Situs Ibunya Prabu Aji Putih Ada di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan



1. Historis Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan
Cipancar berdiri sekitar abad ke 7-8 Masehi. Salah satu kampung buhun atau kampung tua yang ada di Sumedang karena Cipancar berdiri lebih dulu dari Kota Sumedang.

Pada saat itu Kerajaan Galuh Pakuan dimana sang Raja Purbasora hendak menurunkan tahta kepada anaknya Wijaya Kusuma, terjadilah perebutan kekuasaan oleh Sanjaya

Dari kudeta itu terjadi perang bersaudara yang membuat Purbasora terdesak. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret dan Ratu Komalasari atau Sunan Pancer atau Sunan Baeti disertai Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Galuh yang tengah kacau.








Mereka berlari tanpa tahu tujuan. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana mereka bisa selamat dari kekacauan yang terjadi di kerajaan. Hingga sampailah mereka di daerah yang kini bernama Cipancar.

Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Secara kebetulan pada saat pertama kali Prabu Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar,... Cipancar...,Cipancar," yang berarti air memancar.

Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi Desa Cipancar. Prabu Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuan. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat. Tempat pembagiannya dikenal dengan sebutan Baginda.

Maka dari itu kita mengetahui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan kudeta yang terjadi di Galuh Pakuan. Nama Cipancar sendiri diambil dari perkataan Purbasora yang berarti air yang memancar.  
Mata air itu masih ada hingga sekarang di dekat lingkungan makam Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, yang disebut  Cikajayaan, Cipanyipuhan dan Cimedang.

Nama Cipancar juga mengandung arti yaitu Ci artinya air, pancar artinya Pusat atau Induk atau asal mula, jadi kata Cipancar berarti penyebaran dalam arti pusat - induk - asal muasal, karena Cipancar Girang Limbangan dan Cipancar Hilir Sumedang satu pertalian saudara kakak adik, yaitu : Prabu Wijaya Kusuma di Cipancar Limbangan, Wiradi Kusuma atau Sunan Pamret dan Dewi Komalasari di  Cipancar Hilir Sumedang jaman Galuh Medang Kamulyan. 


2. Sunan Pancer atau Ratu Dewi Komalasari, Ibunya Prabu Aji Putih
Dewi Komalasari atau Sunan Pancer atau Sunan Baeti adalah Ibunya Prabu Aji Putih yang menurunkan trah-treuh Kerajaan Tembong Agung dan Sumedang Larang. Untuk mengupas sejarahnya sedikit historis sejarahnya di masa kerajaan Galuh jaman dahulu.

Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur).

Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun.

Prabu Wertikendayun penguasa kerajaan Galuh Purwa mempersunting Ratu Candraresmi melahirkan tiga putra yang bernama :
1. Sempak waja, yang menjadi penguasa Saunggalah Kuningan
2. Jantaka, penguasa Denuh
3. Mandiminyak yang menjadi penerus Galuh

Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik, Mandimiyak pemuda yang tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan.

Untuk mengobati kecemburuan Sempakwaja dan Jantaka maka Prabu Wretikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra Purbasora.
 
Sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri, setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung karena merasa tidak layak tinggal di istana dipindahkan ke Denuh dan melahirkan Bima Raksa / Buna Raksa / Aki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda.

Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan Brata Senawa (Sang Sena) menjadi pemangku kerajaan Galuh, penobatan tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung, karena Bratasenawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu istri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu mandiminyak sendiri.

Arya Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan Sumedang  bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh.

Sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Brata Senawa berhasil meloloskan diri ke Gunung Merapi sehingga selamat dari gempuran pasukan Purbasora.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Arya Bimaraksa  menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya melahirkan :
1. Aji Putih.
2. Usoro.
3. Siti Putih.
4. Sekar Kencana.

Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa. 
Sementara Bratasenawa mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara, kemudian Candraresmi menobatkan Brata Senawa menjadi Pemangku kerajaan Kalingga Utara, kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Brata Senawa sebagai penguasa sah Galuh.

Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sanjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sandjaya.

Sedangkan Patih Bimaraksa dan istrinya Ratu Komalasari, Wiradi Kusuma Wijaya Kusuma serta keluarganya  berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejaknya, dari penelusuran sampai di Daerah Seger Manik (Sagara Manik daerah di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan sekarang). Semasa kecil Prabu Aji Putih tinggal bersama keluarganya di Daerah Seger Manik ini.


Kemudian Patih Bimaraksa melakukan perjalanan yang sangat jauh kearah utara melintasi hutan lebat sampai Citembong Agung Girang, Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya (Gunung Nurmala) dan berakhir dikampung Muhara Leuwi Hideung Darmarajadi sanalah Bimaraksa mendirikan Padepokan Tembong Agung sekaligus mendidik putranya Aji putih yang dipersiapkan sebagai pemimpin yang tangguh.

Berdirinyanya kerajaan Tembong Agung menarik simpati para Resi di tatar Galuh agar bisa mengatasi ambisi Prabu Sanjaya merebut dan menaklukan kerajaan-kerajaan berpengaruh di tatar Galuh.

Prabu Sanjaya berhasil menggabungkan kerajaan MedangJati, kerajaan Indraprahasta dengan kerajaan Galuh. Kemudian mengangkat patih Saunggalah (Kuningan) yaitu Wijaya kusuma, putra Purbasora menjadi pemangku kerajaan Galuh
Kemudian Sanjaya pergi ke arah timur (Bumi Mataram) dan mendirikan kerajaan (Wangsa Sanjaya).

