SEJARAH KERAJAAN GALUH (Lanjutan 6)

Kerajaan-kerajaan Lain di Sekitar Galuh
Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil. Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya.

Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut :

1.     Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi)
2.     Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan;
3.     Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan;
4.     Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan;
5.     Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman;
6.     Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan;
7.     Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo;
8.     Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan;
9.     Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka;
10. Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribu kota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung;
11. Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara
12.   Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis sejak tahun 1812.

Sumber :
- Websites Galuh Pangauban
- Buku Pakuning Alam Darmaraja Sumedang.
- Rucatan Darna NgaRajaan - Darmaraja Sumedang.

Mitos Buaya dan Harimau
Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya. Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan. Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung”. Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos Harimau”.

Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya masih ada sejumlah tempat yang bernama Panereban. Pada masa silam, tempat tersebut konon merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus dihanyutkan (dilarung) di sungai. Sebaliknya, orang Kanekes (Banten) yang masih menyimpan banyak sekali peninggalan tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah (ngurebkeun). Tradisi nerebkeun di sebelah timur dan tradisi ngurebkeun di sebelah barat, membekas dalam istilah panereban dan pasarean.

Perjalanan sejarah lambat-laun telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini, Galuh dan Sunda (Orang Air dengan Orang Gunung) menjadi akrab. Perbauran ini, contohnya, dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor Kura-kura dan Seekor Monyet). Dongeng fabel khas Sunda ini sangat dikenal oleh segala lapisan masyarakat. Padahal dalam kenyataannya, monyet (wakil dari budaya gunung) dan kuya (wakil dari budaya air) itu bertemu saja mungkin tidak pernah.

Baca Juga :

Tidak ada komentar