Asal-Usul Jasinga Bogor
Jasinga adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Jasinga terletak di sebelah barat kota Bogor, berjarak sekitar 50 km.
Kecamatan Jasinga merupakan sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan provinsi Banten, batas sebelah selatan terletak di kampung Cigelung, tengah kampung Cisarua, dan utara Desa Tarisi.
Pada umumnya masyarakat Jasinga berprofesi sebagai petani, pedagang, dan buruh di Jakarta. Letak kota Jasinga sendiri sekitar 100 km dari Jakarta jika melalui jalur Tangerang - Tigaraksa -Tenjo.
Jasinga berasal dari kata "Jaya Singawarwan", yang merupakan nama raja pertama dari kerajaan Tarumanegara. Dengan demikian diperkirakan pusat kerajaan Tarumanegara pertama kali kemungkinan berada di kawasan Jasinga sekarang. Di Desa Pangradin, salah satu desa di kecamatan Jasinga, masyarakat setempat percaya bahwa dahulu kala raja dan para pembesar sering beristirahat di sebuah bukit yang sekarang bernama bukit kaso, yang terletak di kampung pangradin I Desa Pangradin. Kecamatan ini menjadi persimpangan jalur dari Bogor menuju Rangkas Bitung dan Tigaraksa. Jarak dari Jasinga menuju Tigaraksa sendiri tidak begitu jauh, yaitu sekitar ± 35 Km jika melalui Stasiun Tenjo dan Tigaraksa Golf & Resort (d/h Takara) yang berada di wilayah Sodong, Tigaraksa, Tangerang. (wikipedia)
Beberapa cerita rakyat tentang lahirnya beberapa nama-nama desa atau daerah Bogor memang ada, seperti Rancamaya, Bantarjati, Ciaruteun, Cikeas, Kedunghalang, dan sebagainya. Untuk wilayah Bogor bagian barat terdapat nama-nama daerah yang cukup tua seperti Ciaruteun, Argapura (Rengganis) dan Jasinga.
Pada masa lalu, Jasinga meliputi batas-batas Sajira di sebelah Barat, Tangerang di sebelah Utara, Bayah di sebelah Selatan dan Cikaniki di sebelah Timur. Berlalunya waktu, Jasinga kini meliputi daerah Cigudeg, Tenjo, Nanggung, Parungpanjang dan Jasinga sebagai titik pusatnya.
Oleh orang-orang tua dulu Jasinga disebut juga Bogor-Banten, bahkan juru pantun terkenal Sunda yaitu Aki Buyut Baju Rambeng berasal dari daerah Bogor-Banten atau yang tinggal di daerah Pegunungan Tonggoheun Jasinga. Disebut Bogor-Banten karena posisiya berbatasan langsung dengan wilayah Banten. Tidak hanya batas wilayah tetapi ditinjau dari budaya, perilaku serta dialek bahasa mirip sekali dengan masyarakat Banten yang sebagian tidak terpengaruh dengan budaya Priangan. Kini Jasinga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor.
Mengenai asal usul nama Jasinga sendiri hingga kini masih terdapat berbagai versi. Kebanyakan versi yang melekat dan diyakini masyarakat yaitu cerita yang didapat dari penuturan turun temurun dari mulut ke mulut para sesepuh setempat. Hanya orang-orang tertentu saja yang merujuk kepada sumber autentik dan masih dijadikan bahan kajian bagi masyarakat Jasinga untuk menambah versi.
Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Jasinga antara lain :
1. Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
2. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
3. Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
4. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.
Pendapat pertama, bahwa nama Jasinga dikaitkan dengan riwayat atau cerita yang dituturkan oleh para sesepuh Jasinga seperti Wirasinga, Sanghyang Mandiri dan Pangeran Arya Purbaya dari Banten. Dalam setiap hidupnya serta perjuangannya mempunyai wibawa seperti seekor singa. Bahkan sempat berwujud menjadi seekor Singa. Perwujudan Singa tersebut membuat orang disekitar yang melihatnya menjadi terkejut dan kagum, dan setiap orang yang melihat akan mengucapkan : “Eeh.. Ja.. Singa eta mah”. Kata “Ja” menjadi kata identitas tersendiri di Jasinga yang berguna untuk memperjelas kalimat berikutnya, seperti ”Da” di daerah Priangan.
