Makam Syeh Abdul Jalil (Mama Cikalama) di Parakan Muncang Kecamatan Cimanggung Sumedang
Makam Syekh Abdul Jalil berlokasi di pemakaman umum Makam Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung Sumedang. Lokasinya bersebrangan dengan Kantor Kecamatan Cimanggung.
Syekh Abdul Jalil ini dikenal juga dengan nama Mama Cikalama. Menurut keterangan Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang alias Mama Cikalama adalah cucunya Syekh Bangkir lihat silsilah dibawah ini :
Makam Syekh Abdul Jalil berada di Komplek Pemakaman Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung Sumedang. Lokasinya bersebrangan dengan Kantor Kecamatan Cimanggung.
Syekh Abdul Jalil ini dikenal juga dengan nama Mama Cikalama. Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang alias Mama Cikalama adalah cucunya Syekh Bangkir.
Adapun silsilah Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang sebagai berikut :
Generasi ke 1, Pangeran Santri atau Raden Sholih menikahi Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang atau Ratu Inten Dewata atau Nyi Raden Satyasih, mempunyai anak salah satunya, yaitu Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya, makamnya di Dayeuhluhur Kecamatan Ganeas.
Generasi ke 2, Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya menikahi isteri pertama Ratu Tjukang Gedeng Waru, mempunyai anak salah satunya, yaitu Pangeran Rangga Gede atau Dipati Rangga Gede, makamnya di Jalan Panday Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan.
Generasi ke 3, Pangeran Rangga Gede atau Dipati Rangga Gede, mempunyai anak salah satunya yaitu Raden Singamanggala atau Raden Singawadana, makamnya di dusun Paseh Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara.
Generasi ke 4, Raden Singamanggala atau Raden Singawadana, mempunyai anak salah satunya : Kiai Abdoel Moetolib atau Syekh Iman Bangkir, makamnya di Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung.
Generasi ke 5, Kiai Abdoel Moetolib, mempunyai 3 anak, yaitu :
- Anak pertama, Mas Tjandradipa atau Syekh Imam, makamnya di Bangkir Parakanmuncang.
- Anak kedua, Mas Rofi'udin atau Syekh Rofi'udin, makamnya di makam 9 Parakanmuncang.
- Anak ketiga, Mas Jalaludin atau Syekh Jalaludin, makamnya di makam 9 Parakanmuncang.
Generasi ke 6, Mas Jalaludin alias Syekh Jalaludin, mempunyai anak, yaitu : Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang, makamnya di Komplek Makam Syekh Abdul Jalil Parakanmuncang Kecamatan Cimanggung.
Selanjutnya lihat bagan silsilah dibawah ini :
Pondok pesantren Cikalama merupakan institusi pendidikan Islam tradisional paling tua di Kabupaten Sumedang yang didirikan pada awal abad ke-17 oleh Kiyai Abdul Mutholib, pada masa pemerintahan Dalem Aria Tanubaya.
Pada saat resmi berdiri pada tanggal 1 Januari tahun 1630, Pondok Pesantren Cikalama ketika itu dipimpin langsung oleh pendirinya, Kiyai Abdul Mutholib atau Syekh Bangkir. Setelah wafatnya pada tahun 1655, estafet kepemimpinan pesantren mulai bergulir kepada 12 orang penerus, yang keseluruhannya adalah keturunan dari Kiyai Abdul Mutholib.
Berikut merupakan 13 belas nama pemimpin pondok pesantren Cikajang :
1. Kiayai Abdul Mutholib (1630–1655)
2. Syekh Imam (1655–1690)
3. Syekh Rafiuddin (1690–1725)
4. Syekh Jalaluddin (1725–1775)
5. Syekh Abdul Jalil (1775–1801)
6. Syekh Muhammad Yusup (1801–1850)
7. Syekh Raden Muhammad Syafei (1850–1902)
8. Kiyai Haji Raden Muhammad Yusup II (1902–1912)
9. Kiyai Haji Raden Zaenal Mutaqin (1912–1922)
10. Kiyai Haji Raden Hamim (1922–1930)
11. Kiyai Haji Raden Abdul Jalil (1930–1957)
12. Kiyai Haji Raden Engkos Koharudin (1957–1997)
13. Kiyai Haji Raden Enjang Abdurrochman (1997– sekarang)
Pondok pesantren ini terletak sekitar 26 km ke arah Utara Bandung Timur, atau 28 km ke arah tenggara kota Sumedang. Lokasi pondok pesantren ini cukup strategis karena berada di antara Rancaekek dan Cicalengka, yaitu dua tempat yang dihubungkan oleh jalan Provinsi yang menghubungkan kota Bandung dengan kota-kota besar di Priangan Timur seperti Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Karena itu untuk sampai ke lokasi ini, tersedia cukup banyak angkutan umum berdasarkan trayek jalan Provinsi, atau juga dapat menggunakan kendaraan pribadi jenis apapun, tanpa perlu khawatir dengan kondisi jalan yang rusak. Namun bagi penulis, perjalanan menuju lokasi pondok pesantren Cikajang lebih menyenangkan bila melewati jalur alternatif desa Jatiroke-Jatisari.
