Naskah Carub Kandha Tangkil





Manuskrip atau Naskah Kuna adalah sebuah kekayaan intelektual yang berperan sebagai media penyampaian hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, adat-istiadat, kebudayaan, dan keagamaan yang pada masanya menjadi sebuah pedoman bagi masyarakat penggunanya. Karena di dalam manuskrip itu terdapat berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau[1] (Elis Suryani NS, 2012 : 7), yang masih memberikan informasi menarik dan patut untuk dijadikan bahan penelitian oleh berbagai kalangan, terutama dari kalangan akademisi. Karena naskah merupakan salah satu sumber primer paling otentik yang dapat mendekatkan jarak masa lalu dan masa kini.[2]

Naskah Kuno yang berjudul Carub Kandha ini adalah hasil tulisan tangan Ki Kampah Sindang Laut yang sekarang menjadi milik Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon, Jl Gerilyawan No. 04 Kelurahan Drajat Kecamatan Kesambi Kota Cirebon. Naskah tersebut telah ditemukan oleh Drh. H. R. Bambang Irianto, BA dari Desa Tangkil, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Padanya telah dilakukan konservasi sederhana dari penataan naskah hingga digitalisasi, yang kemudian dilakukan Alih Aksara dan Bahasa hingga terbentuklah sebuah buku berjudul Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil.

Pola Pikir

Dengan diterbitkanya Buku Carub Kandha Naskah Tangkil ini semoga dapat membantu Pemerintah dan masyarakat luas untuk dapat lebih mengenal dan mau memahami budaya ataupun sejarah leluhurnya. Hal ini sebagai mana tertuang dalam Peraturan Daerah Jawa Barat (Perda Jabar) No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Dan masalah penggunaan bahasa ibu juga mendapat perhatian dunia dengan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai “Hari Bahasa Ibu Internasional” oleh UNESCO.

Dalam Teks Sambutan Gubernur Jawa Barat dalam acara Saresehan Pra-Kongres Bahasa Cirebon yang diselenggarakan pada tanggal 3 Desember 2013 di Cirebon menyatakan bahwa ia sangat menghargai dan mengapresiasi masyarakat yang masih peduli untuk memelihara, melestarikan, dan mengembangkan bahasa Cirebon dalam kehidupannya di era globalisasi ini.

Dengan demikian posisi naskah kuno amatlah penting, karena dari sana terdapat rekaman-rekaman bahasa, sastra serta aksara daerah.

DESKRIPSI NASKAH

Kode dan Nama Publikasi Naskah : tidak ada
Kode dan nomor naskah : BBD_CRB.08
Judul naskah : Carub Kandha
Pengarang : Ki Kampah, Sindang Laut
Penyalin dan penulisan : tidak ada
Tahun penyalinan : tidak ada
Tempat penyimpanan : Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon. Jl. Gerilyawan No. 04 Kelurahan Drajat Kecamatan Kesambi Kota Cirebon 45133
Asal naskah : turun temurun
Pemilik : Majelis Dzikir Lam Alif. Jl. Gerilyawan No. 04 Kelurahan Drajat Kecamatan Kesambi Kota Cirebon 45133
Jenis alas naskah : kertas bergaris
Kondisi fisik naskah : baik
Penjilidan : karton tebal
Cap kertas (watermark) : tidak ada
Garis tebal dan tipis : tidak ada
Jarak garis tebal pertama s.d. keenam : tidak ada
Jumlah garis tipis dalam 1 cm : tidak ada
Garis Panduan/blind line atau pensil : tidak ada
Jumlah kuras dan lembar kertas : 6 kuras : 39 lembar kertas
Penomoran halaman : tidak ada
Jumlah halaman : 231 halaman
Jumlah baris dalam setiap halaman : 17 – 24 per halaman
Ukuran naskah dalam cm (p x l ) : 21 x 16,5 cm
Ukuran teks dalam cm (p x l) :. 18 x 11 cm
Kata alihan/catch word : tidak ada
Illuminasi/illustrasi : tidak ada
Huruf dan bahasa : Carakan bahasa Jawa Cirebon
Jenis tulisan/khat : tidak ada
Warna tinta : Hitam
Ringkasan isi cerita dalam teks : Babad Cirebon dengan beragam cerita yang meliputi kisah Pangeran Cakrabuana, Nyi Endang Geullis, Nyi Subang Karancang, Nyi Syarifah Mudaim, Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Nyi Panguragan, dan kisah para wali yang lain juga para Ki Ageng yang ada di Daerah Cirebon (Penguasa Lokal).
Catatan lain : tidak ada
Kolofon : Kula hiji jalma ngaran Kampah Desa Karang Sembung Kulon, Dhistrik Sindang Laut Cirebon. Rumasa ges ngajual imah jeng pakarangan.


