Penjelasan Naskah Kuno Buk Sakawayana



Buku Sakawayana, atau disebut juga Buku Larang, itu hanya sebagian saja daripada isi sebuah naskah, yang kini tersimpan ditempat kediaman penulis, di Desa Serang, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. 

Bagian yang lainya dari naskah tersebut, merupakan semacam Primbon (basa Sunda Paririmbon), isinya terdiri dari bermacam-macam hal yang (untuk sementara penulis menduga) ada hubunganya dengan ilmu kebatinan. 

Naskah yang tebalnya hanya 12 lembar itu, berukuran 22,5 x 16,5cm, bahan kertas sejenis daluang, sedangkan teksnya tertulis (bolak-balik) dengan menggunakan huruf  pegon (arab - jawa) dan bahasa jawa-sunda.

Kecuali naskah tersebut diatas,ditempat kediaman penulis tersimpan pula sejumlah naskah yang lainya,sebuah diantaranya yaitu  Pusaka Ki Sakawayana berasal dari bahan pelapah lontar berukuran 33 x 7cm dan tebal 4 cm, menggunakan huruf dan bahasa Sunda Buhun, ditulis oleh Dalem Nayapatra Muhara (tanpa tahun), beliau diperkirakan hidup pada masa sebelum kerajaan Pajajaran runtuh (1579 M).

Pada dasarnya Buku Sakawayana (Lontar Ki Sakawayana) itu meriwayatkan gelar (lahir)-nya Buwana Panca Tengah (alam dunia) dan Batara Sakawayana. Diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti suasana islamisasi, khususnya di Tatar Sunda (Jawa Barat). 

Di dalam naskah itu, selain dapat kita telaah deretan silsilah yang disebut Silsilah Sakawayana juga, sedikitnya kita dapat ketahui tentang adanya hubungan kekeluargaan antara Pajajaran dengan Sumedang, khususnya dengan  Desa Serang. Demikian makna yang sesungguhnya dari istilah Sakawayana.

Dalam bagian yang pertama (riwayat gelarnya alam dunia dan gelarnya Batara Sakawayana), diceritakan bahwa jauh sebelumnya adanya alam dunia seperti yang kita kenal sekarang ini, yang ada adalah Roh Biru yaitu alam tempat berkumpulnya roh-roh. 

Di alam roh mula-mula Allah menciptakan cahaya, kemudian disusul dengan penciptaan srangenge (matahari),  Wulan  (bulan), dan  bentang-bentang (bintang-bintang).

Dua belas tahun setelah peristiwa itu, dengan kehendaknya Allah lalu menciptakan taneuh (Bumi) dan langit yang tebalnya masing-masing pitung lapis (tujuh lapis). 

Dijelaskan pula, bahwa bumi yang diciptakan selama lima hari lima malam itu, diletakan secara bergantung tanpa cantelan (penyangga), namun meskipun demikian bumi tetap ditempatnya dan tidak  murag (jatuh), karena adanya kekuasaan Allah. 

Selang enam tahu, kemudian Allah menciptakan dua orang manusia, berasal dari tanah, kedua orang itu diberi nama Batara Sakawayana (laki-laki) dan Batari Paranjitan (perempuan). 

Tidak lama setelah kejadian itu, Allah berkenan menata keadaan Bumi, seperti menciptakan Pulau-pulau, Gunung-gunung, Sungai-sungai, Sagara Gede (lautan), Sagara Leutik (danau), Tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis Hewan dalam kurun waktu sembilan puluh tahun. Seusai menata keadaan bumi, lalu Allah mengutus Batara Sakawayana dan Batari Paranjitan untuk turun ke Nagara Ajangeun Manusa (bumi), mereka diberi tugas untuk menjaga dan mengurus keadaan Bumi, serta memperbanyak keturunan. 

Berjuta tahun kemudian maka munculah seorang tokoh yang bernama Prabu Haris Maung, beliau yang berkuasa di Nagara Pajajaran dan dikenal dengan sebutan Sakawayana.          

Pada bagian yang kedua ,yang bertalian dengan silsilah Sakawayana, diriwayatkan Prabu Haris Maung menikah dengan Nyaimas Ratna Gumilang, berputra seorang laki-laki yang diberi nama Raden Aji Mantri  atau Raden Keling Sakawayana.  

Raden Aji Mantri menikah dengan Nyaimas Angkong Larangan, berputra 6 orang yaitu : 

1. Santowan Kadang Serang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Jawista, berputra tiga orang laki-laki yaitu : Tanduran Sawita atau Kyai Perlaya, Kyai Singamanggala atau Embah Gede, Kyai Tanu Jiwa atau Ki Mas Tanu (yang berputra Raden Mertakara).

