UPAYA PENYELAMATAN LINGGA PURUSHA DAN NGALINGGA DI PUNCAK MANIK GUNUNG AGUNG TAMPOMAS








Pada tanggal 17 dan 18 Agustus Paguyuban Tangtungan Insun Medal Madangan mengadakan memasang boeh larangan merah dan kuning yang kemudian dipagar dengan kain Putih ukuran 2 x 2 m2 sebagai pembatas Lingga Purusha di Puncak Manik Gunung Tampomas, sebagai antipasifasi pada pengrusakan Cagar Budaya Peradabana Medang Kahyangan / Medang Kamulyaan dan dilanjutkan dengan Acara Nga-Lingga pada hari rabu kliwon, dimana rabu merupakan poros tengah dalam 7 hari yang jatuh pada tanggal 28 Agustus 28 Agustus 2019. 



Kegiatan Ngalingga Di Gunung (Agung) Tampomas. 
Tema : Ritual Adat Ngaliwon, Tantungan Insun Medal Madangan Kerjasama dengan Keraton Sumedang larang 28 Agustus 2019.
=======================================
tangtunganinsunmedal@gmail.com
Mayor Abdurahman 59 Sumedang.




Masalah Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke-4 menyatakan Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

1. DASAR PEMIKIRAN
Perkembangan budaya suatu masyarakat saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah budayanya. Setiap masyarakat memiliki sejarah budaya yang beda yang menyebabkan satu sama lain memiliki ciri yang berbeda. Peran sejarah budaya dapat dikatakan sebagai pembentuk watak dan kepribadian yang bersifat khas, selain menjadi salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan selanjutnya.

Gerak langkah dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. pengetahuan mengenai sejarah budaya amatlah penting bagi setiap warganya, khususnya bagi kelompok generasi muda yang menghuni di wilayah tersebut. Dengan mengenal sejarah budaya berikut peninggalan–peninggalannya akan menjadi pengetahuan tentang masyarakatnya dan juga pembentukan kepribadian yang sesuai dengan budaya masyarakatnya. Pengetahuan tersebut pada masa lalu dituturkan dalam bentuk cerita atau dongeng berkenaan dengan lingkungannya. Saat ini pengetahuannya diajarkan secara formal maupun melalui berbagai informasi media masa secara nonformal. Dengan demikian, pengetahuan sejarah budaya semakin menyebar dan menjadi pengetahuan bersama.

Masyarakat Conggeang, Buah Dua dan Tanjungkerta, secara administratif menjadi bagian masyarakat Sumedang. Dilihat dan kewilayahannya, Gunung Tampomas sebagai perbatasan antara arah kecamatan Buah Dua dan Subang ternyata banyak keunikan. Selain bentangan tanah yang subur, dengan sumber air yang cukup, juga struktur tanah yang satu sama lain saling bervariasi. Selain terdapat  wilayah pesawahan dan perkebunan, terdapat pula wilayah perbukitan dan pegunungan yang berbatu yang bagi sebagian orang dipandang misteri.

Posisi strategis  dan keunikan geografis, maka bukan tidak mungkin sejarah budaya masyarakat sekitar Gunung Tampomas memiliki jalan khusus yang bilamana diteliti akan membuka pengetahuan baru. Hal ini tampak dari banyak fenomena hasil observasi dan wawancara dengan informan mengenai lingkungan setempat.

1. Nama–nama tempat dan gunung memiliki kaitan dengan masa lalu, seperti Nampak pada nama Gunung Tampomas. Kata Tampomas diduga memiliki kaitan dengan peristiwa penumbalan Gunung dengan sebilah keris emas pada saat akan meletus oleh penguasa Sumedang kala itu. 
2. Masyarakat setempat banyak menceritakan mengenai wilayah yang dianggap sakral atau suci (arhat). Selain sebagai tempat pertapaan juga digunakan oleh sebagian orang untuk melaksanakan ritual khusus sebagai wujud rasa syukur kecintaan kepada Sang Pencipta.
3. Banyaknya bentuk bebatuan yang berukuran besar yang posisinya seperti dibentuk dan disusun berbentuk lingga (lihat photo dibawah pada tahun 1921 pada jaman belanda).


4. Berbagai ukuran batu dengan bentuk yang bervariasi sehingga menyerupai tempat ritual pada masa pra sejarah. 


5. Ditemukan arca-arca berukuran sedang dan kecil yang bersosialisasi pada peningalan peralatan upacara keagamaan pada masa lalu. bentukan-bentukan batu sia-sia bangunan, bahkan banyak pula tersebar berbagi bentukan batu yang diperkirakan senjata dan alat-alat pertanian juga jimat sebagai media perantara ritual masa prasejarah peradaban megalitikum dengan bentukan yang sama dan berulang.



