Apakah Sama Fungsinya Batu Tajug dengan Batu Gilang, Sebagai Batu Penobatan Raja

Jikalau kita perhatikan antara Batu Tajug Kutamaya dan Watu Gilang, mempunyai kesamaan karakteristik yaitu bentuknya empat persegi Panjang, walaupun Kondsi Batu Tajug lebih kecil.

Pertanyaan :
1. Apakah Batu Tajug Keraton Kutamaya pada waktu itu, hanya berfungsi sebagai Pondasi Tajug keraton Kutamaya saja ?

2. Apakah untuk menobatkan putera mahkota Rd. Angkawijaya, pada waktu itu tidak memerlukan Batu Penobatan Raja selain atribut kebesaran Mahkuta Binokasih dan seperangkatnya kebesaran lainnya yang dibawa para senapati pajajaran dari Kadu Hejo Pandeglang ?

Itulah yang jarang dikupas dalam Sejarah Sumedang dimasa Penobatan Prabu Geusan Ulun




WATU GILANG (BATU PENOBATAN RAJA)


Watu Gilang diboyong oleh Pasukan Maulana Yusuf dari Pakuan ke Banten sekitar tahun 1579. Begitulah beberapa sumber kesejarahan tertulis menceritakannya.

Maulana Yusuf atau Sang Panembahan mendapat amanat agar menjaga Watu Gilang itu oleh kakeknya, Kanjeng Sinuwun Sultan Cirebon Raden Syarif Hidayatullah. Kanjeng Sinuwum beramanat bahwa, Watu Pelantikan itu harus tetap ada disitu, bahkan tidak boleh bergeser. Bila digeser maka Banten akan runtuh.

Kondisi Watu Gilang Kini, ketika Panata KSL Mengidentifikasi Keberafaan Watu Gilang di Surasowan Banten



Tentu saja amanat tersebut tidak main-main, karena di Watu Gilang itulah semua raja raja Sunda mulai dari Sri Baduga Maharaja Siliwangi hingga Raja terakhir di lantik. Batu seukuran sajadah itu adalah simbol sakral kekuasaan Sunda, khususnya keturunan Prabu Siliwangi.

Ada kisah menarik. Konon, Raja pertama Banten, Pangeran Sabakingkin atau Maulana Hasanudin, pada usia sekitar 9 tahun dilantik di atas batu itu oleh buyutnya, Sri Baduga Prabu Siliwangi [?]. Disaksikan oleh Panembahan Cakrabuana, keluarga besar dan Bares Kolot Kerajaan Sunda, serta 35 Ulama Islam yang ikut dalam rombongan Sinuwun Rd. Syarif Hidayatullah. Dapat dipastikan waktu itu pada masa kepemimpinan Prabu Surawisesa

Pangeran Sabakingkin dibawa dari Cirebon oleh ayahnya ke Pakuan melalui jalur sungai sebelum menuju ke Banten. Itulah pertama kali Pangeran Sabakingkin berkunjung pada buyut dan dikenalkan pada saudara dan kerabatnya di Pakuan, sebelum akhirnya di bawa ke Banten.

Acara itu adalah rangkaian perjalanan Pangeran Sabakingkin yang konon akhirnya belajar dan berguru ke Para Ajar selama tujuh tahun di Pulosari. 35 ulama tersebut konon ditugaskan untuk menyebarkan ajaran Islam di Banten yang berpusat di sekeliling Gunung Pulosari Pandeglang

Kembali ke Watu Gilang di Banten, untuk melaksanakan amanat kakeknya, Panembahan menugaskan khusus kepada seseorang yang paling ia percayai untuk menjaga dan merawat Watu itu. Sang Penjaga adalah orang yang sama yang memimpin pemindahan Watu Gilang dari Pakuan ke Banten.

Tak tanggung, jabatan sang Penjaga disejajarkan dengan Panglima dan bergelar Panglima. Ia mempunyai pasukan khusus untuk menjaga Watu Gilang itu.

Setahun setelah Watu Gilang disimpan di Banten, Panembahan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580. Sejak itu Watu Gilang dipakai untuk melantik Sultan Banten hingga Sultan Abul Fath Abul Fathi atau Sultan Ageng Tirtayasa.

Awal fungsinya Watu Gilang bukan sekedar untuk melantik para Raja, namun tempat bertafakur Sultan Banten ketika hendak mengambil keputusan tentang negara dan rakyatnya.

Pada waktu kepemimpinan Sultan Ageng tahun 1596, fungsi Watu Gilang itu berkurang. Sang Sultan tidak lagi menggunakan batu itu sebagai tempat bertafakur untuk mengambil keputusan. Walau demikian batu itu tetap disakralkan dan dijaga oleh Sang Penjaga.

Batu itu memang tak pernah bergeser namun terjadi pergeseran nilai. Sang Sultan beserta Penasihat Istana memilih bermusyawarah di Darpragi yang berada tak jauh dari Watugilang setiap akan mengambil keputusan dan kebijakannya, tidak lagi di Watu Gilang.

Tak lama dari masa itu Banten diterpa banyak masalah kenegaraan, mulai dari ancaman Belanda hingga perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh putranya, Sultan Haji Abu Nashr, yang berhasil di pengaruhi oleh Belanda dan berkuasa 1583 - 1587 Masehi. Setelah itu Banten dibawah kekuasaan Belanda.

