Berjiarah ke Makam Pangeran Santri


Pada Bulan Oktober (bulan Muharram 1437 H) dua kali penulis berjiarah ke makam Pangeran Santri bersama Kang Cahyadi Effendi dan kedua murid talqinnya yaitu tanggal 16 dan 20 Oktober 2016, bersuluk atau berzikir menahan rasa kantuk di makam Gunung Ciung Pasarean Gede Kecamatan Sumedang Selatan (Kota Sumedang).  

Di Pasir Gunung Ciung Makam Pasarean Gede, ada makam-makan :
Pasir Atas : Makam Pangeran Santri dan istrinya Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Nyi Mas Ratu Pucuk Umun), Dalem Istri Ayu Radja Ningrat, Dalem Adipati Koesomah Adinata (Dalem Anom), Dalem Adipapati Soerianagara II, Rd. Ayu Raja Mirah, Dalem Adipati Soerialaga I,  Pangeran Karuhun (Pangeran Kusumah Dinata VII)

Di bawah  : Rd. Soeriadipraja, Rd Ayu Djogojanagara, Rd. AA Koesmah Juda (Dalem Ageung), Rd. Ayu Soerianagara, Pangeran Kornel, Rd. Siti Mariam, Rd, Ayu Khamsiah, Rd. AA Soerialaga II (Dalem Talun), Rd. Ayu Rajanagara, Rd. Tumenggung Soerialaga, Rd. Ayu Lengggangnagara, Rd. Ayu Kusumahningrum, Rd, AA Kusumah Dinata X (Dalem Alit), Rd. Ayu Siti Aminah (Ibu Pangeran Soeriatmadja), Embah Komarurudin (Embah Jangkung).
Dan keturunan Sumedanglarang lainnya.


Lihat Gambar dibawah : 



Tujuan berjiarah adalah bertawassul mendo'akan untuk para nabiullaah, kangjeng Rosul Muhammad Saw dan keluarganya, para sahabat nabi, para waliyullaah, ahli silsatil thoriqoh, para leluhur Sumedanglarang dsb, terasa lebih khusu daripada bertawassulan sendirian di rumah. 

Makam Pangeran Santri (Raden Sholih) dan Istrinya Ratu Inten Dewata 
(Nyi Mas Ratu Pucuk Umun) di Gunung Ciung, Pasarean Gede di Kota Sumedang
 

Melihat lebih jauh ternyata penulispun ada nasab kepada Pangeran Soegih hingga kepada Pangeran Santri (Raden Sholih bin Pangeran Muhammad), sungguh atas kehendak-Nya dan semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah SWT.

  


1. Sekilas Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Nyi Mas Ratu Pucuk Umun)

Pusat Kerajaan Sumedanglarang ditetapkan di Kutamaya yang terletak di kawasan Sumedanglarang. Istana Kerajaan dibangun dari bahan baku serba kayu, menggunakan arsitek model Sunda dengan menghadap ke alun-alun Mayadatar. Simbol cita-cita Ratu Pucuk Umun dinukilkan dalam monument Kuta yang dibuat dari tanah dalam bentuk bulat dan membujur ke arah langit.

Kehadiran Pangeran Santri (Raden Solih bin Pangeran Muhammad bin Pangeran Panjunan Cirebon) menjadi pendamping Ratu Pucuk Umun mendorong terhadap perkembangan kerajaan. Sentuhan-sentuhan Islam lebih berdenyut bahkan secara bertahap Islam berkembang dikalangan rakyat. Kemudian Pangeran Santri yang memusatkan perhatian kepada gerakan syiar Islam mendirikan sarana ibadah di lingkungan karaton. Sehingga menambah wawasan dan memperkuat keyakinan agama dikalangan keluarga raja.

Selain itu pengaruh Pangeran Santri mendorong terhadap hubungan Sumedanglarang dengan Cirebon baik dalam segi hubungan keagamaan, sosial politik dan ekonomi, termasuk hubungan seni budaya. Pendekatan seni budaya telah menunjukkan munculnya kegiatan seni yang bernafaskan Islam, seperti : seni rebana, terebang yang dikenal oleh masyarakat pada saat itu seni sholawat. Demikian juga dalam upacara-upacara ritual tak lepas dari nuansa keislaman bahkan tradisi upacara pengantin diwarnai oleh khataman, yaitu seni membaca Al Qur’an dilakukan secara bergantian dan serempak, disajikan setelah peresmian pernikahan.

Sentuhan seni budaya Cirebon tampak dalam arsitek sarana ibadah, lukisan dinding, bentuk kendaraan tradisional termasuk bangunan-bangunan pesantren. Sejak itu pulalah rakyat Sumedang mulai mengenal kain batik Cirebon.

Perkembangan baca tulis turut memacu perkembangan sosial kemasyarakatan, sehingga babon-babon jenis wawacan sastra lisan disalin kedalam huruf Arab Gundul (Pegon). Perkembangan tersebut membawa Kerajaan Sumedang Larang kedalam percaturan yang lebih luas, sehingga dikenal oleh kalangan Raja-raja di pulau Jawa.

Batas wilayah kekuasaan Sumedanglarang meliputi batas barat deretan pegunungan Manglayang yang memisahkan Sumedang Larang dengan Sukapura (Bandung dahulu), batas utara daerah Ujungjaya, batas timur kali Cilutung dan batas selatan deretan Pegunungan Cakrabuana meliputi daerah Limbangan Garut.

Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum),  mempunyai putra :
1. Pangeran Angkawijaya.
2. Demang Rangga.
3. Demang Watang.
4. Santoan Tjikeruh.

Dari sejak kecil diajari ilmu kepemimpinan dan ajaran Islam. Setelah Pangeran Angkawijaya dewasa, ada tanda-tanda Ratu Pucuk Umun (Nyi Mas Ratu Inten Dewata) menyerahkan tahta kekuasaannya kepada Pangeran Angkawijaya, akan tetapi belum cukup usia.

Menjelang tahun 1578, tersiar berita dari para juru telik sandi yang mengkabarkan bahwa Keraton Pajajaran diserbu pasukan Surasowan Banten yang didukung oleh tentara Islam Cirebon. Tahta penoobatan Raja Sriwacana diboyong ke Surasowan Banten. Prabu Siliwangi Ragamulya atau Prabu Suryakencana berada dalam kejaran Pangalima Perang Surasowan bernama Ki Jungju, kemudian bersembunyi di hutan Pulo Sari. Sedangkan Keraton Pajajaran dibakar habis.