Pendapat kedua meyakini bahwa Wirasinga keturunan Sanghyang Mandiri (Sunan Kanduruan Luwih) membuka lahan di Pakuan bagian barat (Ngababakan lembur anyar). Nama daerah tersebut dinamakan Jasinga oleh Sanghyang Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru Jasinga atau sebagai Jaya Singa sebuah daerah yang makmur yang dipimpin oleh Wirasinga, seperti Jakarta yang berasal dari daerah yang bernama Jaya Karta dengan salah satu pemimpinnya yaitu Pangeran Jaya Wikarta.
Pendapat ketiga cukup menarik karena mengacu pada sejarah autentik bahwa Jasinga berasal dari kata Jayasingha. Diceritakan bahwa seorang Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara. Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman Raja Taruma III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura.
Satu tambahan sebagai pendapat keempat bahwa Jasinga berasal dari kata Gajah Lumejang Singa Bapang. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda. Tujuh ajaran tersebut yaitu : Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang-Gn. Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang Hilir (Jampang-Pelabuhan Ratu).
Tujuh ajaran tersebut mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Taruma III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura. Keruntuhan Taruma terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai Raja Taruma XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda. Putri Linggawarman yaitu Dewi Manasih (Minawati) dinikahkan dengan Tarusbawa putra Rakyan Sunda Sembawa. Tarusbawa menjadi Raja Sunda (669-732 M) dan Taruma pun runtuh. Pengaruh Hindu pun akhirnya melemah dan menjadi ajaran leluhur ajaran Sanghyang Sunda.
Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Dan kedua nama tersebut disatukan menjadi Gajah Lumejang Singa Bapang kemudian menjadi nama Jasinga (Ja=Gajah Lumejang, Singa=Singa Bapang). Perpaduan dua Filosofi Gajah dan Singa.
Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tersebut tercantum dalam Kitab Aboga yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran seperti dituturkan oleh narasumber bahwa kitab tersebut di bawa ke Leiden pada akhir abad 19.
Dengan memaknai baik secara kosakata (etimologi) maupun perlambangan (Hermeneutika), Jasinga mempunyai makna yang berarti. Dengan nama Jasinga lahirlah sebuah cerita rakyat melegenda hingga kini bagi masyarakat Jasinga. Di samping itu, adanya sosok Singa sebagai mitos merupakan wujud kewibawaan para penghulu Jasinga.
Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I (Jayasinghawarman).
Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama Jasinga terdapat dalam sejarah Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja nusantara. Kitab itu disusun selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul ”Akuwu Desa Jasinga”. Perlu dikaji bila naskah itu masih ada.
Dari mitos seekor Singa, diyakini bahwa sampai saat ini masi ada beberapa ekor Singa yang menjaga wilayah Jasinga walaupun dalam bentuk gaib. Padahal di Jawa Barat tidak ditemukan habitat singa walaupun di Indonesia sekalipun. Jika dikaitkan dengan datangnya raja-raja pendahulu dari India, maka perlambang Singa berasal dari India pula, bisa saja wujud nyata seekor Singa pernah dibawa oleh pembesar yang datang dari India.
Jasinga tidak layaknya seperti legenda-legenda di Jawa Barat lainnya yang begitu percaya adanya Harimau Pajajaran serta dijadikan lambang atau filosofi tertentu. Masyarakat Jasinga meyakini adanya seekor Singa, hingga pusat kecamatan dilambangkan sebuah Tugu Singa.