Itulah barangkali makna simbolik "Bila digeser maka Banten akan runtuh". Secara fisik Watu itu memang tak pernah digeser, namun secara fungsi telah bergeser.



SEKILAS KERAJAAN SUMEDANG LARANG MASA PANGERAN SANTRI HINGGA PRABU GEUSAN ULUN

Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kelak Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata puteri dari Nyi Mas Patuakan. Setelah Nyi Mas Patuakan wafat digantikan oleh puterinya Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata (1530 – 1578). Pada masa ini pengaruh Islam bergitu kuat menyebar di Sumedang.

Putra Pangeran Palakaran yaitu Pangeran Santri datang ke Sumedanglarang untuk menyebarkan agama Islam melanjutkan tugas ayahnya.

Pangeran Santri dalam penyebaran Agama Islam mengenalkan Seni Gembyung sebagai media dalam mensyiarkan agama Islam. Pangeran Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan budaya sehingga tradisi adat istiadat masyarakat tetap berjalan tanpa menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya.

Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata setelah menikah bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578), yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530) Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati dan Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang baru, sampai sekarang di sebut situs Kutamaya, yang sebagian masih merupakan tanah sawah wakaf Yayasan Nadzir Wakap Pangeran Sumedang.




PANGERAN ANGKAWIJAYA / PRABU GEUSAN ULUN

Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, dikaruniai enam putera, yaitu :
  1. Raden Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
  2. Kyai Rangga Haji. 
  3. Kyai Demang Watang. di Watang (Dalem Watang perbatasan Indramayu - Sumedang)
  4. Santowan Wirakusumah (Dalem Pagaden – Subang)
  5. Santowan Cikeruh.
  6. Santowan Awi Luar (Pangeran Bungsu).

Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk Sumedang. Melemahnya Pajajaran akibat serangan Banten beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten dan kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka.

Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang, maka berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi, tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan.

Ratu Inten Dewata mengangkat Gajah Lindu menjadi Patih, Sutra Bandera, Sutra Ngumbar diangkat menjadi panglima perang, Aji Mantri diangkat menjadi Jaksa Agung. Pangeran Santri menerjemahkan ayat-ayat Qur’an kedalam bahasa Sunda, selain itu menerjemahkan sastra-satra padalangan (Jawa-Cirebon) ke dalam bahasa Sunda, sebagai media syiar Islam.

Pada fase ini, Pajajaran runtuh pada tahun 1579 M, akibat diserbu tentara gabungan Banten Cirebon. Kandaga Lante Pajajaran Jayaperkasa, Dipati Wirajaya, Pancarbuana, dan Terongpeot, diperintah Prabu Surya Kancana agar menyerahkan mahkota Binokasih lambang kebesaran Pajajaran kepada Pengagung Sumedang larang. Pasukan berkuda melintasi daerah hutan Bogor, dihadang oleh pasukan Senapati Banten, terjadilah pertarungan seru. Pasukan Jaya Pekasa lolos dari kepungan, singgah di Galuh Limbangan berunding dengan Prabu Wijaya Kusumah yang dipertuakan oleh pengagung Pajajaran.

Ke 4 Kandaga Lante Pajajaran mempertimbangkan rencana penyerahan Mahkota Binokasih, diserahkan kepada Sumedang Larang atau kepada Cirebon. Atas pertimbangan Prabu Wijaya Kusumah, mahkota lambang kebesaran Pajajaran diserahkan kepada Sumedang Larang.

Sebelum menyerahkan Mahkota Prabu Wijaya Kusumah berunding dulu dengan Gajah Lindu, Sutra Bandera, Sutra Ngumbar, dan Aji Mantri yang sedang berada di Cisurat. Kandaga Lante Pajajaran memenuhi nasihat itu, berunding di Cisurat (Wado) untuk menentukan hari peneyerahan Mahkota tersebut. Setelah Kandaga Lante menyerahkan Mahkota Binokasih kepada Ratu Inten Dewata, kemudian diangkat menjadi Senapati memperkuat angkatan perang Sumedang Larang.

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradi Jaya (Nangganan), Sangyang Kondang Hapa, dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371).

Mahkota tersebut kemudian di serahkan kepada penguasa Sumedanglarang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601), sebagai Nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” Artinya : "Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan".

Di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat "batu bekas Pondasi Tajug Keraton Kutamaya", atau yang dikenal 'BATU TAJUG", dari beberapa floklore masyarakat dan tulisan Sejarah Sumedanglarang mengungkapkan Batu Tajug atau Batu Pangsujudan Raja di Kutamaya, digunakan ketika putra mahkota dinobatkan menjadi Raja Nalendra penerus estafet Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Sumedang larang. Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, yang masih putra dan kekuarga Prabu Nusiya Mulya Surya Kencana (Prabu Pucuk Umun Pulosari) (Klik disini)


Salam Santun.

Penulis : Dedi E Kusmayadi Somaatmdaja, Panata KSL Bidang Kamatren Budaya

Sumber :
1. Blog Napak Tilas Kerajaan Sumedang Larang, diakses tanggal 12 desember 2019.
2. Copas tulisan Fb Hadi Kusuma (Ajengan Hadi yang pernah jadi pengurus Yayasan Nadzir Keluarga Banten)
3.  Sejarah Kerajaan Sumedanglarang, dari Medar Buku Waruga Jagat Sumedang 

Tidak ada komentar

Posting Komentar