Ringkasan Isi Buku

Silsilah Pangiwa dan Panengen

Dalam permulaan Pupuh Dangdang Gula Ki Kampah memulai membuka isi cerita ini dengan kalimat, “PujinNya yang tak terputuskan, oleh karena itu semoga saja sembah bakti kepadaNya bisa sampai kepada tujuan. Agar selalu mengutamakan kebaikan dan sampai kelak agar raga ini tetap mengerjakan sembah bakti kepada Allah SWT, itulah pesanku semoga menjadi bahan ingatan”. Dengan memperhatian penggalan kalimat tersebut, bahwa penulis naskah adalah seorang muslim dan mengajak kepada pembaca agar tetap mengutamakan kebaikan serta beribadah kepada Allah SWT.

Pada bagian pada Carub Kandha Naskah Tangkil ini menceritakan tentang silsilah Nabi, yaitu dimulai dari Nami Muhamad saw yang berputra Fatimah yang kemudian menikah dengan sahabatnya ialah Ali Bin Abu Thalib ra. Dari keturunan mereka melahirkan tokoh-tokoh islam ataupun para sufi tersohor, yang menyebarkan agama Islam diantaranya sampai ke negara ; Mesir, Rum, Kuswa, Cempa, Malaka, Pulau Pinang, bahkan para waliyullah yang berkedudukan di pulau Jawa Dwipa.

Disamping itu menceritakan juga Silsilah Pangiwa dan Panengen, ialah dimulai dari Nabi Adam as yang berputra Nabi Sis as. Dari Nabi Sis as kemudian menurunkan garis keturunan kenabian hingga para wali di Jawa Dwipa. Demikian juga dengan Silsilah Pangiwa ialah dimulai dari Nabi Sis as yang menurunkan silsilah pewayangan, dari Sayid Anwas kemudian berputra Sangyang Nurcahya berputra Sangyang Nurrasa berputra Sangyang Weang berputra Sangyang Wenang berputra Sangyang Tunggal berputra 3 orang ; 
  1. Sangyang Ismaya, Ki Semar yang kelak menjadi Danyang Jawa Dwipa, 
  2. Sangyang Punggung, Togog Wijamantri, dan 
  3. Sangyang Guru atau Bathara Guru. 
Kemudian secara berurutan dari Sangyang Guru — Batara Brahma — Mangsulasu — Begawan Manomayasa — Begawan Sambarana — Begawan Sakutrem Darananingrat — Begawan Palasara — Abiyasa — Pandu Dewanata — Raden Harjuna — Raden Abimanyu — Prabu Parikesit — Maharaja Udrayana — Sri Prabu Gendrayana — Prabu Jayabaya — Prabu Jaya Mijaya — Prabu Jaya Misena — Kusuma Wicitra — Citra Soma — Panca Driya — Angling Driya — Prabu Selacala — Prabu Maha Punggung — Sang Kendhiawan — Resi Kanhuyun — Lembu Amijaya negara Gegelang — Panji Rawisrengga / Panji Asmara Bangun — Prabu Laleyan Kagaluhan — Babar Buwana — Gandhul Gantung — Ratu Galuh Aci Putih — Ganda Larang — Anggalarang — Galuh Komara — Sunyarasa — Manjakane — Pucuk Putih — Galuh Permana — Prabu Galuh Rayana berputra tiga orang ;

  1. Maharaja Sakti Dewi Putra Pagedhongan
  2. Harya Banga yang bergelar Brawijaya Purwajawawut, Majapahit
  3. Prabu Ciyung Wanara, Pajajaran

