Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang Memeluk Islam Pada Abad Ke 7 M


Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah. Para pedagang muslim banyak bermukim di daerah pesisir pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya masih menganut agama Hindu.  Sampai abad ke-8, pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol.

Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam mulai berkembang hingga Nusantara.

Ada juga berbagai pendapat lain menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang muslim. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai dipeluk oleh para penduduk lokal. Di bawah kepemimpinan para khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih luas lagi. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang yang mementaskan wayang untuk mengenalkan agama Islam. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam. Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap sebagai kelangan yang terpandang. Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk menyebarkan islam kepada penduduk lokal.

Teori Gujarat, teori ini yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay (Gujarat), India. Para pedagang ini mendirikan masjid dan mendatangkan para ulama dan mubalig untuk mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada penduduk lokal. Teori Persia,  Teori Persia menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia karena adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia. Teori Mekkah, Teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke Indonesia karena para ahli masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut.

Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.

Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu.  Masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan dilakukan dengan berbagai cara,  Letak Indonesia yang strategis membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia sangat padat  dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang muslim.

Pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah perkampungan muslim di pantai barat Sumatera. Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih dulu ada. Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13. Pada abad ke-7 itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di kota Pelabuhan pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Caruban dan Garut.

Dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, Sejarawan asal Italia yang bernama G. E. Gerini, mencatat bahwa telah banyak masyarakat Arab bermukim di Nusantara sekitar tahun 606-699M . Mereka masuk melalui Barusdan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusantara hingga ke China Selatan. Sekitar tahun 615 M, sahabat Rasulullah Ibnu Masud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim di Sumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). (Sumber : Kesultanan Majapahit, Realitas Sejarah Yang Disembunyikan karangan Hermanus Sinung Janutama).

Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.

Ada beberapa Alasan, mengenai pemeluk Islam Sampai Tanah Jawidwipa, yaitu :
1. Penganut Islam pertama, yang berasal dari Nusantara, kemungkinan adalah Leluhur Bangsa Aceh, yang ikut serta menghantar Ibnu Masud ra. bersama kabilahnya.

Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh informasi, berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara.

Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau kata arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk). Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu Masud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber : Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara).

2. Penguasa Nusantara, yang pertama memeluk Islam adalah Raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman 718 M. Pada sekitar awal abad ke 7, orang-orang Persia Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton. Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari dinasti Umayyah dengan hadir di Sriwijaya, dan semakin mempercepat perkembangan Islam di Sriwijaya (Sumber : Sejarah Umat Islam; Karangan Prof. Dr. Hamka).

Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718 M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979).

Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus.

Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Syiria. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar kholifah sudi mengirimkan dai ke istana Srivijaya (Sumber : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII, Karangan Prof. Dr. Azyumardi Azra MA) (Sumber : Wikipedia : Kerajaan Melayu Kuno dan Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam).


Sriwijaya Pintu Masuk Islam Ke Nusantara
Nusantara adalah Kepeluan yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia. Berdasarkan bukti-bukti historis, Islam telah berkembang di Nusantara, pada masa abad pertama hijriah. Dan bukan hal yang mustahil, apabila Rasulullah pernah mengirimkan surat dakwah, yang ditujukan kepada Raja Sriwijaya. Untuk membuktikan hal tersebut, mari kita ikuti, kronologis peristiwa sebagai berikut : Tahun 625M Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok menyebutkan, pada sekitar tahun 625M di pesisir pantai Sumatera, yang berada di dalam naungan Kerajaan Sriwijaya, telah berdiri sebuah perkampungan Arab.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, sementara dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa. Diperkirakan pada sekitar tahun 500, akar cikal bakal Kerajaan Sriwijaya sudah mulai berkembang di sekitar wilayah Bukit Siguntang.

Dan masa ke-emasan Sriwijaya, sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-9 M. Pada masa itu, Sriwijaya telah menguasai di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Sriwijaya juga men-dominasi Selat Malaka dan Selat Sunda, yang menjadikan-nya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal (Sumber : Hadits Rasulullah, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam).

