PENGANTAR
Setelah naskah Sri Baduga maharaja Jayadewata, sang Prabu Siliwangi II, naskah berikutnya yang dicoba untuk ditulis adalah kisah keruntuhan kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M. Suatu kerajaan yang paling stabil di Nusantara berabad abad justru hancur diantara saling berebut pengaruh diantara anak cucu keturunan yang sama.
Sebenarnya sangat disayangkan memang, bahwa kerajaan besar di tanah sunda tersebut tidak meninggalkan jejak sama sekali, karena memang kemungkinan dihancurkan. Politik bumi hangus yang merupakan budaya baru di tanah sunda waktu itu telah melanda wilayah sunda setelah perbedaan keyakinan dianggap sebagai salah satu sebabnya. Meskipun diyakini bahwa hal tersebut bukan karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih mengarah ke perebutan pengaruh di tanah sunda. Karena Sumedang Larang yang telah beragama Islam pun berada di balik kekuatan Pajajaran akhir, dan masih mendukungnya.
Setidaknya ada 3 kekuatan besar yang saling berebut untuk menaklukan pusat kerajaan Pajajaran tersebut. Di barat kesultanan Banten adalah kekuatan yang paling agresif. Sedang di timur pengaruh Cirebon meskipun mulai dominan, tetapi masih tidak banyak berbuat karena salah satu pendukung kerajaan Pajajaran, yaitu Sumedang larang yang masih satu keturunan, masih memihak Pajajaran tersebut. Di wilayah timur lannya, Mataram juga cukup agresif meluaskan pengaruhnya ke wilayah barat.
Kisah keruntuhan dari kerajaan Pajajaran telah diceritakan oleh Naskah Carita Parahiyangan dengan jelasnya. Diawali setelah meninggalnya Sri baduga maharaja Prabu Jayadewata pada tahun 1521 M, seolah dimulainya peperangan antar keturunannya. Penggantinya, Prabu Surawisesa meskipun telah berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya, tetapi mendapat serangan yang bertubi-tubi, akhirnya harus rela kehilangan beberapa wilayahnya, yang menjadi pusat kerajaan, yaitu Banten, yang justru paling agresif dalam berbagai peperangan melawan Pajajaran.
Setidaknya dalam waktu 58 tahun, setelah Sri Baduga Jayadewata meninggal dan 5 penguasa, Pajajaran sebagai pusat kerajaan yang paling stabil selama berabad-abad akhirnya hancur juga pada tahun 1579 M.
Disnilah bahaya politik bumi-hangus, yang sebenarnya bukan merupakn tradisi dari tanah sunda. Karena politik bumi hangus kita harus memulai berbagai hal dari nol. Tidak ada kesinambungan sejarah. Sejarah telah terputus, sehingga generasi kemudiaan disamping selalu memulai dari nol, baik dalam bermata pencaharian ataupun teknologi. Sehingga masyarakat selalu memulai dari nol ke nol. Itulah mengapa politik bumi hangus itu membahayakan.
Kemenangan besar mungkin diraih pada waktu itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya bukan hanya bisa menaklukan bangsa tersebut, tetapi politik bumi hangus setidaknya telah membunuh peradaban. Sehingga peradaban putus, dan bagi orang yang mengenang kejayaan masa lampau justru terjebak pada upaya upaya menampilkan sejarah peradaban dengan cerita cerita tahayul yang tiada masuk akal.
Sesuai dengan tema dari tulisan ini, yaitu mengungkap kembali khazanah sunda yang hilang. Maksudnya adalah khazanah peradaban sunda yang memang sudah terputus dengan peradaban yang aslinya. Upaya upaya mengungkap harus diupayakan melalui keahlian atau minat masing masing. Karena jika semua sudah merasa bahwa harus diungkap tuntas bukan niscaya berbagai jalan yang besar akan kita dapati.
Seperti politk bumi hangus, mematikan pendapat orang juga mungkin harus kita hindari. Biarkan mereka mereka ikut serta dengan berbagai imaginasinya.