Di jalur alternatif ini penulis dapat menikmati pemandangan berupa hamparan sawah dan rumah-rumah penduduk, serta jalan yang berputar mengelilingi hampir separuh kaki gunung Geulis, dengan waktu tempuh perjalanan sekitar 20 menit menggunakan sarana angkutan umum ojek, dari kawasan pendidikan Jatinangor.
Silsilah Pendiri Pesantren Cikalama
Dalam buku stensilan rundayan silsilah Keluarga Besar Pesantren Cikalama Desa Sindang Pakuon yang ditulis oleh M. Bahrudin tahun 2003 diungkap tentang silsilah keturunan keluarga Pesantren Cikalama.
Pendiri pertama Pesantren ialah Kiyai Abdul Mutholib mulai tahun 1630-1655. Lalu Pesantren dilanjutkan oleh putra pertamanya yaitu Syekh Imam alias Mas Tjandradipa mulai tahun 1655-1690. Dan pesantren dilanjutkan putra kedua Syekh Rafi’udin, memimpin Pesantren mulai tahun 1690-1725.
Putranya Syekh Rafi’udin yaitu, Syekh Jalalludin memimpin Pesantren mulai tahun 1690-1725.
Lalu putranya Syekh Jalalludin yaitu Syekh Abdul Jalil memimpin Pesantren Karang Cikalalama tahun 1775–1801.
Pada masa Syekh Abdul Jalil nama pesantren dirubah yang semula bernama Pondok Pesantren "Karang Asem" menjadi Pondok Pesantren "Cikalama". Cikalama merupakan kata singkatan dari "Cikalna Ulama" atau dalam arti dimulainya tradisi keulamaan muncul di Parakanmuncang Sumedang. Pada masa Abdul Jalil juga, merupakan awal dikenalkannya tradisi belajar melalui Pangan Dika.
Salah seorang putra Syekh Jalaludin yaitu Kiyai Haji Raden Muhammad Sareh salah seorang putrinya menikah dengan Kiyai Haji Raden Lukman.
Adik dari Syekh Abdul Jalil yaitu Syekh Muhammad Yusup memimpin Pesantren Cikalama mulai tahun 1801–1850 yang lebih berorientasi tarekat, seperti adanya tanbih, terutama Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Kiyai Raden Muhammad Syafe’i menjadi pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1850-1902, setelah menikah dengan putri Syekh Muhammad Yusuf yang bernama Raden Hajjah Siti Aisyah (Buji).
Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan menantu pertama keturunan bangsawan yang memimpin Pesantren Cikalama. Karena, sebagaimana dapat dilihat bahwa sebelum Kiyai Raden Muhammad Syafe’i memimpin Pesantren.
Pimpinan Pesantren Cikalama merupakan keturunan dari kalangan ulama tradisional. Begitu pula sebaliknya, pimpinan Pesantren Cikalama setelah Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan pimpinan pesantren yang memiliki darah keturunan bangsawan plus keturunan ulama tradisional.
Kiyai Raden Muhammad Syafe’i merupakan putra dari Raden Mintareja yang wafat tahun 1700 M dan dikuburkan di Cianjur. Makam Raden Mintarja kemudian dipindahkan ke Cikalama tahun 2002.
