Sampurasun
Makam Prabu Geusan Ulun, makam Ratu Harisbaya, makam ciri Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol 1 dan makam Kyai Demang Cipaku, terletak di dataran yang cukup tinggi yaitu di Gunung Rengganis di Desa Dayeuh Luhur, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang.
Jika ke sana kita harus menggunakan kendaraan roda dua ataupun empat karena berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat kota jalan yang dilalui lumayan menanjak tetapi justru kita akan melihat keindahan alam Kota Sumedang dan termasuk Gunung Tampomas. Makam Prabu Geusan Ulun letaknya dibagian utara desa sisi barat jalan Desa Dayeuh Luhur dan di tengah-tengah kompleks makam yang didirikan tahun 1601 masehi oleh Yayasan Pangeran Sumedang.
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Naskah Pustaka Kertabhumi Karya Pangeran Wangsa Kerta Cirebon sargah 1 jilid 2 halamam 70, peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 masehi. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik.
Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang diberikan oleh Arya Penggiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton – Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.
Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.
Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-ngedap mendatangi tajug keraton di mana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbaya dibawa pergi ke Sumedang.
Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang Prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkasa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedanglarang (Kutamaya), sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup.
Setelah berkata Jaya Perkasa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkasa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jaya Perkasa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai.
Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkasa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkasa. Maka sejak itu Ibukota Sumedanglarang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur.
Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.
Jaya Perkasa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah menanyakan kenapa Sang Prabu meninggalkannya tanpa melihat pohon hanjuang dulu, setelah mendengar penjelasan dari Prabu Geusan Ulun bahwa pindahnya Ibukota atas anjuran Nangganan maka Jaya Perkasa marah kepada Nangganan karena merasa dikhianati oleh saudaranya bahkan membunuhnya dan meninggalkan Rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada Prabu Geusan Ulun. Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih diberikan ke Cirebon. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya.
Silsilah Ratu Harisbaya
Dalam buku salinan dari buku sejarah Sumedang dituliskan silsilahnya Ratu Harisbaya, yaitu :
Sunan Mangkurat Pajang, mempunyai anak salah satunya : Pangeran Adipati Katawengan, mempunyai anak :
- Anak ke 1 Ratu Harisbaya, Ratu Harisbaya putra Panembahan Adipati Katawengan saudara Kiyai Pancawara diperisteri oleh Panembahan Ratu dari Cirebon dan kemudian diperisteri Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya, permaisuri ke-2.
- Anak ke 2. Kiyai Pancawara
Sementara menurut Serat Kandhaning Ringgit Purwa (KGB No.7: 257) dan PJ Veth tahun 1912, Sultan Trenggana Raja Demak mempunya 5 anak :
1. Retna Kenya, menikah dengan Raja Sampang Madura Pangeran Suhra Pradoto Jambringin anak Raden Pragalbo memiliki anak Ratu Emas Harisbaya.
2. Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat yang menikah dengan Kyai Wintang atau Pangeran Hadiri atau Pangeran Kalinyamat, Jepara.
3. Retna Mirah yang menikah dengan Pangeran Riyo.
4. Putri (tidak diketahui nama)
5. Pangeran Prawata alias Sunan Prawoto.
Raden Pragalba Arosbaya Bangkalan Madura kakeknya Ratu Harisbaya, bergelar Pangeran Plakaran atau Kyai Gede Sampang, adalah seorang penguasa Madura Barat yang memerintah sekitar 1500-1531. Kekuasaannya diperkirakan meliputi wilayah Bangkalan dan Plakaran. Ia mendapat julukan Pangeran Onggug (bahasa Madura yang artinya anggug atau mengangguk), karena menurut cerita rakyat pada saat menjelang wafatnya ia bersedia menerima agama Islam dengan menganggukkan kepalanya.
Pangeran Pragalba disebutkan dalam babad sebagai keturunan dari Brawijaya, yaitu melalui Lembu Peteng dan Menak Senoyo yang menetap di Madura. Salah seorang anak Pangeran Pragalba yaitu Raden Pratanu, atau gelarnya Pangeran Lemahduwur. sedangkan anak lainnya yaitu Pangeran Suhra Pradoto atau Pangeran Langgar atau kemudian menikah dengan Ratu Pembayun atau Retna Kenya putri Sultan Trenggana dari Demak.