Yang penting kita bukan hanya mimpi, karena mimpi hanya dilakukan oleh orang orang yang tidak sadar. Sedang mengungkap atau mengaktualisasikan dengan berbagai imaginasinya, adalah merupakan suatu proses yang berkesinambangunan. Karena bagi para pengkhayal dalam arti yang positif atau bagi para kaum berimajinasi adalah sesuatu hal yang positif, karena berimajinasi, menghayal dan sejenisnya dilakukan oleh orang orang yang sadar. Jadi ada kemungkinan segala imaginasi nya tercapai. Apalagi kita punya nenek moyang si Kabayan, si pengkhayal hebat, tokoh imajinatif yang paling mumpuni, dari kisah imajinasinya saja telah menghasilkan beribu-ribu cerita imajinasi, berpuluh puluh film dan juga sinetron. Tokoh imajinatif yang menginspirasikan banyak imajinatif.
Kembali lagi ke cerita Pajajaran Burak. Sebenarnya bukan tidak meninggalkan jejak, karena mungkin kita kurang serius dalam mencarinya. Mungkin ada jejak, jika kita mencarinya. Karena itu dengan mengungkapkan kembali cerita Pajajaran Burak, berarti kita minimal telah membuat orang terkenang lagi akan peradaban mereka. Jika sudah mengenang berarti nantinya akan membangkitkan berbagai kemauan, ada yang mau mengungkap dengan sejarah, atau ada orang yang sengaja ingin berpetualang untuk mencari jejak jejak peradaban. Atau orang hanya ingin mencari sumber imajinatif mereka dalam mengembangkan ide-idenya.
Karena itu, mudah mudahan tulisan ini menjadi salah satu dari kemauan kita untuk ikut serta dalam mengungkap peradaban sunda yang hilang. Kesinambungan sejarah itu adalah sesuatu hal yang penting. Mempelajari sejarah pada hakekatnya adalah mencari kepribadian suatu bangsa.
Dan setelah menulis naskah ini, penulis akan fokus merevisi tulisan tulisan sebelumnya yang belum selesai. jadi untuk sementara, mungkin belum ada judul naskah berkutnya yang ditulis, karena akan fokus pada perbaikan tulisan tulisan sebelumnya. Tapi itu juga bukan harga mati, jika ada ide baru, mungkin kami akan menulis pengantarnya dulu, dan pembahasaannya dikemudian hari. Sayang memang kalau ide sudah muncul, jika tidak diungkapkan, karena ide kadang muncul secara tiba tiba. dan ide itupun kalau tidak diungkapkan kadang dengan sendirinya hilang atau lupa karena kesibukan keseharian yang kadang sulit untuk diprediksi.
BAB I. PAJAJARAN SETELAH TAHUN 1521 M
Setelah meninggalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata seolah memulai ditiupnya genderang perang antara keturunan sang Sri Baduga Maharaja. Keturunan Raja dari istrinya Subang Larang, mulai menyingsingkan bajunya ketika Pajajaran mulai bekerja sama dengan Portugis. Para pangeran dari tanah sunda yang berbeda keyakinan dengan sang raja mulai mengeksiskan dirinya untuk melawan pusat kekuasaan di Pakuan. Keterikatan persaudaraan seolah terkikis oleh pandangan yang berbeda dalam menyangkut masa depan kerajaan.
Keengganan antar kerabat yang setara masih dalam batas-batas menahan diri untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Hingga muncul generasi kedua, yang nantinya menjadi tokoh yang paling agresif dalam upaya ekspansinya dalam membebaskan Pajajaran dari kerjasamanya dengan Portugis.
Setelah Sri Baduga maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia, dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Pada zamannya mulai ada peperangan antara Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Demak.
Prabu Surawisesa adalah anak raja dari Kentring Manik Mayang Sunda, istrinya yang merupakan putri dari raja sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal dan Prabu Surawisesa ini kemudian menggantikan tahta ayahnya, ketika ayahnya meninggal.
Di istri lain, yang bernama Nyi Subang Larang yang beragama Islam, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mempunyai anak 3 orang, yaitu Pangeran Cakrabuana atau sering juga disebut dengan Pangeran Walangsungsang, yang menjadi penguasa Cirebon, yang kedua adalah Rara Santang, yang menikah dengan bangsawan arab hingga mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga adalah Pangeran Sangara, atau dikenal juga dengan Kian Santang.
Prabu Surawisesa raja Pajajaran dan Pangeran Cakrabuana, penguasa wilayah Cirebon merupakan generasi yang sederajat/setingkat, karena kekerabatannya sangat dekat, statusya masih adik kakak, seolah merasa enggan saling menyerang. Prabu Surawisesa enggan menyerang Cirebon, sedang Pangeran Cakrabuana juga masih enggan menyerang Pakuan Pajajaran.
