Nyi Endang Geulis Istri Pertama Pangeran Walangsungsang Atau Mbah Kuwu Cerbon

Sejarah adalah sesuatu yang benar terjadi di masa lampau dan terbukti secara fakta bahwa itu adalah benar. Salah satu sejarah yang kita simak sekarang adalah sejarah tentang silsilah keturunan dan asal-usul Nyi Mas Endang Geulis. 

Petilasan Nyi Mas Endang Geulis terletak di desa Krandon, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan telah ada sejak tahun 1442 Masehi. 

Disisi lain, berdasarkan peta denah astana Komplek makam Gunung Sembung yang merupakan komplek makam raja-raja dan kerabat Keraton Cirebon di dalamnya tidak tercatat adanya makam Nyimas Endang Geulis. Oleh karena itu, oleh karena itu dimungkinkan Nyimas Endang Geulis tidak dimakamkan di Gunung Sembung. Yang ada dalam Komplek Makam Gunung Sembung di cungkup utama adalah Makam Pangeran Walangsungsang saja.


Nyimas Endang Geulis adalah istri Pertama Pangeran Cakrabuana, wanita ini merupakan wanita yang nantinya melahirkan Nyimas Pakungwati, meskipun dalam sumber sejarah lain, Nyimas Pakungwati juga disebut bukan sebagai anak dari Endang Geulis, melainkan anak dari Nyimas Kencana Larang. 

Menurut Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Endang Geulis adalah anak dari Ki Gedeng Danuwarsih, seorang Pendeta Budhaparwa dari agama Siwa-Budha, yaitu Agama Singkretis Budha dan Hindu Siswa.

Perkenalan Pangeran Cakrabuana dengan Endang Geulis terjadi setelah Pangeran Cakrabuana keluar dari Istana Pajajaran, sang Pangeran meninggalkannistana karena mendapatkan perlakuan buruk dari Ibu dan saudara-saudara tirinya di keraton selepas Ibundanya (Subang Larang) wafat.

Pangeran Cakrabuna sempat berguru pada Ki Gedeng Danuwarsih sebelum akhirnya dinikahkan dengan putrinya. Pangeran Cakrabuna menikahi Nyimas Endang Geulis pada tahun 1442 Masehi.

Masih menurut Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, bahwa setelah beberapa lama berguru kepada Ki Gedeng Danuwarsih, Pangeran Cakrabuana bersama Nyimas Endang Geulis berguru kepada seorang Ulama Islam yang bernama Syekh Nurjati (Syekh Nuruljati/Syekh Datuk Kahfi) yang memiliki pesantren di Gunung Jati.

Ketika hendak berguru, adik Pangeran Cakrabuana (Rara Santang) keluar dari Istana dan mengikuti kakak bersama istrinya untuk berguru agama Islam. 

Singkat cerita, setelah dianggap cukup mumpuni dalam memahami ajaran Islam, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Cakrabuana untuk menunaikan haji, akan tetapi karena pada waktu itu Nyimas Endang Geulis sedang mengandung Nyimas Pakungwati, maka Nyimas Endang Geulis tidak diperbolehkan mengikuti suaminya ke timur tengah untuk beribadah haji.

Jika merujuk pada Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, maka Nyimas Pakungwati adalah anak tertua dari Pangeran Cakrabuana, karena merupakan anak dari istri pertama Pangeran Cakrabuana yang bernama Endang Geulis, oleh karena itu, dapat dipahami juga bahwa umur Nyimas Pakungwati lebih tua dari umur suaminya (Sunan Gunung Jati), karena pada waktu itu, Rara Santang, yang tak lain merupakan Ibu Sunan Gunung Jati sekaligus juga adik dari Pangeran Cakrabuana belum menikah dengan Syarif Abdullah. 

Menurut Naskah Kuningan, Nyimas Pakungwati bukanlah anak Endang Geulis, melainkan anak Nyimas Kencana Larang putri Kuwu Carbon Bramacari Srimaana (Ki Gedeng Alang-Alang). 

Dalam naskah Kuningan juga disebutkan bahwa Nyimas Pakungwati adalah anak pertama dan nantinya memiliki dua orang adik laki-laki yang dikemudian hari dinamai Pangeran Pajabugan/Arya Mengger dan Pangeran Pajarakan. 

Jika merujuk pada naskah Kuningan maka Nyimas Pakungwati dinyatakan lebih muda daripada Sunan Gunung Jati, karena sewaktu Sunan Gunung Jati telah lahir, Pangeran Cakrabuana belum menikahi Nyimas Kencana Larang. 

Silsilah Keluarga Nyi Mas Endang Geulis berawal dari Ki Gedeng Danusenta lalu Ki Gedeng Danusenta melahirkan dua orang anak yaitu Ki Danusela dan Ki Gedeng Danuwarsih, Ki Gedeng Danuwarsih Melahirkan seorang anak yaitu Nyi Mas Endang Ayu atau sekarang biasa disebut Nyi Mas Endang Geulis yang melakukan perkawinan dengan Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang atau Somadullah atau Haji Abdullah Iman atau Ki Cakrabumi (Pangraksa Bumi) atau Mbah Kuwu Cerbon Pendiri Caruban Nagari. 

Dari pernikahan Nyi Mas Endan Geulis dan Pangeran Walangsungsang mereka dikaruiani anak yang bernama Dewi Pakungwati dan Dewi Pakungwati melakukan perkawinan dengan Raden Syarif Hidayatuullah atau Sunan Gunung Jati akan tetapi perkawinanya dengan Dewi Pakungwati tidak dikaruniai anak.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Walangsungsang membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati putra adiknya yaitu Rara Santang, mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya (Pangeran Wakangsungsang) wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480 M, Sunan Gunung Jati menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Masa Kesultanan Demak kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Salam Santun.

Tidak ada komentar

Posting Komentar