Seperti telah diceritakan sebelumnya Prabu Gajah Agung menerima keputusan dari ayahnya Prabu Tajimalela mencari pohon Ki menyan yang tumbuh di tepi sungai. Bila sudah ditemukan, tempat itu harus dibuka menjadi pemukiman.
Prabu Gajah Agung atau Atmabrata menemukan pohon ki menyan di kampung Geger Sunten, kampung Ciguling sekarang. Di daerah tersebut banyak pohon ki Menyan dan ada batu Cadas Nangtung.
Sesuai dengan perintah ayahnya, Prabu Gajah Agung atau Atma Brata membuka daerah itu menjadi pemukiman. Banyak orang dari daerah lain datang ke tempat itu mencari lahan untuk bercocok tanam padi dan ngahuma atau berladang.
Mereka mendirikan rumah sederhana sebagai pasanggrahan yang artinya tempat istirahat. Itulah sebabnya pemukiman tersebut kemudian bernama wilayah Pasanggrahan, dipimpin oleh Prabu Gajah Agung atau Atma Brata sebagai mangkubumi Raja Keprabuan Sumedanglarang di Ciguling.
Di wilayah Geger Hanjuang Ciguling ini, Prabu Gajah Agung atau Atma Brata mendirikan cikal bakal ibukota Sumedang Larang, di tengah alun-alunnya ditanami pohon beringin yang akhirnya menjadi pusat mandala baru yang akan berlanjut menjadi ibukota kerajaan Sumedanglarang.
Wilayah Geger Hanjuang di Ciguling sebagai bekas ibukota kerajaan Sumedanglarang memiliki tinggalan situs cagar budaya dalam bentuk artefak berupa tinggalan situs Cadas Gantung di pasir peti di Desa Margalaksana yang diperkirakan adalah sebagai pintu penjagaan keprabuan sebelum masuk ke pusat ibukota kerajaan, situs dan makam, karena di daerah tersebut pernah dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Sumedanglarang pada fase, yaitu :
- Pada fase Pertama kerajaan Sumedanglarang pada masa Prabu Gajah Agung atau Atma Brata dari 839-998 Masehi.
- Pada fase kedua kerajaan Sumedanglarang pada masa Prabu Pagulingan atau Prabu Wirajaya Manggala dari masa 998-1114 Masehi.
- Pada fase ketiga kerajaan Sumedanglarang pada masa Prabu Mertalaya atau Sunan Guling dari masa 1114-1234 Masehi.
- Pada fase ke empat kerajaan Sumedanglarang yang dimulai pada masa Jaya Diningrat Kusuma atau Pandita Sakti atau Pandita Wulung, Jaya Dinata atau Tanding Kusuma dan berakhir pada jaman Prabu Tirta Kusuma atau Sunan Tuakan selama 225 tahun antara 1237-1462 Masehi.
- Pada fase kelima kerajaan Sumedanglarang pada masa Ratu Rajamantri sebelum diboyong ke Pakuan Pajajaran oleh Sri Baduga Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi seperti yang tertulis dalam naskah Carita Ratu Pakuan, terakhir di masa Ratu Sintawati atau Ratu Patuakan antara 1462-1530 Masehi.
Itulah Raja-raja sumedanglarang yang sempat menempati di Ciguling sebagai pusat ibukota kerajaannya, yang kemudian dialihkan ke Kutamaya yang daerahnya relatif maya datar atau lahan datar di Padasuka Kecamatan Sumedang Selatan, di masa Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri atau Raden Sholih, memerintah kerajaan Sumedanglarang.
Prabu Mertalaya atau Sunan Guling adalah Raja kerajaan Sumedanglarang antara 1114-1234 Masehi, setelah ayahnya Prabu Pagulingan lengser dari Keprabuan. Dalam kekuasaannya sebagai Raja yang memberi kemakmuran bagi masyarakat Sumedanglarang waktu itu, Prabu Mertalaya diberi gelar Haji Raja Mukti Purbakawasa. gelar Haji lainnya adalah berasal dari kebudayaan kerajaan Sunda Galuh pra Islam era Hindu-Buddha, yaitu Haji atau Aji yang berarti “Raja”. Dalam sejarah Kerajaan Galuh Sunda pra Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja.
Situs makam Prabu Mertalaya atau Sunan Guling ditandai dengan nisan batuan kali ukuran sedang berbentuk lonjong namun yang satunya sudah terlepas dari tanah kuburannya, dan di sebelah kanannya 3 batu besar yang berfungsi untuk menyimpan sesajen atau sebagai tempat duduk menghadap ke arah makam Prabu Mertalaya, namun ada pula beberapa makam tua (lihat photo di bawah ini)
Adapun silsilah Sunan Guling ringkasnya sebagai berikut : Prabu Pagulingan atau Manggala Wirajaya, putranya Prabu Gajah Agung dari isterinya Dewi Sari Naga Ningrum memperisteri Miramaya, putrinya Suryakanta dari isterinya Siti Mujenar atau Maya Sari cucu cicitnya Sunan Ulun dan Lenggangsari asal Limbangan.
Wirajaya Manggala atau Prabu Pagulingan yang memperisteri Miramaya, mempunyai 2 orang anak, yaitu Mertalaya atau Sunan Guling dan Siti Sarifah Sondari atau Embah Sohapah yang diboyong ke kerajaan Galuh.
Mertalaya atau Sunan Guling memperisteri Mutiasari putrinya Prabu Lingga Hyang atau Dalem Haji Kusuma dari permaisurinya Dalem istri Amah Suriyanah, mempunyai anak : Jaya Diningrat Kusuma atau Pandita Sakti atau Pandita Wulung, Jaya Dinata atau Tanding Kusuma dan Tirta Kusuma atau Sunan Tuakan.
Post a Comment