Meskipun atas desakan kesultanan Demak supaya menyerang daerah-daerah Pajajaran, Pangeran Cakrabuana yang telah bekerja sama dengan Demak, belum berani untuk menyerang daerah-daerah Pajajaran, terutama ketika ayahnya masih hidup.
Hingga datang keponakan mereka, Pangeran Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, yang merupakan tokoh keagamaan dan panglima perang yang paling berpengaruh. Pangeran Syarif Hidayatullah dan kemudian diteruskan oleh turunannya merupakan orang yang paling agesif untuk menguasai Pajajaran. Sehingga seluruh serangan ke kerajaan Pajajaran selalu dalam koordinasi pasukannya.
Pangeran Syarif Hidayatullah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penguasaan pelabuhan-pelabuhan utama Pajajaran. Ia juga adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap penguasaan wiayah wilayah Pajajaran bagian timur. Diawali dengan penaklukan Banten pada tahun 1526 M, kemudian diikuti oleh penaklukan Nusa Kalapa (Sunda Kalapa) pada tahun 1527 M, yang kemudian diganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta sekarang). Ia juga menaklukan beberapa wilayah Pajajaran di bagian timur. Pada tahun 1529 M, pasukannya menaklukan kerajaan Talaga. Raja Talaga, Sunan Parungangsa dan putrinya Ratu Sunyalarang serta menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela masuk Islam. Kerajaan Kuningan juga juga ditaklukannya.
Penguasa kuningan waktu itu, Ratu Selawati menyerah, dan salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat Sunan Gunung Jati, yang bernama Suranggajaya.
Suranggajaya ini kemudian diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan.
Pada masa Prabu Surawisesa yang berkuasa dari tahun 1521 hingga 1535 M, telah banyak kehilangan kekuasaannya. Meskipun ia terkenal seorang pemberani dan sulit ditaklukan, tetapi karena medan yang cukup luas, maka lambat laun wilayah wilayah yang jauh (perbatasan) banyak yang takluk ke pasukan Pangeran Syarif Hidayatullah dari Cirebon.
1. 1 Penaklukan Banten dan Sunda Kalapa
Pasukan Pangeran Hidayatullah untuk menguasai wilayah Banten dan Nusa Kalapa (Jakarta) dipercayakan kepada panglimanya, yang bernama Fatahillah, atau dikenal juga dengan nama Fadhilah Khan.
Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan bernama Arya Burah. Sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut dengan nama Wong Agung Pase (yang setelah meninggal dimakamkan di puncak Gunung Sembung, berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati.
Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Banten juga merupakan salah satu daerah yang perkembangan umat islamnya cukup tinggi di kerajaan Pajajaran selain Cirebon. Disana juga terdapat anak sang penguasa Cirebon berada, Maulana Hasanadiin, disamping masih kerabat penguasa setempat. Ia juga masih turunan pangeran dari kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Penguasa Banten, Arya Suranjaya beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Maulana Hasanudin (1552-1570 M) merupakan putra dari Pangeran Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dengan Nyi Kawunganten, putri penguasa Banten waktu itu, Surasowan. Maulana Hasanuddin oleh kakeknya, Surasowan, ia diberinama Pangeran Sebakingkin.
Surasowan meninggal ketika usia masih relatif muda, dan tampuk kekuasaan diwariskan kepada putra sulungnya, Arya Surajaya, kakak dari istri Syarif Hidayatullah, Nyi Kawunganten. Sedang Syarif Hidayatullah waktu itu diangkat menjadi penguasa di Crebon menggantikan ua-anya, Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang.
Maulana Hasanuddin setelah remaja, memilih menjadi seorang pengajar agama Islam, yang mempunyai banyak santri. Sehingga ia kemudian berkembang menjadi tokoh komunitas islam di Banten, dan masyarakat sering menyebutnya dengan Syekh Hasanuddin.
Maulana Hasanudiin masih sering bekunjung ke tempat ayahnya, Syarif Hidayatullah, yang menjadi penguasa di Cirebon. Mereka sering berdiskusi masalah perkembangan politik dinegeri Pajajaran. Dan upayanya dalam pencegahan terhadap kedatangan pasukan Portugis yang rencananya akan datang tahun 1526 M.
Karena itu ayahnya, Syarif Hidayatullah mulai merencanakan untuk menguasai Banten pada tahun itu juga. Pasukan dari Cirebon akan dipimpin oleh Fatahillah, dan Hasanuddin ditugasi untuk mengkoordinasikan dan memperlancar proses penyerangan tersebut.