Silsilah Raja-raja Sunda Kuno

Dapatlah diuraikan akan silsilah Raja-raja Sunda kuno adalah sebagai berikut :
  1. Prabu Galuh Rayana
  2. Prabu Ciyung Wanara
  3. Dewi Purbasari menikah dengan Lutung Kasarung
  4. Prabu Lingga Hiyang Sakti
  5. Prabu Lingga Wesi
  6. Prabu Gumulung, Kerajaaan Japura
  7. Prabu Linggawastu berputra 3 orang ; 1] Prabu Anggalarang, 2] Raksa, 3] Pucuk Umum. Dari Prabu Anggalarang berputra ;
  8. Prabu Mundingkawati
  9. Prabu Siliwangi Ratu Agung Pajajaran
  10. Prabu Siliwangi mempunyai beberapa Garwa, yang menurunkan penguasa-penguasa di Tatar Pasundan ialah sebagai berikut:
  • Garwa Dewi Raja Layang, berputra Prabu Resi Bungsu kemudian ia memisahkan diri dari Pajajaran.
  • Garwa Dewi Selatenjo menurunkan penguasa di wilayah Parahiyangan.
  • Garwa Dewi Mangun menurunkan penguasa di Panembong, Batu Layang.
  • Garwa Parigi Layaran menurunkan penguasa di ; Kaperabon, Batuwangi, Cipajang Gunung Sari, Gunung Manara, Cibalagung, Karang, Leuwi Mundhing, Ujung Utara panguragan, Sarengseng, Ujung Kulon, Cianjur, Bandung, Sumedang dan Garut.
  • Garwa Buniwati menurunkan penguasa ; Bupati Cangkuwang, Ciyahur, Timbanganten, cibuntu, Setu Larang, Kajaksan Cirebon, Losari, Cengal, Endher.
  • Garwa Rara Mindhaya menurunkan Ki Gedheng dan Tumenggung di ; Cikak Manggong, Cisoka, Limbangan Gedhe.
  • Garwa Mayang Karuna menurunkan para sunan di Talaga, Majalengka.
  • Garwa Rara Siluman menurunkan penguasa alam gaib di ; Tunjung Bang, Rawa Cilakbok, Ragamang, Pakuwan, Guwa Racun, dan Guwa Santang.

Para Kabuyutan
Istilah para Kabuyutan kali pertama muncul menurut Carub Kandha Naskah Tangkil ialah sebutan bagi para keturunan Galuh Pakuan Pajajaran yang berbadan halus sehingga tidak terlihat oleh pandangan manusia. Mereka semua bertugas memberikan perlindungan di Pulau Jawa kepada trah Galuh Pajajaran yang sudah ditentukan dengan tidak memandang agama yang dianutnya. Hal ini dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan, seperti dapat terhindar dari bahaya yang ditimbulkan dari gangguan mahluk halus yang jahat dan lain-lain, namun itu semua semata-mata terjadi hanya karena Allah SWT. Disadari ataupun tidak kepercayaan itu hingga jaman sekarang masih ada masyarakat yang meyakininya, dalam hal ini dunia Pewayangan Cirebon melukiskan salah satu Kebuyutan itu dalam bentuk gambar Gunungan. Dimana didalam Gunungan tersebut diilustrasikan Buyut Sangga Buwana, yang bertugas mejaga disuatu tempat di lokasi Keraton Cirebon.

