Pangeran Rangga Gempol 1 Dihukum Pancung

Prabu Geusan Ulun (1579 - 1601 Masehi)
Salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran ialah masuknya agama Islam ke dalam wilayah kerajaan tersebut. 

Selanjutnya Prabu Geusan Ulun memproklamirkan Kerajaan Sumedang Larang sebagai negeri yang berdaulat  dan mengklaim bahwa daerah-daerah antara sungai Cipamali dan Cisadane beruda dalam wilayah kekuasaan Prabu Geusan Ulun kecuali Banten dan Cirebon. Pada tanggal 14 Safar Tahun Jim Akhir, bertepatan dengan tanggal 21 April 1579, dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang.

Ibu kota Sumedang Larang di Kutamaya yang terletak dipinggiran sebelah barat kota Sumedang. Luas wilayah meliputi daerah yang dibatasi oleh sungan Cipamali di sebelah timur dan sungai Cisadane sebelah barat kecuali Cirebon, Jayakarta, Bogor, dan Galuh (Widjayakusumah, 1961 : 3). Prabu Geusan Ulun adalah putra sulung Cakra Kusumah yang bergelar Pangeran Santri dari Permaisuri Ratu Inten Dewata. Proses Islamisasi yang berjalan terus-menerus kearah pedalaman, menyebabkan  rakyat Sumedang Larang masuk Islam. 

Dalam fase ini, Prabu Geusan Ulun mengadakan konsolidasi ke daerah-daerah bekas Pajajaran, sehingga sebagaian daerah masuk ke wilayah Sumedang Larang meliputi wilayah Bandung terdiri dari daerah Timbanganten, Batulayang, Kahuripan, Tarogong, Curug Agung, Ukur, Marunjung, Ngabehi Astamanggala. Wilayah Parakanmuncang meliputi daerah Selacau, Ngabehi Cucuk, Manabaya, Kadungora, Galunggung, Sindangkasih (Majalengka), Cihaur, dan Taraju. Wilayah Sukapura meliputi daerah Karang, Parung, Panembong, Batuwangi, Saungwatang (Mangunredja), Ngabehi Indrawangsa, Suci, Cipanaha, Mandala, Nagara, Cidamar, Panakantiga, Muhara, Cibadak, dan Sukakerta. Prabu Geusan Ulun melakukan invansi ke belahan Timur, namun tidak berhasil  menguasai seluruh bekas wilayah Pajajaran, karena sebagian daerah tersebut telah direbut oleh Mataram.




Pengaruh Mataram
Kerajaan Sumedang Larang berakhir akibat pengaruh Mataram sehingga sistem pemerintahan keprabuan diganti dengan sistem pemerintahan kebupatian walaupun secara de facto masih dengan sistem kerajaan. Mataram bergabung dengan Cirebon pada tahun 1595 masehi, Sultan Agung Mataram membagi-bagi wilayah menjadi beberapa daerah, setiap daerah dipimpin oleh seorang bupati. Hal tersebut, menunjukkan bahwa munculnya Kesultanan Mataram membawa pengaruh besar terhadap  kehidupan, terutama dalam tatanan pemerintahan sistem kerajaan. 

Pada tahun 1601 masehi, Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya Nalendra Raja Sumedanglarang sekaligus penerus estafet kerajaan Pakuan Pajajaran dengan pemasrahan mahkota Binokasih yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610 masehi, Prabu Geusan Ulun lahir 19 Juli 1558 dan meninggal tahun 1610,  sebelum wafat Prabu Geusan Ulun membagi wilayah Sumedang Larang menjadi dua bagian. Belahan Barat diserahkan kepada Pangeran Soeriadiwangsa, putera dari Ratu Emas Harisbaya, dengan ibukotanya Tegalkalong dan belahan timur diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede  putra  dari Ratu Emas Cukang Gedeng Waru dengan ibukotanya di Canukur 



Pada tahun 1620 masehi Sultan Agung mendeklarasikan pretensi Mataram dengan mengklaim bahwa pulau Jawa berada dalam wilayah Kesultanan Mataram. Pretensi tersebut menimbulkan reaksi keras dari Sultan Banten, karena tidak akan membiarkan daerah-daerah taklukannya jatuh ketangan pihak lain. Sejak itulah terjadinya permusuhan Banten dengan Mataram, sedangkan daerah-daerah yang menolak pretensi menjadi sasaran militer Mataram.