Nama singa juga terdapat pada sebuah tanaman yang bernama Singadepa yang tumbuh di hutan-hutan. Daun Singadepa berguna untuk memandikan bayi yang baru lahir, pengharum badan, serta sebagai pencuci darah. Tumbuhan Singadepa mempunyai tinggi + 30 cm, hidup di daerah yang lembab dan tertutup oleh pohon-pohon yang lebih tinggi. Di Jasinga tanaman Singadepa sangat sedikit dan ada di hutan-hutan tertentu, kecuali di hutan pedalaman Baduy hingga ke Lebaksibedug (Citorek) di dekat Gunung Bapang.
Itulah beberapa pendapat mengenai asal usul nama Jasinga yang masih perlu diteliti lebih lanjut keberadaannya, dan diperlukan penelitian Sejarawan. Kitapun masih bertanya-tanya benarkah hewan-hewan Singa itu ada di Jawa Barat bahkan di Indonesia sekalipun.
Terlepas dari itu, orang sependapat bahwa Singa adalah suatu perlambang (hermeneutika) kewibawaan, kejujuran, ketegasan, kemenangan walaupun hanya diceritakan dalam mitos dan legenda. Wallahu’alam.....
Jasinga tempo dulu itu adalah merupakan Distrik Bambo (bantam Bogor), setelah runtagnya Pajajaran, Jasinga masih merupakan wilayah Bogor sampai daerah Wates dan Lebak, berbatasan dengan wilayah Banten.
Justru catatan Bogor tidak ada sekali sumber yang menceritakan keberadaan situasinya siapa kepala yang berada di Distrik ini, mungkin ini sengaja dilakukan agar Kompeni tidak akan mengetahui aktivitas yang sepertinya sengaja disembunyikan dari keberadaan kepemimpinan yang ada di Distrik Bambo kala itu yang menjadi awal terbentuknya Kampung Baru / Parung Angsana / tanah baru di Bogor adalah Ki mas Tanu jiwa / Luknan / letnan Candra manggala adik dari Singa Manggala /Kertasinga / Wirasinga, sepertinya sengaja di rahasiakan untuk pemimpin distrik Bambo ini, dari pihak kompeni, setelah saya pahami tentang sejarah jasinga ini mungkin banyak terkait dengan akar sejarah tentang runtuhnya kerajaan pajajaran di tahun 1578 - 1579 M di tahun tersebut putra mahkota pajajaran Rd. Aji Mantri diperintahkan ayahnya untuk pergi ke nagara sumedang untuk memberikan kekuasaan kerajaan Pajajaran, Rd. Ajimantri beserta 4 pembantu utama dan 4 kandaga lante ditambah dengan 35 prajurit Pajajaran, diperintahkan untuk pergi kesumedang serta mengabdikan dirinya di nagara Sumedang larang.
Menurut Buku Sakawayana Desa Serang raja terakhir Pajajaran diberitakan hilang di gunung Halimun. Raja yang mana? sebab ada beberapa raja setelahsetelah Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi), yaitu :
1. Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam), Mp. 1521 - 1535 M
2. Prabu Déwatabuanawisésa / Ratu Dewata, Mp. 1535 - 1543 M
3. Prabu Ratu Sakti, Mp. 1543 - 1551 M
4. Prabu Ratu Nilakéndra / Tohaan di Majaya, Mp. 1551 - 1567 M
5. Prabu Raga Mulya Surya Kencana (Panembahan Pulosari), Mp. 1567 - 1579 M.
Panembahan Nusya Mulya Pulosari Pandeglang ini setelah dikalahkan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon yang dipimpin Ki Junggu dibawah komando Sultan Maulana Yusuf telah berhasil meloloskan diri dengan sebagian para pengikut setianya beserta keluarganya. Setelah keadaan aman maka Prabu Raga Mulya Surya Kencana (Panembahan Pucuk Umun Nusiya Mulya) memberi perintah kepada putra dan empat orang Kandaga Lante untuk pergi ke negara Sumedang,dan tahun 1579 M, kedatangan putra pajajaran beserta rombongannya disambut oleh Ratu Pucuk Umun Sumedang (NM. Setyasih / Ratu Inten Dewata) dan Pangeran Santri dan memberi kekuasan pada putra pertamanya untuk di daulat menjadi Raja Sumedanglarang dan menerima hibah wilayah dari kekuasaan kerajaan Pajajaran. Maka penerus selanjutnya dari Prabu Raga Mulya Surya Kencana (Panembahan Pucuk Umun Nusya Mulya) adalah Prabu Geusan Ulun. Hal ini membuat pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Banten merasakan terhina.