2. Santowan Sawana Buana, menikah Apun Ayu Ajeng Wanisah, berputra Tanduran Mataram, berputra Kiriyamanggala Sakawayana, berputra Darmamanggala, berputra Antamanggala, berputra Wangsamanggala Sakawayana yang melahirkan keturunan di Serang (Desa Serang  Cimalaka-Sumedang).

3. Santowan Pergong Jaya, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Larasati, melahirkan keturunan di Tasik Malaya dan Ciamis.

4. Santowan Jagabaya, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Alisah,berputra empat orang,  yaitu : 
  • Embah Bagi (di Panjalu)
  • Raden Singa Nurun atau Singa Kerta (di Nangtung Sumedang)
  • Raden Naya Manggala atau Naya Penggala 
  • Apun Pananjung yang menikah dengan Susuhunan Amangkurat berputra raden Doberes. 
Adapun Naya Penggala menikah dengan nyai Tanduran Saka berputra dua orang yaitu : Inayapatra dan nyai Mas Unggeng. 

Inayapatra menikah dengan Embah Putri, berputra Raden Arjawayang, berputra Kyai Aris Surakarta, berputra Kyai Lukman Candra Wisuta, berputra Raden Kanduruan Cakrayuda, berputra Raden Bahinan yang melahirkan keturunan di Bogor. 

Sedangkan nyai Mas Unggeng berputra Naya yang menjadi Jagasatru di Sumedang.

5. Nyi Ayu Ratna Ayu (di Sumedang).

6. Nyai Jili atau Nyi Jilitahuyu (di sumedang).     

Dalam bagian silsilah ini disinggung pula tentang nasib keluarga besar Kerajaan Pajajaran,bahwa setelah Kerajaan itu runtuh (Burak Pajajaran), Raja Pajajaran yang bernama Prabu Haris Maung pergi ke Gunung Halimun, sesampainya disana beliau ilang tanpa karana (menghilang tanpa sebab). 

Sedangkan Raden Aji mantri dengan dikawal oleh empat orang pengawal pribadinya (Embah Pincang, Embah Kapuk, Raden Rajakoras, Suryakancana Wesah), empat orang Senopati Pajajaran (Jaya Perkosa, Terong Peot, Nangganan, Kondanghapa) dan tiga puluh lima orang prajuritnya pergi ke Negara Sumedanglarang, Raden Aji Mantri bersama keluarga dan empat orang pengawal pribadinya itu menetap di Dusun Serang. 

Di Dusun tersebut Raden Aji Mantri membangun sebuah Talaga (telaga) yang dikenal Talaga Sakawayana, disekelilingnya ditanami pohon kelapa yang disebut Kalapa Tujuh serta ditengah-tengah telaga terdapat Cinyusu (mata air) yang disebut Leutak Si Balagadama Raden Aji Mantri mulih ka jati mulang ka asalna (meninggal dunia) dalam usia yang sangat tua, dimakamkan di sebuah Gunung yang ada di Dusun Serang, makamnya dikenal makam karamat Gunung Keling atau  makam karamat Sakawayana.


Pada bagian akhir, dalam Titi mangsanya disebutkan bahwa Buk Sakawayana ditulis pada hari kamis 14 Rayagung, tahun Je, Hijriah Nabi SAW 1262,  yang menulis Jibah, mewakili paman, Bapak Kasjan, alamatnya sama di Serang.

Berdasarkan perhitungan penulis, Hijrah Nabi Saw 1262,  itu sama dengan tahun 1841 M

Pada masa itu yang memerintah di Kabupaten Sumedang ialah Panggeran Aria Kusumah Adinata atau yang lebih dikenal Panggeran Sugih (1832 - 1889 M). 

Semasa memegang kekuasaanya beliau sering berkunjung ke dusun Serang untuk bertukar pikiran mengenai  keagamaan (Islam) dengan sahabat-sahabatnya yang ada di Dusun Serang, terutama sekali dengan Eyang Lurah Wangsadinata, kepala Desa Serang pertama yang memerintah tahun 1870 - 1885 M. 