Saksi mata sekaligus penggali makam tentang pemindahan makam yang ketika itu berusia 302 tahun tersebut, menyaksikan bahwa bantal jenazah dan kayu penahan liang lahad (padung) masih utuh. Begitu pula Pemindahan makam Raden Minterja dari Cianjur ke Cikalama sebagai upaya lokalisasi pemakaman keluarga memiliki alasan tidak sederhana. Namun, lebih dari itu, merupakan simbol yang jelas memiliki filosofi dan bahkan strategi dalam menjaga dan memperkuat tradisi kewibawaan dan status sosial rundayan keturunan keluarga Pesantren Cikalama ke depan.
Apalagi putra Raden Minterja, yaitu Kiyai Raden Muhammad Syafe’i kemudian menjadi pimpinan Pesantren Cikalama. Simbol dan status sosial keulamaan sekaligus kebangsawanan menyatu dalam proses kepemimpinan Pesantren Cikalama sejak saat itu hingga sekarang.
Silsilah rundayan tersebut, sebagaimana dikemukakan penulisnya, merupakan silsilah susunan menurut Kiyai Haji Raden Enjang Abdurrahman yang diceritakan langsung kepadanya. Namun, dalam tulisan tersebut tidak disertakan tahun masing-masing.
Daftar rundayan hanya berbentuk silsilah nama-nama yang perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Melihat pada gelar yang ditulis di depan nama, yaitu raden, keluarga Pesantren Cikalama memiliki darah keturunan bangsawan atau menak Sunda dari pihak menantu laki-laki.
Perubahan performa pimpinan dalam kepemimpinan pesantren bukanlah perihal sederhana, karena akan berdampak pada sistem, struktur dan tradisi kepesantrenan selanjutnya.
Perubahan tersebut, terutama terjadi pada pergeseran orintasi, dan bahkan ideologi yang dipertahankan dalam suatu lingkungan pesantren. Dinamika dan pergeseran itu pula dialami Pesantren Cikalama yang sangat bergantung kepada orientasi dan ideologi kiai sebagai pimpinan pesantren.
Dalam kepemimpinan Pesantren Cikalama juga didapati perubahan penekanan orientasi ke arah yang lebih mendekati “syariah”, yaitu sejak kepemimpinan Syekh Muhammad Yusuf I yang diteruskan oleh R. Muhammad Syafe’i. Karenanya, proses pergantian pimpinan pesantren dari Syekh Abdul Jalil I ke Syekh Muhammad Yusuf I terdapat tiga catatan penting; pertama, pergantian nama pesantren semula bernama Pondok Pesantren Karang Asem menjadi Pondok Pesantren Cikalama; kedua, perubahan orientasi kajian utama pesantren dari tasawuf ke fiqh.
Orientasi tradisi fiqh Pesantren Cikalama terus berlangsung hingga mengalami perubahan orientasi selanjutnya, yaitu penekanan pada nahwu dan sharaf (gramatika Arab), dan; ketiga, perubahan status asset-aset Pondok Pesantren Cikalama dari pola waris ke wakaf.
Sekurang-kurangnya ada tiga pertimbangan terkait perubahan status aset pesantren dari “waris” ke “wakaf” masa Syekh Abdul Jalil I, berikut ; pertama, amanat dari Mama abdul Jalil sendiri. Pertimbangannya, terkait perubahan tersebut sangat relevan dengan prospek masa depan pesantren. Prediksinya bisa saja dengan pertimbangan melihat para penerusnya, terutama terkait dengan persoalan tradisi waris yang dapat saja kekuasaan tradisi kepesantrenan sama dengan tradisi kerajaan, dan kondisi demikian kurang relevan jika terjadi dalam lingkungan pesantren. Kedua, merupakan strategi untuk memperluas dan mengembangkan aset pesantren yang terus meningkat. Status aset pesantren dalam bentuk wakaf tidak bisa diwariskan, dan tidak sebaliknya, bahkan dapat memperkecil aset yang ada karena dibagikan jika status aset pesantren dalam bentuk harta waris. Ketiga, bertujuan agar keturunan dan penerus pesantren mengingat dan mengembangkan pesantren.
Point ketiga terkait perubahan status aset-aset pesantren menarik ditelaah, karena memiliki relasi dengan persoalan sistem tradisi dalam kepemimpinan keluarga kebangsawanan yang bersifat “warisan”. Pada masa kepemimpinan Syekh Abdul Jalil I sebelum digantikan oleh R. Muhammad Syafe’i momentum perubahan tersebut dilakukan. Ada beberapa analisis, meskipun bersifat dugaan, terkait perubahan status tersebut, berikut :
- Pertama, menguatnya pengaruh Islam dalam wajah fiqh (hukum Islam) sebagai penguat orientasi tarekat (esoteris Islam) dalam kepemimpinan Abdul Jalil I. Tema fiqh dan faraid (warisan) merupakan tema-tema sentral dalam kajian hukum Islam yang ditekankan dalam kajian ilmu tradisional Islam di pesantren-pesantren di samping nahwu-sharaf dan akhlak.