Di ujung tahun tersebut, Ratu Pucuk Umun (Nyi Mas Ratu Inten Dewata) kedatangan empat Kandaga Lante Pajajaran, bernama : 

1.   Jaya Perkasa (Sanghyang Hawu)
Nama asilinya Jaya Kusumah atau lebih dikenal sebagai  Prabu Jaya Prakosa atau Mbah Jaya Perkosa), atsar (petilasannya) yang dipercaya berada di dusun Dayeuh Luhur RT 03/RW 02, desa Dayeuh Luhur, Kecamatan Ganeas di Puncak Gunung Rengganis, walaupun berupa Batu kabuyutan Gunung Rengganis (Gunung Curi), tak jauh puncak Gunung Rengganis ada makam Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angka Wijaya) dan Ratu Harisbaya.  Namun makam Prabu Jaya Prakosa atau Mbah Jaya Perkosa, adanya di makam Tajur di  desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, berdampingan dengan Petinggi Pajajaran yang lainnya yaitu Sutra Bandera dan Sutra Pangumbar, yang datang bersama Rd. Aji Mantri dan 4 Kandaga Lente bersama wadya balad sarewu dari Pulosari Pandeglang Banten sewaktu Pajajaran burak di jaman Prabu Nusiya Mulya (Prabu Surya Kancana  / Panembahan Pulosari / Prabu Seda)

2. Dipati Wirajaya (Nangganan)
Nama aslinya Dipati Wirajaya (Nangganan), yang makamnya di dusun Cileuweung, RT 05/RW 04 Desa Sukaweuning, Kecamatan Ganeas.

3. Batara Pancar Buana (Terong Peot)
Batara Pancar Buana atau Terong Peot atau Ki Jagalawang, yang makamnya berada di dusun Batugara RW 08/RW 10, Dusun Batugara Kecamatan Ganeas.

4.  Batara Kondang Hapa
Batara Kondang Hapa, yang makamnya berada di dusun Cileuweung RT 05/RW 04, Desa Sukaweuning, kecamatan Ganeas.

Ke-empat Kandaga Lante sengaja datang atas perintah Prabu Siliwangi Ragamulya untuk menyampaikan Mahkota Binokasih yang terbuat dari emas murni sebagai lambang kebesaran raja-raja Pajajaran. Penyerahan Mahkota tersebut sebagai tanda bahwa Sumedanglarang adalah penerus Kerajaan Pajajaran. Setelah itu ke Empat Kandaga Lante menyatakan diri untuk mengabdi (Geusan Ulun kumawula) kepada Sumedang Larang. Mengangkat Prabu Jayaperkasa sebagai Patih Agung Sumedanglarang, ketiga Kandaga Lante lainnya ditetapkan sebagai pembantu tugas-tugas Jaya Prokasa, dengan pangkat Senopati atau Panglima Perang.

Semula Ratu Pucuk Umun ragu-ragu menerima Mahkota itu, oleh karena yang berhak melanjutkan Kerajaan Sumedang Larang adalah Pangeran Angkawijaya, yang saat itu usianya kurang lebih 20 tahun, artinya belum cukup usia untuk diangkat menjadi raja. Aturan kerajaan adalah usia 22 tahun baru memenuhi syarat jadi raja. Untuk mencukupi usia tersebut harus menunggu dua tahun lagi. Selama itu Ratu Pucuk Umun memerintahkan agar Pangeran Angkawijaya berguru ilmu kepemimpinan dan ilmu Islam ke negeri Demak.

Pangeran Angkawijaya yang dikenal taat kepada perintah, meninggalkan Keraton Kutamaya dengan mendapat pengawalan  Jaya Prakosa. Perjalanan melintasi jalur Selatan pulau Jawa, akhirnya tiba di negeri Demak. Disitulah Pangeran Angkawijaya mendapat bimbingan kepemimpinan dan keulamaan. Disitu pulalah terjadinya pertemuan dengan Ratu Harisbaya, salah satu putri cantik jelita keturunan Pajang Madura yang sama-sama berguru atau berpesantren. Pertemuan pertama melarutkan perasaan yang sedemikian dalam. Sentuhan hati menjalin kasih sayang kedua insan adam itu terhapuskan oleh waktu dan keadaan. Oleh karena Ratu Harisbaya dipanggil ke Madura untuk dinikahkan dengan Panembahan Girilaya Cirebon, yang usianya jauh lebih tua. Mau tidak mau Pangeran Angkawijaya menerima kekcewaan yang demikian berat. Kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya.

Setibanya di Kutamaya, sikap Pangeran Angkawijaya mengusik perasaan ibunya, rupanya ia peka menyimak gelagat yang terjadi pada Pangeran Angkawijaya. Persoalan Harisbaya yang membuat putra mahkota banyak berdiam diri.

Kebekuan cinta dan kasih sayang mulai mencair,  setelah ibunya Ratu Inten Dewata sudah mencalonkan permaisuri untuk Pangeran Angkawijaya, yaitu Nyi Mas Cukang Gedeng Waru salah seorang putra Sunan Pada putra Raden Meumeut (Raden Cameut / Raden Ameut)  salah satu putra dari Sribaduga Pajajaran Prabu Siliwangi yang menikah Nyimas Ratu Raja Mantri,  putra ke 2, Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan), dari Sumedang Larang.

Perkawinan dilaksanakan dan dimeriahkan oleh upacara adat pengantin Kasumedangan, kedua mempelai di arak diatas Kereta Nagapaksi dan disemarakkan oleh Kesenian Rebana.


1.1 Silsilah Ratu Inten Dewata (Nyi Mas Ratu Pucuk Umun)

- Wretikandayun, masa pemerintahan 612 s/d 702 M, Raja Pertama Galuh, dari istrinya Dewi Manawati atau Manakasih atau Pwahaci Bungatak Mangale-ngale atau Prameswari Déwi Candrarasmi putrinya Resi Makandria, beputra :
1. Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja, Resiguru di Galunggung, lahir 542 C (639 M)
2. Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru di Denuh (sekarang masuk wilayah Kampung Daracana, Desa Cikuya, kecamatan Culamega, Tasikmalaya Selatan), lahir 544 C (641 M).
3. Sang Jalantara, Rahyang Mandiminyak, putra mahkota Kerajaan Galuh, lahir 546 C (643 M).

- Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja dari istrinya Wulan Sari, berputra :
1. Prabu Purbasora atau Rahyang Kuku Raja Galuh masa pamarentahan 716 M
2. Prabu Demunawan Raja Resi Saunggalah Kuningan
3. Sari Arum

- Resi Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru di Denuh dari Istrinya Sawitri, berputra :
1. Arya Bimaraksa (Sanghynang Resi Agung)
2. Jagat Jaya Nata
3. Sari Legawa

- Ratu Komara (Dewi Komalasari bin Purbasora), dari suaminya Arya Bimaraksa bin Jantaka berputra, :
1. Aji Putih
2. Darma Kusumah
3. Astajiwa
4. Usoro
5. Siti Putih
6. Sekar Kencana

- Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) masa pemerintahan 678 s/d 721 M, berputra :
1. Kusuma atau Pangeran Cinde Kancana Wulung atau Batara Tuntang Buana atau Resi Cakrabuana dan lebih dikenal namanya Prabu Tajimalela.
2. Sakawayana atau Mbah Jalul.
3. Haris Darma.
4. Jagat Buana atau Langlang Buana

- Brata Kusuma atau Resi Cakrabuana, atau Prabu Tajimalela masa pemerintahan 721 s/d 778 M, dari istrinya Rangga Wulung putranya pasangan Sari Ningrum bin Jagatnata bin Jantaka dengan Adi Hata bin Tambak Wesi bin Demunawan, (Prabu Tajimalela menikah ke Ratu Rangga Wulung masih saudara misannya), berputra :
1. Jayabrata atau Pangeran Arya Surya Agung atau Peteng Aji, dikenal namanya Prabu Lembu Agung, masa pemerintahan  778 s/d 893 M, Raja Sumedang Larang Ke 2.
2. Atmabrata atau Pangeran Kancana Agung, dikenal namanya Prabu Gajah Agung, masa pemerintahan 893 s/d 998 M, Raja Sumedang Larang Ke 3.
3. Mariana Jaya atau Pangeran Jaya Agung atau Batara Dikusuma atau yang dikenal namanya Sunan Ulun. yang merundaykan Sunan Rumenggong di Karta Rahayu Limbangan Garut.

- Atmabrata atau Pangeran Kancana Agung atau Prabu Gajah Agung, masa pemerintahan 893 - 998 M, Raja Sumedang Larang Ke 3, berputra :

- Prabu Wirajaya (Prabu Pagulingan), masa pemerintahan 998 s/d 1114 M, Raja Sumedang Larang Ke 4, dari istrinya Ratu Miramaya, berputra :

- Prabu Mertalaya (Sunan Guling), masa pemerintahan 1114 s/d 1237 M, Raja Sumedang Larang Ke 5, dari istrinya Mutiasari putrinya Prabu Lingga Hiang, berputra :
1. Tirtakusuma (Sunan Tuakan)
2. Jayadinata
3. Kusuma Jayadiningrat

- Prabu Tirtakusuma (Sunan Tuakan), masa pemerintahan 1237 s/d 1462 M, Raja Sumedang Larang Ke 6, dari istrinya Ratu Nurcahya, berputra : 
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 s/d 1521 M) Raja Pajajaran berputra Rd. Meumeut (Rd. Ceumeut), Rd. Meumeut berputra Sunan Pada, Sunan Pada berputra Nyi Mas Cukang Gedeng Waru istri  Pertama Prabu Geusan Ulun.
2. Nyai Mas Patuakan atau Ratu Sintawati, masa pemerintahan 1462 s/d 1530 M,  Raja Sumedang Larang Ke-7.
3. Sari Kencana yang dinikahi oleh Prabu Liman Sanjaya putranya Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata) dari istrinya Ratu Rajamantri. Prabu Liman Senjaya (Sunan Cipancar) berputra Dalem Limansenjaya Kusumah di Karta Rahayu Limbangan Garut

- Nyai Mas Patuakan atau Nyimas Corendra Kasih yang lebih dikenal Ratu Sintawati, kelahiran: 1444, masa pemerintahan 1462 s/d 1530 M, Raja/Ratu Sumedang Larang Ke 7 menikah dengan Sunan  Parung (Sunan Corendra) Raja Talaga Manggung Majalengka, berputra :

- Ratu Pucuk Umun (Nyi Mas Ratu Inten Dewata), menikah dengan Pangeran Santri / Kusumadinata I (Raden Solih) putra dari Pangeran Muhammad bin Pelakaran dari Nyi Armillah, masa Pemerintahan 1530 s/d 1578, Sumedang Larang, Prabu Sumedang Larang ke 8, berputra :
1. Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II atau Pangeran Angkawijaya, pada umur 22 tahun kurang 4 bulan, 19 Juli 1556 dinobatkan sebagai Raja Sumedang Larang ke 9, Raja Pajajaran Anyar dan terakhir s/d 1610 M, Raja Sumedang Larang.
2. Demang Rangga Hadji. 
3. Kiyai Demang Watang.
4. Santowaan Wirakusumah.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.



2. Sekilas Pangeran Santri 

Pangeran Kusumahdinata I yang bernama asli Raden Sholih bin Maulana Muhammad (Pangeran Pamelekaran) dikenal juga  Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri  1530-1578 adalah Penerus Kerajaan Sumedang Larang setelah menikah dengan Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun adalah seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang yang merupakan seorang sunda muslimah, dari pernikahannya Pangeran Santri (1505 -1579 M) bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut dan dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.

Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang.


Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau cucu Syekh Maulana Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah. Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umun dikaruniai putra enam orang anak, yaitu :

Putra-putri Pangeran Santri :

  1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.

2.1 Silsilah Pangeran Santri (Raden Sholih) Dari Garis Bapak

1. Nabi Muhammad SAW 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:80040)
2. Sayyidah Fatimah Az-Zahra menikah dengan Sayyidina Ali r.a 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:70257  
dan http://id.rodovid.org/wk/Orang:70251
3. Sayyid Husain Asy-Syahid 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:70255)
4. Sayyid 'Ali Zainal 'Abidin 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:70251)
5. Sayyid Muhammad al-Baqir 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:70247)
6. Sayyid Ja'far ash-Shadiq 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:70246)
7. Sayyid Ali Al-Uraidhi 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359677)
8. Sayyid Muhammad An-Naqib 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359676)
9. Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359675)
10. Sayyid Ahmad al-Muhajir 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359674)
11. Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359673)
12. Sayyid Alawi Awwal 

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359672)
13. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah 

(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359671)
14. Sayyid Alawi Ats-Tsani 

(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359670)
15. Sayyid Ali Kholi' Qosa

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359668)
16. Sayyid Muhammad Sohib Mirbath 

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359667)
17. Sayyid Alawi Ammil Al Faqih 

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359658)
18. Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir Azmatkhan / Sayyid Abdul Malik 

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:359654)
19. Al Amir Abdullah Azmatkhan 

(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359650)
20. Syekh Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin  

(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:359646)
21. Syekh Datuk Isa / Syekh Sayyid Maulana Isa bin Ahmad 

(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:660336)
22. Syekh Datul Ahmad 
(lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:857399)
23. Syekh Datul Kahfi / Syekh Nurjati / Maulana Idhofi Mahdi / Ki Samadullah

(lihat bagab silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:857400)
24. Pangeran Panjunan Cirebon / Sayyid Maulana Abdurrahman 

(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:860513)
25. Pangeran Muhammad  (Palakaran) / Maulana Muhammad 
(lihat bagan silsilahnya  disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:860516)
26. Pangeran Santri/Raden Sholih / Ki Gedeng Sumedang / Pangeran Kusumahdinata 1 
(lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:860517)


2.2 Silsilah Pangeran Santri (Raden Sholih) Dari Garis Keturunan Sunda Galuh

1. Prabu Lingga Buana atau Prabu Ragamulya Luhurprabawa (Prabu Maharaja) menikah dengan Dewi Lara Lisning (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:321582), berputra :

