SITUS KABUYUTAN CIBURUY BAYONGBONG


Situs Ciburuy nama yang benar versi kuncen adalah Susuhunan Kabuyutan Cimuruy, terletak di Kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong, Garut Jawa Barat. Merupakan situs peninggalan zaman prabu siliwangi yang kemudian di lanjutkan oleh Prabu Kian Santang yang merupakan anak dari Sang Prabu Siliwangi. Saya berdiskusi banyak dengan ketua adat atau bisa dikatakan kuncen yang bernama kang Ujang Suryana. Beliau menuturkan bahwa dahulu tempat ini merupakan salah satu tempat yang dijadikan oleh Prabu Kian Santang sebagai tempat bertarungnya para jawara-jawara pulau jawa.





Awal mulanya Prabu Kian Santang menjadikan tempat ini sebagai tempat bertarung adalah ia ingin bertemu dengan seseorang yang dapat mengalahkan dia dan ingin melihat darahnya sendiri. Karena dalam sejarah di ceritakan bahwa sang Prabu Kian santang dalam hidupnya tidak pernah bertemu dengan orang sekuat apanpun yang dapat melukainya. Dikisahkan dalam sejarah bahwa prabu kian santang menemukan sebuah keris dan dia mendapatkan amanat untuk menancapkanya pada sebuah batu, sehingga pada sebuah batu keluarlah air, lalu dia disuruh mengikatkan keris tersebut pada sorbanya dan dihanyutkan hingga keris tersebut berhenti. Disitulah Prabu Kian Santang dapat menemukan lawanya yang sepadan denganya, orang sakti tersebut bernama Eyang Ali Murtadho yang mendapat julukan Saidina Ali dari Paseur Bumi.



Peninggalan sejarah di situs Ciburuy ini antara lain keris, bende (Lonceng yang tebuat dari perunggu), kujang (senjata prabu siliwangi), trisula, tombak, dan tulisan Jawa Kuno yang di tulis Prabu Kian Santang diatas daun nipah dan daun lontar. Masyarakat sekitar segera rutin mengadakan upacara pencucian keris yang dilaksanakan setiap satu Muharam. Kawasan Situs Ciburuy juga terdapat larangan berupa pantangan yaitu setiap hari jum'at dan hari sabtu tidak boleh memasuki kawasan Situs Ciburuy.

Tulisan-tulisan Kuno yang terbuat dari daun lontar dan daun nipah. Naskah ditulis dengan menggunakan pisau pagot ada juga yang menggunakan getah pohon. Isi naskah antara lain mengisahkan antara petuah-petuah dharmariksa raja galunggung abad ke-12 seputar etika dan budi pekerti masyarakat sunda kuno.


Menurut ahli filologi dari Puat Studi Sunda, Dra. Tien Wartini, M.Hum., dan Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita, Kabuyutan Ciburuy bisa diibaratkan sebagai sebuah pusat studi pada jaman dahulu kala. Sebab, berbeda dengan situs-situs yang lain, tak ada prasasti atau peninggalan berupa artefak di Ciburuy. "Peninggalan yang paling utama adalah puluhan naskah kuno berbentuk manuskrip yang ditulis di daun lontar dan nipah. Naskah-naskah tersebut hampir semuanya belum bisa dibaca," ujar Tien.

Kabuyutan Ciburuy, kata Tien, bisa disebut sebagai pusat kajian dan studi yang menyisakan peninggalan penting dari abad 16. Dari sekira 57 naskah yang ada, baru 3 naskah yang sudah dibaca dan diterjemahkan untuk masyarakat umum. Ketiga naskah tersebut masing-masing Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Sewaka Darma. "Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi dunia filologi. Sebab, kami berharap bisa mengungkap satu sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah di Kabuyutan Ciburuy ini," imbuh Tien.