- Kedua, dampak adanya aturan terkait pajak bumi dan bangunan yang diterapkan oleh pemerintah. Dampak aturan tersebut juga meliputi pajak terhadap asset-aset pesantren apabila status asset pesantren tersebut berbentuk harta warisan keluarga.
Ada informasi juga bahwa Pesantren Cikalama, saat itu, merupakan satus-atunya pesantren yang tidak dikenai pajak padahal belum berstatus asset tanah wakaf. Sikap Cikalama tersebut secara yuridis, jelas melawan aturan Negara karena dapat dianggap menolak membayar pajak.
Meskipun ada eksepsi (exceptie atau exception) atau kekecualian yang diberikan pemerintah terhadap Pesantren Cikalama terkait kebebasan tidak membayar pajak, meskipun kebijakan itu nampak tidak elok. Apalagi kebijakan eksepsi tersebut tidak tertulis, dan hanya berupa lisan. Karenanya, jalan paling baik, bahkan strategis dilakukan Syekh Abdul Jalil I ialah mengubah status asset-aset tanah warisan Pesantren Cikalama terdaftar dan dicatat menjadi tanah wakaf.
Guna memperkuat strategisnya status asset-aset pesantren dijadikan status wakaf, dan memiliki hubungan dengan Pesantren Cikalama, ialah dilaksanakannya musyawarah tingkat Nasional tentang Ilmu Fiqh pada tahun 1976-an yang berlangsung di Pondok Pesantren Cikalama.
Tema besar acara tersebut ialah Pendidikan Motivator Pendidik Pesantren yang dibuka langsung oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Abung Kusman. Salah satu hasil musyawarah tersebut, ialah keputusan bahwa lembaga pesantren tidak dikenai pajak dengan status wakaf. Gagasan tersebut dikemukakan dan diajukan oleh K.R. Abu Syaeri, salah seorang dari keturunan keluarga Pesantren Cikalama.
Ketiga, perubahan status asset pesantren menjadi wakaf berfungsi menghindari munculnya konflik terbuka di antara keturunan keluarga pesantren, sehingga asset pesantren merupakan milik umat yang dikelola oleh keluarga pesantren. Aset pesantren bukan milik pribadi, sehingga harus dilestarikan oleh umat, khususnya keluarga Pesantren Cikalama. Pengelola pesantren, terutama pengelola sekarang, juga merasa nyaman dalam mengelola dan mempertahankan tradisi kepesantrenan sebagaimana dikemukakan salah seorang pengurus Pesantren Cikalama.
Pimpinan pesantren Cikalama generasi ke-8 dipimpin oleh KH.R. Muhammad Soheh atau KH.R. Muhammad Yusuf II (putra Syekh Muhammad Yusuf I) yang salah satu putranya bernama R.K. Atang Padalarang, menggantikan R. Muhammad Syafe’i, mulai 1902 sampai tahun 1912. Pergantian pimpinan tersebut, memang di luar tradisi pergantian pimpinan pesantren, karena yang menggantikan bukan darah keturunan R. Muhammad Syafe’i, tapi putra Muhammad Yusuf I yang bukan dari keturunan bangsawan langsung (putra laki-laki tertua). Pertanyaan tersebut penting dikemukakan karena sangat terkait dengan penggunaan gelar kebangsawanan itu kemudian. Pergantian tidak lazim tersebut, tentu bukan tanpa alasan dan terjadi pada pergantian kepemimpinan selanjutnya.
Menurut analisis R. Baban, terkait adanya pergantian tidak lazim dalam kepemimpinan Pesantren Cikalama dapat dikemukakan dua hal, berikut; pertama, pergantian pimpinan pesantren melalui “penunjukan”; kedua, pergantian dan pengangkatan pimpinan pesantren melalui “musyawarah”. Ketika KH.R. Abdul Kohar atau KH.R. Engkos Koharudin (w. 25 Sya’ban 1421H/4 Desember 1999) menjadi pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1957 sampai 1999, ia diangkat setelah sebelumnya diadakan musyawarah, karena ada dua kandidat; pertama K.R. Lukman dan Koharudin sendiri.