2. Prabu Niskala Wastukancana atau Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah) dari istrinya Lara Sarkati atau Nay Ratna Sarkati (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:26668 dan http://id.rodovid.org/wk/Orang:70659), berputra : 


3. Prabu Susuktunggal atau Sang Haliwungan dari istrinya (?), (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:70660), berputra : Raden Amuk Marugul dari istrinya (?), (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:991473), berputra : 


4. Raden Agung Japura dari istrinya (?), (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:991474) berputra : 


5. Nyi Raden Matangsari menikah dengan Pangeran Panjunan Cirebon (lihat bagan silsilahnya disini : http://id.rodovid.org/wk/Orang:991475), berputra :


6. Pangeran Muhummad menikah dengan Nyi Armilah (lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:860516), berputra :


7. Pangeran Santri Pangeran Santri (Raden Solih)  Ki Gedeng Sumedang gelat Pangeran Kusumah Adinata (lihat bagan silsilahnya disini :  http://id.rodovid.org/wk/Orang:860517)



 


Sumedang Selatan

Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).

Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad  (Pangeran Palakaran) putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Maulana Muhammad  (Pangeran Palakaran)  menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Raden Solih atau Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umun Sumedang, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.

Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten. 


Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610), sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). 

“Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.

Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II atau Pangeran Angkawijaya,  masa pemerintahan 19 Juli 1556 s/d 1610 M, Raja Sumedang Larang ke 9;  


Dari Isteri Ke 1 Nyi Mas Cukang Gedeng Waru bin Sunan Arya Pada , berputra :
1. Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata IV
2. Raden Aria Wirareja I
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kelana / Kalasa / Pangeran Rangga Permana
5. Kyai Aria Rangga Pati
6. Kyai Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda
9. Nyi Mas Rangga Wiratama
10. Nyi Mas Rangga Pamade
11. Nyi Mas Dipati Oekoer

Dari Isteri Ke 2  Harisbaya, berputra :
1. 
Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I atau Kusumadinata III 
2. Pangeran Tumenggung Tegalkalong

Dari Isteri ke 3  Nyi Mas Pasarean, berputra :
1.  Kiyai Demang Cipaku

Menurut Sejarah Limbangan, kelak keturunan Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun (Raja Sumedanglarang 1578 – 1601 M) secara turun temurun menjadi para Bupati Sumedang kecuali 1 (anak tiri), nomor 11, 12 dan 13, yaitu  :


1.  Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). Anak tiri Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya. Beliau adalah putra dari Panembahan Ratu Girilaya (Sultan Cirebon). *)
2.  Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633 M) Putra Prabu Geusan Ulun
3.  Raden Bagus Weruh Kusumadinata/Pangeran Rangga Gempol II (1633 – 1656 M)
4.  Pangeran Rangga Gempol III/Pangeran Panembahan (1656 – 1705 M)
5.  Dalem Adipati Tanumaja (1705 – 1709 M) mertua Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan 3 1740 – 1744 M).
6.  Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (1709 – 1744 M)
7.  Dalem Istri Rajaningrat (1744 – 1759 M) isteri saudara sepupunya Dalem Surianagara I (putra Dalem Wangsadita I Bupati Limbangan 3).
8.  Dalem Adipati Kusumadinata/Dalem Anom (1759 – 1761 M) putra nomor 7.
9.  Dalem Adipati Surianagara II (1761 – 1765) Putra 7.
10. Dalem Adipati Surialaga I/Dalem Panungtung (1765 – 1773 M) putra nomor 7.
11. Dalem Adipati Tanubaya (1773 – 1775 M) asal Parakanmuncang.
12. Dalem Adipati Patrakusumah (1776 – 1789 M) menantu nomor 11.
13. Dalem Aria Sacapati (1789 – 1791 M).
14. Rd. Jamu/Pangeran Kusumadinata/Pangeran Kornel (1791 – 1828 M) Putra nomor 9.
15. Dalem Adipati Kusumahyuda I /Dalem Ageung (1828 – 1833 M)
16. Dalem Adipati Kusumahdinata/Dalem Alit (1833 – 1834 M) putra Dalem Adipati Adiwijaya (Bupati Limbangan Garut 1813 – 1833 M).
17. Rd. Tumenggung Suriadilaga/Dalem Sindangraja (1834 – 1836 M)
18. Rd. Somanagara/Pangeran Suriakusumah Adinata/Pangeran Sugih (1836 – 1882 M) putra nomor 15.
19. Pangeran Aria Suriaatmaja/Pangeran Mekah (1882 – 1919 M)
20. dst.

*) Pangeran Rangga Gempol I (Rd. Aria Suradiwangsa) adalah mertua Pangeran Kusumadiningrat leluhur Dalem Wirawangsa (Bupati Sukapura). 

Adapun Nyi Rd. Rajanagara, kakaknya Pangeran Karuhun/Kusumadinata putra Dalem Tanumaja menikah dengan Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan 3 1740 -1744 M) mempunyai putra Dalem Surianagara I (yang menurunkan para Bupati Sumedang sebagaimana tsb. di atas), Wangsadita II dan saudara-saudara yang menurunkan para Bupati Limbangan)

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki dua puluh orang anak :

Isteri ke 1 : Ratoe NM. Gedeng Waru, anak Sunan Pada 
1. Pangeran Rangga Gede Koesoemadinata IV 
2. Rd. Aria Wiraradja I (keterangan lain menurut babad Banten dan Cirebon Rd. Aria Wiraradja 1 adalah anak dari Ratu Harisbaya)
3. Kiai Kadoe Rangga Gede
4. Kiai Rangga Patra Kelana
5. Kiai Aria Rangga Pati
6. Kiai Ngb. Watang
7. NM. Ngb. Martajoeda
8. NM. Rangga Wiratama
9. Rd. Rangga Nitinagara
10. NM. Rangga Pamade
11. NM. Dipati Oekoer

Isteri ke 2 : Ratu Harisbaya, putri dari Pangeran Adipati Katawengan.
13. Raden Aria Suriadiwangsa II Rangga Gempol I, Koesoemadinata  III
14. Pangeran Tmg. Tegal Kalong

Isteri ke 3 : Ratoe NM. Pasarean, putri dari Sunan Munding Saringsingan, 
15. NM. Dmg. Tjipakoe

Prabu Geusan Ulun merupakan Raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (Bupati).


Silsilah Bupati Sumedang 

Bupati Sumedang / Wedana Bupati Priangan ke 1 (mp. 1620 – 1625), Pangeran Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol I. mempunyai 5 orang anak yaitu :
1. Rd. Kartadjiwa
2. Rd. Mangoenrana
3. Rd. Tampangkil
4. NR. Soemalintang
5. NR. Noestawijah
Kisah : Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). 

Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.


Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. 

Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC. 

Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede. Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. 

Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putra-putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). 

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).


Bupati  Sumedang / Wedana Bupati Priangan ke 2 (mp. 1625 – 1633), Pangeran Rangga Gede / Koesmadinata IV,  dikaruniai putra-putri :
1. Dalem Aria Bandajoeda
2. Dalem Djajoeda
3. Dalem  Wargaita
4. Dalem. Wangsasoebaja
5. Raden Bagus Weruh/Daelm. Rangga Gempol II
6. Dalem. Loerah
7. Rd. Singamanggala
8. Ki Wangsaparamadja
9. Ki Wiratama
10. Ki Wangsaparadja
11. Ki Djasinga
12. Ki Wangsasabadra
13. Kiyahi Anggatanoe
14. Ki Martabaja
15. NM. Anggadasta
16. NM. Nataparana
17. NM. Arjapawenang
18. NM. Martarana
19. NM. Djagasatroe
20. NM. Wargakarti
21. NM. Bajoen
22. NM. Wangsapatra
23. NM. Warga Komara
24. NM. Joedantaka
25. NM. Toean Soekadana .
26. NM. Oetama
27. NM. Kawangsa
28. NM. Wirakarti
29. NR. Nalawangsa .
Kisah : Seperti di cerita diatas, sejak Pangeran Rangga Gempol III pergi ke Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh saudaranya Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV (1625 – 1633).


Bupati Sumedang ke 3 (mp. 1633 – 1656)  Raden Bagus Weruh atau Dalem Rangga Gempol II  / Koesoemadina V, dikaruniai 29 putra-putri :
1. Rd. Wirakara
2. Pangeran Panembahan/Rangga Gempol III
3. Rd. Bagoes
4. Rd. Wanggamanggala
5. Rd. Tanoesoeta
6. Rd. Martajoeda
7. Rd. Soetaningdita
8. Kiai Moegopar
9. Kiai Kiras
10. Kiai Soetaredja
11. Rd. Tanoeraga
12. Rd. Martaparana
13. Rd. Ardoewangsa
14. Rd. Tanoeredja
15. Rd. Wangsasoeta
16. Rd. Dipa
17. Rd. Patradipa
18. Rd. Soetabadra
19. Rd. Koesoemaardja
20. Rd. Mekas
21. Rd. Ngb. Sedakerti
22. Rd. Ngabeni
23. Rd. Santaparadja
24. Rd. Pani
25. NM. Djapar
26. NM. Arja Pawenang
27. NM. Kanten
28. NM. Ajoemajar
29. NM. Ajoe
Kisah : Setelah wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.

Bupati Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian-kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.


- Bupati Sumedang ke 4 (mp 1656 – 1706), Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol III, beristeri NRA. Sepoeh, anak Dalem.Panengan, dikaruniai 21 putra putri :
1. Dalem Adipati Tanoemadja
2. Rd. Soetanata I
3. Rd. Radjasoeta
4. Rd. Soetadjaja
5. Rd. Astradjaja
6. Rd. Astranata
7. Rd. Tjandradinata
8. Rd. Soetatjandra
9. Rd. Radjataroena
10. Rd. Natawiria
11. Rd. Moetaram
12. Rd. Soerawidjaja
13. NR. Halipah
14. NR. Tjandrapojang
15. NR. Goemarang
16. NR. Kartadipa
17. NR. Panggoeng
18. NR. Astrakoesoemah
19. NR. Kartapoera
20. NR. Dipawangsa
21. Rd. Kartadjiwa
Kisah : Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi.

Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.

Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. 

Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. 

Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .

Cita–cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. 

Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC. 

Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. 

Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.

Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .

Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. 

Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara.. Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. 

Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.

Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik. Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. 

Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. 

Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. 

Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. 

Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati-bupati Sumedang lainnya.

Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.

Pangeran Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.


- Bupati Sumedang ke 5  (mp. 1706 – 1709), Dalem Adipati Tanoemadja, dikaruniai 8 putra-putri :
1. Pangeran Karoehoen Koesoemadinata VI 
2. Rd. Nitinagara
3. Rd. Dawi
4. Rd. Soeramanggala
5. Rd. Batawi
6. NR. Lengkapoera
7. NRA. Widjaksari
8. NR. Asmarawoelan
9. NRA. Radjanagara, bersuami : Dalem. Rd. Rangga Wangsadita dikaruniai 13 putra putri :
1. Kd. Adipati Soerianagara
2. Kd. Rangga Wangsadireja
3. Kd. Surapraja
4. Rd. Aria Wiradireja
5. Kd. Adipati Wangsareja
6. Rd. Aria H. Kusumah
7. RM. Aria Tjakrayuda
8. RM. Natapraja
9. NRA. Natakaraton
10. NR. Ratnanagara
11. NR. Rajakaraton
12. NRA. Siti Gede
13. Dalem Rangga Bungsu

Kisah : Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.

Seperti di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja.


- Bupati Sumedang ke 6 (mp. 1709 – 1744), Pangeran Karahun / Rangga Gempol IV Koesoema dinata VIdikaruniai 21 putra-putri :
1. Dlm. Istri Radjaningrat
2. Rd. Dipakoesoemah
3. Rd. Poespanata
4. Rd. Aria Bandajoeda
5. Rd. Anggataroena
6. Rd. Anggakara
7. Rd. Natakoesoemah
8. Rd. Dipamanggala
9. Rd. Tanoeresa
10. Rd. Alimoedin
11. Rd. Mantrianagara
12. NR. Moeljakoesoemah
13. NR. Lengka
14. NR. Panganten
15. NR. Antrakoesoemah
16. NR. Ratnamoelia
17. NR. Soemakaraton
18. NR. Djoemi
19. NR. Indra
20. NR. Nata
21. NR. Toekon
Kisah  : Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.



- Bupati Sumedang ke 7 (mp. 1744 – 1759), Dalem. Istri Radjaningratbersuami Adipati Soerianagara putra dari NRA. Radjanagara dan Dalem Rd Rangga Wangsadita

Dikaruniai 6 putra putri :
1. Dalem Rd. Anom Koesoemadinata
2. Dalem Rd. Soerianagara II
3. Dalem Rd. Soerialaga
4. RA. Banonagara
5. NR. Radjainten
6. NR. Enang
Kisah : Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati.


- Bupati Sumedang ke 8  (mp. 1759 – 1761)  Dalem Rd. Anom Koesoemadinata,
tidak dikaruniai putra-putri.
Kisah : Raden Kusumadinata VIII (1759 – 1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya dua tahun karena keburu wafat.


- Bupati Sumedang ke 9 (mp. 1761 – 1765), Dalem. Rd. Soerianagara, beristri NM. Nagakasih, dikaruniai 4 putra putri :
1. Pangeran Kornel Koesoemadinata VII
2. RA. Jogjanagara
3. NR. Sarianagara
4. NR. Bandinagara
Kisah : Adipati Kusumadinata wafat maka digantikan oleh saudaranya Raden Surianagara setelah menjadi bupati bergelar Adipati Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara mempunyai seorang putra bernama Raden Kusumadinata / Djamu setelah menjadi bupati dikenal sebagai Pangeran Kornel.