Tentara Mataram dibawah pimpinan panglima perang Adipati Purbalingga menyerbu Kerajaan Pajang Madura, namun serbuan Mataram ke satu dan ke dua gagal. Lalu Sultan Agung mengalihkan perhatian ke belahan barat untuk merebut pelabuhan besar Sunda kalapa. Raja-raja kecil berdatangan ke Mataram untuk menyatakan diri menjadi negeri bawahan Mataram. 

Pada tahun 1624 masehi, Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan diri  bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram secara tulus hati. Pernyataan tersebut dikenal dengan istilah "Prayangan", kemudian Sultan Agung mengangkat Pangeran Aria Soeriadiwangsa menjadi Dipati Rangga Gempol Sumedang merangkap Wedana Priangan dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata 1, dengan ibukota Priangan di Tegalkalong Sumedang. Wilayah Priangan tersebut meliputi daerah Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang, dan Tatar Ukur Bandung. 

Selain itu pada tahun 1624 masehi, Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol Kusumadinata 1 mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, Madura.  Berangkatlah Pangeran Aria Soeriadiwangsa dengan membawa pasukan dalam jumlah besar didukung oleh 1000 personilnya, sehingga penduduk Sumedang berkurang (Corengcang), pemerintahan dijabat oleh Pangeran Rangga Gede. Pasukan Sumedang bergabung dengan pasukan Mataram menduduki daerah perbatasan Sampang. Kedatangan pasukan Sumedang menimbulkan keresahan penduduk dan suhu politik pun semakin memanas. Pangeran Mas Raja Sampang dengan istrinya melarikan diri, namun ditangkap di Kediri kemudian dibunuh oleh pasukan Mataram.

Bupati Bolo atau Bupati Sampang madura,  mengambil alih kepemimpinan karena penguasa Sampang telah tewas, selanjutnya memanggil Pangeran Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol untuk mengadakan perundingan damai.  Dalam perundingan tersebut, Pangeran Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol berkomunikasi dengan Bupati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda, karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, masih ada darah keturunan Pajang yaitu ibunya Ratu Harisbaya darah keturunan Sampang, ternyata mampu menyelesaikan konflik tanpa menempuh peperangan.  Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Pangeran Aria Soeriadiwangsa.

Setelah Sampang Madura menyatakan ketundukannya, Sultan Agung tidak memperkenalkan Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol kembali ke Sumedang, karena akan dicalonkan menjadi panglima perang dalam rangka mengusir Kompeni yang bercokol di Batavia. Prajurit Sumedang pun ditempatkan di Kampung Bembem.  Namun mendapat reaksi dari pihak-pihak dalam kesultanam Mataram yang tidak puas kepadanya, bahkan muncul tudingan dan fitnah, bahwa Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol berniat makar kepada Sultan Agung. 

Akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, diculik kemudian dipenggal lehernya dan dimakamkam di tempat yang berbeda, karena konon mempunyai ilmu kedigjayaan yang linuwih yaitu pancasona atau rawe rontek. 

Adapun lokasi jasadnya pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, yaitu :
- Makam tangan dan Kaki Raden Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol disemayamkan  di Pekuburan Umum di Lempuyangan Jogjakarta.
- Makam kepala Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol di semayamkan di Pekuburan Blunyah Gede Kabupaten Sleman.
- Makam badan Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol disemayamkan di Pekuburan Kotabaru, tepatnya di  Jalan Krasak Kotabaru di Imogiri Jogjakarta.

Untuk memudahkan para pejiarah yang datang ke Dayeuh Luhur Sumedang dan hendak mendoakan atau bertawasul ke makom Pangeran Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol, pada tahun 1988 secara simbolis dari segemgam tanah dari ke tiga makam pangeran Soeriadiwangsa di Jogjakarta sudah disatukan, disholatkan dan dikebumikan di Dayeuh Luhur Ganeas Sumedang, berdekatan dengan makam Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya, orang tuanya.