Ketegangan dan rencana serangan Cirebon yang dibantu Demak ke Banten, rupanya memperburuk hubungannya dengan ua-nya yang menjadi penguasa di Banten, Arya Surajaya, yang masih setia ke pusat kerajaan Pajajaran, di Pakuan.
Putra Sunan Gunung Jati yang mengikuti peperangan, dan masih keponakan sang peguasa Banten yaitu Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya menjadi Bupati Banten (1526). Dan Setahun kemudian, Fatahillah (Fadhilah Khan) bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Nusa Kalapa.
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri.Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Ditaklukannya pelabuhan utama waktu itu, Banten pada tahun 1526 M, adalah pukulan awal terberat bagi kekuasaan Surawisesa, yang dikuti oleh penaklukan Nusa kalapa (Jakarta) pada tahun berikutnya (1527 M), membuat Pakuan terisolasi dari dunia luar. Sehingga bantuan dari Portugis yang datangpun tidak bisa merapat memberi bantuan karena pelabuhan pelabuhan utama sudah dikuasai oleh pasukan Cirebon – Demak. Sehingga Portugis mengurungkan niatnya untuk membangun benteng di Nusa Kalapa.
Karena berbagai peperangan yang terus terjadi, akhirnya Sang Prabu Surawisesa kemudian melakukan perjanjian dengan pihak Sunan Gunung Jati, yang tidak akan saling menyerang satu sama lain.
BAB II. SUKSESI DI PAKUAN PADA TAHUN 1535 M
Pada tahun 1535 M, Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa meninggal. Dan tahta jatuh ke anaknya Prabu Dewata Buanawisesa atau Prabu Ratu Dewata.
Ratu Dewata bukanlah seorang negarawan yang cakap. Ia kurang mengerti seluk beluk perpolitikan dan pemerintahan. Sehingga kadang kebijakanannya banyak bertolak belakang. Ia kelihatan alim dan berperilaku sebagai Rajaresi. Tetapi kebijakannya justru para pendeta banyak yang menjadi korban.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang egetarian).
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah dengan baik. Tapabrata seperti yang dilakukannya hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan engkau berpura-pura rajin puasa).
Meskipun hidup seperti seorang resi, justru pada zaman Prabu Ratu dewata ini banyak ahli agama / padita yang dianiaya. Dalam Naskah Carita Parahyangan menceritakan hal ini. Seorang Pandita yang sakti dari Sumedang di aniaya, Sang pandita di Ciranjang dibunuh tanpa dosa, dan Sang pandita di Jayagiri buang ke sagara (laut / danau/ sungai besar).
Rupanya penulis kisah kuno ini melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
Tentang Prabu Ratu Dewata dalam Naskah Carita Parahiyangan secara lengkap menceritakan :
Prabu Ratu Dewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat kutukangna, pituin Sunda eta teh.Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang diburuan ageung.Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara, heunteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu Ratu dewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.
2.1 Serangan dari Pasukan Luar ke Pakuan
Pada zaman Prabu Ratu Dewata diuntungkan karena perjanjian yang dibuat ayahnya, Prabu Surawisesa dengan penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sehingga di masanya nyaris tidak ada peperangan yang melibatkan kedua negara secara terang terangan.
Pada masanya perjanjian perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku. Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Tetapi ada sebagian pasukan dari Banten yang merasa kurang puas terhadap isi perjanjian tersebut. Sehingga pasukan banten tersebut kemudian menyerang ibukota Pajajaran, Pakuan. Ada yang mengatakan bahwa pasukan tersebut memang di bentuk oleh Pangeran Maulana Hasanuddin.
Maulana Hasanuddin diyakini membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya.
Dalam menghadapi serangan tersebut, Ratu Dewata beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa, dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.
Dalam pertempuran melawan pemberontak di ibukota tersebut, ada 2 pejabat Pajajaran yang gugur, yaitu Tohaan (Raja) Sarendet jeung Tohaan (Raja) Ratu Sanghiang. Prabu Ratu Dewata berkuasa selama 8 tahun, dan tahaun ke-9, ia meninggal dunia.