- Bupati Sumedang ke 10 (mp 1765 – 1773), Dalem Rd. Soerialaga,  dikaruniai 6 putra-putri :
1. Rd. Soeriadinata
2. Rd. Soeradipradja
3. Rd. Sawon
4. Dlm. Rd. Soeriadilaga II
5. Rd. Sekarwiredja
6. NR. Moeljanagara
Kisah : Setelah Adipati Surianagara wafat tidak digantikan oleh puteranya Raden Djamu karena masih anak-anak maka digantikan oleh saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773) yang bergelar Adipati Kusumadinata. Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6 orang putera dan puteri,putra sulungnya Raden Ema ketika itu masih berusia 9 tahun. Maka timbullah masalah mengenai penggantian bupati, putera Raden Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati Tanubaya Bupati Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang. Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati.


- Bupati  Sumedang ke 12,  (mp. 1773 – 1775) Adipati Tanubaya  (Bupati Penyelang)
Kisah : Pengangkatan Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang karena memungkinkan, memang keadaan tidak mungkin mengangkat bupati dari keturunan Sumedang dikarenakan pengganti dari Sumedang belum menginjak dewasa.


- Bupati Sumedang ke 13, (mp. 1775 – 1789) Tumenggung Patrakusuma (Bupati Penyelang 
Kisah : Pengganti Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang dan setelah mendapat dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Mengenai cerita Raden Djamu menikah dengan putri Tumenggung Patrakusuma di cerita di bab Pangeran Kornel selanjutnya. Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma melakukan pelanggaran maka ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia.

- Bupati Sumedang ke 14,  (mp. 1789 – 1791) Raden Satjapati 
Kisah : Sebagai pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden Satjapati (1789 – 1791) yang waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena oleh kompeni dianggap kurang cakap maka diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali. Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara / Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut di terima oleh kompeni dan Raden Surianagara / Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang.

- Bupati Sumedang ke 15 (mp. 1791 – 1828), Raden Djamu / Surianagara III /  Pangeran Kornel / Pangeran Koesoemadinata IX, beristri Raden Ayu Lenggakusumah dikaruniai 4 orang putra :
1. Dalem Adipati Adiwidjaja
2. Dalem Adipati Ageung Koesmajoeda 
3. R.A. Radjaningrat
4. R.A. Radjanagara
Kisah : Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar IV dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar IV memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).

Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembobokan gunung cadas, rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumadinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.

Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel .

Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian – kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.

Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda / Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas.


- Bupati Sumedang ke 16  (mp. 1828 – 1833), Dalem Adipati Ageung Koesoemajoeda, Kusumadinata X,  beristi NM. Samidjah, dikaruniai 9 putra-putri :
1. Pangeran Soegih Soeria Keoesoemah Adinata
2. Rd. Koesoemajoeda
3. Rd. H. Moestapa
4. NR. Siti Marian
5. NR. Lenggang Nagara
6. NR. Koesoemaningroem
7. NR. Moenigar
8. NR. Radjaningroem

9. NR. Jogjanagara
Kisah : Pangeran Kornel digantikan oleh puteranya Adipati Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran Kornel, bupati sering turut bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya melawan para pengacau atau perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda yang tinggi besar oleh karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung.


Bupati Sumedang ke 16 sebelumnya Bupati Limbangan/Garut Ke II (mp. 1831 - 1833) dan  menjadi Bupati Sumedang ke 16 (mp. 1833 - 1834), Dalem Adipati Adiwidjaja, diikaruniai 9 putra-putri :
1. RAA. Dalem Alit Koesoemadinata 
2. Demang Adiwidjaja
3. Rd. Adikoesoemah
4. Rd. Soeriabrata
5. Rd. Hasim
6. NR. Lenggangmantri
7. NR. Banonagara
8. Rd. Koesoemamantri
9. NR. Radjapoetri
Kisah : Adiwijaya menjabat sebagai Bupati pertama Garut sejak 1813 hingga wafat tahun 1831. Ia merupakan putra sulung Dalem Sumedang, Pangeran Kornel. Istrinya yang bernama Raden Ajeng Siti Ningrum. Dimakaman dipemakaman Cipeujeuh, Kelurahan Paminggir, Kecamatan Garut Kota.



- Bupati Sumedang ke 18  (mp. 1833 – 1834), RAA. Dalem Alit Koesoemahdinata,  dikaruniai 2 orang putra :.
1. RA. Radjapoernama Koesoemahdinata
2. RA. Radjanagara Koesoemahdinata
Kisah : Wafatnya Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh puteranya Raden Somanagara karena menunggu dewasa. Maka putera Adipati Adiwijaya, Adipati Kusumadinata X (1833 - 1834) menggantikannya tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat.



- Bupati Sumedang ke 19, (mp. 1834 – 1836), Dalem Tumenggung Sindangradja atau Tumenggung Soerialaga,  diikaruniai 16 putra-putri :

1. NR. Tedjamirah Soeriadilaga
2. NR. Perbatamirah Soeriadilaga
3. Rd. Tisna Koesoemah Soeriadilaga
4. Rd. Hasan Soeriadilaga
5. Rd. Brangtanagara Soeriadilaga
6. Rd. Padmanagara Soeriadilaga
7. NR. Modjanagara Soeriadilaga
8. Rd. Soerialogawa Soeriadilaga
9. NR. Domas Atisah Soeriadilaga
10. Rd. Wangsanagara Soeriadilaga
11. NR. Moertihawa Soeriadilaga
12. NR. Soekaeni Soeriadilaga
13. Rd. Hambali Soeriadiningrat Soeriadilaga
14. Rd. Soemadilaga Soeriadilaga
15. Rd. Adikoesoemah Soeriadilaga
16. N.R. Nawangsih Soeriadilaga
Kisah : Sebagai penggantinya sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu menjadi Patih Polisi tetapi tidak berlangsung lama juga baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun.


