Explore Makam Tumenggung Tegalkalong di Tegalkalong


Makam Tumenggung Tegalkalong berlokasi di Makam Umum Gorowong Tegalkalong yang masuk dari Gg. Kamasan Tegalkalong dan berlokasi di Kampung Gorowong Kelurahan Kotakaler Kecamatan Sumedang Utara.

Ulasan Sejarah 
Untuk membahas Sejarah Pangeran Panembahan Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Penyerangan Mesjid Tegalkalong yang beribukota keadipatiannya berada di Pendopo Tegalkalong, yang saya akan uraikan sebagai berikut :
Setelah Pangeran Rangga Gede wafat tahun 1633, kedudukannya digantikan oleh puteranya bernama Raden Bagus Weruh. Beliau disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol 2 yang menjadi bupati Sumedang selama 23 tahun, dari 1633–1656, dan beribukota di Tenjo Laut Conggeang 

Pada masa pemerintahan Dipati Rangga Gempol 2 yang terdapat beberapa kejadian penting berkaitan dengan pemerintahan dan kewilayahan. Salah satunya adalah pada  masa  pemerintahan Dipati Rangga Gempol 2  ini  terjadi  dua  kali  reorganisasi pemerintahan.  Reorganisasi  pemerintahan  ini  dilakukan  antara lain  berkaitan dengan situasi Kesultanan Mataram yang berupaya mengefektifkan serangan-serangan ke Batavia setelah beberapa kali gagal dan upaya menata kembali situasi Priangan setelah terjadi pemberontakan Dipati Ukur.

Pada tanggal 16 Juli 1633 (dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan tanggal 9 Muharram tahun Alip) Sultan Agung mengeluarkan piagem atau surat keputusan, yang isinya pembentukan tiga kabupaten baru disertai penunjukan para bupatinya.
Ketiga kabupaten tersebut adalah :
1.  Kabupaten Sukapura dipimpin oleh Tumenggung Wiradadaha
2.  Kabupaten Bandung dipimpin oleh Tumenggung Wira Angun-angun
3.  Kabupaten Parakanmuncang dipimpin oleh Tumenggung Tanubaya.
Dengan  demikian,  di  bekas  kerajaan  Sumedanglarang  itu  terdapat  empat kabupaten, yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura. 

Terhadap  kebijakan  Sultan  Agung  tersebut Adipati  Rangga  Gempol 2 tidak menyukainya,  karena besaran kekuasaan Adipati Rangga  Gempol  2  menjadi berkurang. Ini pun berarti bahwa wilayah Sumedang sejak surat keputusan itu dikeluarkan  menjadi  lebih  kecil bila dibandingkan  dengan  masa-masa sebelumnya. Akibat dari kebijakan ini pun jumlah Sumedang menjadi sangat berkurang cacah yang  dimiliki.

Kekecewaan Adipati Rangga Gempol 2 semakin bertambah ketika Sunan Amangkurat 1,  penguasa Kesultanan Mataram yang  menggantikan ayahnya, yaitu Sultan Agung. Sunan Amangkurat 1 atau Sunan Tegalwang mengeluarkan dua kebijakan penting berkait dengan Priangan. Pertama, penghapusan jabatan Wedana Bupati; kedua wilayah Mataram bagian barat ini pun dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten). 

Dengan dihapuskannya jabatan Bupati Wedana berarti kedudukan  bupati Sumedang  menjadi  sama  dengan  bupati- bupati  lain.  Dengan pemagian  12  ajeg  pun  menjadikan  besaran kekuasaan Sumedang  pun  semakin  kecil  lagi. Oleh  karena  itu,  sebagai  protes  atas kebijakan  itu,  Adipati  Rangga Gempol  2  memundurkan diri  sebagai  bupati.  Ia menunjuk anaknya, Pangeran Panembahan atau Adipati Rangga Gempol 3 sebagai penggantinya antara 1656-1705.

Adipati Rangga  Gempol  3,  meskipun  bergelar  pangeran,  gelar  tertinggi  di antara  bupati-bupati  Priangan,  sejak  tahun 1657  kedudukannya  sederajat dengan bupati-bupati lain sebagai konsekuensi dihapuskannya jabatan Bupati Wedana. Sebagai kompensasi atas hilangnya jabatan sebagai Bupati Wedana, Sultan Amangkurat 1 memberi gelar “Panembahan” kepada Rangga Gempol 3, sehingga namanya menjadi Pangeran Panembahan Kusumadinata.

