Ziarah Makam Rd. Wirakara, Di Desa Cikadu Kacamatan Situraja





Sampurasun 
Salam Rahayu Jati Sampurna, Insun Medal Insun Madangan 

Sepeninggal Rangga Gede, Sumedang dipimpin oleh Bupati Raden Bagus Weruh (putra pangeran Rangga Gede) yang kemudian memakai nama Pangeran Rangga Gempol II atau Kusumahdinata 5 antara 1633 – 1656. Namun Raden Bagus Weruh atau Pangeran Rangga Gempol II hanya diangkat sebagai Dipati Sumedang saja, tidak dengan jabatan Bupati Wadananya. 

Jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur atau Raden Wangsanata yang merupakan Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. 

Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem. 

Berdasarkan sumber rundayan karuhun Sumedang Raden Bagus Weruh atau Pangeran Rangga Gempol 2 putranya Pangeran Rangga Gede, mempunyai anak 29 orang, yaitu : Raden Wirakara, Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol 3, Raden Bagoes, Raden Wanggamanggala, Raden Tanoesoeta, Raden Martajoeda, Raden Soetaningdita, Kiai Moegopar, Kiai Kiras, Kiai Soetaredja, Raden Tanoeraga, Raden Martaparana, Raden Ardoewangsa, Raden Tanoeredja, Raden Wangsasoeta Raden Dipa, Raden Patradipa, Raden Soetabadra,  Raden Koesoema Ardja, Raden Mekas, Raden Ngabehi Sedakerti, Raden Ngabeni, Raden Santaparadja,  Raden Pani, Nyi Mas Djapar, Nyi Mas Arya Pawenang, Nyi Mas Kanten, Nyimas Ayoe mayar dan Nyimas Ayoe.

Sementara berdasarkan sumber sekunder buku layang Darmaraja Raden Bagus Weruh atau Pangeran Rangga Gempol 2 dari isterinya Nyimas Tuha, tedak Munding Dalem Pajajaran dan Nyimas Ariya putra Mas Wasir 1, mempunyai anak : 
Anak ke 1, Raden Wirakara, yang menurunkan keturunan ke kaum dayeuh, Cijeul'er, Situraja.
Anak ke 2,  Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol yang menurunkan keturunan ke para Bupati Sumedang.
Anak ke 3, Raden Bagus, yang menurunkan keturunan ke Ganeas dan Bojongjati Sumedang.
Anak ke 4, Raden Sutaningdita, yang menurunkan keturunan ke Situraja Sumedang.
Anak ke 5, Raden Tanuraga, yang menurunkan keturunan ke Cimurug, Cisalak dan Regol Sumedang.
Anak ke 6, Raden Wangsasuta, yang menurunkan keturunan ke Hariang dan Bojongjati Sumedang.
Anak ke 7,  Nyi Raden Ayoe Mayar, yang menurunkan ke Sukapura Tasikmalaya, Sumedang.

Makam Dalem Wirakara atau Raden Wirakara putranya Raden Bagus Weruh atau Rangga Gempol 2 berlokasi di Pemakaman Umum Desa Cikadu Kecamatan Situraja, beliau adalah kakak dari Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol 3,  Bupati Sumedang ke 4 antara 1656-1706 masehi.

Raden Wirakara adalah putra pertama dari Raden Bagus Weruh  atau Dipati Rangga Gempol 2, yang  lebih memilih menjadi wedana di Situraja, sedangkan Keadipatian diserahkan kepada adiknya yaitu Pangeran Panembahan atau  Rangga Gempol 3, karena lebih cerdas dan mampu memimpin. 

Untuk membahas sejarah dalem Wirakara Cikadu Situraja tidak terlepas dari pengangkatan Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol 3.  Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol 3 merupakan Bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. 

Pada masa pemerintahannya dipenuhi dengan semangat perjuangan dan patriotisme untuk mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol 3 atau Kusumahdinata 6 dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. 

Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi.  

Cita-cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah Kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. 

Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dengan syarat Sumedang berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram.

Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dengan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. 

Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC . Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. 

Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. 

Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batu layang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur. 

Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. 

Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. 

Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. 

Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.

Pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak bergerak menuju Sumedang namun tidak melalui jalur utara atau laut, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan VOC, yaitu Maroberes (Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor). Pasukan Banten yang lain menuju Sumedang melalui Tangerang ke Patimun. Pada awal Mei 1678 wadyabalad Banten telah sampai di Sumedang. 

Kota Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan Sumedang, pasukan Banten tidak berhasil menguasai ibu kota Sumedang. Bertepatan dengan waktu penyerangan ini, di ibukota Banten sendiri sedang konflik antara Sultang Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. 