Proses kegiatan pemindahan pada saat itu oleh tim Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) dimana masa itu Bapak Raden Lukman Hamid Soemawilaga almarhum yang menjabat sebagai ketua Yayasannya.

Setelah Pangeran Rangga Gempol I wafat, Sultan Agung mengangkat Pangeran Rangga Gede menjadi Bupati Sumedang merangkap Wedana Priyangan. Pengangkatan Bupati  tersebut, menimbulkan reaksi  Raden Kartajiwa (putra Pangeran Soeriadiwangsa), tidak menyukai Sumedang berkiblat ke Mataram karena ayahnya dibunuh oleh orang Mataram. 

Oleh karena itu, Raden Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) menghasut para pengagung Sumedang, kemudian ditangkap oleh Pangeran Rangga Gede, pada saat hendak dijatuhi hukuman meloloskan diri ke Banten dan meminta suaka politik  kepada Sultan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa), dengan janji akan menyerahkan sebagian wilayah Sumedang kepada Sultan Banten, kemudian Raden Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) membuat kekacauan ditepi barat sungai Citarum untuk memancing reaksi  Sumedang dan Mataram.

Sultan Agung Mataram memanggil Pangeran Rangga Gede untuk diminta pertanggung jawaban atas terjadinya kekacauan di  daerah tepi barat sungai Citarum, bahkan dituduh membiarkan kekacauan, kemudian dijatuhi hukuman penjara. Untuk mengisi kekosongan jabatan, mengangkat Wangsanata (Adipati Probolinggo)  menjadi Wedana Priangan dengan gelar Dipati Ukur (1527 – 1632 M). Pada tahun 1628, Dipati Ukur mendapat perintah perang dalam rangka serbuan Mataram ke Batavia. Wedana Priangan ini membawa pasukan Ukur Bandung didukung oleh pasukan Sumedang, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pasukan Dipati Ukur menyerbu benteng pertahanan kompeni dengan menghancurkan gudang-gudang beras dan senjata. Serbuan Mataram pertama gagal karena persenjataan tidak seimbang, selain itu, panglima perang Tumenggung Bahureksa dibunuh oleh temannya sendiri akibat perbedaan paham.

Pada tahun 1629, Mataram melakukan serbuan kedua ke Batavia, namun tidak didukung oleh pasukan Ukur Bandung, sedangkan Kompeni menambah armada tempurnya, sehingga perang tidak seimbang sehingga Mataram tidak berhasil lagi dalam merebut Batavia. Sultan Agung Mataram mengutus Umbulnya untuk menyampaikan surat panggilan kepada Dipati Ukur. Kedua utusan itu disambut oleh siaga senjata, bahkan telinganya dipotong. Tindakan Dipati Ukur dianggap pelecehan terhadap Mataram. Maka Sultan Agung memerintahkan kepada panglimanya agar menangkap Dipati Ukur, tetapi tidak ada yang sanggup menangkapnya. Karena itulah, Sultan Agung membebaskan Pangeran Rangga Gede dengan syarat harus menangkap Dipati Ukur.

Lalu Pangeran Rangga Gede membawa pasukan Mataram bergabung dengan pasukan Sumedang, mengepung pendopo Ukur Bandung tetapi Dipati Ukur lolos dari kepungan, bersembunyi di  Gunung Lumbung.  Pangeran Rangga Gede meninggal dunia di Citepus dalam perjalanan menuju pulang pada saat tidak berhasil menangkap Dipati Ukur.

Buku ‘Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1914’ yang ditulis oleh N.J. Krom menyatakan bahwa pada tahun 1833 seorang zoolog dan ahli botani berkebangsaan Jerman, anggota en : Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Pendidikan Fisika Hindia Belanda) yang bernama Salomon Müller datang ke Gunung Lumbung. Bersama dengan Pieter Van Oort, ia mendapatkan cerita dari sesepuh disana tentang sosok Dipati Ukur hingga tempat peninggalannya. Menurut orang tua tersebut, Gunung Lumbuh adalah pertahanan terakhir Dipati Ukur.