Oleh karena itu, Adipati Rangga Gempol 3 ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan.  Pangeran Panembahan merupakan bupati terlama memerintah Sumedang. Ia memerintah hampir 50 tahun.

Selama Pangeran Panembahan menjadi bupati, terjadi banyak peristiwa penting, baik dalam lingkungan internal kabupaten Sumedang sendiri, maupun di  luar  lingkungan kabupaten  Sumedang  namun  berpengaruh  juga terhadap kondisi internal Sumedang. 

Kejadian di luar lingkungan Sumedang yang berpengaruh  besar  terhadap  kondisi  internal  Sumedang  adalah terjadinya dinamika  politik   di lingkungan  Kesultanan   Mataram  sepeninggal  Sultan Agung, agresivitas Banten yang berambisi untuk merebut kembali Batavia dari Kompeni dan menguasai Sumedang, sikap-sikap Kompeni yang selalu memanfaatkan konflik yang terjadi di Mataram dan Banten untuk kepentingan V.O.C melalui politik divide et imperanya dan sebagainya. 

Kejadian-kejadian seperti  itu  sangat  mempengaruhi pola  aliansi,  siapa  bergabung dengan  siapa untuk melawan siapa. Yang lebih menarik lagi adalah tidak ada pola aliansi yang   permanen, tetapi  selalu  didasarkan  pada   kepentingan-kepentingan strategis. Oleh karena itu, pola aliansi itu sering  berubah-ubah. Namun dari semua dinamika itu, ada satu kata kunci yang tidak terbantahkan adalah yang teruntungkan adalah selalu pihak Kompeni.

Saat Pangeran Panembahan menjadi bupati, kekuasaan Mataram terus melemah akibat konflik internal di lingkungan keraton Mataram dan serangan dari pihak luar. Konflik internal terjadi karena saling berebut tahta kerajaan antara Sunan Amangkurat 1 dengan saudaranya, Pangeran Puger. Serangan dari luar  berupa  serangan Trunajaya dari  Madura  yang  dibantu  oleh Karaeng Galesung dari Makasar. Guna mengatasi kemelut tersebut, Sunan Amangkurat 1 meminta bantuan Kompeni.

Kompeni menyanggupi memberi bantuan dengan sejumlah tuntutan. Untuk  itulah  Kompeni  mengutus Residen Jepara James  Cooper, pergi  ke Mataram dengan membawa konsep perjanjian.

Pada tanggal 25 Maret  1677 perjanjian  dengan  Mataram  ditanda tangani.  Isi ringkas perjanjian  tersebut adalah :
1. VOC memiliki hak monopoli pembelian beras sesuai harga pasar.
2. Segala biaya perang harus ditanggung oleh Mataram
3. Batas sebelah barat Kesultanan Mataram, yaitu daerah antara Cisadane dan Cipunagara diserahkan kepada Kompeni.

Semua permintaan Kompeni itu disetujui oleh Sultan Amangkurat 1 kecuali permintaan  yang ketiga.  Sultan Amangkurat  1  menyatakan  bahwa  daerah-daerah antara Cisadane dan Cipunagara terdapat wilayah milik Pangeran Panembahan yaitu  antara  Citarum   dan  Cipunagara. Dengan  demikian,  daerah yang diserahkan kepada Kompeni hanya antara Cisadane dan Citarum.

Perjanjian  antara  Kompeni  dengan  Mataram  itu  bagi  pihak  Pangeran Panembahan Sumedang berarti :
1. Kekuatan dan kekuasaan Mataram sangat menurun. Mataram sudah tidak mampu menguasai daerah bawahannya.
2.  Daerah antara Citarum dan Cipunagara tidak dikuasai oleh Amangkurat 1, melainkan  oleh  Pangeran Panembahan  (Sumedang).  Ini  berarti  bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Sumedang. Ini juga berarti bahwa batas wilayah  kabupaten  Sumedang  adalah  sebelah selatan :  Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara: Laut Jawa, sebelah barat: kali Cisadane dan sebelah timur: Cirebon.
 
Kenyataan  seperti  itu  menginspirasi  Pangeran Panembahan mengembalikan kebesaran  Sumedang  seperti jaman kerajaan Sumedanglarang ketika Prabu Geusan Ulun berkuasa .  Akan tetapi,  ia  menyadari  bahwa tidak  mungkin  melaksanakan  cita-citanya  itu sendirian. Ia harus minta bantuan pihak lain. Pihak mana yang layak dimintai bantuan,  pilihan  jatuh   pada   Banten.  Ternyata   Banten  menyambut  baik  permohonan  Pangeran  Panembahan  itu,  namun Banten minta kompensasi, yaitu Sumedang harus membantu Banten dalam menghadapi Kompeni dan Mataram. Permintaan Banten itu tidak disanggupi oleh Pangeran Panembahan.

