Telaah Kosmologi Kota Sumedang

Letak Geografis Kota Sumedang
 
Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Sumedang yang terletak sekitar 45 km Timur Laut dari Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.


Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang merupakan daerah yang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon. Jalur utama ini dibuat pada tahun 1811 yang merupakan peninggalan Jendral Deandels. Ketika itu banyak rakyat Sumedang yang menderita, karena dipaksa membuat jalan di bukit yang bercadas.  Sampai sekarang jalan ini dikenal dengan sebutan Jalan Cadas Pangeran.


Kosmologi Sumedang Sebagai Kota Kuno

Kosmologi menurut pengertian kamus bahasa sunda adalah ilmu yang menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang waktu dari alam semesta. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu objek. Kata Kosmologi sendiri sebenarnya berasal dari kata “Kosmos” yang berarti susunan, tatanan, dan ketertiban. Dalam kosmologi, manusia mencari struktur-struktur dan hukum-hukum yang paling umum dan mendalam dalam kenyataan duniawi sebenarnya. 


Dalam kosmologi manusia bertanya : dunia ini apa? materi itu apa? perubahan itu apa? ruang dan waktu itu apa? penyebab atau kausalitas itu apa?. 

Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong manusia memikirkan dunia sebagai suatu keseluruhan menurut dasarnya, menurut intinya dan tempatnya dalam keseluruhan.

Sumedang dikenal sebagai Puser Dayeuh/Pusat Budaya Sunda karena menyimpan koleksi artefak budaya yang cukup banyak yang masing-masing memiliki makna simbolis tentang aspek kosmologi, yang menyiratkan hubungan antara manusia, alam dan penciptanya. 

Jika dilihat dari beberapa peninggalan artefak budayanya cenderung pada pola-pola yang memakai pola empat kemandalaan Sunda Purbahyang (Pola Mandala Opat Kalima Pancer). Lihat Gambar dibawah ini :





Analisis artefak budaya di Sumedang dapat dibedakan berdasarkan periode sejarahnya. Periode tersebut terdiri dari artefak masa megalitik (memakai Pola Tiga/Tri Tangtu Buana/Pola Kebijakan Nagara sebagai Pola Budaya Sunda Asli) seperti pada area di makam Aji Putih, dan ada artefak memakai pola empat

Hal ini ditambah lagi pernah ada hubungan yang cukup ‘erat’ antara Sumedang dengan Mataram di masa lampau. Pada masa Sumedang Larang berjaya, Prabu Geusan Ulun sering berangkat ke Mataram untuk memperdalam ilmu agama. 



Dan ketika Sumedang dikuasai Mataram maka pengaruh Jawa (Majapahit) semakin banyak masuk ke Sumedang. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram.

Di antara pengaruh tersebut dapat kita lihat contohnya seperti pada tata letak kota, benda regalia di museum YPS Prabu Geusan Ulun Sumedang, monumen lingga, keris, kereta kencana, seni musik, bahkan kesenian Sunda yang ada di Rancakalong Sumedang yang masing-masing terdapat pengaruh pola papat kalima Pancer.


Alam pikiran pola empat dalam beberapa hal merupakan gabungan dari pola dua dan pola tiga. Dari pola dua, unsur dominasinya yang diambil, yakni semangat persaingan untuk mengalahkan pasangan dualistiknya. Dari pola tiga, diambil unsur azas timbal balik.

Penempatan alun-alun sebagai pusat kota merupakan salah satu contoh tentang penerapan pemahaman kosmologi pada saat pendiriannya. Alun-alun yang  di dalamnya terdapat lingga bermakna transenden dijadikan sebagai pancer dari hubungan pasangan dualistik yang masing-masing membentuk garis imajiner. 



1. Alun-alun
Alun-alun menjadi pusat dari peta kosmologis antar hubungan pasangan dualistik yang paradok antara gunung tampomas simbol laki-laki dan empang sebagai simbol perempuan, antara mesjid agung (kebaikan) dengan rumah penjara (keburukan), dan antara gedung Jaksa dengan kantor pemerintahan.

Di dalam ruang kosmologi alun-alun terdapat sebuah monumen Lingga yang didirikan tahun 1922 oleh Yayasan Pangeran. Lingga ini terkesan lebih modern karena memang sudah ada pengaruh arsitektur Belandanya. Di samping itu, Linggayoni ini cenderung lebih memperlihatkan konsep-konsep Jawa karena Lingga dibentuk bersatu dengan Yoninya. Lingga Yoni ini merupakan lambang harmonisasi paradok antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bagian atas (lingga) yang berpola lingkaran mengalami deformasi dibagian tengah yang kemudian menjadi Yoni yang berpola kotak pada bagian bawahnya.



Alun-alun beserta gedung jaksa, gedung Negara, Rumah penjara, dan mesjid agung merupakan satu paket yang saling berhubungan. Masyarakat Sumedang yang diibaratkan tinggal di alun-alun akan di sidang di gedung jaksa/pengadilan dan bila terbukti bersalah maka akan diproses di rumah penjara. Setelah keluar dari rumah penjara kemudian di tempa ilmu agama di Mesjid Agung setelah keluar dari mesjid agung akan kembali menjadi masyarakat yang harmonis.

2. Gedung Negara
Gedung ini diidentikan seperti keraton di Jogjakarta sbagai pusat pemerintahan. Lokasinya segaris dengan Gunung tampomas, gedung jaksa, Lingga di alun-alun dan Empang.

3. Empang
Empang merupakan semacam danau kecil yang terdapat di belakang gedung pemerintahan. Empang disimbolkan sebagai perempuan yang bersifat basah. Empang merupakan pasangan dari gunung Tampomas yang berada di sebelah utara alaun-alun Sumedang. Di empang ini terdapat semacam tempat berteduh yang dinamai bale kambang. Bale kambang ini dipakai sebagai tempat untuk istirahat dan memancing. Ikan yang ada di empang ini hanya jenis ikan tertentu saja seperti ikan Ranca. Ikan Ranca ini dipanen hanya setahun sekali yaitu pada saat menjelang upacara penyambutan hari Mulud. 



4. Mesjid Agung
Mesjid merupakan ruang yang bernilai illahiyah. Tempat ini berfungsi untuk menciptakan masyarakat yang harmoni. Mesjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun. (Wilayah Resi)



5. DPR/Pengadilan/Gedung Jaksa
Gedung DPR sebagai wakil rakyat dan Gedung jaksa yang berada di sebelah utara alun-alun merupakan tempat proses pengadilan. 

6. Rumah Penjara
Tempat ini digunakan sebagai ruang tahanan dari masyarakat Sumedang yang melanggar hukum.

7. Tampomas
Gunung Tampomas merupakan gunung stratovolcano andesitik kecil yang ada di Kabupatén Sumedang, Jawa barat, Indonésia. Berdasarkan naskah Bujangga Manik, dahulu gunung ini dinamakan gunung Tompo Omas. Tampomas terletak di sebelah utara kota Sumedang (6.77° LS 107.95° BT). Stratovolcano dengan ketinggian 1684 meter ini juga memiliki sumber air panas.


Gunung ini seperti halnya gunung merapi di Jawa Tengah dimaknai laki-laki. Gunung ini membentuk garis imajiner dan dipasangkan dengan empang yang berada di arah selatan alun-alun Sumedang. Gunung dimaknai sebagai lelaki karena bersifat kering. Apalagi dengan penggalian pasir galian c di Suku Gunung tersebut menambah kekeringan pohon-pohon dan tanaman.

Baca Juga :

Tidak ada komentar