Setelah terdesak dan berhasil ditangkap, Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan menemui ajalnya. Terkait akhir sang penguasa Tatar Ukur tersebut, ada banyak versi eksekusi dan tokoh yang berjasa dalam mematahkan perlawanannya. Namun yang jelas, sang dipati dihukum mati dan tokoh yang membawanya ke Mataram adalah orang-orang Sunda sendiri. 

Menurut Karel Frederik Holle, penangkap Dipati Ukur adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Sedangkan dalam Naskah Dipati Ukur yang ada di Leiden dan ditulis oleh R.A. Sukamandara, disebutkan bahwa sang Dipati ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Kawasen, Bagus Sutapura.


Silsilah dan Keturunan Pangeran Soeriadiwangsa

Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji  
1.3 Deman Watang 
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear (Pangeran Bungsu)

Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipakoe


Generasi 3
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)  menikahi dengan Nyimas Sulhalimah, anak ke 6. putranya Santowan Awiloear dan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres), berputra :
1.1.13.1 Rd. Karta Wijaya (Rd. Aria Soeriadiwangsa II), keturunannya ke Banten dan Tanggerang
1.1.13.2 Rd. Mangun Rana (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.3 Rd. Tampang Kil (tak terdata keturunannya, namun ada di Sumedang).
1.1.13.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah ditikah oleh Pangeran Koesoemadiningrat atau Pgn Koesoema Diningrat, [Keseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976.
1.1.13.5 NR. Moestawiyah yang diperistri oleh Penghulu Legok.
1.1.13.6 NM Mariah atau NM Murda atau NM Gedeng Muda dinikah oleh R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar bupati Galuh III (1636-1678 M), keturunan ada di Pegang oleh keturunan Sumedang dari Gending Sumedang.

Cat : Santowan Awiloear adalah putra Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata, sedangkan Nyimas Sari Atuhu (Buyut Eres) adalah salah satu putranya Prabu Surya Kancana Nusiya Mulya (Panembahan Pulosari) dan Nyimas Euis Oo Imahu.


Generasi 4
1.1.13.1 Rd. Kartadjiwa
Berdasarkan buku silsilah keluarga: "Naskah Paririmbon Kaariaan Tangerang", berikut catatan dan keturunannya.

Pangeran Rangga Gempol I wafat yang di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata (Rd. Soeriadiwangsa) meninggalkan 5 putera-putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II (Rd. Kartadjiwa), meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede (uwaknya), meskipun Banten memenuhi permintaan Rd. Kartadijwa (Raden Soeriadiwangsa 2) tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 - 1706 M).

Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram.

Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II (1633 - 1656 M) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung.

Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II). Sumber info http://id.rodovid.org/wk/Orang:860653

Info dari Kangjeng Pangeran Aria Tirtayasa / Raden Tubagus (R.Tb Moggi Norsatya) / Sayyid Syarif Nurfadhil Ba'alawy Al-Husaini, Hidayat : Rd. Kartadjiwa alias Pangeran Soeriadiwangsa 2, berdasar Paririmbon Ka-Aria-an Parahiyang dan sinkron dengan data silsilah keluarga Kesultanan Banten, ibunda beliau adalah Nyi Ratu Widari (atau penulisan lain Widuri) binti Pangeran Aria Upapatih bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanudin Banten bin Sunan Gunung Jati Cirebon, jadi bisa disambung silsilahnya.

