Sejarah Para Bupati Parakanmuncang
Tumenggung Tanoebaya atau Ki Somahita adalah Bupati dari kabupaten Parakanmuncang. Kabupaten ini ada semasa pemerintahan konial Belanda. Kini Parakanmuncang menjadi sebuah kecamatan dengan berganti nama Cimanggung dan secara administratif masuk ke Kabupaten Sumedang. Tumenggung Tanoebaya adalah gelar yang diberikan Sultan Agoeng Mataram kepada Ki Somahita Bupati Parakanmuncang pertama (sekarang Kecamatan Cimanggung bagian Kabupaten Sumedang) karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur tahun 1632, disebut juga sebagai Adipati Tanoebaya I.
Silsilah
Masyarakat sering menyebut Tumenggung Tanoebaya sebagai "Dalem Tanoebaya". Hal ini tercantum dalam Wawacan Parakanmuncang. Tumenggung Tanoebaya adalah putra Tumenggung Demung. Dalam Naskah Wawcan Parakanmuncang ini berisi beberapa buah silsilah yang berhubungan dengan keluarga bangsawan Timbanganten Parakanmuncang, Pagaden dan Sumedang.
Keluarga bangsawan Parakanmuncang muncul sejak Dalem Tanoebaya Samaita memerintah Kabupaten Parakanmuncang. Ia putera Tumenggung Demung, cucu Soenan Pagerbarang, cicit Waktoehayoe, pioet Batara Kawindoe. Batara Kawindu putera Sempujaya, cucu Batara Sumaryang, cicit Sumun, pioet Demang Batara Sakti. Demang Batara Sakti putera Demoeng Sadakamoelan, cucu Batara Toenggal, dan cicit Prabu Siliwangi.
Tumenggung Tanubaya sebagai Umbul Sindangkasih terlibat dalam konflik dengan Dipati Ukur. Ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menyerang Banten. Akan tetapi untuk menyerang Banten telah terhalang oleh keberadaan VOC di Batavia yang sedang membuat benteng pertahanan. Untuk itu Sultan Mataram menghendaki Dipati Ukur yang telah diangkat oleh Sultan Mataram sebagai bupati wedana di Priangan sanggup membantu Sultan Mataram untuk mengusir VOC di Batavia. Guna menyerang VOC, Sultan Agung melakukan berbagai persiapan, disebabkan jalan dan hutan yang harus dilalui belum memadai.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal), agar memimpin pasukan untuk menggempur VOC di Batavia. Setelah kedua pejabat itu berunding, mereka berangkat menuju Batavia. Dipati Ukur memakai jalan darat dan Bahurekso melalui laut, masing-masing membawa 10.000 prajurit. Mereka berjanji untuk bertemu di Karawang. Pasukan Dipati Ukur terdiri atas 9 umbul, yaitu umbul-umbul: Batulayang, Saunggatang, Taraju, Kahuripan, Medangsasigar, Malangbong, Mananggel, Sagaraherang dan Ukur, masing-masing selaku kepala pasukan di bawah komando Dipati Ukur. Pasukan itu berangkat dari Tatar Ukur, melewati Cikao (terletak di Purwakarta sekarang), dan berbelok ke arah utara sampai Karawang.
Umbul Sindangkasih
Serangan Dipati Ukur ke VOC di Batavia mengalami kekalahan. Terjadi konflik antar bangsawan hingga Dipati Ukur kemudian menjadi pemberontak terhadap Mataram. Ia bersembunyi di Gunung Pongporang, Dipati Ukur membangun benteng dan bermusyawarah dengan para pengikutnya.
Di Mataram, Bahurekso melaporkan kekalahannya kepada Sultan Agung, termasuk tindakan Dipati Ukur menyerang ke Batavia tanpa menunggu kedatangan pasukan Bahurekso. Bahurekso menilai, bahwa kekalahan Mataram disebabkan oleh terpecahnya kekuatan pasukan.
Versi kisah penangkapan Dipati Ukur, antara lain pendapat Karel Frederik Holle yang menyebutkan bahwa Dipati Ukur tertangkap di suatu tempat sekitar 7 km di sebelah barat Jakarta (sekarang bernama Cengkareng). Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada tahun 1632.