Batu Lingga Purusha berdiri terdapat dua pelataran atas dan bawah, yang mana pelataran pertama digunakan oleh para sesepuh / para Resyi sewaktu acara ritual, pelataran kedua merupakan pelataran generasi lebih muda berkumpul. 

Tak jauh dari tempat tersebut pun terdapat 3 makam kuno dengan 3 bidang trace punden berundak, yang mungkin dulunya tetua resyi yang linuwih yang mengasingkan diri di Puncak Manik atau mungkin juga manusia pra sejarah sewaktu atau setelah banjir global di masa Nabi Nuh a.s (jaman Tirta), karena di sekitar gunung karangnya dahulu sering ditemukan kerang laut yang telah menjadi fosil. 

Berdasarkan hasil observasi dan temuan artefak dilapangan meyakinkan lintas budaya di Puncak Manik Gunung Agung Tampomas telah diangkat dari diskusi dan masukan dengan para pakar budayawan seperti : Prof. Jakob Sumardjo dari UPI dan Dr. Cahya dari Antropologi Budaya ISBI, sejarawah Prof. Nina Herlina Lubis dari Unpad, arkeolog Lutfi Yondri dari Balai Arkeologi Bandung, Prof. Bagyo Prasetyo juga sebagai ahli budaya prasejarah zaman megalitikum dari arkeologi Nasional, sangat respon dan memberi dukungan dan didasari tentang pentingnya pendokumentasian artefak di situs Puncak Manik Tampomas, sesegera mungkin sebelum rusak atau hilang.

Dengan berbagai temuan dan fenomena lingkungan alam yang ada di wilayah Tampomas kini menjadi daya tarik bagi sebagian ahli arkeologi untuk melakukan penelusuran dan penelitian mengenai kemungkinan hal itu sebagai peninggalan-peninggalan sejarah budaya. Berbagai situs dan artefak yang ada diduga memiliki kaitan dengan gambaran kehidupan manusia di Zaman prasejarah. Tepatnya artefak-artefak menjadi bukti adanya kehidupan manusia ketika zaman masa berburu yang bertempat tinggal saat itu di gua-gua. Upaya menelusuri dan memahami fenomena peninggalan sejarah budaya masyarakat sekitar Gunung Tampomas masa lalu, pada satu sisi menjadi pengetahuan baru tentang sejarah budaya masyarakat sekitar Gunung Tampomas dan sisi lain menjadi bahan pengetahuan dan pembelajaran bagi generasi muda.

Dengan pengetahuan baru dikemungkinan para generasi muda semakin menyadari posisi dan peranannya untuk melesarikan, mempublikasikan peninggalan budaya nenek moyangnya. Lebih dari itu generasi muda akan mengembangkan budaya masyarakat Limbangan secara kreatif di masa yang akan datang.

Dengan dasar perihal tersebut di atas, maka Paguyuban Tangtungan Insun Medal Madangan bekerja sama dengan Keraton Sumedang Larang, menggagas sutu bentuk penyelamatan kekayaan negeri Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam hal sejarah serta budaya di Jawa Barat khususnya Puncak Manik Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang dengan upaya mengangkat kembali budaya yang telah hilang itu dalam “ACARA NGALINGGA DI GUNUNG (AGUNG) TAMPOMAS dengan Tema : RITUAL ADAT NGALINGGA – NGALIWON”, yang didukung oleh berbagai komunitas, Paguyuban Kasundaan, Padepokan, pemerintah serta masyarakat setempat yang turut mendukung terangkatnya kemali sejarah budaya dan peradaban Sumedang, selain itu diharapkan menjadi Pengikat Persatuan dan Kesatuan Bangsa demi keutuhan Negara Kesatuan Repulik Indonesia.


Sejarah Singkat Batu Lingga Purusha Gunung (Agung) Tampomas
Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agu(ng), nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu pa[h]tih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang. Gunung Cupu Bukit Tanporasih, ma(n)dala Tanpo Waha[n}nan, sri gina bukit Manghening, Pata(n)jala pané(n)joan. Artinya :  Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang. Gunung Cupu Bukit Tanporasih, mandala Tanpo Wahanan sri gina bukit Manghening, Patanjala tempat memandang. (Manuskrip Carita Ratu Di Pakuan)

Keberadaan Batu Lingga yang berbentuk persegi menyerupai kubus tersebut tentunya tidak terlepas dari sejarah peradaban para leluhur di masa lalu, menurut cerita dahulu Gunung Tampomas lebih dikenal dengan sebutan Gunung Agung atau Gunung Gede karena mungkin merupakan gunung terbesar di wilayah Sumedang yang dahulu disebut Medang Kamulyan / Medang KaHyangan. Medang Kamulyan atau Medang Kahyangan sendiri mengandung makna bersinergi Sang Maha Tunggal dan dengan Alam, karena semua unsur kehidupan terdiri atas : Tanah, Api, Air dan Udara, dimana gunung dianggap sebagai puncak tertinggi (Puncak Manik) dengan Sang Maha Pengendali Alam.