I. Berdasar sensus silsilah kekerabatan Keluarga Kesultanan Banten akan pihak kerabat di wilayah Teluk Naga Tangerang Banten dengan catatan leluhurnya diketahui bahwa
Raden Suriadewangsa 2 / Rd. Kartadjiwa memiliki anak :
1.1.13.1.1 Raden Demang
1.1.13.1.2 Raden Tuan Syeh huna / Syeikhuna
1.1.13.1.3 Raden Doro Sawangsa
1.1.13.1.4 Raden Doro Mawarsa
1.1.13.1.5 Raden Naya Dikara
1.1.13.1.6 Raden Tanoedinata

1.1.13.2 Rd. Mangoenrana (tidak terdata keturunannya)

1.1.13.3 Rd. Tampangkil (tidak terdata keturunannya)

1.1.13.4 NR. Soemalintang atau NR Ajoemajar atau RA Soedarsah,  berputra :
1.1.13.4.1 Sareupeun Manangel
1.1.13.4.2 Sareupeun Cibeuli
1.1.13.4.3 Sareupeun Cihaurbeuti
1.1.13.4.4 Sareupeun Dawagung
1.1.13.4.5 Sareupeun Ciboeni Agoeng
Info dari Alvin dan info dari Inge :  RA. Soedarsah adalah istri dari Rd Pangeran Koesoeoemadiningrat. Soemalintang menikah dengan Pangeran Koesoemadiningrat atau Pgn Koesoema Diningrat, putra Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati (Panembahan Seda ing Krapyak, Mas Djolang) d. 1613. dan Bunda Pangeran Koesoemadiningrat. Versi lain : putra Pangeran Benawa atau Abdul Halim atau Kanjeng Sultan Prabuwijoyo Catatan Umum : (Pangeran Djago Djawa) Sech Dago Djawa.

Jalur ini menuju ke Rd Djenal Asikin Wirakoesoemah berdasarkan "Serat Asal-Oesoel" yang ditulis oleh Rd. Djenal Asikin Widjajakoesoemah. Pangeran Koesoemadiningrat alias Pangeran Djago Djawa. Versi lain dari Ari dan Moggi: Pangeran kusumadiningrat alias djago jawa putra Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir.

Info dari Alvin: Kedua versi masih dalam penelitian oleh "Tim khusus di bidang sejarah dan silsilah Kumpulan Wargi Sukapura (KWS Puseur), yang dipimpin oleh seseorang wargi rundayan Sukapura juga, yaitu Prof. Itjeu Marlina, "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS / Kumpulan Wargi Sukapura Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file laporan lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Keturunan Pangeran Koesoemadiningrat atau Pangeran Koesoema Diningrat", lanjut kebawahnya yang lengkap di Sajarah Babon Luluhur Sukapura.


1.1.15.5. NR. Moestawiyah yang diperistri oleh Penghulu Legok Sumedang. (tidak terdata keturunanya)

1.1.13.6 NM Mariah atau NM Murda atau NM Gedeng Muda dinikah oleh R. Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar bupati Galuh III (1636-1678 M), keturunan ada di Pegang oleh keturunan Sumedang dari Gending Sumedang., beputra :
1.1.13.6.1 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679)
1.1.13.6.2 Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja / Bupati Galuh ke-5 : Angganaya (1679-1693) 
1.1.13.6.3 NM. Koerawoet 
1.1.13.6.4 NM. Galuh 
1.1.13.6.5 Rd. Angganata II 
1.1.13.6.6 R. Adp. Anggamadja Bupati Imbanagara ke 3


Generasi 5
1.1.13.1.6 Raden Tanoedinata, berputra :
1.1.13.1.6.1 Kyai Mas Wetan
1.1.13.1.6.2 Kyai Mas Sageri
1.1.13.1.6.3 Kyai Mas Shodif
1.1.13.1.6.4 Kyai Mas Akhdar

1.1.13.6.2 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja (1678- 1679), berputra : 
1.1.13.6.2.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I 


Generasi 6
1.1.13.1.6.4 Kyai Mas Akhdar, berputra 1.1.13.1.6.4.1 Kyai Mas Ardi
1.1.13.1.6.4.2 Kyai Mas Giri
1.1.13.1.6.4.3 Kyai Mas Mulapan / Mulafan
1.1.13.1.6.4.4 Kyai Mas Suhada
1.1.13.1.6.4.5 Kyai Mas Tanudirja
1.1.13.1.6.4.6 Nyi Mas Una
1.1.13.1.6.4.7 Nyi Mas Atinah
1.1.13.1.6.4.8 Nyi Mas Upi