Sementara itu, Dalem Tanubaya Samaita digantikan oleh saudaranya yang bernama Dalem Dipati Tanubaya, yang lalu dimakamkan di Bujil. Ia berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Karasak, Galunggung, berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Cibodas, Parakanmunvang, berputera Dalem Patrakusumah yang menjadi bupati di Sumedang dan dimakamkan di Jakarta, sebagai bupati Parakanmuncang diganti oleh menantunya bernama Dalem Soeria Natakoesoemah, berputera (wanita), Nimas Raden Riyakusumah; berputera Raden Ahmad yang menjadi patih Parakanmuncang; berputera Raden Jayuda; berputera Raden haji Ahmad Kanapiyah yang menjadi wedana pensiun Cicalengka dan dimakamkan di Cipetak, Cicalengka.
Selanjutnya, dikemukakan pula secara singkat mengenai kisah (sajarah) bangsawan Parakanmuncang yang bernama Dlm. Adp. Patrakoesoemah, yang memerintah di Sumedang. Ia diangkat menjadi bupati Sumedang, mengantikan ayahnya Dalem Adipati Tanubaya.
Tumenggung Adipati Tanoebaya (Dalem Tanoebaya IV) yang berasal dari Parakanmuncang menjabat Bupati Sumedang pada tahun 1773 - 1775. Dalam Daftar Bupati Sumedang, periode waktu jabatannya semasa zaman kolonialisme VOC, Belanda dan Inggris.
Pengganti Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung Patrakoesoemah (1775-1789) yang waktu itu menjabat sebagai bupati Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung Patrakoesoemah mendapat dukungan dari 4 umbul terutama dari Sumedang. Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakoesoemah melakukan pelanggaran, maka ia diberberhentikan oleh kumpeni dari kedudukan sebagai bupati Sumedang dan diasingkan ke Batavia.
Menurut sejarahnya, Kabupaten Parakanmuncang adalah kabupaten ketiga yang diresmikan oleh Sultan Agung setelah pemberontakan Dipati Ukur, sementara dua yang lainnya adalah Kabupaten Bandung dan Sukapura, pada 1641 M. Gelar yang diberikan kepada bupati Parakanmuncang adalah Wiratanubaya, yang digunakan lima bupati secara berturut-turut. Daerah yang membentuk kabuten Parakanmuncang pada awalnya adalah Batulayang, Cihaur Mananggel, dan Medang Sasigar.
Di Masa Rangga Gempol pada 31 Januari 1691 (Ket : masa pemerintahan Dipati Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan 1656 - 1706), yang termasuk Parakanmuncang adalah Selacau, tanah Ngabehi Cucuk, Manabaya (utara Majalaya sekarang), Kadungora, Kandangwesi (batas bagian barat adalah Cidamar, Cipancong; timur adalah titik pertemuan ke laut; yang paling barat adalah Cimangke; paling timur adalah Pasanggrahan atau Paserangan; utaranya berbatasan dengan Bandung), Sindangkasih, Galunggang atau Galunggung (Singaparna, Cilolohan, Cibadak, Tasikmalaya), Cihaur, Taraju Turun Datar (Taraju), Balubur (Cihaur Mananggel; sebagian di bagian barat Sumedang yaitu Cikaramas, Ciranjang, Rancakalong, Ciherang; sebagian di Tanjungsari, yaitu Cijolang, Cikeruh, Jatiroke, dll.; dan lainnya di timur Karawang yaitu, Baranangsiang, Pakalongan, Karikil, dll), Selagadung. Bila diukur saat ini, betapa luas wilayah yang dicakup kabupaten ini.
Adapun ibukota Parakanmuncang berada di sekitar Cicalengka. Menurut catatan Pieter Engelhard (1802), letaknya berada di barat laut Cicalengka. Sementara menurut P. de Roo, bekas ibu kota tersebut ditumbuhi pohon-pohon beringin. Pada tempat pertemuan dua sungai yakni Citarik dan Cibodas ada makam bupati-bupati Priangan.
Di sekitar Warungpeuteuy (sebelah barat Cicalengka) ditemukan fondasi bangunan tua. Dan ibu kota yang lamanya adalah di Tarikolot Kaler. Karena ibu kota barunya, sesuai perintah H.W. Daendels pada 1810, dipindahkan ke Anawadak di Cilukuk, di timur Tanjungsari saat ini.