- Bupati Sumedang ke 20  (mp. 1836 – 1882), Rd. Somanagara atau Pangeran Soegih Soeria Koesoemah Adinata.  Dari 31 orang istrinya, dikaruniai 94 putra-putri :

Isteri ke 1 : NR. Bodedar
1. Rd. Dmg. Jahja Somanagara Koesoemah Adinata

Isteri Ke 2: NRA. Radjapamerat, anak RAA. Wiranatakusumah III (*)
2. NRA. Radjaningrat Koesoemah Adinata
3. NR. Hendranagara Koesoemah Adinata
4. Rd. Oemoer Koesoemah Adinata
5. Rd. Moestambi Koesoemah Adinata
6. Rd. Rangga Soerialaga Koesoemah Adinata (*)
7. NR. Radjapermas Koesoemah Adinata
8. Rd. Somadiningrat Koesoemah Adinata
9. NRA. Sangkaningrat Koesoemah Adinata

Isteri ke 3: NRA. Ratnaningrat
10. NRA. Radjaretnadi Koesoemah Adinata
11. Pangeran Mekah Soeriaatmadja Koesoemah Adinata
12. NR. Radjapermana Koesoemah Adinata
13. NR. Banoningrat Koesoemah Adinata
14. Rd. Soemawilaga Koesoemah Adinata

Isteri ke 4 : NRA. Moestikaningrat
15. NR. Emas Koesoemah Adinata
16. NR. Radjakomala Koesoemah Adinata
17. Rd. Pandji Soeriakoesoemah Koesoemah Adinata
18. Rd. Soemintraatmadja Koesoemah Adinata
19. NRA. Lasminingrat Koesoemah Adinata
20. NRA. Moertiningrat Koesoemah Adinata
21. Rd. Widjajasoeria Koesoemah Adinata
22. RAA. Soerianatabrata Koesoemah Adinata
23. Rd. Gandakoesoemah Koesoemah Adinata
24. Rd. Koesoemajoeda Koesoemah Adinata
25. NRA. Kantjananingrat Koesoemah Adinata
26. Rd. Soeriagoenawan Koesoemah Adinata
27. RAA. Dlm. Bintang Koesoemadilaga Koesoemah Adinata
28. Rd. Goerdi Koesoemawinata Koesoemah Adinata

Isteri ke 5 : Nyi Emas Sanidjah
29. Rd. Abdoerachman Koesoemah Adinata

Isteri ke 6 : Nyi Emas Lantri
30. NR. Koesoemanagara Koesoemah Adinata
31. Rd. Prawirakoesoemah Koesoemah Adinata
32. Rd. Raebah Koesoemah Adinata

Isteri Ke 7 : Nyi Emas Asmajawati
33. Rd. Najaningrat Koesoemah Adinata
34. Rd. Hoesen Wirantaredja Koesoemah Adinata
35. Rd. H. Mochamad Oesman Koesoemah Adinata
36. Rd. H. Mochamad Ali Koesoemah Adinata
37. NR. Hj. Siti Hadidjah Koesoemah Adinata

Isteri ke 8 : Nyi Emas Ganda
38. Nyi Oerminah Lenggangnagara Koesoemah Adinata
39. Rd. Moestari Koesoemah Adinata
40. NR. Siti Patimah Perbata Koesoemah Adinata
41. Rd. H. Mochamad Idris Koesoemah Adinata
42. Rd. Natadiredja Koesoemah Adinata
43. Rd. Iljas Koesoemah Adinata
44. Rd. Rangga Natanagara Koesoemah Adinata
45. Rd. Joesoef Koesoemah Adinata

Isteri Ke 9 : Nyi Emas Angginah
46. Rd. Wirakoesoemah Koesoemah Adinata

Isteri Ke : Nyi Arsa
47. Rd. Adikoesoemah Koesoemah Adinata
48. NR. Doerias Hawa Koesoemah Adinata
49. Rd. Enoch Koesoemah Adinata
50. Rd. Said Koesoemah Adinata

Isteri ke 11: NR. Dewi Mirah
51. Rd. Oemar Nataatmadja Koesoemah Adinata
52. NR. Moertikah Komala Koesoemah Adinata
53. Rd. Sodja Koesoemah Adinata
54. Rd. H. Soelaeman Koesoemah Adinata
55. NR. Oeti Modjanagara Koesoemah Adinata
56. Rd. Ismail Wiraatmadja Koesoemah Adinata

Isteri ke 12 : Nyi Ambara
57. Rd. H. Hambali Koesoemah Adinata
58. NR. Soewedah Sarianingrat Koesoemah Adinata
59. Rd. H. Jasin Roebai Koesoemah Adinata

Isteri 13 : NR. Moetiaresmi
60. Rd. Harmaen Koesoemah Adinata
61. NR. Oepinah Koesoemah Adinata

Isteri 14 : NM. Modja Habibah
62. Rd. Rangga Wirapoetra Koesoemah Adinata

Isteri 15 : NM. Andi Moelja
63 NR. Moertinah Koesoemah Adinata
64. Rd. Anhar Koesoemah Adinata
65. Rd. Prawiradiredja Koesoemah Adinata
66. Rd. Karnaen Koesoemah Adinata
67. NRA. Radjaningrat Koesoemah Adinata
68. Rd. Mochamad Pesta Koesoemah Adinata
69. Rd. Mochamad Lajeng Koesoemah Adinata
70. NR. Koernasih Koesoemah Adinata

Isteri ke 16 : NM. Olem
71. NR. Salamah Ratnanagara Koesoemah Adinata

Isteri ke 17 : NM. Andi Eundeut
72. NR. Tedjaningroem Kalsoem Koesoemah Adinata

Isteri ke 18 : NM. Denta
73. NR. Empat Ratnakaraton Koesoemah Adinata.
74. NR. Kiol Poerbanagara Koesoemah Adinata.

Isteri ke 19 : NR. Ningroem
75. NR. Lenggang Mantri Koesoemah Adinata
76. Rd. Aboebakar Nitanagara Koesoemah Adinata

Isteri ke 20 : Nyi Mursiah
77. NR. Kotjoh Ratnakoesoema KOESOEMAH ADINATA

Isteri 21 : NM. Ningsih
78. NR. Oerian Domas Koesoemah Adinata

Isteri 22 : Nyi Soekaenah Kamoeda.
79. Rd. Abdoel Koesoemah Adinata . (-)
80. NR. Djoele Komarainten Koesoemah Adinata

Isteri 23 : Nyi Mantria
81. NR. Koesoemaningroem KOESOEMAH ADINATA

Isteri ke 24 : Nyi Dewi
82. NR. Enot Komala Inten Koesoemah Adinata
83. NR. Oehe Koesoemah Adinata
84. NR. Ebah Koesoemah Adinata
85. Rd. Kasmiri Koesoemah Adinata

Isteri ke 25 : NM. Djoewisah
86. Rd. Wangsasoebaja Koesoemah Adinata.
87. NR. Ratnamirah Koesoemah Adinata.
88. NR. Armoenah Koesoemah Adinata.

Isteri ke 26 : NM. Naga
89. Rd. Atma Djajakoesoemah Koesoemah Adinata.

Isteri ke 27 : NM. Soepi
90. Rd. Hasan Koesoemah Adinata
91. Rd. Abas Koesoemah Adinata

Isteri ke 29: NM. Ikoek
92. Rd. Sabirin KOESOEMAH ADINATA

Isteri ke 30 : NM. Moertidjah
93. Rd. Djenal Haroen Koesoemah Adinata

Isteri ke 31 : Nyi Enoer
94. Rd. Sadikin Koesoemah Adinata

Kisah : Pada tangggaraal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Soeria Kusumah Adinata (1836 – 1882). Kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di bidang pertanian dihapuskan pada 1885 oleh pemerintah seperti peraturan penanaman nila.

Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan pemerintah Kerajaan Belanda no. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati dan berdasarkan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat gelar Pangeran.

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dimakamkan di Gunung Puyuh, Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih karena sugih harta, kekayaan dan putera.


- Bupati Sumedang ke 21  (mp 1882 – 1919), Rd. Sadeli atau Pangeran Mekah Aria Soeriaatmadja Koesoemah Adinata, beristri NRA. Radjaningroem dikaruniai seorang putri : NR. Jogjainten Soeriatmadja.
Kisah :  Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat digantikan oleh putranya Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari 1851 . Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat.

Wibawa Pangeran Aria Suria Atmadja sangat besar yang memancar dari 4 macam sumber :
a. Kedudukannya sebagai bupati.
b. Patuh dan taqwa dalam agama.
c. Kepemimpinannya yang tinggi.
d. Displin yang tinggi.

Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang, antara lain :
1. BIDANG PERTANIAN
Membangun aliran irigasi di sawah-sawah, penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah gundul dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan sistem tangga (Terasering) pada bukit-bukit.

2. BIDANG PERTERNAKAN

Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik di Sumedang, di datangkan sapi dari Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.

3. BIDANG PERIKANAN
Pelestarian ikan di sungai diperhatikan dengan khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu penangkapannya agar ikan di sungai selalu ada. Penangkapan ikan dengan racun atau peledak di larang.

4. BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat hutan larangan / tertutup yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat pelindungan khusus.

5. BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan mendapatkan suntikan anti cacar diadakan sampai ke desa-desa. Masyarakat dianjurkan menanam tanaman obat-obatan di perkarangan rumahnya.

6. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1914 mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School , mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat Sumedang dan membangun kantor telepon.

7. BIDANG PEREKONOMIAN
Pada tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi “Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan Bank Desa untuk menolong rakyat desa.

8. BIDANG POLITIK
Pada tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara / mempergunakan senjata agar dapat membantu pertahanan nasional. Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul ini ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam buku itu dikemukakan lebih jauh lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda memberi reaksi hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan Palasari.

9. BIDANG KEAGAMAAN
Bidang keagamaan mendapat perhatian yang besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh, peningkatan pendidikan agama mulai dini

10. BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam sastra sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu salah satunya Lagu Sonteng.

11. BIDANG LAINNYA
Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik, dibangunnya balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan diadakan siskamling.

Masih banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya dalam membangun Sumedang, baik itu pembangunan sarana fisik tetapi juga pembangunan manusianya. Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.

Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang atau wafat.

Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.

Monumen Lingga di tengah alun-alun Sumedang untuk meng-hormati jasa–jasa Pangeran Aria Suria Atmadja.

Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April 1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock serta dihadiri para bupati, residen se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.


- Bupati Sumedang ke 22 (mp. 1919 – 1937), RAA. Koesoemadilaga Koesoemah Adinata (Dalem Bintang) :
Isteri 1 : NRA. Ratna Kancana.
Isteri 2 : NR. Kanimah
1. NR. Joopi Soepinah Koesoemadilaga
2. NR. Jetty Soepiah Koesoemadilaga
Kisah : Pangeran Aria Suria Atmadja digantikan oleh Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) dikenal juga sebagai Dalem Bintang merupakan saudaranya. Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat.


- Bupati Sumedang ke 23 (mp. 1937-1946), Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 
Kisah : Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria, setelah menjadi bupati memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.


- Bupati Sumedang ke 24 (mp. 1946-1947), Rd. Tumenggung Hasan Soeria Satjakoesoemah
Keterangam : Putri dari istri ke 2 Pangeran Soegih yaitu NRA. Radjapomerat anak RAA. Wiranatakusumah III : NR. Radjapermas Koesoemah Adinata bersuami: Rd. Demang Adiwidjaja dikaruniai putri NR. Radjakandana Adiwijaya bersuami Rd. Satja koesoemah berputra : Rd. Tumenggung Hasan Soeria Satjakoesoemah menjadi Bupati Sumedang Tahun 1946-1947 dan Bupati Karawang Tahun 1949-1950.

Kisah : Raden Hasan Suria Sacakusumah / “Bung Hasan” (1946 – 1947) diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik indonesia. Masa pemerintahannya ditandai perkembangan gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi militer Belanda ke dua ke Indonesia, bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung kabupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang, pemerintahan Belanda, pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia .

Berhubung Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang. Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra.


- Bupati Sumedang ke 25 (mp. 1946-1947), Rd. Tumenggung Mohamad Singer Wiranata Koesoemah.
Keterangan : Putri terakhir (ke-81) Pangeran Soegih Soeria Kusumah Adinata. NR. Koesoemaningroem Koesoemah Adinata bersuami Rd. Wiranatakoesoemah putra ke 3 bernama : Rd. Tumenggung Mohamad Singer Wiranata Koesoemah diangkat menjadi bupati Sumedang ke 24.
Kisah : Tumenggung Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang tahun 1938 adalah seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di keresidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang.

Masa jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 merupakan akhir rangkaian para bupati Sumedang keturunan leluhur Sumedang dari masa Prabu Tajimalela 721 sampai Tumenggung Muhamad Singer 1950.


DAFTAR BUPATI SUMEDANG SELENGKAPNYA :
1. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I. 1601 – 1625 
2. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV. 1625 – 1633 
3. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
4. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III. 1656 – 1706
5. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
6. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV. 1709 – 1744
7. Dalem Istri Rajaningrat. 1744 – 1759
8. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 - 1761
9. Dalem Adipati Surianagara II. 1761 - 1765
10. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773

MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
11. Dalem Adipati Tanubaya. 1773 – 1775
12. Dalem Adipati Patrakusumah. 1775 – 1789
13. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791

PEMERINTAHAN BELANDA
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang
14. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
15. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
16. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
17. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
18. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
19. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
20. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
21. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946

MASA REPUBLIK INDONESIA
22. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
23. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
24. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
25. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950

Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai pangeran Kornel.

_________
Referensi :
- Asikin Widjajakoesoemah, Drs. Runcatan Sajarah Sumedang, 1960.
- Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Prop. Jawa Barat Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 4, 1983.
- Bayu Surianungrat, Drs. Sejarah Kabupatian I Bhuni Sumedang 1550 – 1950, 1983.
- Buku Sejarah Leluhur Sumedang.
http://id.rodovid.org/wk/Orang:860518 (Pangeran Geusam Ulun)
http://id.rodovid.org/wk/Orang:860565 (Pangeran Rangga Gempol I / Kusumadinata III / Pangeran Aria Soeriadiwangsa)
http://id.rodovid.org/wk/Orang:860525 (Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata IV)
- Revisi blog 10 oktober 2018

Baca Juga :