1.1.13.6.2.1 Dlm. R. Soetadiwangsa I, berputra :
1.1.13.6.2.1.1 Dlm. R. Tjandrakoesoemah 
1.1.13.6.2.1.2 Dg. Anggapradja 
1.1.13.6.2.1.3 Kjiai Soetapria 
1.1.13.6.2.1.4 Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang 
1.1.13.6.2.1.5 R. Anggapradja 


Generasi 7
1.1.13.1.6.4.6 Nyi Mas Una, berputra :
Catatan : Jalur-jalur diatas akan dimasukkan di silsilah Pangeran Santri, dan dari Kyai Mas Una juga akan dimasukkan jalur menuju Solihin (Solihin Otreh) sesuai keterangan ybs.
1.1.13.1.6.4.6.1 Rd. Demang
1.1.13.1.6.4.6.2 Rd. Tuan Syeh Huna / Syeikhuna
1.1.13.1.6.4.6.3 Rd. Doro Sawangsa
1.1.13.1.6.4.6.4 Rd. Doro Mawarsa
1.1.13.1.6.4.6.5 Rd. Naya Dikara
1.1.13.1.6.4.6.6 Rd. Tanudinata

1.1.13.6.2.1.4 Kjiai R. Abdoel Anggamalan atau Anggamalang, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I
1.1.13.6.2.1.4.2 Rd. Rajinala
1.1.13.6.2.1.4.3 Rd. Abdoel Rachman


Generasi 8
1.1.13.6.2.1.4.1 Rd. Kapi Ibrahim I, berputra :
1.1.13.6.2.1.4.1.1 Rd. Kapi Ibrahim II 
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin 
1.1.13.6.2.1.4.1.3 Ki Kapioedin 
1.1.13.6.2.1.4.1.4 Ki Noersamid / Noersahid 
1.1.13.6.2.1.4.1.5 Ki Anggawinata 
1.1.13.6.2.1.4.1.6 Rd. Kahfi Ibrahim II 


Generasi 9
1.1.13.6.2.1.4.1.2 Ki Noesajin 

Selanjutnya lihat silsilah keturunan Gending Sumedang  dari Soeriadiwangsa lebih akurat datanya dibawah ini :



Cerita Pangeran Soeriadiwangsa Dalam Bahasa Sunda
Beberna Carita, nalika Raja Sumedanglarang dipiwarang ku Mataram, Raden Suriadiwangsa anu katelah Rangga Gempol nu ngawasa di karajaan sumedang larang antawis 1601-1925,  sabab kagungan elmu linuwih pangasalam tina taneuh (Danghyang)  eta pangeran Rangga Gempol I teh ngagem elmu "Pancasona".

Tah ayeuna urang bahas kumaha kajadianana mangsa harita Raja Sumedanglarang konflik jeung Raja Mataram tea. Nalika di tahun 1624 raja Sumedanglarang anu harita Rajana Rangga Gempol I, diparentah ku Sultan Agung Raja Mataram, kanggo nalukeun Madura. 

Naha geuning make marentah Raja Sumedanglarang Rangga Gempol I, dititah naklukeun Madura ku sabab aya hubungan tinu jadi indungna nyaeta Ratu Harisbaya anu masih katurunan karajaan Arosbaya Madura, kitu deui  geus kanyahoan eta Pangeran Soeriadiwangsa teh pinunjul dina elmu widang Kanuragan ngabogaan elmu lahir nyaeta "Pancasona". 

Satutasna Madura ditaklukeun ku Pangeran Soeriadiwangsa sareng balad sarewu pasukan Sumedang jeung Mataram harita pasukan meunang naklukeun Madura jadi bawahan kakuasaan Mataram.