Saat kopi diperkenalkan ke Parakanmuncang yang menjadi bupatinya adalah Tumenggung Wiratanubaya IV (1686 - 1724 M). Ia yang merupakan anak pertama Tumenggung Wiratanubaya III (w. 1686 M) atau Wirabaya diangkat sebagai bupati pada 1 Juli 1686, dengan perwalian Patih Parakanmuncang Ngabehi Cucuk.
Saat Wiratanubaya IV menjabat, Parakanmuncang bersama dengan Bandung dan Sumedang, berada di bawah pengawasan Pangeran Aria Cirebon (1706 - 1730 M), demi pemenuhan barang tambang. Dengan demikian, penyetoran awal hasil panen kopi pertama sekitar 1711-1712 hingga 1730, diserahkan kepada Cirebon untuk nantinya dikirimkan ke Batavia.
Sepeninggal Dalem Adipati Tanoebaya IV yang menjadi penerusnya adalah anak bungsunya, Tumenggung Patrakoesoemah atau Dalem Tanoebaya V (1724 - 1773 M) yang diangkat pada 28 Januari 1724.
Sebagaimana ayahnya, ia juga masih memerlukan perwalian, yaitu oleh Raden Bradjanagara. Saat menjabat, Parakanmuncang, sejak 1730 hingga 1758 M berada di bawah pengawasan langsung dari Batavia, sehingga dengan demikian, setoran wajib kopi pun diserahkan ke Batavia.
Saat pengalihan pengawasan ke Batavia, Parakanmuncang, Bandung dan Sumedang diharuskan untuk memelihara transportasi air melalui Sungai Cimanuk (rute lalu lintas lama Sumedang) atau Citarum; Kabupaten Bandung harus mendirikan gudang kopi di Cikawao; Kabupaten Parakanmuncang harus memanfaatkan Sungai Cigintung. Kesemuanya ditujukan untuk membawa kopi ke Batavia.
Selain itu, pengalihan tersebut ada kaitannya dengan upaya mempromosikan Karawang sebagai daerah eksplorasi tambang.
Untuk urusan kopi, pada tahun 1740, Kabupaten Parakanmuncang dibebani setoran sebanyak 818,75 pikul dan yang diserahkannya sebanyak 2.043,5 pikul atau hampir tiga kali lipatnya dan pada 1741 diharuskan menyerahkan 1.016 pikul kopi, dan yang diserahkannya 1.035 pikul.
Selanjutnya pada 1745 yang dihasilkannya 771 pikul; 1746 sebanyak 1,022 pikul; 1747 sebanyak 1,441 pikul; 1748 sebanyak 1,5326 pikul; 1749 sebanyak 2,373 pikul; 1750 sebanyak 2,217 pikul; 1751 sebanyak 2,373 pikul; 1752 sebanyak 2,544 pikul; 1753 sebanyak 3,700 pikul; 1754 sebanyak 2,832 pikul; 1755 sebanyak 2,950 pikul.
Alhasil, selama masa antara 1740-1755, Parakanmuncang bisa dikatakan menunjukkan hasil panen kopi yang cenderung meningkat tiap tahunnya. Dan ini tentu saja berarti uang komisi atau presentase yang diperoleh Tumenggung Patrakoesoemah terus bertambah.
Namun, antara 1756 hingga 1765 tidak ada data jumlah kopi yang disetorkan atas nama Parakanmuncang. Kecuali pada 4 Februari 1763, karena ada data yang menunjukkan bahwa Parakanmuncang menyetorkan 2,700 pikul kopi. Kekosongan data kopi tersebut dapat dimengerti karena antara 1758 - 1765 M, oleh Batavia, Parakanmuncang dan Sumedang dialihkan pengawasannya kepada Cirebon, karena terkait dengan pembayaran kopi.
Wabil khusus, karena menantu Gubernur Jenderal Jacob Mossel, Hasselaer sebagai Residen Cirebon, menginginkan keuntungan lebih dari kopi. Saat itu, kemungkinan besar, kopi yang dihasilkan baik oleh Parakanmuncang dan Sumedang dikirimkan ke Batavia melalui Karangsambung.
Namun, pada Mei 1765, Parakanmuncang dan Sumedang kembali lagi di bawah pengawasan Batavia. Bupati selanjutnya adalah Tumenggung Patrakusumah (1773 - 1775 M). Ayahnya adalah bupati Sumedang yang meninggal di daerah Patuakan, Batavia, sehingga dikenal sebagai Dalem Patuakan. Patrakusumah dilantik sebagai bupati Parakanmuncang pada 27 April 1773 M. Pada masa bupati ini, jumlah produksi kopi yang dihasilkan pada 1773 sebanyak 3,567 pikul.
