Identifikasi Ke Arah Pemeliharaan/Pengelolaan Situs Di Kabupaten Sumedang

Seperti kita tahu setelah pembangunan Waduk Jatigede banyak Situs Sumedanglarang yang hilang dari Peradabannya. Namun masih ada situs-situs lain yang berada diluar kawasan Waduk Jatigede yang perlu dipertimbangkan oleh pelaksana kebijakan kabupaten.

Pepatah mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya”, ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang kita di dalam mengungkapkan masalah keanekaragaman data istiadat masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini.

Secara sadar ataupun tidak sadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘Mukti Etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda-beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.

Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Parahyangan, secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental :

- Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan.

- “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/individu/kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?”

- Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain?

Layaknya pepatah kuna mengatakan “Ciri Sabumi Cara Sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘Supraorganik’ atau peralatan ‘non ragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya.

Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.

Maka dalam rangka Identifikasi Situs sekalipun, entah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.

Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (proto sejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.

Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.

Konsep memanfaatkan secara makasimal tanah yang ada dan mencegah terjadinya kerusakan alam itu sendiri.

"Tanah lunak dijadikan sawah tanah tidak subur dijadikan ladang, Tanah lereng dijadikan pekuburan, Tanah datar dijadikan tapak rumah begitulah bunyi cara memanfaatan tanah".

Pemilihan tanah sebagai tempat perkuburan lereng perbukitan berkaitan dengan kebudayaan pra sejarah yang menghormati arwah nenek moyang. Pota tata ruang ini juga dapat memitigasi bencana alam seperti longsor.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.

Pola tata ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya.

Kabuyutan, Kuburan dan situs menjadi bagian penting karena dalam sistem tatanan masyarakat Sumedanglarang sebelum masuk agama Islam, masyarakat masih menganut sistem sunda wiwitan Parahyangan.

"Tanah kabuyutan, tanah yang disakralkan, bisa dikonotasikan sebagai tanah air (lemah cai, ibu pertiwi). Untuk orang Sunda adalah Tatar Sunda-lah tanah yang disucikannya (kabuyutannya).

Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya." demikian amanat Prabu Guru Darmasiksa mengungkapkannya.

Sekarang ini, dalam kajian sejarah, dan arkeologi situs penguburan pun terkadang dapat memberikan informasi pola tata ruang pemukiman, organisasi politik dan sosial. Status sosial dapat dilihat dari bekal kubur, bentuk upacara kematian, dan bentuk makamnya.

Gambaran organisasi politik dapat terlihat pada upacara-upacara ritual yang dipersembahkan bagi leluhur yang dianggap memberikan pengaruh besar semasa kepemimpinannya.

Pola-pola pemukiman dapat berbentuk kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Bentuk pemukiman tersebut terkadang mengacu pada konsep kosmologis dan berada di pusat pemerintahan atau kota.

Dalam mempelajari pola pemukiman dapat dipastikan akan menemukan gambaran tentang organisaasi sosial, politik, ekonomi, dan kepercayaan.

Intepretasi akurat pada lay out, ukuran luas, gaya dan tipe secara tidak langsung dapat mengidentifikasikan hubungan aspek-aspek yang tekait tersebut.

Apalagi setelah agama Islam menjadi satu kesatuan negeri situs/kuburan menjadi penting dalam tata ruang pemukiman.

Sesuai dengan ajaram islam, seseorang yang meninggal perlu berlaku 4 rukun yang harus dikerjakan yaitu memandikan, mengafankan, menyolatkan dan menguburkan.

Pada akhirnya Pota Tata Ruang dan Situs Kuburan menjadi aspek yang tidak dapat ditinggalkan dalam kajian sejarah, arkeologi karena penataan ruang pada masa silam banyak menyimpan informasi.

Sekian dulu ngacapruk dari saya, dilajeng bulan payun...mangga juragan wilujeng sonten.


Rahayu we lah...


Baca Juga :

Tidak ada komentar