SEJARAH CIREBON
Alih Aksara dan Bahasa Teks KCR 04
DESKRIPSI NASKAH
Kode dan nomor naskah : KCR-04
Judul naskah : Sejarah Cirebon
Pengarang: tidak ditemukan
Penyalin dan penulisan: tidak ditemukan
Tahun penyalinan: tidak ditemukan
Tempat penyimpanan: Keraton Kacirebonan Cirebon
Asal naskah: turun temurun
Pemilik: Keraton Kacirebonan
Jenis alas naskah: kertas eropa
Kondisi fisik naskah : beberapa lembar di bagian depan robek
Penjilidan : karton
Cap kertas (watermark) : tidak ada
Garis tebal dan tipis : tidak ada
Jarak garis tebal pertama s.d. keenam : tidak ada
Jumlah garis tipis dalam 1 cm : tidak ada
Garis Panduan/blind line atau pensil: ada
Penomoran halaman: tidak ada
Jumlah halaman: 111 halaman
Jumlah baris dalam setiap halaman: 19 per halaman
Ukuran naskah dalam cm (p x l ): 17 x 24 cm
Ukuran teks dalam cm (p x l): 12 x 19 cm
Huruf dan bahasa : Carakan bahasa Jawa Cirebon
Warna tinta : Hitam, Merah
Ringkasan isi cerita dalam teks :
Buku Sejarah Cirebon dari hasil alih aksara dan bahasa ini berasal dari naskah milik Keraton Kacirebonan dengan Kode KCR-04. Naskah kuno ini sangatlah menarik, disamping gaya tulis Carakan Jawa yang lembut juga menggunakan bahasa krama yang cukup tua sehingga ditemukan beberapa bahasa yang telah hilang penggunaannya pada masa sekarang ini (seperti ; wiwini/berputra, lalis/meninggal, nengge, neggih/ialah, dan lain-lian). Di dalamnya dituliskan silsilah Syekh Syarif Hidayatullah dan keluarganya serta merekam banyak kejadian penting setelah mangkatnya Sunan Gunung Jati.
Selain ada perlawanan Datuk Pardun kepada Panembahan Ratu sebagai pewaris tahta karena ingin membalaskan dendam atas kematian gurunya yang bernama Syekh Siti Jenar pada masa Sunan Gunung Jati itu, juga ada Arya Kemuning yang merasa tidak perlu lagi meneruskan mengabdi kepada Cirebon bahkan berkeinginan untuk memisahkan diri dari Cirebon. Ini disebabkan karena ia hanya merasa mengabdi kepada sang guru Syekh Syarif Hidayatullah, namun Panembahan Ratu mampu menundukan kembali Arya Kemuning sehingga ia kembali lagi ke pangkuan Cirebon dengan tekad sepenuh hati.
Juga tercatat suatu peristiwa penting atas musnahnya Nyi Gedeng Pengalang Ngalang / Nyi Dalem Pakungwati di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ia sangat berjasa telah melenyapkan racun ganas dari beruang yang sengaja telah dipasangkan oleh Ki Gedeng Enis dari Mataram dengan maksud untuk mencoba kelinuwihan orang Cirebon sepeninggalnya Sunan Gunung Jati. Atas kejadian itu Panembahan Ratu dan rakyat Cirebon sangat berkabung, namun tak lama posisinya itu tergantikan oleh Nyi Gedeng Pancuran yang merupakan putri Sunan Ampel. Ia tinggal di Cirebon dan menggantikan Nyi Dalem sebagai Tutunggul / Pancer negara yang dapat memberikan rasa tentram bagi masyarakat karena keduanya memang wanita yang merupakan Auliya Allah.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, banyak ia meniru bentuk ataupun system pemerintahan yang pernah dijalankan oleh leluhurnya sebagai warisan moral Kangjeng Sunan. Pada masa Pemerintahan Panembahan Girilaya terjadilah keretakan hubungan dengan Mataram, pada masa ini Belanda mulai berkuasa di Jawa Dwipa yang berpusat di Batavia (Betawi).
Meretaknya hubungan dengan Mataram sampai meninggalnya Panembahan Girilaya pada saat itu, hingga kemudian Kesultanan Cirebon pun atas usulan Banten dan persetujuan Batavia kemudian dibagi menjadi menjadi tiga bagian ; Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Diceritakan juga munculnya kerusuhan-kerusuhan yang timbul akibat adanya ketidak adilah keadilan atau penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Dengan berkuasanya bangsa asing di Cirebon, maka menimbulkan perlawanan-perlawanan dari pihak lain yang tertuju pada pemerintah saat itu. Sehingga timbul pemberontakan ; Syekh Yusuf, Ki Kulur, Ki Serit dan Ki Rangin yang mengatas namakan keadilan.
Ditulis oleh: Ki Tarka Sutarahardja
Tidak ada komentar
Posting Komentar