Tetapi data 1774 dan 1775 tidak tercatat produksi kopi dari Parakanmuncang. Kemungkinan besar memang tetap ada yang disetorkan, tetapi tidak tercatat. Meski demikian, bila dibandingkan dengan masa 1740 - 1755 M, hasil pada 1773 menunjukkan peningkatan jumlah kopi yang dihasilkan Parakanmuncang.
Pada 19 Juni 1775 yang diangkat menjadi bupati Parakanmuncang adalah Demang Martanagara dan setelah menjabat bupati namanya menjadi Tumenggung Patrakoesoemah II (1775 - 1794 M).
Bupati inilah yang mendapatkan gelar baru karena keberhasilannya melaksanakan projek tanam paksa kopi. Pada 1789, karena menyetorkan kopi yang sangat banyak, dia dianugerahi gelar Adipati Surianatakusuma, dengan catatan, tanpa jaminan bahwa gelar tersebut bisa dilanjutkan atau diturunkan kepada penerusnya.
Pada masa ini, Gubernur Jenderal VOC De Klerk berupaya menyelidiki keadaan sistem tanam paksa kopi secara menyeluruh. Hal ini terutama berkaitan dengan ketidaksetujuan pada penerimaan harga kopi dari Sumedang dan Parakanmuncang.
Setelah diketahui ternyata banyak yang mengeduk untung di dalamnya, pada 4 Desember 1777 keluar resolusi pembentukan Dewan Luar Biasa bagi pengawasan kopi, yang dijabat Craan dan Radermacher.
Pada 1785, Komitir untuk urusan Pribumi pun mulai secara teratur melakukan pemeriksaan terhadap daerah-daerah yang menjadi wewenangnya. Padahal sebelumnya mereka jarang sekali turun ke lapangan. Sebelum dan setelah resolusi tersebut, pada periode 1777 dan 1778, Parakanmuncang menyetorkan sebanyak 3,280 pikul dan 3,487 pikul kopi.
Dengan kekosongan data antara 1779 hingga 1784, data kopi dari Parakanmuncang baru ada lagi pada 1785 dan 1786 sebanyak 3000 pikul dan 3,200 pikul. Kosong data lagi antara 1787-1790. Ada lagi pada 1791 hingga 1794 yang berturut-turut sebanyak 5,520 pikul, 8,100 pikul, 8,800 pikul, dan 7,064 pikul. Tentu saja, kekosongan-kekosongan tersebut bukan berarti tidak ada produksi kopi.
Bahkan sebaliknya, dengan anugerah gelar baru pada 1789, meskipun data kopi 1787-1790 kosong, dapat dipastikan hasilnya besar, sehingga dianggap menyukseskan sistem tanam paksa yang diterapkan VOC.
Setelah Adipati Soeria Natakusumah, tampuk pimpinan Parakanmuncang jatuh kepada menantunya, Patih Wiranagara. Ia yang diangkat pada 7 Februari 1794 itu kemudian digelari Adipati Surianatakusuma II (1794 - 1802 M) pada 14 April 1801. Namun, dari sisi kinerjanya, terutama dalam tanam paksa kopi, ia banyak dikeluhkan pejabat VOC. Pada 27 Desember 1800, kongsi dagang itu menyebutkan Surianatakusuma II dapat dipertahankan tapi harus terus diingatkan karena kondisi budidaya kopi di Parakanmuncang payah dan tidak mengindahkan saran-saran VOC.
Kemudian pada 24 Desember 1801, kompeni menilai bupati ini harus diprogram ulang karena kebiasaannya yang salah dan sikapnya yang tidak menurut, khususnya, dalam kaitannya dengan budidaya kopi. Ia bahkan diancam akan dipecat bila tidak memperbaikinya.
Penurunan jumlah produksi kopi memang kentara dari mulai 1794 yang mencapai 7,064 pikul. Sempat naik menjadi 8,315 pada 1795. Namun, pada 1799 atau empat tahun yang lumayan besar, produksi kopi Parakanmuncang menurun drastis menjadi 4,470 pikul pada 1799, 3,606 pikul pada 1800, naik lagi menjadi 4,116 pikul pada 1801. Jadi artinya, pada masa pemerintahan 1799-1801, produksi kopi dari Parakanmuncang terus berkurang dua kali lipatnya, bila dibandingkan pada masa 1794-1795.