Sejarah Pajajaran inilah yang mewarnai sejarah khususnya Desa Jasinga dan waris ki kuwu jasinga adalah Sejarah tentang "Tujuh Ajaran Sanghyang Sunda", yaitu :
1. Pangawinan
2. Parahyang
3. Bongbang
4. Gajah Lumajang
5. Singa Bapang
6. Sungsang Girang
7. Sungsang Hilir
Tujuh ajaran ini adalah palsafah hidup yang harus dijiwai sebagai jati diri, sing ajiwa, Jasinga.
Diantara-tokoh Jasinga pada massa Periode Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, adalah :
1. Ki Jasinga / Dalem Jasinga atau R. Mas Tirta Kusuma, salah satu putra Pangeran Rangga Gede Kusumadinata IV bin Prb. Geusan Ulun. (lihat Silsilah keturunan Pangeran Santri)
2. Singa Manggala atau Kertasinga - Wirasinga /Tumenggung Singaraksa/ mbah gede / Kyai Nargan bin Santowan Kadang Serang bin R. Aji Mantri bin Prabu Raga Mulya Surya Kencana (Panembahan Pusuk Umu Nusya Mulya Pulosari)
Biar tak terlalu panjang berikut sarsilah yang di mulai dari Niskala Wastu Kencana, Mp 1371 - 1475 M, putra dari Lingga Buana (Prb. Wangi), 1350 - 1357 M dan Ratu Dewi Lara Lisning.
Prabu Niskala Wastu Kemcana memperistri Lara Sankati (puteri Rsi Susuk Lampung), berputra Prb. Susuk Tunggal (Sang Haliwungan, mp 1475 - 1482, menikah dengan Ratu Warsinah, apuputra : Kentring Manik Mayang Sunda.
Prabu Niskala Wastu Kencana memperistri Ratu Mayangsari, maka berputra :
1. Prabu Tohaan Digaluh /Ningrat Kencana / Dewa Niskala.
2. Surawijaya Sakti
3. Gedeng Sindang Kasih.
4. Gedeng Tapa.
Prb. Tohaan Digaluh / Dewa Niskala / Ningrat Kencana (Mp. 1475 - 1486) menikah dengan 2 garwa padmi yaitu Ratu Hatimah dan Ratu Omas Rusiati (puteri Wilwatika Majapahit atau putrinya Prb. Hayam Wuruk dari Ratu Nyimas Sariah), yang berputra Kusumalaya (Anjar Kutamaya) dan menurunkan Raja-raja Talaga.
Dari Ratu Hatimah, Dewa Niskala berputra :
1. Pamanah Rasa / Jaya Dewata / Prabu Siliwangi.
2. Ropiah Hadas / Guntur Geni
Selanjutnya Pamanah Rasa / Jaya Dewata / Prabu Siliwangi (1486 - 1521), beristrikan diantaranya :
- Nyai Ambet Kasih, putri ki Gedeng Sindangkasih
- Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa
- Ratu Kentring Manik Mayang Sunda, putri Prb. Susuk Tunggal, Raja Sunda.
- Ratu Raja Mantri putri Prabu Tirta Kusumah (Sunan Tuakan), Raja Sumedanglarang.
- Nyai Ambet Kasih, putri ki Dampu Awang.
- dan garwa padmi dan garwa ampil lainnya.
