Ziarah Raden Wangsa Muhammad / Pangeran Papak Garut

Ustad Hilmi Ahmad Hidayat dan Satrinya Pesantren Gunung Cupu Sumedang bertawassul di Makam Sunan Papak
Raden Wangsa Muhammad hidup dipertengahan abad ke-19 M. Dikenal dengan nama Pangeran Papak atau Sunan Papak. Beberapa ratus tahun yang lalu di Kampung Cicunuk hidup seorang kiyai bernama Raden Muhammad Juari dari keluarga keturunan bangsawan Balubur Limbangan. Ia menikah dengan Nyi Raden Siti Injang dan berputera 7 orang, salah satunya (bungsu) bernama Raden Wangsa Muhammad. Putera yang inilah kelak menjadi seorang kiyai mengikuti jejak ayahnya.

Menurut versi silsilah Pangeran Papak, Pangeran Papak atau Raden Wangsa Muhammad adalah keturunan dari Prabu Laya Kusumah (putera Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja), Nalendra Pakuan Raharja, yang menikah dengan seorang puteri Prabu Layaranwangi (Sunan Rumenggong) dari Keprabuan Kerta Rahayu bernama Nyi Puteri Buniwangi. Raden Hande Limansenjaya dan Prabu Wastu Dewa. Prabu Hande mempunyai seorang putera bernama Raden Wijaya Kusumah (kemudian terkenal dengan Sunan Cipancar).

Selanjutnya Raden Wijaya Kusumah berputera 14 orang, diantaranya yang sulung bernama Raden Wangsanagara yang melanjutkan keadipatian Galih-Pakuan menggantikan ayahnya itu. Raden Wangsanagara berputera 6 orang, salah satunya Raden Aria Jiwanata yang berputera Dalem Adipati Arya Rangga Megatsari Suryakusumah. Dalem Adipati Rangga Megatsari berputera 9 orang, diantaranya Dalem Adipati Suta Jiwanagara, yang wafat di Mataram dan berputera Dalem Emas di Sukadanah, Sadang, Wanaraja. Sedangkan Dalem Emas berputera 10 orang, diantaranya Dalem Sutanagara di Cinunuk.

Dalem Sutanagara, leluhur keturunan Cinunuk, berputera 8 orang diantaranya seorang perempuan bernama Nyai Rd. Teja Kiyamah, yang menikah dengan Raden Noer Chasim dan berputera 5 orang, diantaranya bernama Rd. Muhammad Aliyam. Raden Muhammad Aliyam menikah dengan Nyi Mas Domas dan dikaruniai putera 3 orang, salah satu diantaranya Raden Muhammad Juwari yang mempunyai putera Raden Wangsa Muhammad.

Raden Wangsa Muhammad dilahirkan di sebuah kampung bernama Cinunuk, kira-kira pada abad ke-18 M (tanggal, bulan dan tahun belum diketahui secara pasti karena belum ditemukan data, baik lisan maupun tulisan). Beliau tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan dan penurut pada kedua orang tuanya. Hormat pada yang lebih tua, sayang pada teman sebaya. Dalam pergaulan tidak pernah bersikap membedakan dengan anak sebaya dari keluarga apapun walaupun sebenarnya ia sendiri dari keluarga terah menak. Hal tersebut tampak manakala dalam bergaul tidak pernah bersikap mengambil jarak dengan siapapun. Memiliki perilaku demikian Raden Wangsa Muhammad sangat disenangi dan disayangi kalangan orang tua dan anak-anak sebayanya. Karena lahir dari keluarga kiyai maka dengan sendirinya iapun menunjukan tanda-tanda yang agamis.

Ketika Raden Wangsa Muhammad dewasa dan benar-benar telah menunjukan diri sebagai seorang kiyai sikap dan sifatnya yang terpuji semakin nampak, sehingga tak pelak lagi ia menjadi tokoh kharismatik. Hal itu, terutama ditunjukan oleh kearifan dan keluhuran budi pekertinya membuat ia disegani, dihormati dan dijadikan panutan masyarakat sekitar.