Untuk lebih mempererat tali persaudaraan di antara mereka, Panggeran Sugih akhirnya menikah dengan Enden Ningsih, putri tunggal Eyang Engkung (adik Wangsadinata) dan dari hasil pernikahanya itu beliau dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nyai Raden Domas, selanjutnya berputra tiga orang yaitu : 
  1. Raden Aom Bajaji 
  2. Raden Sule
  3. Nyai Raden Emek. 
Berdasarkan titi mangsa di atas, untuk sementara penulis menduga bahwa Buk Sakawayana itu dikerjakan pada masa pemerintahan Panggeran Aria Kusumah Adinata, disamping itu dengan masuknya Bupati yang dikenal Sugih Harta (banyak harta), Sugih Harti (banyak ilmu) dan Sugih Putra (banyak anak) kedalam jajaran Keluarga Besar Serang, tidak mustahil beliau akan lebih mengetahui tentang seluk beluk Buku Sakawayanadi Dusun Serang. 

Sementara itu Jibah yang bertindak selaku penulis Buk Sakawayana, beliau adalah putra dari pasangan suami istri Sawita (kakanya Kasjan) dan Sawijah (janda dari Mas Ngabehi Jiwa Parana IV, asal kecamatan Wado Sumedang). 

Setelah Kasjan meninggal, naskah yang tidak sembarangan dilihat orang itu (Buk Sakawayana / buku larang) secara turun temurun diurus oleh anak cucunya ,dan yang terakhir adalah Nandang Bin Ata (64 tahun), namun sehubungan beliau sudah tidak sanggup lagi mengurus naskah tersebut, kemudian diserahkan kepada penulis dan hingga saat ini masih dirawat dengan baik.
________
Transkripsi dan Terjemahan,  Oleh : Tutun Anwar M.D, Lembah Gunung Keling , Juli 1997


MENGUNGKAP KETURUNAN RAJA PAJAJARAN AKHIR BERIKUT BARANG-BARANG YANG DITINGGALKANNYA

Setelah kerajaan Pajajaran burak akibat diserbu oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon pada tanggal 15 mei 1579 masehi. Rajanya yang bernama Prabu Haris Maung atau Prabu Nusiya Mulya (atau yang mempunyai gelar Sakawayana), tidak terkabarkan lagi membangun pemerintahanya (Pajajaran), kecuali sebelum ia melakukan tirakat di Puncak Gunung Halimun (hingga akhir hayatnya). Prabu Haris Maung berpesan kepada putranya agar mengabdi ke Negara Sumedang Larang.      
  
Adapun putra Prabu Haris Maung / Prabu Nusiya Mulya / Prabu Raga Mulya Surya Kancana memerintah di Pajajaran pada tahun 1567-1579 M adalah Raden Aji Mantri alias Raden Keling Sakawayana, murid tersayang Sang Aduwarsa yang memimpin sebuah keagamaan peguruan keagamaan  di Cinangka (Cikampek).

Perlu diceritakan, dalam melaksanakan pesan atau amanat dari ayahnya itu, Bulan Oktober 1579 masehi Raden Aji Mantri berangkat menuju Sumedanglarang dengan di kawal oleh empat orang pengawal pribadinya (Embah Kapuk, Embah Pincang, Raden Raja Koras, Suryakancana Wesah) dan 35 orang  prajuritnya. Mereka tiba di Sumedanglarang pada bulan Januari 1580 Masehi dan selanjutnya mengabdi ke Negara tersebut.

Tidak lama setelah menikah dengan Nyai Mas Angkonglarangan (1583 M), Raden Aji Mantri beserta istri dan ke empat orang pengawalnya, yang semula berdiam di lingkungan Keraton Kutamaya (Keraton Sumadanglarang) pindah dan menetap di sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Dusun/Desa Serang (berada di wilayah kecamatan Cimalaka Sumedang).

Di tempat tersebut, dengan mendapat dukungan dari penguasa Sumedanglarang saat itu (Prabu Geusan Ulun, 1579-1610 M), Raden Aji Mantri membangun sebuah Telaga (letaknya di belakang Bale Desa Serang yang sekarang) yang di kenal Talaga Sakawayana, Telaga yang di sekelilingnya ditanami aneka pepohonan (diantaranya pohon kelapa yang di sebut kalapa tujuh) dan di tengah-tengahnya terdapat mata air yang disebut leutak Si Nalagadama itu, fungsinya selain untuk memperingati para leluhurnya yang telah membangun talaga Maharena Wijaya di Bogor, sebagai tempat rekreasi para pengagung dan warga masyarakat Sumedanglarang juga untuk mengairi tanah-tanah pertanian yang ada di sekitarnya.

Setelah membantu roda pemerintahan Prabu Geusan Ulun selama kurang lebih 30 tahun (1580-1610), Raden Aji Mantri (yang menurut cerita dipercaya selaku penasehat kerajaan Sumedanglarang kemudian mendirikan sebuah perguruan keagamaan, letaknya tidak jauh dari Talaga Sakawayana yang diberi nama Sumedang Kahiyangan. 