Para Kabuyutan itu ikut memberikan perlindungan ataupun menjaga kedudukan Raja-Raja Jawa, Para Gegeden dari trah Prabu Siliwangi. Ratu Galuh menurunkan lelembut yang bernama Ratu Maharaja Sakti yang membawahi para siluman-siluman di Pulau Jawa, Ia menurunkan putra :
  1. Sangyang Pasarean yang menjadi ratu Rawa Lakbok Ciamis, kemudian berputra Buyut Wisesa yang menjaga Pulau Jawa.
  2. Buyut Gelo Herang yang menjadi ratu Siluman Tunjung Bang, yang berkaitan erat dengan raja-raja Majapahit dahulu kala. Buyut Gelo Herang berputra Buyut Jaya Ening yang berada di Nusa Jawa. Adanya kebuyutan ini diceritakan juga dalam Naskah Sindang, Ki Dulpari Sindang Sokawarna menuliskan bahwa Brawijaya tatkala melawan prajurit Bonang yang dipimpin oleh Susunan Ngudung juga memohon bala bantuan kepada penghuni Tunjung Bang. Demikian juga dalam Naskah Jaransari, R. Kartadisastra Juntinyuwat menuliskan, “sewaktu Jaransari didzolimi oleh kakaknya yang bernama Jaran Purnama dalam sayembara merebut putri Amangkurat dari cengkraman Lembu Andana – Andini penghuni taman sari itu. Jasad Jaransari ditolong oleh Putri Andayasari Penguasa Tunjung Bang yang jatuh cinta kepadanya setelah bertemu dalam mimpi, setelah sembuh seperti sedia kala akhirnya merekapun membangun rumah tangga dan mempunyai keturunan disana. Setelah sekian lama tinggal di negeri Siluman Tunjung Bang, kemudian Jaransari merebut haknya yang telah dirampas oleh kakaknya itu”.
  3. Sang Ratu Romang berkedudukan di Alas Roban, menurunkan Buyut Sang Ratu Jayakelana yang menjaga Mataram.
  4. Sangyang Ratu Romang Hiyang berkedudukan di gunung Sewu, menurunkan putra Buyut Sang Kalabrama yang menjaga Cirebon.
  5. Sang Ratu Celak Ronenek yang menjadi ratu di Tegal Luar, menurunkan putra Buyut Ipri yang menjaga Keputren Jenggala.
  6. Buyut Darmalae berada di Pakuan, menurunkan putra bernama Buyut Lenggang Lumenggang menjaga negara Jayakarta atau Jakarta. Putra keduanya Sangyang Buyut Genter Seda Ening yang menjaga negeri Banten.
  7. Sang Ratu Tugur menurunkan putra bernama Ki Buyut Cangkas herang yang menjaga wilayah di Ujung Kulon.
Demikianlah putra-putra dari Maharaja Sakti Galuh yang berbangsa lelembut itu. Adapun kehidupan mereka itu sejajar dengan bangsa Jin Banujan. Adapun Ki Dalang Mangsur, Gegesik Cirebon dalam lakon Pandawa Babad Alas Amer menyebutkan bahwa Sangyang Jan Banujan itu menyatu dengan Raden Harjuna yang kelak mempunyai cucu Prabu Parikesit yang menurunkan cikal-bakal raja-raja jawa.

Begitu juga dengan Prabu Siliwangi Pajajaran menurunkan tujuh orang putra bangsa lelembut seperti; 
  1. Sangyang Buyut Kaluwiyan menurunkan para kebuyutan di Kuningan, 
  2. Hyang Adiluwih Wangi bersahabat atau mendampingi Syekh Aji Juba. 
  3. Hayang Kayupu menurunkan putra yang menjaga di gunung Ciremai dan Cirebon Girang. 
  4. Sangyang Kapalarang menurunkan kebuyutan di Telaga Gedhe, Telaga Manggung. 
  5. Hang Diri Kalatriyan menurunkan kebuyutan di Puser Bumi Cirebon, 
  6. Buyut Sang Maya Dewata menurunkan kebuyutan yang menjaga perbatasan Cirebon 
  7. Ki Sang Tulara yang menurunkan kebuyutan yang menjaga bermacam-macam bangunan.
Demikianlah para trah kabuyutan Galuh Pajajaran yang berbaur dengan para trah manusia yang menjadi raja atau pun gegeden. Oleh sebab itu petilasan raja-raja atau situs keramat terasa wingit ataupun angker, ialah dari pribawa kesetiaan para kebuyutan yang menjaga sesama saudaranya dari keturunan manusia.


Walang Sungsang dan Nyi Rara Santang

Pada suatu ketika Prabu Siliwangi mendengar berita tentang kecantikan seorang santri di pesantren Syekh Qorra Karawang. Adapun tentang Syekh Qorra jika ditarik dari garis silsilah adalah sebagai beikut ;

Kanjeng Nabi Muhamad SAW
Dewi Fatimah
Sayid Husain
Sayid Ali Hasan
Maulana Pulau Upi
Maulana Tamin
Maulana Ilafi
Maulana Ilafi menikah dengan Nyi Sidik yang merupakan janda dari Syekh Jumadil Awal yang telah wafat, kemudian dianugrahi dua orang putra ; yang pertama Siti Aminah Muna, dan yang kedua adalah Syekh Qorra yang mendirikan pesantren di Karawang.