KETURUNAN PRABU JAYA DEWATA (PRABU SILIWANGI)
Generasi Ke 1
1. Prabu Jaya Dewata menikah dengan Kentring Manik Mayang Sunda, mempunyai anak :
1.1 Prabu Surawisesa (Mp. 1521- 1535)
1.2 Dewata Buana (Mp. 1535 -1553)
Generasi Ke 2
1.1 Prabu Surawisesa, mempunyai anak :
1.1.1 Ratu Sakti
Generasi Ke 3
1.1.1.1 Ratu Sakti, mempunyai anak :
1.1.1.1 Prabu Nila Kendra (Mp 1551 - 1567).
1.1.1.2 Prabu Ragamulya Suryakencana (Panembahan Nusiya Mulya Pulosari), mp 1567 - 1579
Generasi Ke 3
1.1.1.2 Prabu Raga Mulya Surya Kencana / Panembahan Nusya mulya Pulosari / Prb. Harismaung dari salah satu garwa Padminya yaitu Ratu Ratna Gumilang, mempunyai anak :
1.1.1.2.1 Rd. Aji Mantri
Generasi Ke 4
1.1.1.2.1 Rd. Aji Mantri x Nyimas Angkong Larangan, berputra :
1.1.1.2.1.1 Santowan Kadang Serang
1.1.1.2.1.2 Santowan Sawana Buana
1.1.1.2.1.3 Santowan Pergong Jaya
1.1.1.2.1.4 Santowan Jagabaya (Nangtung-Sumedang)
1.1.1.2.1.5 Nyai Ayu Ratna Ayu (di Sumedang)
1.1.1.2.1.6 Nyai Jili / Nyai Jili Tahunyu (di Sumedang)
Generasi Ke 5
1.1.1.2.1.1 Santowan Kadang Serang x Ayu Ajeng Jawista, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.1 Tanduran Sawita / Letnan Pengiring / Kyai Perlaya
1.1.1.2.1.1.2 Kyai Singa Manggala / Sersan Kertasinga / Tmg. Singaraksa / Kiyai Nargan
1.1.1.2.1.1.3 Rd. Tanujiwa / Letnan Tanudjiwa / Kiyai Tanu Jiwa / Ki Mas Tanu (Bupati Bogor Pertama).
Menurut Raden Widjajakoesoemah, dalam tulisanya yang berjudul “Tjarita Nagara Padjadjaran” 1846 M, ketiga putra Santoan Kadang Serang itu, pada masa hidupnya pernah mengabdi kepada “Kumpeni” di Batavia, yaitu pada jaman Gubernur Jendral “Coen” 1627 M dan sampai zaman Gubernur Jendral Speelman 1681 Masehi. Mereka dipercaya memimpin 40 orang pekerja asal Sumedang untuk membangun tempat-tempat yang asalnya merupakan hutan belantara menjadi tempat pemukiman, seperti; Kampung Bidara Cina, Kampung Bantarjati (Kampung Baru) dan sejumlah kampung yang berada di daerah Cipinang. Oleh karena pekerjaanya memuaskan, maka selanjutnya kumpeni mengangkat ketiga kakak beradik itu sebagai ”Prajurit” serta masing-masing mendapat pangkat, yang sulung Tanduran Sawita ”Letnan” dikenal dengan sebutan “Letnan Pengiring”, yang kedua Kyai Singa Manggala ”Sersan”, disebut “Sersan Kerta Singa” dan yang bungsu Kyai Tanu Jiwa sama dengan yang sulung, mendapat pangkat “Letnan”.
Pada tahun 1680 Masehi, Tanduran Sawita dengan kedua adiknya mendapat perintah dari Speelman untuk mencari pekerja ke Sumedang sebanyak 100 orang. Akan tetapi baru sampai ke hutan bekas Pajajaran, yang telah memakan waktu sebulan lamanya, mereka mendapat musibah kekurangan makanan. Didekat mata air sungai “Ciluwer” yang ada di hutan tersebut, Tanduran Sawita menghilang dan tidak diketemukan kembali (itu sebabnya dia dikenal Kyai Perlaya) sehingga kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke Batavia.
