Bertapa : Mengolah Jiwa dan Berjumpa Tuhan


Makna Umum Bertapa
Kata 'bertapa' berasal dari bahasa Sansekerta tap yang berarti “memanaskan, menghangatkan, menyinari, membakar”. Dalam konteks pengolahan jiwa, aktivitas bertapa dimaksudkan untuk prihatin dan mati raga, menjalani silih tobat untuk “membakar habis karma silam” dan membebaskan dirinya. Dalam literasi India, dosa-dosa warisan dipanaskan seperti seekor unggas yang mengerami telor dan pada waktunya nanti akan menetas dan terbang dalam kebebasan.

Dalam tradisi Hindu di mana bahasa Sansekerta dipakai, makna tap berkembang menjadi tapas yang berarti berbagai praktik rohani yang keras atau asketisme. Dalam agama Buddha, bertapa meliputi praktik meditasi dan disiplin diri. Bertapa pada umumnya dilakukan di tempat terpencil dan sunyi dengan tujuan untuk mencapai pembebasan dari roda reinkarnasi dan keselamatan atau moksa.

Pada umumnya tokoh-tokoh pendiri agama melakukan olah tapa ini dengan tujuan yang sesuai makna kata di atas maupun memperdalam pemaknaannya. Sebagai pendiri agama Yahudi, Abraham tidak dikisahkan melakukan laku tapa. Akan tetapi Musa yang dapat disebut co-founder Yudaisme melakukan semacam laku tapa di Gunung Horeb atau Sinai. Laku tapanya merupakan proses penemuan jati diri sebagai pembawa misi memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Kanaan, dan menerima wahyu sepuluh perintah Allah dan kitab Torah bagi umat Israel. Dalam perkembangan tradisi Yahudi selanjutnya praktik laku tapa diterapkan dengan beberapa macam sebutan:  hisbodedus, nazirite, therapeutae, levitical, komunitas kenabian dan esseni.

Agama Hindu dianggap tidak ada pendirinya karena merupakan jalan hidup yang dipilih oleh banyak komunitas di India mulai tahun 2300 SM. Akan tetapi tokoh-tokohnya kental dengan laku tapa. Misalnya, Sri Khrisna Dvipayana Vyasa (Resi Byasa), pujanga pengarang Kitab Bhagawadgita. Sejak masa muda dia terpanggil untuk hidup di hutan melakukan akhanda tapas (penebusan dosa terus menerus). Laku tapanya menghasilkan kitab-kitab penuh hikmat Weda seperti Sutras (Surat-surat) Brahma, Mahabharata, 18 purana dan bhagawadgita. Para pertapa/asket Hindu meliputi Yogi, sannyasi/swami dan vairagi  Para asket Hindu disebut Sadhu (rahib) atau Sadhvi (rubiah).

Dikisahkan bahwa Sidarta Gautama, pendiri agama Buddha, melakukan praktik asketik baik dengan menjadi pengemis, mati raga di bawah bimbingan guru maupun bermeditasi di tengah hutan. Tujuan dari laku tapanya adalah untuk mencapai pencerahan dengan pemahaman akan kesengsaraan dan nirwana, pengendalian rasa takut, dan akan pembebasan/moksa. Tradisi Buddha pada umumnya menerapkan bertapa secara bersama dalam komunitas (wihara/sangha) dan pertapanya disebut biksu (rahib) atau biksuni (rubiah). Ada pula yang bertapa menyendiri sebagai sramana dengan menjadi pengemis atau di Jepang disebut sebagai yamabushi yang kebanyakan tinggal di pegunungan dan sohei, biksu yang khusus membaktikan diri sebagai prajurit.

Sebelum mendirikan agama Islam, Nabi Muhammad SAW di masa remajanya sudah suka mengasingkan diri ke gua di sebuah bukit bernama Jabal An Nur hingga bermalam-malam untuk merenung dan berdoa hingga pada usia ke 40, dia mendapatkan pewahyuan melalui Malaikat Jibril. Tujuan Muhammad menyepi adalah untuk mencari ketenangan dan berdoa kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan. Islam melarang praktik hidup membiara, akan tetapi terdapat sekelompok orang yang membaktikan diri dengan hidup khusus sebagai sufi dan darwis. Para santri dan pengasuhnya, kiai, juga dapat digolongkan dalam konteks ini karena mereka menjalani hidup keagamaan secara lebih ketat. 

Injil menceritakan Yesus mengasingkan diri ke padang gurun. Yesus pergi ke padang gurun untuk mengasingkan diri atau karantina (selama 40 hari) bukan atas kehendak sendiri tetapi dibawa oleh Roh yang diterima saat pembabtisan. Karantina Yesus bukan karena terjangkit penyakit tetapi karena ekstase kepenuhan Roh kudus dan untuk menunjukkan kekuasaan hikmat/Firman Allah atas iblis dengan cobaan-cobaannya yang semuanya dikalahkan dengan kutipan Firman. Di dalam gereja Kristen dikenal beberapa bentuk hidup bakti, misalnya: eremit atau anakoret (bertapa seorang diri), senobit (bertapa didalam komunitas), biarawan-biarawati aktif  dan para klerus.

Praktik bertapa tidak hanya diterapkan untuk tujuan ilahi tetapi juga tujuan duniawi atau kepentingan diri. Dalam hal ini sering dijumpai bahwa orang bertapa dengan tujuan untuk dapat bekerja sama dengan makhluk gaib mencari kekayaan, kehormatan dan kesaktian atau kemampuan okultisme untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.

Dengan demikian tampak ada dua macam laku tapa, yaitu untuk sementara waktu dan sepanjang hidup. Bertapa sementara waktu walaupun banyak dilakukan secara pribadi karena ujud atau niat khusus atau anugerah ilahi, banyak juga yang melakukan secara berkelompok melalui retret atau menjalani kewajiban keagamaan (misalnya, naik haji). Bertapa sepanjang hidup menjadi pilihan hidup yang diyakini sebagai panggilan ilahi. 


Baca Juga :

Tidak ada komentar