Tahun 1 H Peristiwa Hijrah Permulaan tahun Hijriah secara umum dihitung, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 Masehi.

Tahun 6 H Dalam masa damai, setelah perjanjian Hudaibiyah tahun 6H, Rasulullah SAW memperkenalkan Islam melalui surat yang beliau kirimkan, kepada para penguasa, pemimpin suku, tokoh agama nasrani, dan sebagainya. Melalui seruan dakwah yang memikat, dengan cara-cara yang santun, telah banyak membawa keberhasilan bagi jalan dakwah beliau.

Surat-surat Rasulullah SAW itu dibawa oleh orang-orang kepercayaan beliau di antaranya sebagai berikut :
- Dihial bin Kalbi diutus kepada Kaisar Romawi.
- Abdullah bin Huzafah diutus kepada Kisra Persia.
- Hatib bin Abi Balta’ah diutus kepada Gubernur Mesir, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Romawi.
- ‘Amar bin Umayyah diutus kepada Raja Etiopia.
- Syuja’ bin Wahab diutus kepada Pageran Ghassan.
- Hauzah bin ‘Ali Hanafi diutus kepada penguasa Yamamah.

Tahun 11 H Nabi Muhammad wafat, kemudian dilanjutkan masa Khulafa’ur Rasyidin.

Tahun 48 H Ditemukan beberapa makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah makam Syeikh Rukunuddin di Barus (Fansur), Sumatera Utara. Pada makamnya tertulis bahwa beliau wafat pada tahun 48 H. Tidak diketahui siapa nama Syeikh Rukunuddin sebenarnya, tapi dari tanggal wafatnya kita bisa mengatakan bahwa kemungkinan beliau adalah salah sorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu orang yang hidup sezaman dan berjumpa dengan beliau. Para sahabat dan tabiin telah memulai gelombang awal sejarah Islam di Bumi Nusantara.

Tahun 100 H Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Kalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya ini telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat Sang Raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rakan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah sementara Ibn Abd Al Rabbih di dalam karyanya Al Iqd al Farid pula, yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII’ menyebutkan adanya korespodensi antara raja Sriwijaya (Sri Indravarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada sekitar tahun 100 H , Raja Sriwijaya berkirim surat yang isi surat tersebut adalah :

“دري راج د راج ﴿ماليکالعاملق﴾ ÙŠÚ  اداله کتورونن سريبو راج; ÙŠÚ  استريڽ جوݢ Ú†ÙˆÚ†Ùˆ سريبو راج; ÙŠÚ  د دالم کندڠ بيناتڠڽ ترداڤت سريبو ݢاجه; ÙŠÚ  د ولايهڽ ترداڤت دوا سوڠاي ÙŠÚ  مڠايري ڤوهون ݢهارو، بومبو-بومبو ويواڠين، ڤالا دان کاڤور باروس ÙŠÚ  سمربق واڠيڽ هيڠݢ منجڠکاو جارق 12 ميل; کڤد راج عرب ÙŠÚ  تيدق مڽکوتوکن توهن-توهن لاين دڠن الله. ساي تله مڠيريمکن کڤد اندا هديه، ÙŠÚ  سبنرڽ مروڤاکن هديه ÙŠÚ  تق بݢيتو باڽق، تتاڤي سکدر تندا ڤرساهابتن. ساي ايڠين اندا مڠيريمکن کڤد ساي سساورڠ ÙŠÚ  داڤت مڠاجرکن اسلام کڤد ساي دان منجلسکن کڤد ساي تنتڠ حکوم-حکومڽ“
Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang isterinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya”

Dari Kronologis di atas, kita bisa dapatkan beberapa kemungkinan peristiwa sejarah (Alternatif Historis) :
1. Surat dakwah yang disebarkan Rasulullah ke seluruh pelosok negeri, bisa jadi ada yang ditujukan kepada Raja Sriwijaya. Mengingat telah adanya hubungan perdagangan antara Sriwijaya dengan bangsa Arab, yang ditandai dengan keberadaan perkampungan Arab di Sriwijaya, tahun 625M.