1.1.1.2.1.2 Santowan Sawana Buana x Apun Ayu Ajeng Wanisah, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.2.1 Tanduran Mataram.
1.1.1.2.1.3 Santowan Pergong Jaya (di Nangtung Sumedang) menikah Nyimas Ayu Ajeng Larasati menurunkan katurunan di Tasikmalaya dan Ciamis.
1.1.1.2.1.4 Santowan Jagabaya (di Nangtung Sumedang ) x NM. Ayu Ajeng Alisah, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.4.1 Embah Bage (di Panjalu).
1.1.1.2.1.4.2 Raden Singa Nurun (Singakerta), menurunkan keturunan di Nangtung Kecamatan Sumedang Selatan.
1.1.1.2.1.4.3 Rd. Nayamanggala (Rd. Nayapenggala)
1.1.1.2.1.4.5 Raden Apun Pananjung (Ratu Kulon I)
1.1.1.2.1.5 Nyai Ayu Ratna Ayu (di Sumedang), tidak terdata keturunan selanjutnya.
1.1.1.2.1.6 Nyai Jili / Nyai Jili Tahunyu (di Sumedang), tidak terdata keturunan selanjutnya.
Generasi Ke 6
1.1.1.2.1.1.1 Tanduran Sawita / Letnan Pengiring / Kyai Perlaya, menpunyai anak :
1.1.1.2.1.1.1.1 Kiriya Manggala Sakawayana
1.1.1.2.1.1.2 Kyai Singa Manggala / Sersan Kertasinga / Tmg. Singaraksa / Kiyai Nargan, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.2.1 Nyai Bentang
1.1.1.2.1.1.2.2 Mas Kalipa
1.1.1.2.1.1.2.3 Mas Komali
1.1.1.2.1.1.2.4 Nyai Epoh
1.1.1.2.1.1.2.5 Nyai Mirah
1.1.1.2.1.1.2.6 Nyai Enis Raksadikara
1.1.1.2.1.1.2.7 Asisten Wadana Pabyosongan Abu Said / Asisten Abud
1.1.1.2.1.1.2.8 Nyai Kamsah
1.1.1.2.1.1.2.9 Nyai Fatimah
1.1.1.2.1.1.2.10 Mas Narman
1.1.1.2.1.1.2.11 Nyai Sarfah
1.1.1.2.1.1.2.12 Mas Kasan
1.1.1.2.1.1.2.13 Nyai Suwita
1.1.1.2.1.1.2.14 Nyai Sariyah
1.1.1.2.1.1.3 Rd. Tanujiwa / Letnan Tanudjiwa / Kiyai Tanu Jiwa / Ki Mas Tanu (Bupati Bogor Pertama), mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.3.1 Rd. Mertakara yang berdomilisi di Banten.