Semasa hidup sebagai seorang kiyai Raden Wangsa Muhammad selalu menuntun dan mengajarkan kepada masyarakat agar selalu berbuat kebenaran demi mencapai cita-cita hidup di dunia serta di akhirat kelak. Dalam ajarannya sering diungkapkan agar kita tidak lupa, yaitu ungkapan: Guru Ratu Wong Atua Karo Wajib Sinembah. Artinya kepada guru, pemimpin dan terutama kapada kedua orang tua kita harus selalu menghormati untuk menuju jalan bahagia dan selamat dunia akhirat.

Sikap tidak pernah membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan ajaran agama Islam yang menjadi prinsip Raden Wangsa Muhammad. Tidak ada perbedaan antara golongan ningrat dengan golongan cacah. Hal terpenting adalah berakhlakul karimah dan mempunyai niat suci. Atas prinsip dan sikap inilah Raden Wangsa Muhammad mendapat julukan Pangeran Papak.

Pangeran Papak artinyan seorang yang berbudi luhur dan tidak pernah membedakan harkat derajat manusia (papak-Sd.= rata, sama-Ind). Anjuran kepada masyarakat agar hati selalu tentram ialah ulah ngingu kabingung, miara kasusah, sangkan aya dina kagumbiraan manah (agar hati selalu tetap gembira).

Ketertarikannya dalam menghaluskan rasa melalui kesenian tradisi melahirkan karya seni monumental, yaitu kesenian tradisional Boyongan. Terdapat beberapa jenis kesenian tradisi yang selalu dipagelarkan waktu itu, diantaranya: wayang golek, reog, pantun, wawacan (beluk), tembang, karinding, terbang, tari dan boboyongan. Dalam pementasan semua kesenian itu senantiasa diselipkan ajaran Islam berupa petuah, suri tauladan, gambaran bagi orang-orang yang mau berbuat kebenaran, dan larangan-larangan bagi orang yang berbuat kedhaliman. Semasa hidup Raden Wangsa Muhammad banyak didatangi orang yang berkecimpung dalam dunia seni (seniman), para pelajar, dan orang-orang yang bergerak dalam bidang usaha lain untuk belajar ilmu/budi pekerti yang dimilikinya.

Kecintaannya dalam bidang ilmu pengetahuan melahirkan sebuah karya naskah sastra Sunda kuno berjudul Wawacan Jakah dan Wawacan Aki Ismun. Melalui dua media ini, Pangeran Papak menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat luas.

Pada suatu sore, dalam keadaan usia yang sudah uzur, Pangeran Papak merasakan firasat bahwa dirinya tidak akan lama lagi hidup di dunia fana ini. Segera beliau memanggil para sanak saudara dan kerabat dekat hendak menyampaikan wasiat terakhirnya.

Konon, setelah semua hadir Raden Wangsa Muhammad dalam keadaan berbaring di tempat peristirahatan menyampaikan tiga pesan. Pertama, bahwa sebagai manusia kita harus dan mesti percaya pada takdir, percaya bahwa umur telah ditentukan oleh Allah SWT. Kedua, jangan sekali-sekali melupakan dari mana kita berasal dan hendak kemana kembali. Jika kita tidak pernah melupakan hal itu maka akan selamat hidup di dunia dan akhirat nanti. Dan itulah sajatining manusia, hidup sempurna. Ketiga, harus selalu ingat pada Allah sebagai Al-Khalik (pencipta), dengan cara berkomunikasi dengan- Nya melalui ibadah shalat lima waktu. Kehidupan manusia di dunia tidak akan abadi, suatu saat akan dipanggil kehadapan-Nya. Dan di Yaumal Kiamah nanti manusia harus mempertanggung jawabkan segala apa yang pernah perbuat selama hidup di dunia.

Sementara semua yang hadir dengan keadaan tertunduk khusuk mendengarkan pesan-pesan itu, tiba-tiba terdengar ucapan “Lailahaillallah” dari mulut Raden Wangsa Muhammad. Seketika, hadirin terserentak kaget, masing-masing mengangkat kepala seraya melihat kepada Raden Wangsa Muhammad, dan terlihat jelas beliau telah menghembuskan nafasnya terakhir, berpulang ke Rahmatullah. Semua serentak mengucap: “Innalillahi wainna llaihi Roojiun”.