Di perguruan yang dipimpinya itu, Raden Aji Mantri mengajarkan sejumlah ilmu yang dianutnya dikenal dengan sebutan Elmu Sakawayana kepada murid-muridnya, baik murid yang datang dari wilayah Sumedanglarang maupun dari luar daerah, seperti Mataram (diantaranya Bapa Leutik yang menikah dengan salah seorang warga Serang).

Menginjak tahun 1660 Masehi, Raden Aji Mantri dipanggil oleh yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat tua (105 tahun), jasadnya dimakamkan di sebuah Gunung (demikian disebutnya walau sebenarnya bukit) yang ada di Dusun Serang dan makamnya kini dikenal Makam Keramat Gunung Keling atau Makam Keramat Sakawayana. 

Dari hasil pernikahanya dengan Nyai Mas Angkong Larangan, Raden Aji Mantri meninggalkan 6 orang putra /putri,  mereka adalah :

1. Santowan Kadang Serang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Jawista, berputra 3 orang laki-laki, yaitu : Tanduran Sawita (Kyai Perlaya), Kyai Singa Manggala (Embah Gede) dan  Kyai Tanu Jiwa atau lebih dikenal Ki Mas Tanu (ia berputra Raden Mertakara yang berdomisili di Banten), menurut Raden Widjajakoesoemah, dalam tulisanya yang berjudul Tjarita Nagara Padjadjaran (1846 M), ketiga putra Santoan Kadang Serang itu,pada masa hidupnya pernah mengabdi kepada Kumpeni di Batavia, yaitu pada jaman Gubernur Jendral Coen (1627 M) dan sampai zaman Gubernur Jendral Speelman (1681 M).

Mereka dipercaya memimpin 40 orang pekerja asal Sumedang untuk membangun tempat-tempat yang asalnya merupakan hutan belantara menjadi tempat pemukiman,seperti Kampung Bidara Cina, Kampung Bantarjati (Kampung Baru) dan sejumlah kampong yang berada di daerah Cipinang. Oleh karena pekerjaanya memuaskan, maka selanjutnya kumpeni mengangkat ketiga kakak beradik itu sebagai Prajurit serta masing-masing mendapat pangkat, yang sulung (Tanduran Sawita) Letnan (dikenal dengan sebutan Letnan Pengiring), yang kedua Kyai Singa Manggala Sersan (disebut Sersan Kerta Singa) dan yang bontot (Kyai Tanu Jiwa) sama dengan yang sulung, mendapat pangkat Letnan. 

Pada tahun 1680 Masehi, Tanduran Sawita dengan kedua adiknya mendapat perintah dari Speelman untuk mencari pekerja ke Sumedang sebanyak 100 orang. Akan tetapi baru sampai ke hutan bekas pajajaran, yang telah memakan waktu sebulan lamanya, mereka mendapat musibah kekurangan makanan.Didekat mata air sungai Ciluwer yang ada di hutan tersebut, Tanduran Sawita menghilang dan tidak di ketemukan kembali (itu sebabnya dia dikenal Kyai Perlaya ) sehingga kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke Batavia.

2. Santowan Sawana Buana,menikah dengan Apun Ayu Ajeng Wanisah, secara turun menurun berputra Tanduran Mataram, Berputra  Kiriya Manggala Sakawayana, berputra Darma Manggala, berputra Antamanggala, berputra Wangsamanggala, berputra Akmal Sutamanggala,. Selanjutnya Akmal Suta Manggala berputra 3 orang laki-laki, yaitu :

- Pertama, Raden Dipa Wangsa (gugur ketika membantu Kyai Bagus Rangin bertempur melawan pasukan gabungan kumpeni dan Cirebon dalam Perang Bantarjati dia berputra 4 orang yaitu : 
  1. Wangsadinata (kepala Desa Serang pertama, memerintah tahun 1870-1885 M),
  2. Oneng, 
  3. Haji Sa’id 
  4. Engkung atau Ajib.  
Mereka melahirkan keturunan di Dusun Serang, dan salah seorang putra Engkung yang bernama Enden Ningsih menikah dengan Pangeran Aria Kusumah Adinata atau Panggeran Sugih (Bupati Sumedang tahun 1832 - 1889 M), berputra Nyai Raden Domas, kemudian ia berputra Raden Aom Bajaji (Raden Sule dan Nyai Raden Emek melahirkan keturunan di Bandung).
- Kedua, Raden Sawita menikah dengan Sawijah(janda dari Mas Ngabehi Jiwaparana IV,asal Wado Sumedang) berputra Jibah yang menulis Buk Sakawayana pada tahun 1841 Masehi.
-  Ketiga Raden Kasjan.dikenal dengan sebutan Bapa Olot, ia menurunkan anak cucu di Dusu Serang dan Dusun / Desa Narimbang kecamatan Conggeang Sumedang.