Namun tidak berlangsung lama berkuasa kemudian Wijaya Kusumah digantikan oleh Prabu Permana Dikusuma (Permana Ajar Padang). Di awal kekuasaannya memindahkan kerajaan Galuh ke daerah Bojong Galuh Karang Kamulyan (Ciamis), kemudian mengangkat patih Agung Arya Bimaraksa dan mengangkat Tamperan Barmawijaya (putra Prabu Sandjaya) menjadi mentri muda kedudukanya sebagai Strategis Tempur/Perang.

Hubungan Prabu Permadi Kusuma (Ajar Padang)  dengan Patih Arya Bimaraksa bertambah dekat dan harmonis setelah Prabu Permadi kusuma  menikah dengan Dewi Naganingrum putrinya Patih Arya Bimaraksa untuk mengikis perseteruan saudara dimasa lalu.


Kehadiran Bimaraksa di istana Galuh punya peranan cukup besar dalam perkembangan kerajaan Galuh yang semakin besar besar pengaruh dan disegani kerajaan-kerajaan ditatar Sunda.

Namun terjadi pergantian kekuasaan oleh Prabu Tamperan Barmawijaya (Arya Kebonan) putra Sanjaya. Pasukan Sunda ingin menghilangkan sisa-sisa orang Galuh yang berpengaruh akibatnya terjadi pertempuran.

Ki Balagantrang (Arya Bimaraksa) berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Prabu Purbasora oleh Rakai Sanjaya kemudian tinggal di Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis).

Ki Balagantrang  berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Keturunan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Prabu Wretikandayun, Balagantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Sang Manarah (Ciung Wanara) melalui tangan Sang Manarah ini Ki Balagantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan (antara Ciung Wanara dan Tamperan Barmawijaya) putra Sanjaya.  


Versi Darmaraja ketika dilakukan penyerangan ke Galuh adalah pada jaman Prabu Tajimalela yang dibantu Wadya balad Limbangan Garut.

Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Sang Manarah dan Ki Balagantrang / Aria Bimaraksa pensiun sebagai patih Galuh. Dan menjadi Resi Batara Agung.

Ki Balagantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih dan Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu Komara atau Nini Balagantrang (Dewi Komalasari)

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Prabu Guru Aji Putih dari hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra : yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Prabu Resi Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Resi Demunawan merupakan putera dari Prabu Batara Sempakwaja. Serta penguasa Galuh (Hariang Banga dan Sang Manarah)

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi mahaguru.  Sebelumnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan / Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu Tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum ajaran agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168 M). 


Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) dari Syekh Rukmantara, yang hampir mirip dengan agama Wiwitan Sunda, maka Prabu Aji Putih berangkat menuju Mekah untuk menpendalam agama Islam, sehingga Prabu Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang jawa yang masuk Islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.

Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, diantaranya : 

1. "Ashadu sahadat bawa ngajadi, sahadat batin manusa, malaikat dat maring Allah, medal ti Adam, metuna ti Ratu Galuh, metuna ti kuncung Agung, medal cahyaning Allah, tina Sir acining putih, jasad sukma rohing nyawa'

2. "Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Allah, Maring Malaikat, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh…..(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani….). 

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Sanghyang Resi Agung (Arya Bimaraksa) dan Dewi Nawang Wulan istrinya.

Berdasarkan sejarah Cipancar Ratu Komalasari bin Purbasora bin Sempakwaja bin Wretikendanyun (Eyang Istri Sunan Pancer), istrinya Aria bunaraksa atau Aria Bimaraks (Resi Agung),  yang menjadi Ibunya Raja Tembong Agung pertama yaitu Prabu Aji Putih, yang menurunkan keturunan kerajaan Sumedanglarang.

Berdasarkan buku ceritaan yang turun-temurun di Pak Toto (Kuncen), menjelaskan Prabu Aji Putih semasa kecilnya di Seger Manik dahulu (Cipancar) bersama orang tuanya yaitu Ratu Komalasari dan Aria Bimaraksa, cuma sewaktu mau berdirinya kerajaan Tembong Agung, lalu Aria Bimaraksa / Resi Agung bersama putranya meninggalkan Cipancar, mulai mendirikan padepokan di Citembong Girang Kecamatan Ganeas, lalu mendirikan Bagala Asih Panyipuhan di Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja yang merekrut bala tentara dan para resi ditatar sunda, yang akhirnya mulai berdirinya Kerajaan Tembong Agung, sedangkan Ibunya Prabu Aji Putih (Ratu Komalasari) dan Uwaknya Wiradikusuma tetap mengurus padedokan di Cipancar, tidak ikut campur dalam urusan kerajaan di masa Tembong Agung di Darmaraja.


Di sebelah kanan, kiri dan di atas makam Ibu Ratu Sunan Pancer Buana atau Ratu Komalasari putranya Prabu Purbasora, ada pula makam kakak Dewi Komalasari yaitu Wiradi Kusuma, dan para pengawalnya cuma nama-namanya tidak diketahui dengan jelas.

Menurut ceritaan turun temurun Desa Cipancar yang sekarang menjadi Komplek Pemakaman Umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, pada jamannya merupakan tempat Paguron (Perguruan) atau Padepokan untuk melatih ilmu kanuragan, sebab ada beberapa batu tatapakan kaki yang berada di tempat pemakaman umum Desa Cipancar.  

Salam Santun



Baca Juga :

Tidak ada komentar