Setelah penolakan atas permintaan Banten itu, Pangeran Panembahan menyadari akan akibatnya, yaitu Banten akan memusuhi dan bahkan akan menyerang Sumedang. Untuk mengantisipasi hal itu, Pangeran Panembahan menyurati  VOC  yang  isinya  adalah  pihak  Sumedang  akan  menyerahkan wilayah antara Batavia dan Indramayu kepada V.O.C. Maksud penyerahan itu adalah supaya V.O.C menutup muara Cipamanukan dan pantai utara sehingga bisa mencegat tentara Banten.

Sikap cerdas Pangeran Panembahan ini sesungguhnya memanfaatkan kekurangpahaman pihak  V.O.C  mengenai  wilayah.  Sesungguhnya,  wilayah yang diserahkan Pangeran Panembahan itu  sudah menjadi milik  V.O.C yang merupakan pemberian Amangkurat I sebagai kompensasi atas bantuan V.O.C, sebagaimana tertuang dalam perjajian tanggal 25 Februari 1677 maupun 19-20 Oktober 1677.

V.O.C menerima tawaran Pangeran Panembahan itu karena dalam hal menghadapi Banten ada kepentingan yang sama. V.O.C pun selalu mendapat gangguan   dan  ancaman   dari   pihak  Banten.VOC   segera   mengamankan Karawang    dan    menghalangi   mamsuknya   pasukan  Banten. Pangeran Panembahan pun leluasa  memperkuat  kedudukan  dan  pemerintahannya  di Sumedang.

Guna  menghalau  serangan  Banten pun  Pangeran  Panembahan mengadakan  kerja  sama  dengan  Kepala  Batulayang  yang  bernama Rangga  Gajah  Palembang,  cucu  Dipati  Ukur.  Pangeran  Panembahan  berpendapat bahwa  Batulayang  akan  membantunya  melawan  Banten   dan   Mataram, mengingat kakeknya dulu dihukum mati oleh Mataram.  Selanjutnya Pangeran Panembahan  pun  menguasai  Ciasem,  Pamanukan,   Parigi  dan  Karawang. Penguasa  di daerah-daerah  itu  pun  diganti oleh  orang-orang  yang  berpihak kepada Pangeran  Panembahan.   

Menyusul  kemudian,   takluk   juga   kepada Pangeran Panembahan daerah Indramayu. Dengan demikian,  seluruh daerah pantai utara dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Ini dijadikan Sumedang sebagai  daerah  penyangga  yang bisa  melindungi Sumedang  dari serangan musuh.

Saat  Pangeran  Panembahan  sibuk menaklukkan  daerah  utara,  pihak Banten memanfaatkan momentum ini untuk menyiapkan serangan ke Sumedang. Sultan Banten mendapat bantuan dari dua orang bekas tawanan Trunojoyo dan bupati  Bandung,  Tunenggung Wiraangun-angun.  Tidak  hanya  Bandung,  Sukapura dan Parakanmuncang pun membantu Banten. 

Mengetahui persiapan Banten seperti itu, V.O.C pun mempersiapkan pasukannya di daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya yaitu di daerah antara kali Cisadane dan Citarum, juga antara Batavia dan Indramayu. Dengan demikian, Sumedang pun terlindungi baik dari arah barat maupun utara.

Akan tetapi di luar dugaan, pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak menuju Sumedang tidak melalui utara, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan V.O.C, yaitu Maroberes atau Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor. Pasuukan Banten yang lain menuju  Sumedang  melalui  Tangerang  ke  Patimun. 

Pada  awal  Mei 1678 wadyabalad  Banten  telah  sampai di  Sumedang.  Kota  Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan  Sumedang,  pasukan  Banten  tidak  berhasil  menguasai ibu  kota Sumedang.

Bertepatan dengan waktu penyerangan pasukan Banten ke Sumedang, di ibu kota Banten sendiri sedang konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya,  Sultan  Haji.  Untuk menghadapi  perlawanan  Sultan  Haji,  Sultan Ageng Tirtayasa kekurangan tenaga, sehingga pasukan Banten yang berada di Sumedang dipanggil pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten. 

