Ngahartikeun Patanjala
Barang mimiti mah teu ngartos sim kuring oge, naon hartina PATANJALA teh. di FBna Kang Asep Sulaiman Fadil sering ngecapkeun ngenaan Patanjala, teras gambar aya pa-SAWAH-an sareng pa-CAI-an :
Sampurasun, Punten teu disundakeun (copas)
Oleh: Lucky Hendrawan
Masyarakat Jawa Barat mengenal istilah Sang Hyang Patanjala dari keberadaan cerita Sri Maharaja Guru Resi Prabhu Sindu La Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) sebagai Raja Kendan. Dalam cerita beliau memiliki 5 orang 'anak' yang dikenal sebagai "Panca Ku-Ci-Ka" yang terdiri dari :
-. Sang Hyang Nandiswara
-. Sang Hyang Garga
-. Sang Hyang Purusha
-. Sang Hyang Manisri
-. Sang Hyang Patanjala
Sesuai dengan cara, pola dan gaya penyimpanan data yang dilakukan oleh para leluhur bangsa bentuk "personifikasi" atas Sang Hyang Patanjala kerap-kali dianggap sebagai sosok manusia secara biologis, padahal mungkin saja hal tersebut dikemudian hari menjadi "gelar kehormatan" terhadap seseorang, seperti yang diberikan kepada Sang Tritrusta Ra-Hyang Tarusbawa raja Sunda Sembawa.
Patanjala adalah landas pemikiran (konsep) mengenai pengelolaan air yang mucul dari sumber mata-air menuju sungai hingga bermuara di samudra. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan persoalan 4 inti kehidupan mahluk di bumi (khususnya bagi manusia) : Api, Angin, Air, Tanah. Begitu juga unsur hidup manusia.
Pemikiran dalam Pikukuh Sunda mengenai "Ibu Agung / Ibu Pertiwi" rupanya bukan hanya slogan, sebab pada kenyataannya ibu/bumi ini benar-benar "hidup" (bernafas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur), jadi prinsip kerja tubuh bumi mirip dengan raga manusia atau setidaknya; kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit - jagat agung).
Patanjala adalah urat-urat air yang mengaliri raga-tubuh Ibu Agung (bumi), dari hulu ke hilir dan kembali berulang, siklus tersebut telah terjadi sejak milyaran tahun yang lalu. Urat-urat bumi yang mengalir dari puncak-puncak gunung turun membawa berbagai mineral dan sari-pati makanan yang dibutuhkan oleh hewan, tumbuhan serta manusia, hingga kelak melahirkan berbagai "peradaban".
Maka teori yang menyebutkan bahwa seluruh bangsa yang memiliki peradaban adi-luhung berawal dari sungai itu "benar", seperti : Huang Ho dan Yang Tse Kiang, Amazon dan Misissipi, Gangga, Nil, Eufrat dan Tigris, dsb. Namun demikian tentu semua perkembangan peradaban tersebut harus berlandas dan dipicu oleh ilmu pengetahuan yang luhur (kecerdasan, kebijakan dan kebajikan), tanpa hal tersebut mustahil terbangun tatanan peradaban.
Patanjala secara mendasar terbagi dalam 3 kewilayahan yang sangat erat berkaitan dengan "gunung dan hutannya" :
1. Wilayah Larangan - Hutan Larangan => Sumber/Wiwitan
2. Wilayah Tutupan - Hutan Tutupan => Cadangan
3. Wilayah Baladaheun - Hutan Baladaheun/Hutan Olahan (Perkebunan dan Pertanian).
Ketiga wilayah ini harus dijaga dengan baik (terjaga "kesuciannya"), oleh sebab itu sering disebut sebagai "tanah suci" dan wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai "kabuyutan" (Wilayah Larangan) yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja (*orang 'suci'), pun jika terjadi kerusakan secara alami.