2. Dakwah ke Nusantara, semakin intensif dilakukan pada masa Khalifah Muawiyah I. Dan tidak menutup kemungkinan Syeikh Rukunuddin, adalah salah seorang sahabat Rasulullah, yang dikirim Bani Umayyah, untuk menjadi salah seorang juru dakwah di Nusantara.

3. Ketika masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Islam sudah sangat dikenal. Kuat dugaan, Raja Sriwijaya (Sri Indravarman), adalah seorang Muslim. Dan beliau sangat berkeinginan untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam.


Surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah
Berikut kutipan dari buku Al-Iqdul Farid, Nuaym ibn Hammad said, “The king of India sent a letter to Umar ibn Abd al-Aziz, in which he said, ‘From the king of kings who is the son of a thousand kings and is married to the daughter of a thousand kings, in whose stables are a thousand elephants, who has two rivers that grow aloe-wood, aloes, coconuts, and camphor, whose scent is perceptible at a distance of twelve miles – to the king of the Arabs who does not attribute partners to God. After this exordium, I am sending you a gift that is not a gift but a greeting. I would like you to send me a man who would teach me Islam and explain it to me. And peace be to you.’ By gift, he meant the letter.

Tercatat Raja Sriwijaya Sri indrayana pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, Bagian pembukaan dari surat pertama dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya Kitab al Hayawan (Buku Fauna) berdasarkan 3 rantai isnad.

Kutipan surat itu berbunyi.... "(Dari Maha Raja) - yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua sungai yang mengairi gaharu - untuk Muawiyah"

Muawiyah 1 sendiri hidup sekitar tahun 661 H pada masa itu tercatat oleh sejarawan malaysia S. Fatimi.

Dan untuk surat yang ke-2 di kirimkan kepada khilafah Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mampu mensejahteraan kaum muslimin selama 2 tahun saja.

Karena Masyarakat tidak ada yang merasa berhak untuk menerima zakat. Potongan surat tersebut berbunyi: “Dari Raja diraja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” [Wikipedia]

S. Fatimi memperkirakan surat-surat itu diterima Kalifah sekitar tahun 100H/717 M, Sederhananya adalah ketika raja sriwijaya mengirimkan surat itu adalah dalam kondisi masyarakat yang masih menganut hindu dan kepercayaan yang lain bernuansa supranatural.

Ada kemungkinan bahwa kejadian ini sebagai titik awal islam masuk ke Indonesia meskipun juga bahwa raja Indrayana tahu tentang islam beserta pemerintahannya lantaran memang ada para pedagang timur tengah berdagang di kerajaan sriwijaya. Keberadaan surat ini. Dalam buku yang sama, mengutip MD Mansoer (1970:45), surat yang dimaksud sekarang masih tersimpan dengan baik di Museum Madrid di Spanyol.

Jadi untuk Teks asli surat Raja Sriwijaya kepada khalifah masih belum mencuat ke publik, karena kalau informasi ini benar maka satu-satunya cara adalah kita bisa mendapatkannya di Museum Madrid spanyol. Seperti itulah sejarah yang memang masih perlu penelusuran lebih untuk membuktikan Menelusuri Jejak Surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz Saya mengetahui adanya dugaan korespondensi antara Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman dengan Khalifah Umar dari artikel biografi mengenai Umar bin Abdul Aziz yang saya baca di wikipedia. Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz.

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860–940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Saya melakukan penelusuran di dunia maya dan berusaha mencari artikel terkait hal tersebut.

S Fatimi, seorang sejarawan Malaysia yang menulis dan dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Nusantara. Azyumardi menyatakan bahwa ada dua buah surat yang kemungkinan besar ditulis oleh Raja Sriwijaya untuk Kalifah Arab.

Karena tidak mendapatkan buku Islam Nusantara yang dimaksud, saya meneruskan penelusuran di dunia maya dan menemukan buku Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu yang ditulis oleh Ahmad Jelani Halimi. Buku yang disebut terakhir memberikan beberapa pencerahan bagi saya mengenai surat sang Raja Sriwijaya.