BAB III. SUKSESI PADA TAHUN 1543 M
Ketika wilayah Banten, di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin telah berkembang menjadi ibukota dan pusat kekuasaan islam yang terpenting, melebihi saudara tuanya (Cirebon) dimana ayahnya (sunan Gunung Jati) berkuasa. Sehingga Maulana Hasanuddin seolah telah menjadi seorang penguasa yang independen, meskipun ia masih mengakui Cirebon sebagai pusat kekuaasaanya. Karena itu konflik dengan ibukota Pajajaran, Pakuan, seolah telah menjadi kebijakannya yang independen tidak harus menunggu perintah dari ayahnya di Cirebon.
Karena masih terikat oleh perjanjian yang dialkukan oleh ayahnya dan juga diikuti oleh dirinya, sehingga Maulana Hasanuddin tidak bisa menyerang secara terbuka ke ibukota Pakuan. Meskipun komplik tetap ada , dan kadang ia sendiri selalu melakukan serangan mendadak, meskipun secara diam diam. Seperti yang dilakukannya ketika Prabu Ratu Dewata masih hidup.
Sedang dipihak Pakuan Pajajaran, pada tahun 1543 M, terjadi suksesi kekuasaan. Prabu Ratu Dewata meninggal dunia, diganti oleh anaknya yang bernama Ratu Sakti. Dengan demikian, Ratu Sakti merupakan raja yang ke 3, raja yang ia hadapi, dalam masa kekuasaannya di Banten.
3.1 Kebijakan Ratu Sakti (mp. 1543-1551 M)
Dalam Naskah carita parahiyanga kekuasaan Ratu Sakti diungkapkan sebagai berikut :
Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang kaPengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.
Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun 1543 sampai dengan tahun 1551 M. Ia berkuasa di saat yang tiada menentu, ancaman dari Banten dan juga Cirebon, telah membuat masyarakat Pakuan dan Pajajaran pada situasi yang tidak menentu. Ia berbeda pendapat dalam mengatasi pemerintaannya yang tidak menguntungkan itu.
Untuk mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim. Ratu Sakti bersikap sebaliknya, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Di samping lalim terhadap rakyatnya, ia juga membuat perpecahan di kalangan istana Pakuan. Ia dikecam bukan karena kebijakannya saja, tetapi karena ia dianggap melanggar undang undang yang menjadi dasar dalam perkawinan di kalangan istana. Raja telah melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
Setelah diturunkan dari tahta, kemudian para pembesar istana di Pakuan mengangkat Sang Nikalendra atau Tohaan di Majaya.
BAB IV. SUKSESI PAKUAN TAHUN 1551 M
Ketika eksistensi Banten mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin, justru di pusat kerajaan Pakuan sedang mengalami degradasi kekuasaan yang akut. Pada tahun 1551 M terjadi suksesi kekuasaan, karena rajanya diturunkan secara paksa. Sehingga Maulana Hasanuddin menghadapi raja ke-4, dari Pakuan Pajajaran.
Sang Nikalendra atau Tohaan Di Majaya, berkuasa tidak banyak membawa perubahan dalam sikapnya berkuasa. Ia sendiri seolah kebingungan dalam melakukan kebijakannya, malah terjebak pada poya poya. Sedang di lain pihak, Maulana Hasanuddin dari Banten seolah sedang melakukan serang besar besaran ke negeri negeri yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Putra dari maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf telah menjadi panglima perang dari Banten yang saangat ditakuti oleh pasukan pasukan Pajajaran.
Tentang kekuasaan Sang Nikalendra yang berkuasa di pakuan di ceritakan alam Naskah Carita Parahiyangan.
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita.Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borak-borak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.Lilana jadi ratu genepwelas taun.
Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (Banten, Cirebon dan Demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap Poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Pada masanya Maulana Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf.
Prabu Nikalendra banyak mengalami kekalahan dalam peperangan, sehingga Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para panglima dan para prajurit yang ditinggalkan.
Dan ia sendiri meninggal pada tahun 1567 M, dan ia diganttikan oleh anaknya Ratu Sakti, yang berrnama Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Suryakencana atau Prabu Seda.
BAB V. DETIK DETIK AKHIR PAKUAN JATUH (1579 M)
Di akhir Naskah carita Parahiyangan, diceritakan sebagai berikut :
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana (Prabu Nusa Mulya dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana) menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M.
Prabu Surya Kancana atau Prabu Nusa Mulya tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya, sejak Sang Nikalendra, mengalamii berbagai kekalahan dalam peperangan melawan Banten dan juga Cirebon. Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Di akhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan diantaranya ke Cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke Sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusya Mulya mengungsi ke Pulosari, Pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.
