Petilasan Mandala Kawikwan Lara Sakti Di Gunung Cisusuru Dusun Sahang Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas
Sampurasun
Om Swastiastu, Namo Buddhaya dan Salam Kebajikan.
Kamandalaan di tatar Parahyangan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama wiwitan dan dipimpin oleh seorang Resi Guru atau Guru loka.
Dalam pembahasannya, arti kamandalaann merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan.
Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut di sebut pula mandala.
Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu, masih menganut ajaran wiwitan sunda, hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara.
Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama hindu dan Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna lingkaran adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.
Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran, sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.
Setiap mandala terdapat batu satangtung atau Lingga Salaka Domas. Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat atau puseur di setiap wilayah di Ibu Pertiwi.
Dari tempat Lingga sebagai wilayah Rama inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara atau Ratu. Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Matarum - Sunda, di mana Matahari menjadi pusat atau sang kala peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara atau kerajaan di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama, Ratu dan Rasi atau Resi atau raja-raja kecil atau karesian dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri Tangtu atau Tri SuLa NagaRa.
Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya disebut obelisk ataupun Menhir.
Mandala atau tempat suci secara prinsip terdiri dari 3 atu 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan secara simbolik yaitu ; Mandala Kasungka, Mandala Seba, Mandala Raja, Mandala Wangi dan Mandala Hyang intinya lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung, seperti yang kita lihat di Puncak Manik Gunung Tampomas.
Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit suwung atau ketiadaan. Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari mikro kosmos menuju makro kosmos atau keberadaan yang pernah ada dan selalu ada.
Pada awal abad ke-3 Masehi, tujuh wilayah di Sumedang, dahulu masih hutan belantara.
Ketika Prabu Dharma Satyajaya Warunadewa atau Sanghyang Jagat Jaya Ningrat memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja ke 5 antara 252-290 masehi, putra-putranya sebanyak tujuh orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pedalaman atau pegunungan, dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa atau Resi, yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.
Putra-putra Dharma Satya Jaya Waruna Dewa, Raja Salakanagara ke 5 ini, mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan sebagai pengiri kerajaan Salakanagara yang bercorak hindu pertama di Jawa Barat, di mana Gunung Tampomas dijadikan sebagai tanda atau simbol atau pusat spiritual.
Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.
Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Larasakti di Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas. Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten.
Tujuh putra Dharma Satya Jaya Waruna Dewa, Raja Salakanagara ke 5 ini, sebagai simbol 7 tempat atau wilayah dan ilmu pengetahuan, seperti kata pepatah sunda ka dulur nu tujuh, ka saderek nu opat, ka lima pancer.
Shema Pun Nihawah.
Post a Comment