Buku Al-Iqdul Farid disebutkan ada raja India  yang mengirim surat kepada Khalifah Umar. Berikut kutipan dari buku Al-Iqdul Farid, Nuaym ibn Hammad said, “The king of India sent a letter to Umar ibn Abd al-Aziz, in which he said, ‘From the king of kings who is the son of a thousand kings and is married to the daughter of a thousand kings, in whose stables are a thousand elephants, who has two rivers that grow aloe-wood, aloes, coconuts, and camphor, whose scent is perceptible at a distance of twelve miles – to the king of the Arabs who does not attribute partners to God. After this exordium, I am sending you a gift that is not a gift but a greeting. I would like you to send me a man who would teach me Islam and explain it to me. And peace be to you.’ By gift, he meant the letter.

Dari buku edisi terjemahan bahasa Inggris tersebut hanya disebutkan Raja India, tidak spesifik menyebut nama Sriwijaya atau nama Sri Indrawarman.

Namun Ahmad Jaelani dengan mengutip SQ Fatimi menafsirkan bahwa raja India yang dimaksud adalah Sri Indrawarman sang raja Sriwijaya. Dalam buku yang sama, mengutip MD Mansoer (1970:45), surat yang dimaksud sekarang masih tersimpan dengan baik di Museum Madrid di Spanyol.

Dari sini, saya mengambil kesimpulan, dengan melihat timeline sejarah Bani Umayyah dan Sriwijaya memang ada kecocokan waktu. Terlebih lagi dari catatan yang lain, salah satunya catatan Itsing dan Ibn Batutah banyak diketahui catatan mengenai aktivitas perdagangan antar “negara” di masa lampau di perairan Sumatra-Melayu.


Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang Memeluk Islam Pada Abad Ke 7
1. Pangeran Jay Sima

Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa.

Pada tahun 674 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Kalingga pada saat itu, dipimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjungan duta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang. Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). 


2. Rakeyan Sancang

Sejarawan Sunda Ir H. Dudung Fathirrohman mendapat informasi dari seorang Ulama Mesir, bahwa Khulafaur Rasyiddin Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh (Javadvipa).

Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Islam masuk ke Garut sejak abad 1 Hijriah dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe).

Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, menurut Pengamat sejarah Deddy Effendie, adalah seorang Pangeran dari Tarumanegara, yang bernama Rakeyan Sancang.

Berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).

Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya Islam.

Namun berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.

Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.

Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.

Anaknya oleh Ki Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali (42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ilmu berkelahi yang tinggi.

Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.

"Tongkat Sayyidina Ali RA yang dihadiahkan kepada Rakeyan Sancang Di Kaum Pusaka"" (Yayasan Pusaka Muslimin, diketuai oleh saya sendiri Ucep Jamhari) Cinunuk Garut.

Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.

Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman (Saat itu semua raja Kertanegara juga disebut Siliwangi), yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islamkan.

Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menegakkan Syariat Islam.

Berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa Sayidina Ali dan Ahlul Bait keluarga Rasul SAW pernah beberapa tahun menetap di Pulau Jawa dan ada yang menetap menikah dengan orang Indonesia hingga sekarang tersebar keturunannya. Cinunuk Wanaraja Garut dan Eyang Papak dalam sejarah Sunda diyakini sebagai berikut :

- Cinunuk : Pusat Peradaban Cinekna = Padumukan/Tempat tinggal Para Wali dan Raja/Prabu/Waliyulloh.
- Eyang Papak : Papakem = Paku = Pusat. Berjarak 7 Kilometer ke Piramida Sadahurip Gunung Galunggung.

Adapun benda sejarah penyebaran Islam Via Rakeyan Sancang abad 7 dan Kian Santang abad 14 yang tersimpan di Yayasan Pusaka Muslimin Cinunuk, Wanaraja Garut, yaitu :
1. Tongkat Sayidina Ali. Yang pada kesempatan tiap perayaan Maulid Nabi SAW diadakan pencucian bersama sama benda-benda pusaka lainnya.
2. Duhung sejenis senjata yang bertuliskan Hurup Emas bertuliskan LLH atau Laa Iqroha Fiddin (Keris Duhung LAM LAM HA).
3. Buli-buli dan Keramik antik.
4. Kujang
5. Naskah kuno Perjalanan Rakeyan Sancang bertemu dengan Rasululloh dan Sayidina Ali RA, dll.