3. Santowan Pergong Jaya (di Nangtung Sumedang), menikah dengan Apun Ayu Ajeng Larasati melahirkan keturunan di Tasikmalaya dan Ciamis.

4. Santowan Jagabaya (di Nangtung Sumedang), menikah dengan Apun Ayu Ajeng Alisah, berputra 4 orang yaitu :
  1. Embah Bage ( di Panjalu), 
  2. Raden Singa Nurun atau 
  3. Singa Kerta (melahirakan keturunan di Nangtung Sumedang), 
  4. Raden Nayamanggala atau Nayapenggala dan Nyai Raden Apun Pananjung (menikah dengan Susuhunan Amangkurat,berputra Raden Doberes).
Anapon Raden Nayamanggala menikah dengan Nyai Tanduran Saka, berputra 2 orang,yaitu : Raden Inayapatra dan Nyai Mas Unggeng. Raden Inayapatra menikah dengan Embah Putri (asal Bogor) secara turun temurun berputra Raden Arjawayang (Antareja), berputra Raden Aris Surakarta, berputra Raden Kyai Lukman Candrawisuta,, berputra Raden Kanduruan Cakrayuda, berputra RAden Bahinan (Camat Ciawi Bogor), berputra Raden Antahan (Camat Cimande Bogor), berputra Raden Entang, berputra Raden Muhtar, berputra Nyai Raden Mariah, berputra Nyai Raden Susi Lestari, yang melahirkan keturunan di Bogor. Sedangkan Nyai Mas Unggeng berputra Naya,, yang menjadi Jagasatru di Sumedang.

5. Nyai Ayu Ratna Ayu (di Sumedang).

6. Nyai Jili atau Jilitahunyu (di Sumedang).


Barang-barang Peninggalan Prabu Haris Maung (Prabu Nusiya Mulya)
Selain “Makuta Pajajaran yang diserahkan oleh Prabu Harismaung (lewat putranya, Raden Aji Mantri) kepada Prabu Geusan Ulun selaku penguasa Sumedang Larang (sekarang masih ada di Museum Prabu Geusan Ulung Sumedang), Raja Pajajaran Akhir itu juga mewariskan tidak kurang dari 150 rupa barang kepada Raden Aji Mantri selaku putranya. 

Sebelum Raden Aji Mantri meninggal, ia mewariskan pula semua barang-barangnya kepada ke enam orang putra-putrinya, diantaranya yang diwariskan kepada putra no.2, Santowan Sawana Buwana, yaitu berupa :
  1. Munding Bulu Hiris
  2. Kuda Bulu LAndak
  3. Kuda Ireng
  4. Kalapa Sahulu( Satu butir kelapa yang disebut “Silalampah”)
  5. Pusaka Ki Sakawayana (sebuah Naskah dari pelapah lontar)
  6. Pedang Sakawayana
  7. Iteuk Sakawayana
  8. Pedang Damar Murug
  9. Baju Kere
  10. Jamang Kere
  11. Cis
  12. Lantenan Sabatekan
  13. Boweh Larang
  14. Rema atau Ramo Maung
  15. Cupu Hejo Tujuh Lapis
  16. Rupa-rupa Cincin
  17. Salumpin Sarangka Bitis
  18. Sarubang Sarangka Awak
  19. Bedug
  20. Bende
  21. Cilo-Cilo
  22. Kerang
  23. Badawang Basog
  24. Umbul-Umbul Kadut
  25. Kacip
  26. Sinjang Batik
Semua barang-barang tersebut (kecuali no.1 sampai 4) diurus dan dirawat secara turun- temurun hingga sekarang oleh keturunannya dan yang mendapat giliran untuk sekarang ini ialah Nandang Basyar (76 Tahun) dan Ucang Sumardi (66 tahun) keduanya merupakan keturunan generasi ke 13 dari Raden Aji Mantri atau Raden Keling Sakawayana, bertempat tinggal di Dusun / Desa Serang Kecamatan Cimalaka kabupaten Sumedang.

_________________                                                                                           
Ditulis oleh : Tutun Anwar Muh. Dahlan, Lembah Gunung Keling Kamis, 18 juli 2011                   

Baca Juga :

Tidak ada komentar