Maka dari itu setiap wilayah/tanah suci (Hutan Larangan) disebut sebagai Sa-Saka Domas yang ditandai oleh Arca Domas, dan seluruh kesatuan tanah suci disebut Sa-Loka Domas. Sayangnya pengertian istilah dalam suatu kewilayahan tersebut sudah semakin asing terdengar di telinga generasi sekarang sehingga banyak wilayah larangan rusak dan hancur dengan tidak semestinya.
Berdasarkan tata-wilayah/tata-ruang, maka selayaknya aliran sungai itu dikelola oleh masing-masing kelompok masyarakatnya (tata-kelola/tata-kuasa) dan karena setiap daerah memilik ruang kebutuhan yang berbeda-beda maka tatanannya pun akan beragam, menyesuaikan diri dengan sendirinya.
Oleh sebab itu penataan air yang paling ideal tentu tidak memusat(Sentral), apalagi bersifat penguasa tunggal (Monopoly) dengan demikian setiap kelompok masyarakat dituntut "bertanggung-jawab" terhadap wilayah airnya masing-masing.
Patanjala pada tubuh manusia setara dengan "aliran darah" yang mengalir dari sirah (hulu/ kepala) hingga dampal (telapak kaki), tersumbatnya aliran darah karena 'kotor/rusak' dsb. tentu mengakibatkan masalah yang tidak diinginkan seperti "stroke, darah tinggi, jantung, kurang gizi, diabetes dll...dsb (tanya sama dokter). Maka demikian pula hal nya aliran sungai pada tubuh bumi, jika terjadi "kerusakan" boleh jadi dampak yang ditimbulkan mirip dengan keadaan manusia yang bermasalah pada saluran darahnya... (belum lagi soal mutu air).
Karena manusia dan bumi merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan maka; rusaknya lingkungan hidup (Tanah & Air) tentu akan menimbulkan dampak terhadap manusianya dan proses kerusakan (kehancuran) tersebut sedang terjadi saat ini artinya; jika kita tidak segera berbuat sesuatu terhadap lingkung kehidupan maka sama dengan menunggu pemusnahan masal. (*setidaknya dampak itu akan dirasakan oleh generasi yang akan datang/anak-cucu).
Seluruh bangsa Indonesia yang senyatanya tinggal di Negeri Tirta Dewata ini selayaknya turut berperan serta dalam menyelaraskan kehidupan bagi Tanah dan Air di masing-masing wilayah dan pada bidangnya masing-masing (*Perlu tindakan serentak dan bersama dalam memulihkan lingkungan). Turut menanam pohon, hemat air, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuat sampah (sampah kimia juga plastik) dll, menghormati dan menjaga kabuyutan di masing-masing wilayah, serta melakukan segala hal yang berguna bagi percepatan pemulihan tanah dan air akan sangat membantu bagi kehidupan manusia sekarang dan yang kelak akan datang.
Patanjala adalah tubuh kita sendiri dan tubuh kita adalah bagian dari Ibu Agung, jika bangsanya sehat maka negaranya kuat. Dengan demikian cerminan mengenai nilai-nilai Sang Hyang Patanjala itu ada pada diri kita dan hal tersebut akan tercermin pada mutu aliran-aliran sungai yang ada di negara kita.
Dalam Pikukuh Sunda mengatakan : "Tanda-tanda negara subur makmur gemah ripah loh jinawi adalah jika air sungainya dapat langsung diminum"
"Tanda-tanda kebersihan hati-nurani suatu bangsa terukur dari kejernihan air sungainya"
...air minum yang ada dihadapan kita, yang kita gunakan untuk mandi dan mencuci, air yang telah berjasa memberikan kehidupan kepada raga-tubuh kita sesungguhnya telah berumur jutaan tahun bahkan milyaran tahun, maka sangat wajar jika kita menghormatinya dengan sepenuh hati...
kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh: jala=air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan (pendiri Galuh) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya (Pendiri Sunda).
Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu. Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Pwah Pohaci Sang Hyang Asri.
Pun Tabe Pun
Mugia Rahayu
Post a Comment