3. Prabu Guru Haji Aji Putih 678 - 721 M
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan Medang Kahyangan (252 – 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa yang memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan. Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.
 

Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih 678 - 721 M.

Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732 M) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan. Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balangantrang/Aria Bimaraksa pensiun sebagai patih Galuh.

Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M .

Dalam Kitab Waruga Jagat bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu Komara keturunan Baginda Sam, putra Nabi Nuh yang ke-10 dari istri mudanya. Dalam kisah putra Nabi Nuh, ditemukan nama pada waktu kecil bernama Baginda Syah, kemudian beliau mempunyai putra Baginda Asram, beliau berputra Babar Buana, menurunkan putra Maha Patih, berputra Arga Larang, apuputra Bandul Gantangan, apuputra Sayar, apuputra Radjakana, apuputra Prabu Komara menurunkan putra :
1. Prabu Permana
2. Prabu Guru Adji Putih

Sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam keindahan istana, karena tinggal di Karesian, sehari-hari mendapat tempaan budi pekerti, olahan batin dan ilmu keagamaan. Setelah tumbuh dewasa kira-kira berusia 20 tahun, diperintah olah ayahnya bernama Prabu Komara agar mengamalkan ilmunya, maka sejak dari itu Prabu Guru Adji Putih mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Bagala Asih Panyipuhan dengan melintasi Gunung Simpay, Mandalasakti, Gunung Penuh, Sawalangsungsang, kaki Gunung Sanghiyang, kemudian tiba di sebuah dusun kecil bernama Kampung Muara yang tidak jauh dari kali Cimanuk.

Pada awalnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan/Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168). Agama Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (satu tuhan) seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : "Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana".

Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan Surat Al Ikhlas. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan "Orang Sunda kudu Nyunda". Disitulah beliau mulai mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Kerajaan yang didirikan sederhana belum mendapat dukungan atau pengakuan dari seluruh rakyatnya, oleh karena sarana atau keperluan kerajaan belum terpenuhi. Dalam perkembangannya meminta bantuan kepada Raja Galuh sehingga terjadilah hubungan erat, selanjutnya menghantarkan pertemuan dengan putri Galuh bernama Nyi Mas Dewi Nawangwulan yang bergelar Ronggeng Sadunya.

Setelah melangsungkan pernikahan, Nyi Mas Dewi Nawangwulan diboyong ke Istana Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi), ungkapan cita-cita bahwa kelak akan menjadi kerajaan yang besar dan berdaulat.

Perkawinan dengan Nyi Mas Dewi Nawangwulan melahirkan putra mahkota :
1. Prabu Tadjimalela (diperkirakan lahir + tahun 700 M)
2. Prabu Harisdarma
3. Prabu Langlang Buana

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi.

Setelah putra mahkota tumbuh dewasa, Prabu Guru Adji Putih turun tahta selanjutnya menobatkan putra sulungnya Prabu Tadjimalela pada saat terang bulan tahun Saka atau pada tahun 721 – 778 M.

Sedangkan Prabu Sokawayana mendapat perintah untuk memperluas wilayah kekuasaan ke kawasan Gunung Tampomas maka beliau mendirikan Medang Kahiyangan.

Prabu Harisdarma mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke kawasan Garut di sekitar kaki Gunung Haruman, beliaulah yang menurunkan para menak di kawasan Garut.

Putra bungsu atau Prabu Langlang Buana mengadakan perluasan wilayah ke kawasan Barat disekitar kaki Gunung Manglayang atau daerah Sukapura (Bandung).

Prabu Guru Adji Putih yang bertahta dari tahun 696 - 721 M, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya menjadi Resi, dengan mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Cipeueut. Kemudian menetap di daerah tersebut, selanjutnya mengembangkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan yang telah dirintis oleh Sanghyang Resi Agung (pada abad ke-7).