Daerah Pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan Sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.
5.1 Suksesi Di Banten tahun 1570 M
Pada tahun 1570 M, Sultan Maulana Hasanuddin meninggal dunia, sehingga kekuasaannya jatuh ke putra sulungnya, Maulana Yusuf. Sulyan Maulana Yusuf sebelum menjadi raja dikenal sebagai panglima yang paling agresif dalam menaklukan wilayah wilayah Pajajaran. Karena itu setelah berkuasa ia kemudian menabuh genderang untuk menguasai ibukota Pajajaran, Pakuan, yang telah ditinggalkan oleh penguasanya sejak tahun 1567 M.
Setelah ditinggalkan oleh penguasanya pada tahun 1567 M, Pasukan syek yusuf sangat sulit untuk menembus ibukota Pakuan tersebut. Ibukota Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sangat tangguh untuk ditembus oleh musuh.
Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Pasukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota pada tahun 1579 M.
5.2 Pajajaran Burak tahun 1579 M
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.
Dalam Pustaka Nusantara, tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
”Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala”
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka). Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan :
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
5.3 Jatuhnya Wilayah Lain
Seperti halnya, Pakuan, yang merupakan benteng terakhir maharajaan Sunda, yang jatuh di tangan kesultan banten pada tahun 1579 M. Wilayah-wilayah lain satu persatu ditaklukan oleh pasukan Banten dan juga Cirebon- Demak.
Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan Cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Di Sumedang larang, Ratu Setyasih atau Ratu Inten Deawata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579 M), meskipun tidak pernah kalah perang dan tidak pernah dikuasai oleh Cirebon, harus mengakui kekuasaan Cirebon dan masuk Islam, meskipun tetap independen, dan tidak pernah dikuasai. Ratu Setyasih kemudian menikah dengan pangeran Santri.
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.
Di Kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Prabu ujang Meni, yang bergelar Maharaja Cipta sanghiyang di Galuh beruasah mempertahankan wilayahnya dari pasukan Cirebon. Tapi karena kekuatannya tidak seimbang, ia bersama putranya yang bernama Ujang ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu Di Galuh Cipta Permana (mp. 1595-1608 M), juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon, dan juga secara sukarela masuk Islam. Demikian juga kerajaan Sindang kasih (Majalengka) dan juga Panjalu.
5.4 Simbol Kekuasaan Pajajaran
Meskipun Syekh Yusuf dan pasukannya dapat menguasai ibukota Pajajaran, Pakuan, tetapi ia gagal dalam mengamankan simbol- simbol kekuasaan dari negeri Pajajaran tersebut. Dari 2 simbol yang bisa dianggap sah menjadi penguasa seluruh negeri Pajajaran, ia hanya bisa menyelamatkan 1 simbol saja, yaitu Palangka Sriman Sriwacana, tempat untuk mensyahkan raja, sedang simbol raja yang berupa mahkota ia tidak dapatkan.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan :
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan mersa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Ada 2 simbol kekuasaan Raja Pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa Pajajaran sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk batu, yang dinamakan Palangka Sriman dan Mahkota Raja.
Maulana Yusuf karena masih merupakan cicit dari Prabu Jayadewata merasa berhak atas lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa Palangka Sriman Sri Wacana ke Banten Surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut mahkota sebagai lambang sah kerajaan Pajajaran.
Dengan berhasilnya menduduki ibukota Pakuan, Sultan Maulanan Yusuf kemudian memboyong benda-benda yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk Singgasana penobatan maharaja Sunda, Batu Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).
Palangka Sriman, yang merupakan simbol tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan Banten oleh Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten karena tradisi politik Sunda waktu itu mengharuskan demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.
Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada Raja Sumedang larang. Mahkota ini diselamatkan oleh empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa Sumedang larang. Sehingga dalam sejarah sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke kekuasaan kerajaan Sumedang larang.
Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
Dengan demikian, meskipun Pakuan pajajaran dapat ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari banten, tetapi karena gagal mendapatkan mahkota, maka Banten tidak pernah bisa menguasai seluruh bekas kerajaan pajajaran, dan justru seluruh eks wilayah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh cirebon dan juga Banten jatuh ke kerajaan Sumedang Larang.
Sumber Tulisan :
- Adeng Lukmantara.
Selanjutnya baca, tulisan saya yang berkaitan dengan "Buraknya Pajajaran"
Tidak ada komentar
Posting Komentar