Untuk menghadapi perlawanan Sultan Haji, Sultang Ageng Tirtayasa yang kekurangan tenaga, meminta pasukan Banten yang berada di Sumedang untuk pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten. 

Pasukan Banten tidak begitu saja bisa meninggalkan Sumedang, karena pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Kejadian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Pangeran Senapati ing laga putranya Tumenggung Utama Kiyai Rangga Paman, tewas di medan pertempuran. Pasukan Sumedang tidak hanya berhasil mengusir tentara Banten, tapi juga berhasil merampas 20 pucuk senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang.

Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678 Kompeni menyampaikan ucapan selamat. Kompeni pun berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan kemudian, yakni tanggal 19 Juli 1678 VOC mengutus Jochem Michels ke Sumedang menghadiahi senjata dan mesiu. 

Saat itu pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal VOC berakhir. Atas kepiawaian Pangeran Panembahan dalam bernegosiasi, pada tanggal 7 Agustus 1678 Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).

Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Daerah-daerah itu dihancurkan. 

Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan, ditawan dan kemudian dibunuh. 

Untuk menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Ngabehi Satjaparana atau Cilik Widara dan Tjakrayuda atau Gagak Pranala , yang merupakan menantu Wiraangun-angun, Bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada bulan Ramadhan dan mereka menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678.


Bertepatan dengan Hari Raya 'Idul Fitri, rakyat dan pembesar Sumedang berada di Masjid Tegalkalong sedang melaksanakan shalat 'Id. Pasukan Kesultanan Banten menyerang pusat pemerintahan Sumedang di Tegalkalong. Sehingga banyak saudara-saudara Pangeran Panembahan yang gugur, di antaranya: Tumenggung Jagatsatru Tegalkalong, Satjapati, Aria Santapura, Raden Dipa, Mas Alom dan Nyi Mas Bayun 

Sebagian keluarga Pangeran Panembahan ditawan, yaitu: Raden Singamanggala, Raden Bagus, Raden Tanusuta. Sedangkan Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Ngabei Sacaparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja.

Setelah kalah dari pasukan Banten, Pangeran Panembahan meloloskan diri dan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu. Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramayu tidak berlangsung lama. Untuk mendapat bantuan, kemudian Pangeran Panembahan berangkat ke Galunggung, karena yang berkuasa di sana Demang Galunggung yang bernama Raden Sacakusumah, adalah pamannya. Ia adalah cucu Prabu Geusan Ulun. 

Di Galunggung ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, Bupati Parakanmuncang. Di Galunggung Pangeran Panembahan berupaya menyusun pasukan seadanya. Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup, kemudian Tumenggung Tanubaya menyerang Sumedang. Tanpa perlawanan yang berarti Sumedang dapat dikuasai kembali oleh Pangeran Panembahan. Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara.

Cilikwidara mengacaukan Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang. Selang empat belas hari kemudian, Cilikwidara menyerang Sumedang. Pangeran Panembahan tidak bisa mempertahankan kemenangannya. Sumedang berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai Bupati Sumedang, bahkan lebih leluasa. Pangeran Panembahan kembali melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.

Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan Sumedang, Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang. Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran Panembahan berinisiatif membentuk laskar penjaga keamanan yang disebut Pamuk. Pasukan ini terdiri atas 40 orang terpilih. 

Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlu mendapatkan bantuan pengamanan. Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah sawah semakin luas. 

Sebagian dari sawah itu dijadikannya sebagai Carik atau Bengkok bagi para pamuk. Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem Carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah Carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa.


Kita kembali ke Dalem Wirakara sebagai Wedana di Cikadu, konon tempat awal kota Situraja berada di Desa Cikadu, sebelum menjadi Kecamatan Situraja sekarang ini. 

Di makam Cikadu Situraja Sumedang, selain situs makam Dalem Wirakara sebagai pendiri Situraja pada masa Kewadanaan di jaman Pangeran Panembahan atau Dipati Rangga Gempol 3, ada juga makam Nyimas Anggraeni istri dalem Wirakara, makam Kiai Sumadikara putra dalem Wirakara, dan makam Buyut Purba.

Dalem Wirakara menikah dengan Nyimas Anah atau Nyimas Anggraeni, mempunyai anak :
anak ke 1, Nyimas Lengka
anak ke 2, nyimas Riya 
anak ke 3, Nyimas Laya 
Anak ke 4, Kiai Soemadikara
anak ke 5, Nyimas Noersian ditikah oleh Kiai Noerid


Salam Santun

Baca Juga :

Tidak ada komentar