Namun, K.R. Lukman tidak siap ketika ditawari menjadi pimpinan pesantren, sementara Koharudin siap dan kepadanya pimpinan Pesantren diserahkan.
Pada kasus lain, yaitu naiknya K.H.R. Elang Qudsi (Mama Elang) menjadi pimpinan Pesantren Cikalama (2008-2017), menggantikan KH.R. Abdurahman (2008-2017) pimpinan Pondok Pesantren Cikalama sebelumnya. Mama Elang naik memnjadi pimpinan pesantren setelah ditunjuk oleh K.H.R. Muhammad Soheh atau Mama Aang Padalarang (putra KH.R. Muhammad Yusuf II).
Sementara pengganti Mama Elang ialah KH. R. M. Yuyu Yusuf (Mama Yuyu) sejak 2017 sampai sekarang. Mama Yuyu adalah putra KH. R. Engkos Koharudin, pimpinan Pesantren Cikalama mulai tahun 1957 sampai tahun 1999. Mama Yuyu naik menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Cikalama melalui proses musyawarah keluarga inti.
Ada beberapa syarat menjadi pimpinan pesantren Cikalama. Di samping berasal dari keluarga inti, meskipun tidak sedarah langsung, pimpinan pesantren Cikalama harus seorang laki-laki tertua, siap menjalankan peran dan tugas sebagai pimpinan pesantren, dan memiliki kemampuan “intelektual” dan “manajerial”. Tentu, syarat-syarat tersebut mesti berdasar pada tradisi yang dipelihara dalam lingkungan keluarga pesantren, termasuk di antaranya ialah sikap moral dan tidak pragmatis.
Ada satu ungkapan, semacam motto, pijakan sikap keluarga pesantren terhadap pesantrenya, yaitu “babantu” (membantu pesantren), bukan “mencari” penghasilan dari pesantren. Ungkapan tersebut, juga merupakan triger agar Pesantren Cikalama tidak dijadikan lembaga keagamaan yang bersifat profit.
Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama
Tradisi Ngabungbang di Pondok Pesantren Cikalama Penelaahan tradisi Ngabungbang seyogianya dilihat secara kesejarahan yang telah mengakar lama di masyarakat Cikalama. Adapun tradisi yang telah mengakar di masyarakat diarakhan pada fakta-fakta kesejarahan yang menunjukan adanya acuan (referensi) yang ditunjukan para pendahulu masyarakat di suatu tempat yang dilakukan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Madriani, 2021).
Secara historis tradisi Ngabungbang ada sejak abad 18 M dan di abad 19 M mulai dikenal masyarakat, khususnya di kalangan ulama dan santri (Nugraha, 2021: 7:21).
Tradisi Ngabungbang adalah suatu teradisi keagamaan yang muncul dari dorongan manusia untuk melakukan berbagai hal yang memiliki tujuan untuk berelasi dengan dunia gaib (kelakuan keagamaan). Awalnya dulu ada seorang wali yang dijuluki Eyang Salinggih Ibrahim, dan memiliki nama asli Raden Pringga Kusumah.
Beliau adalah orang yang menyiarkan Islam di daerah Limbangan. Eyang Salinggih awalnya bertapa di Gunung Galunggung selama 7 tahun, dengan tujuan untuk beruzlah (Babam, 2021: 7:16).
Adapun tujuan uzlah tersebut ialah: 1) Untuk mengasingkan diri dari keramaian, agar dapat menjalankan ibadah secara khidmat dan tenang; dan 2) Untuk pengharapan agar ia dan kelurga memperolah keselamatan baik di dunia maupun akhirat.
Seraya perjalanan pertapaannya, Eyang Salinggih didatangi oleh seorang perempuan tepat jam 12 malam dan memberikan sebuah do’a, yang mana do’a tersebut dikenal sebagai do’a “Karahayuan Limbangan” dan sampai hari ini selalu dibacakan dalam tradisi Ngabungbang. Dalam pengertiannya Ngabungbang berasal dari bahasa sanskerta yakni, Ngabingbing yang memiliki arti membimbing. Sementara, secara asal katanya Ngabungbang berasal dari kata bungbang yang artinya germeulap, terang, dian atau pelita, dalam bahasa Sundanya memiliki arti caang mabrak.