1.1.1.2.1.2.1 Tanduran Mataram, mempunyai anak
7.1.2.1.1 Kiriya Manggala Sakawayana
1.1.1.2.1.4.1 Embah Bage (di Panjalu).
1.1.1.2.1.4.1.1 Tidak terdata keturunannya.
1.1.1.2.1.4.2 Raden Singa Nurun (Singakerta), menurunkan keturunan di Nangtung Kecamatan Sumedang Selatan.
1.1.1.2.1.4.2.1 Tidak terdata keturunananya.
1.1.1.2.1.4.3 Raden Nayamanggala atau Nayapenggala x Nyai Tanduran Saka, berputra :
1.1.1.2.1.4.3.1 Raden Inayapatra
1.1.1.2.1.4.3.2 Nyai Mas Unggeng
1.1.1.2.1.4.5 Raden Apun Pananjung (Ratu Kulon I) x Susuhunan Amangkurat, berputra :
1.1.1.2.1.4.5.1 Raden Doberes
Generasi Ke 7
1.1.1.2.1.1.1.1 Kiriya Manggala Sakawayana, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.1.1.1 Darma Manggala
1.1.1.2.1.1.2.6 Nyai Enis Raksadikara
Nyai Enis Raksadikara x Rd. Mas Urwa (Buyut Sampang) putra dari Rd. Mas Tirta Kusumah (Dalem Jasinga / Ki Jasinga, putra no. 11 dari Adipati Rangga Gede Sumedang, Mp. 1625 - 1633 - merger dengan keturunan Dipati Rangga Gede), berputra :
1.1.1.2.1.1.2.6.1 Rd. Mas Soleman
1.1.1.2.1.1.2.6.2 Rd. Mas Samaun
1.1.1.2.1.1.2.6.3 Nyai Sabariyah di Rangkasbitung
1.1.1.2.1.1.2.6.4 Nyai Sariyah di Ciseeng
1.1.1.2.1.1.2.6.5 Nyai Asih di Karawang
1.1.1.2.1.4.3.1 Raden Inayapatra x Embah Putri (asal Bogor), berputra :
1.1.1.2.1.4.3.1.1 Raden Arjawayang (Antareja)
1.1.1.2.1.4.3.2 Nyai Mas Unggeng, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.4.3.2.1 Rd. Naya, yang menjadi “Jagasatru” di Sumedang.
Generasi Ke 8
1.1.1.2.1.1.1.1.1 Darma Manggala, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.1.1.1.1 Antamanggala
1.1.1.2.1.4.3.1.1 Raden Arjawayang (Antareja), mempunyai anak :
1.1.1.2.1.4.3.1.1.1 Raden Aris Surakarta
1.1.1.2.1.1.2.6.1 Rd. Mas Soleman x Nyai Samidjah di Jasinga, mempunyia anak :
1.1.1.2.1.1.2.6.1.1 Sarikani/ Mbah Gunung
1.1.1.2.1.1.2.6.1.2 Mudrikah
1.1.1.2.1.1.2.6.1.3 Ama Rana
1.1.1.2.1.1.2.6.1.4 Ama Adra'i
1.1.1.2.1.1.2.6.2 Rd. Mas Samaun di Jasinga, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.2.6.2.1 Suhana
1.1.1.2.1.1.2.6.2.2 Musikah
1.1.1.2.1.1.2.6.2.3 Mukinah
1.1.1.2.1.1.2.6.2.4 Sari
1.1.1.2.1.1.2.6.3 Nyai Sabariyah di Rangkasbitung
1.1.1.2.1.1.2.6.3.1 (belum ada data)
1.1.1.2.1.1.2.6.4 Nyai Sariyah di Ciseeng, mempunyai anak :
1.1.1.2.1.1.2.6.4.1 (belum ada data)
1.1.1.2.1.1.2.6.5 Nyai Asih di Karawang
1.1.1.2.1.1.2.6.5.1 (belum ada data)
I. Silsilah Singamanggala / Tumenggung Singa Raksa / Mbah Gede / Kyai Nargan, sbb :
1. Nyai Bentang
2. Mas Kalipa
3. Mas Komali
4. Nyai Epoh
5. Nyai Mirah
6. Nyai Enis
7. Asisten Wadana Panyosongan Abu Said / Asisten Abud
8. Nyai Kamsah
9. Nyai Fatimah
10. Mas Narman
11. Nyai Sarfah
12. Mas Kasan
13. Nyai Suwita
14. Nyai Sariyah
15. dst ?
Nyai Enis Raksadikara bin Nargan istri dari Rd. Mas Urwa / Buyut Sampang bin Rd, Mas Tirtakusuma / Dalem Jasinga makamnya di Bayah Banten.