Secara topografi, letak Kabuyutan Ciburuy memang sangat ideal sebagai sebuah padepokan. Situs yang saat ini berbentuk replika ini memiliki 6 bagian utama dengan bentuk bangunan panggung yang mirip dengan bangunan-bangunan tradisional di berbagai daerah di Jawa Barat. Keenam bagian tersebut terdiri dari Saung Lisung, Leuit, Patamon, Padaleman, Pangalihan, dan Pangsujudan. Bangunan-bangunan tersebut berada dalam satu areal seluas 600 meter persegi. Pertama kali dibangun ulang sesuai dengan bangunan aslinya pada tahun 1982 berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Patamon sebagai gedung utama di bagian luar berisi barang-barang berupa keris eluk, keris badik, peso (pisau), bedog (golok), selendang rante (selempang terbuat dari rantai), dan cupu keramik. Sedangkan di Padaleman, gedung utama di bagian dalam, tersimpan naskah atau karya tulis di dalam beberapa peti. Antara bagian luar dan bagian dalam dipisahkan oleh semacam benteng yang terbuat dari anyaman bambu (bilik). Seperti dijelaskan Ujang Mulyana (27), kuncen dan juga juru pelihara (Jupel) Kabuyutan Ciburuy, situs tersebut merupakan tempat musyawarah yang dibangun pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Menurut dia, tempat ini menjadi tempat pertemuan sekaligus pelatihan ilmu. "Kemungkinan hasil pertemuan dan pelatihan tersebut tertulis seperti yang ada dalam naskah itu," kata Ujang.

Lebih lanjut Ujang menjelaskan, berdasarkan penuturan dari kuncen-kuncen sebelumnya, ada beberapa bagian di Kabuyutan Ciburuy yang tidak bisa dimasuki sembarang orang dan sembarang waktu. Menurut dia, tamu yang datang secara umum hanya bisa diterima di bangunan Patamon (pertemuan). Untuk memasuki bagian lain seperti Padaleman (bagian dalam) dan Pangsujudan (tempat peribadatan), bagi pengunjung umum hanya diperkenankan pada saat pelaksanaan Upacara Seba setiap hari Rabu akhir buan Muharam. "Kecuali ada izin khusus dari kuncen," kata Ujang.

Ujang mengatakan, setiap bagian memang memiliki makna khusus. Pada jaman dulu, katanya, bagian atau tahapan itu merupakan tahap dalam penguasaan ilmu, khususnya ilmu kanuragan. "Setiap naik tahap merupakan kenaikan dalam tingkatan keilmuan," ujar dia.

Secara umum Kabuyutan Ciburuy terbuka untuk kunjungan masyarakat. Menurut Nana, sebagian besar masyarakat yang datang tujuannya meminta dimudahkan usaha. "Itu tujuan utama para pengunjung," imbuh Ujang. Kasie Jarahnitra Disparbud Kabupaten Garut, Warjita, menjelaskan, Kabuyutan Ciburuy termasuk cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor pusat di Serang, Banten. Namun demikian, pemerintah setempat ikut melakukan pemeliharaan secara insidentil. "Anggarannya memang tidak masuk pos yang dialokasikan di Pemkab Garut, namun secara insidentil kami tetap membantu dari sisi pemeliharaan," katanya.

Warjita menegaskan, beda dengan objek wisata lain yang ada di Kabupaten Garut, Kabuyutan Ciburuy hingga saat ini belum menjadi aset yang menghasilkan pendapatan. Sebab, dari sisi retribusi, pemerintah setempat belum mengenakan pungutan apapun bagi pengunjung yang datang ke situs tersebut. "Para pengunjung hanya didaftar sebagai bahan laporan ke dinas. Selain itu, tidak ada pungutan yang dikenakan," kata dia.

Saat ini, di Kabuyutan terdapat dua orang Jupel, dari total 14 Jupel di seluruh Kabupaten Garut. Warjita mengaku peran Jupel ini sangat vital karena menjadi pendata sekaligus pemelihara berbagai situs yang menjadi objek pariwisata.

Wallahu'alam.
===========================
Pengirim Berita : Oos Supriadi

Baca Juga :

Tidak ada komentar