Pasukan Banten tidak  begitu  saja  bisa  meninggalkan Sumedang,  karena  pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Kejadian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Senapati Inga Laga tewas di  medan  pertempuran.15 Pasukan  Sumedang  tidak  hanya  berhasil mengusir  tentara  Banten,  tapi juga  berhasil merampas  20  pucuk  senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang. 

Pada saat itu di Mataram pun terjadi pergantian penguasa, Sultan Amangkurat 1  diganti  oleh Sultan Amangkurat  2. Sultan Amangkurat  2 mengirim  utusan bernama Dirapraja ke Sumedang untuk mengontrol dan meminta agar bupati Sumedang tetap setia  kepada  Mataram.  Akan  tetapi Pangeran  Panembahan menolak permintaan itu, Sumedang menyatakan melepaskan diri dari Mataram.

Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678  Kompeni menyampaikan  ucapan  selamat.  Kompeni  pun  berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan  kemudian, yakni  tanggal  19  Juli  1678  V.O.C mengutus Jochem  Michels  ke  Sumedang menghadiahi  senjata dan  mesiu. Saat  itu  pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal V.O.C berakhir. 

Atas kepiawaian Pangeran Panembahan  dalam  bernegosiasi,  pada   tanggal 7 Agustus 1678  Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).

Memanfaatkan  kehadiran  Jochem Michels  di  Sumedang,  Pangeran Panembahan meminta pejabat Kompeni ini untuk membuat pernyataan bahwa Pangeran Panembahan diangkat menjadi raja. Namun Jochem Michels menolaknya. 

Tiga   bulan   kemudian   setelah   pasukan   Banten   mundur,   pada  8 September 1678, Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. 

Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Raden Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan,  ditawan dan kemudian di bunuh, dan kepalanya di bawa ke Banten.

Untuk  menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda, yang merupakan menantu Tumenggung Wiraangun-angun, bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada  akhir bulan Ramadhan   dan  mereka  menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678. Rakyat dan pembesar Sumedang yang sedang berada di Masjid Tegalkalong banyak yang gugur. 

Pejabat Sumedang yang gugur di antaranya : Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria  Santapura, Aria Sacapati,  Raden Dipa, Mas Alom  dan  Nyi Mas Bayun serta Sebagian keluarga  Pangeran Panembahan ditawan,  yaitu :  Raden Singamanggala,  Raden Bagus,  Raden  Tanusuta; sedangkan  Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos dari kepungan.

Atas  kekalahan ini  Pangeran Panembahan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu pada bulan Februari 1679. Sebagai konsekuensi atas kemenangannya, Sumedang dikuasai oleh Banten. Oleh Kesultanan Banten diangkat Cilikwidara sebagai wali pemerintahan di Sumedang dengan gelar Ngabehi Sacaparana. Diangkat menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadireja.

Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramayu tidak lama. Untuk mendapat  bantuan, kemudian beliau  berangkat  ke Galunggung, kerena yang berkuasa  di sana  Demang Galunggung  yang  bernama  Raden  Satjakusumah, adalah  pamannya.  Ia  adalah  cucu Prabu Geusan  Ulun.  Di  Galunggung  ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, bupati Parakanmuncang. Di Galunggung  Pangeran  Panembahan berupaya  menyusun  pasukan seadanya.
Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup,  kemudian  Tumenggung  Tanubaya  menyerang  Sumedang. Tanpa  perlawanan yang  berarti Sumedang  dapat  dikuasai  kembali  oleh Pangeran Panembahan, Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara. 

Pada bulan Mei 1679  Cilikwidara mengacau Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana pun Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang.  Selang 14  hari   kemudian,   Cilikwidara  menyerang Sumedang.  Pangeran  Panembahan  tidak  bisa  mempertahankan kemenangannya. Sumedang  berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai bupati Sumedang, bahkan  lebih  leluasa. Pangeran Panembahan  kembali melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.

Sementara keadaan di Banten sendiri terjadi konflik yang semakin runcing antara Sultan  Ageng Tirtayasa dengan anaknya,  Sultan  Haji.  Konflik  itu  bahkan sampai  konflik  bersenjata. Karena  terdesak,  akhirnya  Sultan Haji minta bantuan VOC untuk mengalahkan ayahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh VOC. Seperti sudah biasa setiap bantuan VOC selalu disertai kompensasi berupa  monopoli perdagangan dan  penguasaan wilayah.  

Selain  itu, bantuan VOC   kepada  Sultan  Haji  pun  disertai  permintaan  supaya  Banten tidak mengganggu Cirebon dan  Sumedang.  