Rd Mas Urwa menikahi nyai Enis, maka berputra :
I. Rd. Mas Soleman beristrikan nyai Samidjah, di Jasinga berputra :
1. Sarikani/ Mbah gunung
2. Mudrikah
3. Ama Rana
4. Ama Adra'i
II. Rd. Mas Samaun di Jasinga, berputra :
1. Suhana
2. Musikah
3. Mukinah
4. Nyai Sari
III. Nyai Sabariyah di Rangkasbitung
IV. Nyai Sariyah di Ciseeng
V. Nyai Asih di Karawang
Jasinga wilayah ini menjadi Distrik Bambo, namun tentang keberadaan Distrik Bambo ini tidak terdata kepemimpinannya, wilayah ini tidak ada data jelas dalam sejarah bogor dan juga banten, karena di jaman Sultan Ageng Tirtayasa di Banten ketika terjadi kerusuhan di daerah Lebak, Dalem Jasinga / ki Jasinga / R. Mas Tirta Kusuma diminta oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengendalikan situasi di Lebak Banten, maka sampai akhir hayatnya R. Mas Tirta Kusuma beserta sebagian keluarganya menetap di wilayah Banten.
Ki Jasinga / Dalem Jasinga / Rd. Mas Tirta Kusuma adalah salah satu putra dari pangeran Rangga Gede dari Sumedang (lihat silsilah Pangeran Rangga Gede dan putra-putranya atau silsilah keturunan Pangeran Santri baca di blog saya ini : http://cipakudarmaraja.blogspot.com/2019/12/siapakah-istri-istrnya-pangeran-rangga.html), ketika Rangga Gede menggantikan posisi dari adik lain ibu bernama Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1), yang dapat perintah Sultan Mataram, untuk menaklukkan daerah Sampang. Setelah keberhasilannya Sultan Agung melarangnya untuk kembali ke Sumedang, dalam suatu kisahnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa terdengar hendak melakukan makar terhadap Mataram sehingga Pangeran Aria Soeriiadiwangsa dihukum mati di Mataram.
Pangeran Rangga Gede naik tahta pada usia 45 tahun, karena dia didahului oleh adik lain ibu itu, dan ketika dia naik tahta tingkatan pemerintahan di sumedang hanya setingkatan Bupati yang pengaruhnya dikendalikan oleh Pamerintahan Mataram dan dia juga yang meminta dipulihkan kekuasaan Sumedang larang, seperti pada saat pemerintahan ayahnya Prabu Geusan Ulun, yang di pintanya kembali pada kompeni agar dipulihkan kekuasaan wilayahnya.
Sebenarnya putra mahkota yang seharusnya menggantikan Prabu Geusan Ulun seharusnya Pangeran Rangga Gede kusuma dinata IV, putra dari NM Cukang Gedeng Waru, karena sesungguhnya darah bangsawan Pajajaran mengalir pada dirinya, oleh karena ibunya Ratu Cukang Gedeng Waru dari keturunan trah prabu Jaya Dewata / Prabu Siliwangi Istrinya yaitu Raja Mantri yang berputra Rd. Meumeut dan berputra Rd. Hasata Sunan Aria Pada).
Salam Santun
-------------------------
Sumber :
1. Sejarah Bogor 1, Saleh Danasasmita, 1983. Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
2. Drs. Moh. Amir Sutaarga, Prabu Siliwangi atau Prabu Purana Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran. 1473-1513 M. Bandung. PT. Duta Rakjat, 1965.
3. Prof. Dr. Ayat Rohaedi, SUNDAKALA Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon. Jakarta, Pustaka Jaya, 2005.
4. Atca & Negara Krethabumi 1.5
Ayat Rohaedi Karya Kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Bandung, 1986.
5. Drs. Yosep Iskandar, SAWALI.
6. Komunitas Urang Sunda Internet (KUSNET)
7. Para Sesepuh Jasinga.
8. Kang Yasid dan kang Subani, Warga Cibeo-Kanekes.
9. T. A. Subrata Wiriamiharja, SH. (TASWIR), Muara Seni Bogor Selatan.
10. Manuskrip Sakawayana (Lontar Ki Sakawayana), Serang Cimalaka Sumedang.
Post a Comment