Kesibukan mengajar para catriknya, tak menjadi perintang dalam mengembangkan niaganya. Beliau dikenal sebagai saudagar rempah-rempah yang mempunyai hubungan dengan Kerajaan Sunda Galuh.

Pada abad itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Garut dan Cirebon. Saudagar tersebut mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Islam yang telah disebut-sebut dalam wangsit leluhurnya.

Kedatangan mereka mendorong Prabu Guru Adji Putih melakukan pengkajian wangsit-wangsit leluhurnya (amanah), diantaranya : “Hiji waktu jalan kaarifan baris molongpong ti panto Mekah nepi ka Pulo Tutung (Afrika), jalma antay-antayan neangan kaarifan, tapi maranehna teu nyaho nu disebut arif”. Artinya : “Suatu saat jalan kaarifan akan membujur dari pintu Mekah sampai ke Pulau Hitam (Afrika), mereka berbondong-bondong mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang disebut arif”.

Wangsit itu mendorong untuk membuka hubungan niaga dengan saudagar rempah-rempah dari Teluk Persia yang menetap di Cirebon Girang. Hubungan kerjasama niaga menghantarkan Prabu Guru Adji Putih berlayar menuju negeri Mekah, dengan tujuan mengembangkan niaga.

Di Kota Mekah bertemu dengan Syekh Ali keturunan Pangeran Baghdad. Sejak itulah Prabu Guru Adji Putih mulai mengenal ajaran Islam, bahkan secara ikhlas masuk agama Islam. Kemudian sepulangnya dari Mekah, diperintahkan agar mendirikan tempat wudhu tujuh muara, setelah itu diharuskan mendirikan Mesjid Jami (Rumah Allah).

Setibanya di tanah air, beliau mendirikan tempat wudhu tujuh muara, dikenal dengan nama-nama yang menggunakan bahasa ibunya, seperti : (1) Cikahuripan, (2) Cikajayaan, (3) Cikawedukan, (4) Cikatimbulan, (5) Cisundajaya, (6) Cimaraja, (7) Cilemahtama.

Cikahuripan
Maknanya adalah barangsiapa yang berwudhu di situ, maka akan memperoleh kemulyaan hidup, ditemukan di sekitar kaki Gunun Lingga kawasan Desa Cimarga Kecamatan Darmaraja.

Cikajayaan
Maknanya adalah simbol dari keinginan, barang siapa yang berwudhu disitu, akan memperoleh keunggulan (kejayaan) termasuk disegani dan awet muda. Ditemukan di kawasan Paniis kampong Cieunteung Desa Sukanagara Kecamatan Darmaraja.

Cikawedukan
Maknanya barang siapa yang berwudhu dan mandi disitu, dilandasi keyakinan, akan memperoleh kekuatan lahir batin, atau tidak akan tembus senjata tajam.

Cikatimbulan
Maknanya adalah barang siapa yang melakukan ma’rifat. Kemudian berwudhu dan mandi disitu maka akan mampu menghilang (halimunan) atau dapat tembus pandang, timbul tenggelam adalah khasiat yang sangat utama.

Cisundajaya
Maknanya adalah barang siapa yang meyakini ilmu-ilmu leluhur Sunda, kemudian berwudhu dan mandi disitu, akan memperkuat kejayaan Kisunda. Sunda dalam pandangan Prabu Guru Adji Putih, (Sun = bagus, Da = Dawa artinya panjang, terbagus dan terpanjang dalam rentang kejayaan).

Cimaraja
Maknanya adalah barang siapa yang mempelajari ilmu kepemimpinan, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan memperoleh kharisma dalam memimpin rakyat. Raja adalah pemimpin utama yang menentukan arah kehidupan rakyatnya.

Cilemahtama
Maknanya barang siapa yang menderita penyakit lahir maupun batin, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan disembuhkan dari bencana penyakit. Situs tersebut ditemukan di Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan.

Darmaraja.
Setelah menyelesaikan tempat-tempat wudhu tersebut, Prabu Guru Adji Putih berniat mendirikan Mesjid Jami, dengan memilih tempat di kawasan Nagrog yang terletak di kaki Gunung Lingga. Akan tetapi rencana tersebut gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan Gunung Masigid.