Oleh sebab itu Tjilik Widara dipanggil oleh Sultan Haji. Dan Bulan Oktober 1680 Tjilik Widara atau Ngabehi Satjaparana harus meninggalkan Sumedang. Barang-barang hasil rampasan dari Sumedang harus dikembalikan lagi dan kalau mau selamat harus pulang ke Banten, oleh sebab kalau tidak begitu Sultan Haji tidak menanggung terhadap jiwanya Tjilik Widara dan pasukannya.

Cilikwidara meninggalkan Sumedang pada awal September tahun 1680 dan baru sampai di Banten tanggal 14 Oktober 1680. Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan Sumedang.

Dua tahun lamanya Sumedang diduduki oleh pasukan Banten yang merusak tatanan masyarakat Sumedang. Pangeran Panembahan yang selamat dalam peristiwa penyerangan mesjid Tegalkalong dan berada di Cirebon, meminta ijin kepada Kompeni Belanda untuk kembali lagi ke Sumedang, Pangeran Panembahan lalu pulangnya diantarkan oleh kapten Joachim Michiefs. Ini kejadiannya tanggal  27  Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang, dan Pangeran Panembahan memerintah lagi di Sumedang.

Ibukota yang dirusak oleh pasukan Banten dibetulkan lagi oleh Pangeran Panembahan. Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran Panembahan  berinisiatif  membentuk  lasykar penjaga  keamanan  yang  disebut Pamuk.  Pasukan  ini  terdiri  atas  40 orang terpilih. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlu mendapatkan bantuan pengamanan. 

Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah  sawah  semakin  luas.  Sebagian dari  sawah  itu  dijadikannya  sebagai carik atau bengkok bagi para pamuk. 

Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa.
Pangeran   Panembahan  pun  menata  kembali  Sumedang.  Ibu kota kebupaten  pada Awal   Mei  1681  dipindahkan  dari  Tegalkalong  ke  kota Sumedang  sekarang.  

Mengenai pemindahan ibukota tersebut diceritakan, bahwa Mintaraga diperintahkan untuk mencari lokasi oleh Pangeran Panembahan, untuk memindahkan ibukota Tegalkalong ke tempat yang sekarang dalam tahun 1709. Di  kota yang  baru  itu  telah  ada  kira-kira  70  rumah.

Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria  Santapura, Aria Sacapati,  Raden Dipa, Mas Alom dan para suhada lainnya  adalah yang berjasa ketika peristiwa di Mesjid Tegalkalong, menyelamatkan Pangeran Panembahan dari kepungan musuh. Namun sayang makam Pangeran Tumenggung Tegalkalong tidak terawat, perlu direnovasi mengingat jasanya untuk pangeran Panembahan yang tak lain adalah cucunya, karena Tumenggung Tegalkalong pangeran Bungsu putra prabu Geusan Ulun yang berumur panjang, hingga diakhir hayatnya darah bersimbah di Peristiwa Idul Fitri di Mesjid Tegalkalong. 

Allah Subhana Watalla berfirman dalam Al quran Surah Al Baqarah ayat 154 berbunyi: "Wa la taqulu liman yuqtalu fi sabililloohi amwatun. Bal ahya’un walakin la tasy’urun."  Yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, karena (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi engkau tidak menyadarinya.”

Sementara Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah hadis Nabi: "Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid." (Hadist Rosul Abu Dawud)

Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah bersabda: "Siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid), meskipun ia tidak mendapatkannya." (HR. Imam Muslim)



Silsilah Dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedag (Ratu Inten Dewata)
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih  / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata  I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji  
1.3 Deman Watang 
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh 
1.6 Santoan Awi Loear 

Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya  (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra : 
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I 
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede 
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana 
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati 
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang 
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda 
1.1.9 NM. Rangga Wiratama 
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara 
1.1.11 NM. Rangga Pamade 
1.1.12 NM. Dipati Ukur

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong 

1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipaku

Generasi ke-3
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong, berputra :
1.1.14.1 Nyi Mas Raja Koesoemah. 

---------------
Ditulis kembali oleh : Dedi Kusmayadi Soerialaga, Kamantren Bidang Sejarah Keraton Sumedanglarang.

Sumber Bacaan :
1. Sasakala Nu Ngandung Sajarah di Kabupaten Sumedang, tidak dikethui penulis naskahnya.
2. R.A. Natanagara, Sejarah Sumedang (Sambungan V.A 1935), hal 1-9.
3. Rd. Asikin Natanagara. 1935. “Sejarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Dugi ka Kiwari“, Volksalmanaksoenda.
4. Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.

Tidak ada komentar

Posting Komentar