Namun, secara umum Ngabungbang dapat diartikan sebagai tradisi berziarah malam hari pada bulan purnama (Babam, 2021: 7:16). Pada konteks Ngabungbang di pesantren Cikalama adalah untuk berziarah ke makam-makam para leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal penduduk setempat dan berjasa dalam meyiarkan ajaran Islam di daerah tersebut. Selain itu, tujuan Ngabungbang ialah untuk bermunajat pada Allah serta mengingat kematian (dizkrul maut) agar manusia selalu ingat kemana ia akan pulang.
Ngabungbang juga memiliki makna lain, yaitu sebagai penghormatan mereka terhadap jasa-jasa leluhur. Hal tersebut, terbukti dengan adanya makam mama Cikalama atau Syekh Abdul Jalil yang berada di daerah Cikalama Desa Sindangpakuon, yang menjadi salah satu tempat dalam proses upacara Ngabungbang. Oleh penduduk setempat, Ngabungbang selalu dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dari para leluhur.
Melalui tradisi ini, banyak orang yang berdatangan ke desa Sindangpakuon untuk mengikuti prosesi Ijazah dalam upacara Ngabungbang, dengan maksud agar memperoleh ilmu Karahayuan. Hal tersebut, seperti yang disampaikan oleh pimpinan pesantren Cikalama sebagai berikut : Jadi, melalui tradisi Ngabungbang ini, banyak warga atau masyarakat yang datang berduyun-duyun ingin mengikutinya, dengan harapan mereka bisa memperoleh karamat dari para leluhur. Karamat karahayuan itu berisi do’ado’a dan mantra-mantra yang sebagaiannya terdiri dari kalimatullah seperti Asmaul Husna dan diakhiri kalimat tahlil (Babam, 2021: 7:16).
Untuk mendapatkan ilmu tersebut masyarakat harus mengikuti serangkaian kegiatan dan tindakan yang membutuhkan kekuatan, ketekunan, dan kesabaran. Masyarakat yang ikut upacara ini, dituntut untuk mempunyai keyakinan yang kuat dan ilmu pengetahuan yang mumpuni. Selebihnya akan penulis paparkan di point prosesi pelaksanaan Ngabungbang.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa Ngabungbang dalam bahasa Sanskerta memiliki arti ngabingbing. Semua keinginan dan harapan jama’ah diungkapkan dalam prosesi upacara Ngabungbang.
Upacara tersebut dilaksanakan setiap tahun pada malam bulan purnama 14 Maulid (Rabi’ul Awal). Menurut masyarakat bulan tersebut penuh dengan rahmat, sebab pada bulan ini Nabi Muhammad SAW dilahirkan.
Selain itu, bulan ini juga merupakan waktu yang baik untuk menyerap ilmu, dan bulan purnama yang penuh itu melambangkan ilmu yang akan diperoleh juga penuh. Keyakinan terhadap waktu dan bulan tersebut akan memberikan hasil yang baik, dan di bulan Maulud tersebut banyak orang yang bertapa (Mustafa, 1996: 232).
Sebelum rangkaian prosesi upacara dilaksanakan, para jama’ah dianjurkan untuk berziarah terlebih dahulu ke makam-makam tokoh penyebar ajaran Islam khususnya di Sumedang. Adapun tempat-tempat tersebut di antaranya :
1) Makam Syekh Abdul Jalil di Cikalama desa Sindangpakuon
2) Makam Girilaya Pasirnanjung Cimanggung
3) Makam Syekh Bangkir di Sindanggalih Cimanggung
4) Makam Haruman di Limbangan Garut
5) Makam Mama Cibalampu di kecamatan Cibalampu.
Jika kelima makam terebut dikunjungi, maka nuansa prosesi upacara pun akan terasa lebih lengkap. Kendati demikian, karena faktor waktu dan lain hal, hal tersebut tidak menjadi anjuran mutlak bagi masyarakat yang hendak mengikuti tradisi ini. Kebanyakan dari mereka adalah para kiai dan santri, namun ada juga dari kalangan petani, pedagang, pegawai negeri, maupun pelajar. Usia tua dan muda tak mejadi hambatan untuk mengikuti tradisi ini, dengan catatan sudah baligh (Babam, 2021: 7:16).
Salam Santun
Post a Comment