Selanjutnya beliau kembali ke Keresian Bagala Asih Panyipuhan, bahkan lebih memusatkan kepada syiar agama, dengan memanfaatkan pendekatan adat tradisi budaya, kesenian dan pendekatan sosial kemasyarakatan.

Pandangan-pandangan Budaya
Prabu Guru Adji Putih setelah pergi ke Mekah dinobatkan sebagai Haji Darmaraja atau disebut Haji Purwa Sumedang (sosok yang pertama kali gelar haji di Darmaraja atau Sumedang), dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih.

Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.

Selain Resi yang cukup dikenal, juga sebagai ahli fikir/tarekat yang merangkai pandangan-pandangan budaya yang mengunakan landasan Islam. Beliau menciptakan Syahadat dan ilmu Kacipakuan, artinya Pengakuan atau Ikrar kesaksian terhadap leluhurnya, yang berbunyi :  “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula”.

Kemudian disempurnakan oleh anak cucunya menjadi “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Eyang Haji Darmaraja, maring Ingsun”. Artinya: "Getaran jiwa menciptakan perasaan, getaran perasaan menjembatani jasad, dzat (ruh) untuk mengetahui diri sendiri, dekatlah dengan Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Haji Darmaraja, masuklah ke dalam jiwaku.

Selanjutnya disempurnakan lagi oleh anak cucunya : "Sir budi cipta rasa, sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Terah wisesa, ratu galuh, galih kula aji putih, ngamupuk aji putih, ngabanyu aji putih, ngaraga sukma tembong aji sajati agung, sajatining diri tembong agung, marifat jati keursaning Allah. La ilaha illallah, Muhammaddarosullullah".

(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/ Nurani….).

Selain itu beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan kedalam bentuk pusara atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees artinya u artinya usaha.

Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup. “Akal hade, usaha getol lamun teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal hebat tapi embung usaha hirupna ngayuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyempitkeun ilmu agama”.

Menjelang akhir hayatnya, beliau melakukan marifat di Cipeueut (menyempurnakan ilmunya) hingga meninggal dunia.

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di di Pajaratan Landeuh Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Eyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.


Prabu Tajimalela
Ketika Batara Kusuma sedang bertapa, terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap “ In(g)sun Medal In(g)sun Madangan” (In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Selain itu Tajimalela menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33 pasal “Sideku Sinuku Tunggal Mapat Pancadria” ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan Antara manusia dengan manusia, seperti yang terpancar dalan tembang Sinom berikut :
Sumanget ka Sumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwas ku beja
Sikepna titih carincing
Jauh tina hiri dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan

Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Gajah Agung . Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 M jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. 

Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi raja Sumedang Larang yang kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung memilih untuk menjadi resi daripada menjadi seorang raja sepertinya adiknya Sunan Ulun menjadi resi demikian pula dengan Gajah Agung menolak, akhirnya Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung, ketika kedua puteranya datang Prabu Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk menunggui sebuah kelapa muda dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat kemudian Prabu Tajimalela pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu berapa lama kemudian Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah Agung seorang diri akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus kemudian meminumnya buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang kedua, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan dan mulai dari sini pusat

Pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang

dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M)mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.

Catatan :
Jikalau kita lihat wangsit leluhurnya sebelum prabu aji putih menjadi menjadi resi islam kita bisa lihat dalam kitab hindu berikut ini :
- Manu (Nuh) sebagai nabi juga memiliki hukum, yang oleh umat Hindhu disebut Manusmriti (Law of Manu). Dalam Atharvaveda Book 20 Hymn 127 verses 1-13 dikatakan tentang datangnya nabi Muhammad, mengatakan: “Dia adalah Resi yang naik Onta.
- Tidak mungkin itu orang India karena Reshi India (Brahman) tidak boleh naik Onta berdasarkan “Sacred Book of the east”, Volume 25, Law of Manu page 472. Menurut Manu Smirti Bab 11 ayat 202 “Seorang Brahman dilarang menaiki Onta atau Keledai.

Baca Juga :

Tidak ada komentar