Raden Kiyai Wangsa Muhammad atau Pangeran Papak wafat pada Senin malam tanggal 17 Safar tahun 1317 H, atau tahun 1819 M (tanggal dan bulan masehi belum diketahui) dan dimakamkan keesokan harinya. Dimakamkan disebelah Barat Desa Kecamatan Cinunuk hingga sekarang makamnya banyak dikunjungi peziarah dari luar Kabupaten Garut. Makam tersebut terletak di sebelah barat Desa Cinunuk dalam sebuah bangunan (gedung) makam di atas sebidang tanah seluas 221 m2. Bangunan makam itu terdiri dari bangunan pokok, yang dijadikan tempat pekuburan Pangeran Papak luasnya 96 m2. Bangunan lainnya (satu suhunan) seluas 25 m2 digunakan pekuburan keluarga.

Raden Kiyai Wangsa Muhammad meninggalkan putera dan puteri, yaitu: Rd. Wangsadinata, Rd. St. Satrimah, Rd. Wangsadirya, Rd. Danudiwangsa, Rd. St. Gandaningrum, Rd. Natadiwangsa, Rd. St. Surtiyah, Rd. Satria, Rd. Jayadiwangsa, Rd. Wiradiwangsa, Rd. Wigenadiwangsa, Rd. Atmadiwangsa, Rd. Tisnadiwangsa, Rd. St. Lengkawati.

Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) adalah pembawa Islam di tanah Garut. Makamnya selalu ramai diziarahi. Nama Pangeran Papak adalah sebutan untuk Raden Wangsa Muhammad yang dikenal oleh masyarakat Garut dan para peziarah lainnya. Sebelum masuk ke areal makam Cinunuk dimana makam Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) berada terdapat sumur tujuh Cinunuk.

Mata air yang sangat segar ini dipercaya memiliki khasiat tertentu. Saat ini mata air tersebut telah dialirkan di keran sehingga peziarah muda untuk mandi atau sekedar wudhu sebelum masuk ke makam Raden Wangsa Muhammad (Pangeran Papak). Peziarah meyakini bahwa mata air sumur tujuh Cinunuk sebagai air karamah.

Bagi masyarakat sekitar sebutan Pangeran Papak lebih popular dibandingkan nama asli beliau yaitu Raden Wangsa Muhammad. Sebutan Papak untuk Raden Wangsa Muhammad dikarenakan karena tangannya papak atau rata dijari tengah dan telunjuk. Sebutan ini dijelaskan oleh teman saya, Aji yang asgar atau asli garut.

Pangeran atau Kyai Papak selalu mengunakan kelebihannya, yaitu sama ratanya kedua jarinya untuk berdakwah. “Tiada perbedaan antara manusia di mata Allah melainkan hanya amal ibadahnya. Barang siapa diantara kalian menjalankan apa yang saya ajarkan tentang ilmu kesucian, ilmu kenabian, ilmu kerasulan dan ilmu kesucian maka kalian kelak akan disejajarkan dengan para kekasih Allah / aulia Allah / wali Allah.” sambil Pangeran Papak menunjukkan kedua jarinya yang tidak pendek sebelah.

Ada kisah yang berbeda mengenai nama Papak. Sebutan Papak bagi Raden Wangsa Muhammad karena sikap dan prinsip beliau. Raden Wangsa Muhammad memiliki prinsip tidak pernah membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan ajaran agama Islam. Tidak ada perbedaan antara golongan ningrat dengan golongan cacah.

Hal terpenting adalah berakhlakul karimah dan mempunyai niat suci. Atas inilah mendapat julukan Pangeran Papak. Sehingga Pangeran Papak diartikan seorang yang berbudi luhur dan tidak pernah membedakan harkat derajat manusia (papak= rata, sama). Anjuran Raden Wangsa Muhammad atau Pangeran Papak kepada masyarakat adalah agar hati selalu tentram : ulah ngingu kabingung, miara kasusah, sangkan aya dina kagumbiraan manah (agar hati selalu tetap gembira).