Seorang santriwati jelita itu bernama Nyi Subang Karancang dari negara Singapura (Astana Japura sekarang). Nyi Subang Karancang atau Nyi Subanglarang adalah putri dari Ki Gedeng Jumajanjati Juru Labuhan Dukuh Pesambangan di kaki gunung Sembung dan Amparan Jati. Ki Jumajanjati merupakan putra dari Ki Gedeng Kasmaya yang berkuasa di Cirebon Girang, yang ibukotanya bernama Wanagiri. Sebagai seorang Juru Labuhan, Ki Jumajanjati bersahabat dengan ulama-ulama islam yang berasal dari Mekah dan Cempa. Kemudian ia menitipkan putrinya itu kepada Syekh Hasanudin yang berasal dari Cempa, ia lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro[3] atau Syekh Qorra.

Kemudian Prabu Siliwangi mengutus kepada Ki Patih untuk memohon kepada Syekh Qorra agar santriwati yang dimaksud tersebut supaya dapat diboyong ke Pakuan Pajajaran untuk dijadikan permaisuri. Setelah Nyi Subang Karancang setuju lalu iapun dibawa ke ibukota Pajajaran menjadi Permaisuri Prabu Siliwangi, dari perkawinannya itu menurunkan 3 orang putra ; 

  1. Raden Kian Santang / Walang sungsang,
  2. Nyi Rara Santang dan 
  3. Raja Sengara.
Setelah mereka dewasa dalam hal keyakinan agama lebih mengikuti ibundanya, mereka sering berkunjung ke pesantren Karawang secara diam-diam karena pemeluk agama Islam sangat dilarang keras berada di Pajajaran bahkan baginya bisa dihukum berat. Namun bagi mereka yang berada di luar ibukota Pajajaran diberikan kelonggaran untuk memeluk / mengembangkan agama Islam, seperti halnya di Pesantren Karawang. Suatu ketika Syekh Qorra berkata kepada ketiga putra Pajajaran itu, terutama ditujukan kepada Nyi Rara Santang bahwa kelak akan mendapatkan jodoh Raja Banisrail dan darinya akan melahirkan putra yang kelak menjadi wali agung jumeneng Sunan Gunung Jati di negara Cirebon.

Berita ini sangat mengejutkan ibundanya, agar rahasia itu tidak sampai bocor maka Nyai Subanglarang diikuti ketiga putranya itu memohon diri untuk tinggal di Banten dengan maksud untuk membasuh raga guna menghadapi hari tua. Atas perkenan sang Prabu maka dibuatkanlah Puri Kedaton di Banten, serta diberikan mantri pengawal sebanyak 40 orang. Setelah tinggal disana mereka pun bersuka cita sekehendak hati guna menjalaknan peribadatan secara islam, mereka meninggalkan agama leluhur Pajajaran. Kemudian Cakrabuana bersama adiknya Nyi Rara Santang pergi ke Cirebon dan ikut menetap di sana, sentara Jaka Sengara tinggal bersama Ibundanya di Banten. Lama-lama Cakrabuwana menikah dengan putri Sri Mangana yang bernama Nyi Kancana Wati, selanjutnya menurunkan putra Nyi Pakung Wati dan Pangeran Carbon. Nyi Pakung Wati mendiami Pedaleman di Jalagrahan atau disebut juga Dalem Agung.


Penutup
Naskah Carub Kandha ini banyak menjelaskan sejarah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh keturunan Rasulullah SAW. Mereka menyebar diantaranya ke Rum, Kuswa, Bagdad, Cempa, Malaka, Pulau Pinang, Nusa Jawa dan lain-lain. Dalam buku ini masih banyak menceritakan sisi-sisi karomah yang diberkahi Allah SWT kepada waliyullah kekasih-Nya, hal ini sejalan dengan masa peradabaan saat itu Nusa Jawa banyak diselimuti oleh kemistikan.

[1] Disampaikan pada acara Presentasi Progress Report Penelitian Individual Reguler dan Kolektif Prodi / Jurusan tahun 2013, Kamis tanggal 17 Oktober 2013, di Gedung Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
[2] Oman Fathuraman, Fiologi dan Islam Indonesia, 2010, hlm. 3.
[3] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, 1986. Proyek Pengembangan Permesiuman Jawa barat. Hlm. 30, 31

(Diterjemahkan oleh Muhamad Mukhtar Zaedin & Tarka Sutarahardja)
======================================
Sumber Diakses dari Blog Raden Ayu Linawati

Baca Juga :

Tidak ada komentar