Sebagaimana umumnya peradaban gunung di masa lalu seperti gunung-gunung lain pada zamannya Gunung Agung Tampomas pun memiliki peranan penting bagi perkembangan peradaban manusia yang hidup di wilayah Medang KaMulyaan / Medang KaHyangan, kala itu sesuai keyakinan dan kebudayaan yang ada dimana gunung menjadi salah satu tempat yang disakralkan dan diagungkan di mana tentu saja banyak tempat ritual keagamaan kala itu dipusatkan di puncak-puncak gunung dengan batu-batu baik alami atau pun disusun sebagai ciri Kabuyutan tempat ritus keagamaan jaman megalitik. Dan Batu Lingga Purusha adalah salah satu peninggalannya, pada jaman Animisme menjadi Batu Altar atau Batu Pangunggahan (tempat memanjatkan puja dan persembahan) dan pada zaman Pemujaan nenek Moyang batu ini dahulu berfungsi untuk tempat meletakan "Patung Puncak Manik" pada saat upacara Pamujan Agung dimana manusia kala itu duduk melingkar di sekeilingnya.

Seiring perkembangan zaman diperkirakan sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi, Batu ini digunakan sebagai Lingga Purusha (Pusat) pada Ritual Adat Ngalingga (ngaliwon) pada Hari Rabu Kliwon di bulan ke-12 Hijriyah seperti yang tercatat naskah kuno Mamuskrip Pakuning Alam yang menyebutkan keberadaan ke-12 Gunung yang melambangkan hitungan bulan Hijriyah yang berjumlah 12 bulan, dan Gunung Agung Tampomas melambangkan bulan ke-12 yaitu Bulan Zulhijah, oleh karena itu bulan tersebut disebut bulan Rayagung dari kata Raya-Agung yaitu merayakan Hari besar (Rabu Kaliwon) yang berpusat di Puncak Manik Gunung (Agung) Tampomas.

Berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya seperti Upacara Kuwera Bakti bagi Masyarakat Sunda Pesisir di Ujung Barat Pulau jawa, Hajat laut di wilayah pesisir lainnya, Seba Agung Salaka Domas bagi Masyarakat Sunda Pegunungan di sekitar Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak – Bogor (dahulu wilayah Kerajaan Sunda) atau Ngertakeun Bumi Lamba bagi masyarakat Sunda sekitar Gunung Tangkuban Perahu (Pura Para-Hyangan Agung), di wilayah Sumedang (Medang Ka-Hyangan) yang dipercaya sebagai pusatnya peradaban oleh karenanya dijadikan wilayah netral yang tidak terlibat pada perseteruan Sunda - Galuh, sehingga dijadikan tempat pelarian para Resi para Ajar yang menjauhi perang dan kekuasaan, maka di wilayah ini ritual adatnya adalah NGALIWON dari kelima Dawuh : Legi (Timur) - Pahing (Selatan) – Pon (Barat) – Wage (Utara) dan Keliwon (Tengah) / Pusat, NGALIWON = musat / mengelilingi Titik Pusat, dan Titik Pusat itu dinamakan Purusha (poros tengah) yang disimbolkan oleh Batu Lingga.

Oleh karena itulah Batu Lingga tersebut dinamakan Lingga Purusha, sehingga ritual NGALIWON ini pun dikenal dengan ritual NGALINGGA yaitu duduk berkumpul mengelilingi Batu Lingga Purusha seraya memanjatkan puja-puji dan do’a serta munajat kepada Sang Pencipta, diyakini ritual ini sudah bernuansa islam karena abad ke-7 Prabu Guru Haji Putih sudah memeluk Islam sebagaimana bisa dilihat pada ajarannya seperti Syahadat Cipaku (Elmu Ka-Cipakuan) dll, tak heran jika kemudian sekarang Sumedang mengangkat sepirit “Sumedang Puseur Budaya Sunda”.


2. MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan NGALINGGA DI GUNUNG (AGUNG) TAMPOMAS Tema : “RITUAL ADAT NGALINGGA – NGALIWON”,  ini akan dilaksanakan dengan maksud dan tujuan :
a. Sebagai upaya menarik perhatian publik akan pentingnya menjaga kesetabilan ekosistem di alam dan usaha penyadaran masyarakat untuk pengelolaan alam sebagai sumber daya dan tempat tinggal yang berkelanjutan.
b. Meningkatkan penghargaan terhadap bumi dengan tidak berlaku semena – mena terhadap alam dimana pun adanya.
c. Tidak membuat situs dan lingkungan alam sekitarnya  rusak dan beralih fungsi sebagai tempat rekreasi sekehendak hati.
d. Menyadarkan kembali Masyarakat akan nilai-nilai situs Cagar Budaya Sumedang khususnya yang terdapat di Gunung Tampomas.
e. Ikut berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan kekayaan negeri dibidang sejarah dan budaya yang beraneka ragam.
f. Meningkatkan apresiasi Masyarakat terhadap situs cagar sejarah dan Cagar budaya dan peradaban Sumedang.
g. Ikut berperan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ikatan sejarah dan budaya.
h. Meningkatkan kunjungan Wisata religi dan wisata alam, khususnya yang berbasis pegunungan dan sejarah kebudayaan.

3. LANDASAN HUKUM DAN KONSTITUSI
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten  dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851).

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168)

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan ke dua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Cagar Budaya yang Dilestarikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 308)

6. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 125) ;

7. Peraturan Bupati Sumedang No.113 Tahun 2008 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda.

8. Perda Kabupaten Sumedang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pelestarian  Bangunan Struktur dan Kawasan Cagar Budaya Kabupaten Sumedang


4. EKSPLORE SEKITAR PUNCAK MANIK GUNUNG AGUNG TAMPOMAS

4.1 Tiga Makam Kuno dilokasi Puncak Manik Gunung Tampomas
Tak jauh dari Batu Lingga Purusha Puncak Manik Gunung Agung Tampomas ada punden berundak-undak yang team TIMM (Tangtungan Insun Medal Madangan) melakukan penelaah terhadap situs dan 3 buah Makam Kuno, entah makam siapa? yang jelas makam tersebut bukan makam Sanghyang Lembu Sampulur II kakaknya Prabu Borosngora dari Kerajaan Panjalu, namun jauh lebih tua dari yang kita telaah dari susunan batu-batu besar Megalitikum di Puncak Manik Gunung Tampomas. Penelaahan terhadap makam tersebut kemungkinan makam ketika setelah pasca banjir Bandang melanda dunia di masa Nabi Nuh a,s. 









Susunan Situs makam Megalitikum di Puncak Manik Gunung Tampomas ini terdiri dari 3 Undak, yaitu :
1. Undakan Pertama merupakan pintu gerbang masuk, dengan tangga undakan tangga dari batu,


2. Undakan kedua merupakan  areal yang lebih luas sedikit daripada areal makam dengan pintu gerbang kedua dengan tangga pendek dari batu ke lokasi areal makam dengan areal lahan kanan-kiri yang cukup, pada sebelah kanan terdapat lubang yang mungkin jaman dahulunya tempat keluarnya air untuk bersuci.






3. Undakan ketiga merupakan Areal Lokasi Makam Kuno, yang luasnya kira-kira 8 x 17 m2, dipagar dengan tumpukan batu-batu besar dan didalam terdapat 3 makam kuno yang bersejajar dan terdapat juga batu kasur.  Namun di lokasi makam terdapat gubuk-gubuk yang kurang memadai sehingga mempunyai kesan dan pandangan mata yang kurang sedap, walaupun fungsinya menyediakan tempat untuk menginap ketika berjiarah di lokasi makam.



4.2 Situs Palinggihan dilokasi Puncak Manik Gunung Tampomas
Lokasi penelaahan terakhir di Puncak Manik Gunung Tampomas ini adalah Situs Palinggihan, areal lokasi ini luasnya kira-kira antar 1250 - 1300 m2, dimana kemungkinan tempat ini merupakan hunian yang menempati di Puncak Manik Gunung Tampomas pada jaman megalitikum, di sini terdapat beberapa Lingga Purusha, dan batu-batu tatapakan bekas bangunan berdiri, sesuai dengan sebutan yaitu Situs Palinggihan (tempat tiinggal).



5. SARAN
Semoga acara ini menjadi agenda tahunan yang dibiayai oleh dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumedang dan Propinsi Jawa Barat,sebagai penyokongnya, dan tak lupa kami ucapkan kepada yang memberikan sokongan dana secara pribadi sehingga terselenggaranya kegiatan ini


-------------------------------------------
Penelusuran dan Penyelamatan Situs Puncak Manik Gunung Tampomas oleh Paguyuban Insun Medal Madangan Sekertariat Jalan Mayor Abdurahman No. S9 Sumedang berkerja sama dengan Keraton Sumedang Larang, 17-18 Agustus dan  28 Agustus 2019.

Tidak ada komentar

Posting Komentar