Silsilah Ratu Harisbaya Janda dari Panembahan Ratu Cirebon dan juga besan Pangeran Arya Upapatih BIN Sultan Maulana Yusuf, Raja ke 2 Kesultanan Banten dan isteri ke 2 Prabu Geusan Ulun Sumedang ke Jalur Madura dan Demak, adalah sebagai berikut : Ratu Harisbaya alias Nyai Narantaka BINTI Pangeran Suhra Pradoto Jambringin Pamekasan Madura alias Pangeran Langgar (suami dari Ratu Pembayun binti Sultan Trenggono BIN Raden Patah Demak dan Siti Murtasimah BINTI Sunan Ampel Syarif Ali Ahmad Rohmatullah Azmat Khan) BIN Kyai Pragalbo atau Pangeran Onggu atau Pangeran Plakaran, wafat tahun 1531 dimakamkan di Makam Agung Arosbaya Bangkalan Madura BIN Ki Demung atau Demang Plakaran, hijrah dari Sampang Madura BIN Aryo Pojok Sampang Madura keturunan Arya Damar Palembang. (Menikah dengan Nyai Ageng Budo BINTI Arya Pratikel BIN Arya Menger BIN Raden Lembu Peteng BIN Prabu Brawijaya Majapahit)
Ratu Pucuk Umum atau Ratu Inten Dewata atau Nyimas Setyasih Ratu Sumedang larang yang beribukota di Kutamaya Padasuka antara 1530 - 1580 masehi ditikah oleh Raden Solih atau Pangeran Santri atau Kusumadinata 1, kelahiran : 29 Mei 1505, mempunyai anak :
Anak ke satu, Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya atau Koesoemadinata 2, kelahiran : 19 Juli 1556, menikah dengan permaisuri ke 1 Ratu Cukang Gedeng Waru, Permaaisuri ke 2 Ratu Harisbaya dan permaaisuri ke 3 Nyi Mas Pasarean dengan masa Keprabuan di Kutamaya dan Dayeuh luhur antara 1578-1610 masehi, meninggal tahun 1610.
Anak ke 2, Demang Rangga Hadji, makamnya di Ujungjaya
Anak ke 3, Kiyai Demang Watang, makamnya di Walakung Perbatasan Ujungjaya - Indramayu.
Anak ke 4, Santowaan Wirakusumah, makamnya di Pagaden Subang.
Anak ke 5, Santowaan Cikeruh, makamnya di Cikeruh
Anak ke 6, Santowaan Awiluar atau Pangeran Bungsu, makamnya di Desa Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Sumedang.
Prabu Geusan Ulun atau Koesoemadinata 2 yang lahir 19 Juli 1556, dan wafat tahun 1608 di Dayeuh Luhur Gunung Rengganis Sumedang, dalam usia 50 tahun. Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angka Wijaya atau Raden Jafar adalah Radja Sumedang Larang yang berkuasa antara 1578-1601 masehi.
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya atau Koesoemahdinata 2, menikah dengan permaisuri ke 1 yaitu Nyimas Sari Hatin atau Ratu Cukang Gedeng Waru, putrinya Raden Hasata atau Sunan Pada, mempunyai anak :
Anak ke 1, Pangeran Rangga Gede atau Koesoemahdinata 4, makamnya di Panday Kecamatan Sumedang Selatan.
Anak ke 2, Raden Aria Wiraradja 1, sedangkan menurut Naskah Negara Krethabumi Karya Pangeran Wangsakerta Cirebon tahun 1670, beliau adalah anaknya Ratu Harisbaya, makamnya di Desa Darmawangi Kecamatan Tomo.
Anak ke 3, Kiai Kadu Rangga Gede
Anak ke 4, Kiai Rangga Patra Kelana
Anak ke 5, Kiai Aria Rangga Pati atau Sunan Pager Barang makamnya di Haurkuning Kecamatan Paseh
Anak ke 6, Kiai Ngabehi Watang
Anak ke 7, Nyimas Demang Cipaku
Anak ke 8, Nyimas Ngabehi Martayuda, makamnya di Pemakaman Umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
Anak ke 9, Nyimas Rangga Wiratama, beremigrasi ke Cibeureum
Anak ke 10., Raden Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara, Dalem di Pagaden dan Pamanukan, sedangkan menurut Naskah Negara Krethabumi Karya Pangeran Wangsakerta Cirebon tahun 1670, beliau adalah anaknya Ratu Harisbaya,
Anak ke 11, Nyimas Rangga Pamade
Anak ke 12, Nyimas Oekoer, ditikah oleh Raden Dipati Oekoer atau Adipati Wangsanata atau Wangsataruna.
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya atau Koesoemahdinata 2, menikah dengan permaisuri ke 2 Ratu Harisbaya puteri asal Pajang putra Pangeran Adipati Katawengan atau Pangeran Suhra Pradoto Jambringin keluarga Raja Sampang Madura, mempunyai anak :
Anak ke 1. Pangeran Aria Soeriadiwangsa atau Rangga Gempol, makamnya di Lempuyangan Wangi Jogjakarta, namun makam cirinya ada juga di Dayeuhluhur berdekatan dengan ayahnya Prabu Geusan Ulun.
Anak ke 2. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong, makamnya di Makam Umum Gorowong Dusun Gorowong Kelurahan Kotakaler Kecamatan Sumedang Utara.
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya atau Koesoemahdinata 2, menikah dengan permaisuri ke 3 Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan asal Pajajaran, mempunyai seorang anak, yaitu Kiai Demang Cipaku, makamnya di Dayeuhluhur berdekatan dengan ayahnya Prabu Geusan Ulun.
Salam Santun.
Tidak ada komentar
Posting Komentar