SILSILAHNYA :


Prabu Siliwangi :  (1482 – 1521 M), Kanjeng Pangeran Mangku Negara, Prabu Banjaran Sari, Sri Baduga Maharaja – Rundayanana :

Dari isteri Nyi Ratu Putri Buniwangi, Ratu Ayu Rambut Kasih Sekar Arum Rutjitawati Kancana (Limbangan), putri dari Prabu Layaranwangi (Sunan Rumenggong) dari Keprabuan Kerta Rahayu, berputra antara lain :


- Raden (Prabu) Hande Limansenjaya, atau  Prabu Liman Djaja yang adalah putra Prabu Siliwangi yang ke-19; dan ada lagi Prabu Wastu Dewa dari ibu yang sama. 

- Prabu Hande (dan istri Ratu Sang Hiyang Anten, putra Prabu Silalangu Laya Kusumah; sedangkan Silalangu adalah putra dari Prabu Munding Wangi yang adalah kakak dari ibunya Limanjaya. (berarti menikah dengan keponakan) mempunyai seorang putera bernama Raden Wijaya Kusumah, atau Prabu Adipati Djaja, Sultan (Sunan) Cipancar.  Cucu Prabu Siliwangi ini masuk Islam pada tahun  1525 M

- Raden Wijaya Kusumah berputra 14 orang, yang sulung bernama  Raden Tumenggung Wangsanegara, Sunan Karaseda, yang melanjutkan ke-adipatian Galih-Pakuan, menggantikan ayahnya.

- Raden Tumenggung Wangsanegara berputra 6 orang, salah satunya Raden Adipati Aria Djiwanata.

- Selanjutnya Raden Adipati Aria Djiwanata berputra  Dalem Raden Adipati Arya Megatsari Suryakusumah, Regent Limbangan tahun 1625, yang berputra 9 orang di antaranya :

-Dalem Adipati Suta Djiwanagara,  yang wafat di Mataram;  berputra 1 orang, ialah :

- Dalem Tumenggung Widjajakusumah, Dalem Emas, di Sukadanah, Sadang Wanaraja; dengan istri bernama Raden Ayu Singa, (putra Raden Wira Bangsa yang adalah putranya Raden Adipati Aria Djiwanata); berputra 10 orang di antaranya :

- Dalem Raden Adipati Sutanagara  di Cinunuk, Wanaraja – Garut. Leluhur keturunan Cinunuk ini berputra 8 orang, di antaranya seorang perempuan bernama :

- Nyai Raden Siti Tedja Kiamah;  menikah dengan  Raden Kiai Noer Chatim (Penghulu Limbangan, putra Raden Kiai Suta Merta, putranya Dalem Merta Singa)  yang berputra 5 orang di antaranya :

- Raden Kiai Muhammad Aliyam, beristri Nyimas Domas dari Cinunuk, berputra 3 orang, yang  di antaranya :

- Raden Kiai Muhammad Djuwari,  beristri Raden Nyimas Indjang (Sindjang); berputra 7 orang, yang diantaranya adalah :

Raden Wangsa Muhammad, Pangeran Papak, yang lahir di Cinunuk pada abad ke-19 Masehi, Wafat 17 Safar 1317 H atau Senin, 26 Juni th 1899 M.  Keturunan ke-12 Prabu Siliwangi ini berputra 14 orang dari 6 istri yaitu :

1.  Dari istri pertama Nyi Raden Siti Rukimah alias Eyang Enok: Raden Wangsadinata; Nyi Raden Siti Satriamah alias Eyang Inut (istrinya Raden Mochamad  Zainal Asyik) : 
- Raden Wangsadiwiria; 
- Raden Danudiwangsa;  
- Nyi Raden Gandaningrum/ Ratnaningrum; 
- Raden Wiradiwangsa. 

2. Dari istri kedua Nyi Raden Siti Karsiah :  
- Raden Natadiwangsa; 
- Nyi Raden Siti Sutriyah, alias Eyang Entri.  

3.  Dari istri ketiga Nyi Raden Siti Maemunah berputra satu orang bernama 
- Nyi Raden Siti Satria Kusumah.

4.  Dari istri keempat Nyi Raden Andewi :  
- Raden Djajadiwangsa; 
- Raden Wigenadiwangsa.

5. Dari istri kelima Nyi Raden Mas Djerot :  

- Raden Atmadiwangsa; 
- Nyi Raden Lengkawati.

6. Dari istri keenam Nyi Raden Mas Ito : 
- Raden Tisnadiwangsa.

Baca Juga :

Tidak ada komentar