Tina sumber nu aya di Sumedang ngajelaskeun : "Di Tahun 1624 Rangga Gempol dipenta kudu naklukeun Sampang Madura. Jabatan Bupati seheulaanan harita dicepeng ku raina nyaeta Rangga Gede"

Panaklukan Sampang ku Rangga Gempol ku jalan kakeluargaan ku sabab, eta Raja Sampang teh masih sakocoran ti Ratu Harisbaya, geus tinantu eta Raja Sampang teh taat ka pangeran Rangga Gempol, ngan harita eta pangeran Rangga Gempol  teh teu meunang balik deui ka Sumedanglarang, nepi aya ngaran kampung di Mataram nu ngarana "Kasumedangan" nu baheulana tempat tumutepna tilas para ponggawa jeung pangeran Rangga Gempol  ti karajaan Sumedanglarang, anu ngantunkeun di Mataram dimakamkeun di Lempuyang wangi.


Tina cutatan sajarah nu lain, dijelaskeun : "Di Madura aya lima karajaan nyaeta Arosbaya, Sampang, Balega, Pamekasan, jeung Sumenep. Kalimana ngahiji jang ngahadapi karajaan Mataram nu dipimpin ku Tumenggung Sujonopuro. Harita pasukan mataram mampu nahan serangan Mataram, bahkan nepi ka perlayana eta Tumenggung Sujonopuro teh anu dilancarkeun dina serangan tengah peuting nu dilakukeun ku pasukan Balega. Dina serangan nu kadua akhirna pasukan Madura dielehkeun".

Dina peristiwa eta memang hasil ngabujuk ku cara damai eta raja Sampang teh, mung teu hasil ngabujuk raja nu lainna, kusabab lain dulur tea, teu hir teu walahir, kukituna ngajadikeun perang rongkah.

Peristiwa ieu mungkin oge disalahartikeun ku Sultan Agung kagagalan Rangga Gempol ngajalankeun misina, nya anjeunna dihukum pateni. Sababna hukum anu digunakeun ku Raja Mataram harita mung gagal ngalaksanakeun tugas eta bawahanana geus tinangtu dipateni (dihukum mati).

Pendapat nu lain tina Rucatan Rintisan Penelusuran Sejarah Jawa Barat (RRPSJB), tahun 1625 pangeran Rangga Gempol 1 dihukum Pancung di Mataram, lain ku teu hasil misina naklukeun Madura, ngan kusabab dina satutasna naklukeun Madura, Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)  niat makar ka Sultan Agung, nepi ka kadangueun kunu jadi Raja Mataram, sababna aya nu ngabejakeun siga Manuk Beo, hal ieu nu nimbulkeun Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol), ditindak jeung diadukeun jeung para Senapati Mataram, ngan teu aya nu kuat ngalawan Pangeran Soeriadiwangsa, hiji kalemahan elmuna iwal ku sanjata pamakena, nu ahirna ngalaman bobor karahayuan teu mulang deui ka Sumedang. 

Pangeran Soeriadiwangsa, ngabogaan elmu lahir "Pancasona" nepi ka eta ragana Pangeran Soeriadiwangsa teh dipisahkeun ragana da hese maot, mun antel jeung taneuh hirup deui, jiga Syekh Siti Jenar atawa Syekh Lemah Abang, tenarna mun di Jawa Barat mah, anu mangsa harita dihukum pancung teh ku sabab sarua boga elmu "Pangasalan" Danghyang nu tadina ti ageman ti Nabi Adam Alahis salam "kholaqohu min thurob min tin mim sholsolah" mun na aliran Kajawaan (kejawen) mah disebutna elmu Rawe Rontek tea. 


Lampiran Photo :
Makam Raden Soeriadiwangsa atau Dipati Rangga Gempol 1 di tiga lokasi yang berbeda, yaitu :

- Makam kepala Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) di pekuburan umum Blunyah Gede Kabupaten Sleman.



- Makam badan Raden Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) di pekuburan umum, Jalan Krasak Kotabaru, Imogiri, Jogjakarta. 



- Makam tangan dan kaki Raden Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) di pekuburan um Lempuyangan, Jogjakarta.


(Cataran : lahirna Pangeran Soeriadiwangsa tahun 1554, meninggal tahun 1625, masa pemerintahan di Sumedang antara 1601 - 1624 = 23 tahun)











Baca Juga :

Tidak ada komentar