan melewati Sungai Cipeles dan tempat  yang dituju adalah sebuah pasir, dari tempat tersebut beliau berdiri melihat-lihat sekelilingnya dan berbicara kepada teman pengapingnya sampai sekarang tempat tersebut dinamakan Kampung Tenjolaya. Lalu Mintaraga dan teman pengapingnya terus berangkat lagi sampai ke suatu pasir, di tempat tersebut beliau memandang calon lokasi ibukota ke sebelah tenggara ke arah timur Gunung Palasari, di tempat tersebut beliau berbicara "Tuuh euuy ka tendjo ayeuna mah pinagaraan teh" dan sampai sekarang tempat melihat calon ibukota yang akan dipindahkan dari Tegalkalong disebutnya kampung Tenjonagara.

Mengenai silsilah Mintaraga yang sejaman dengan Pangeran Panembahan sewaktu berkuasa, saya tidak menemukan silsilahnya karena banyak sekali data naskah asli babon sejarah keturunan Pangeran Santri Sumedang ada yang tidak diketahui keturunannya atau blank data, apalagi generasi sebelumnya.
 
Salam Santun.

----------------------------
Ditulis kembali oleh : Dedi Kusmayadi Soerialaga, Kamantren Bidang Sejarah Keraton Sumedanglarang.
Sumber Bacaan :
1. Sasakala Nu Ngandung Sajarah di Kabupaten Sumedang, tidak dikethui penulis naskahnya.
2. R.A. Natanagara, Sejarah Sumedang (Sambungan V.A 1935), hal 1-9.
3. Rd. Asikin Natanagara. 1935. “Sejarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Dugi ka Kiwari“, Volksalmanaksoenda.


Baca Juga :

Tidak ada komentar