Namun, akhirnya, pada 16 April 1802, Komitir untuk Urusan Pribumi mempermasalahkan pengabaian budidaya kopi hingga menyebabkan sang bupati dibuang ke perkampungan di Batavia. Meskipun pada 7 Desember 1802 dia memohon dikeluarkan dari penjara tetapi ditolak, malah dibuang ke Rosengain di Kepulauan Banda, Maluku, pada 20 Desember 1802.
Karena sakit, Soeria Natakusumah II diasingkan ke Kampong-Commandanten di Batavia. Pada 6 Desember 1805 tercatat ia masih ada di Manggadua dan terus diawasi hingga akhirnya meninggal di daerah Krukut. Dengan demikian, namanya diabadikan menjadi Dalem Krukut.
Pada 16 April 1802, Patih Raden Puranagara, saudara ipar bupati Sumedang, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang. Gelarnya adalah Tumenggung Wiratanureja (1802 - 1806 M). Lagi-lagi karena kopi, seperti pendahulunya, dia dianggap pemalas dan penuh hura-hura, serta tidak mematuhi untuk memperluas kebun kopi serta mencegah kelaparan yang melanda Parakanmuncang. Pada akhir 1802 diketahui hasil panen kopi dari Parakanmuncang sebanyak 3,177 pikul atau turun hampir 1000 pikul dibandingkan dengan 1801. Kemudian berturut-turut antara 1803 dan 1804 dihasilkan sebanyak 3000 pikul atau turun 100-an pikul lebih dan naik lagi tahun 1804 menjadi 4,000 pikul kopi.
Pada 15 Februari 1805, Wiratanureja diputuskan bersalah, sehingga dibuang ke perkampungan di sekitar Batavia. Hingga 1812, katanya, dia masih berada di Batavia. Padahal ini bertolak belakang dengan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda, karena sejak 1805, para pengawas (overseers) kopi diperbanyak dan pengaruhnya memang signifikan, karena pada 1806 terjadi peningkatan kiriman dan pada 1807 bahkan untuk kali pertama ditanam di Priangan, produksi kopi bisa mencapai lebih dari 100,1000 pikul. Sementara pada 1805 khusus di Parakanmuncang dihasilkan 4,347 pikul.
Bupati Parakanmuncang terakhir adalah anak tertua bupati Sumedang sekaligus menantu bupati Parakanmuncang yang diasingkan (penj. maksudnya Dalem Adipati Patrakusumah bupati penyelang Sumedang Mp. 1775 – 1789 M), Raden Aria Adiwijaya (1806 - 1813 M). Karena berstatus demikian, pada masa ini hasil panen kopi dari Parakanmuncang disatukan dengan dari Sumedang sehingga menghasilkan sebanyak 16,108 pikul (1806) dan 15,578 pikul (1807).
Namun, antara 1808-1810 kopi dari Parakanmuncang dipisahkan lagi dari Sumedang, sehingga berturut-turut hasilnya adalah 8,665 pikul, 7,849 pikul, dan 9,686 pikul kopi. Dan pada akhirnya, tanggal 16 Februari 1813, kabupaten tersebut dihapuskan dan bupatinya diangkat menjadi bupati Limbangan, karena yang menjabat sebelumnya pensiun.
Alasan di balik penghapusan ini disebutkan oleh Raffles (1813). Katanya, “Bagi Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh yang situasinya khas perlu digabungkan agar memampukan pemerintah untuk menetapkan batas-batas kabupaten lainnya”. Karena memang seperti yang dilihat dari wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam Kabupaten Parakanmuncang di atas terbilang sangat luas dan tidak tentu batas-batasnya.
Hatur nuhun penjelsannya... jd tahu sejarah keluarga... semoga bermanfaat bagi kita
BalasHapusWah teu nyangki, sing horeng leluhur simkuring nepikeun ka Prabu Siliwangi, Allahuakbar
BalasHapusSiap kang manawi aya data deui perkawis rd.wangsadireja putra bupati parakan muncang
BalasHapusIni ada catatan dari wedana selacau ke R. Patrana terus ke R. Moesa Koesoemah terus k R Mh.Lambri Koesoemah ...betulkah?
BalasHapus