Situs Batu Panjang Jahim Desa Cibeureum Kecamatan Sukamantri Ciamis

Lokasi Situs Batu Panjang Jahim

Situs Batu Panjang ditemukan di Perkebunan Pinus, Blok Jahim, KPH Majalengka, di perbatasan antara Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Ciamis. Lokasinya berada di Patok 7, Ciapu, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis.

Batu Panjang Jahim terletak di wilayah Dusun Cimara, Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Ciamis.  Termasuk kabuyutan yang keletakannya berada paling utara Kabupaten Ciamis  karena sekitar 200 meter ke arah utaranya lagi berdiri tapel wates kabupaten Ciamis dan Majalengka. Oleh Karena itu  situs ini sering juga dianggap masuk ke Kabupaten Majalengka. 


Situs Megalitkum Batu Panjang Jahim berada di ketinggian sekitar 1080 mdpl. Lokasinya tepat dipinggir jalan lintas desa yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor karena merupakan jalur alternatif yang menghubungkan kedua kabupaten. Ciri kabuyutannya dapat dilihat dari rimbunan pepohonan hutan yang masih tersisa diantara dominasi pohon-pohon pinus, sehingga mudah untuk mengenalinya. 

Keindahan alam sudah terasa manakala akan memasuki kawasan hutan pinus.  Baik dari arah Majalengka maupun Ciamis panorama luas akan terhampar. Di Sebelah utara, ngemplang  daerah Sawah Lega Cikijing dan sekitarnya, dari arah selatan membentang hamparan pesawahan Sukamantri dan sebagian Panjalu.



Situs Bantu Panjang belum banyak diketahui warga dan belum tersentuh penelitian secara khusus. 

Papan nama keberadaan situs tersebut, menurut kuncen situs Batu Panjang  ki Hasidin (50), baru dipasang belakangan ini oleh Perhutani setelah ada beberapa warga yang penasaran dengan keberadaan situs tersebut.


Untuk menjangkau Batu Panjang mudah, pengunjung bisa berhenti di rest area yang letaknya beberapa meter setelah tugu perbatasan Majalengka - Ciamis. Berjarak beberapa meter dari jalan raya, akan ditemukan batu berukuran panjang sekitar 3 meter dengan diameter 40 cm dan bentuk persegi lima. Di bagian ujungnya sedikit runcing dan tergeletak di tanah. ketika naik ke bagian atas, akan ditemukan batu-batu terserak di sejumlah tempat.


Kronologi Sejarah Situs Batu Panjang
Kronologi sejarah pulau Jawa Barat dari tahun 10.000 SM. Dimulai dari munculnya serangkaian kebudayaan maju seperti Gunung Padang, 9500 SM - Kebudayaan Goa Pawon muncul di Bandung, 7500 SM, Kebudayaan Pangguyangan muncul di Sukabumi, 4000 SM , Tahap kedua kebudayaan Gunung Padang, 3000 SM, Kebudayaan Cibedug muncul di Lebak, 2000 SM - Tahap ketiga kebudayaan Gunung Padang, 1000 SM - Kebudayaan Cipari muncul di Kuningan, 800  SM, Kebudayaan Pasir Angin muncul di Bogor, 500  SM - Cipari ditinggalkan, 400  SM - Gunung Padang ditinggalkan. Kebudayaan Buni muncul di Bekasi. Pasir Angin berkembang menjadi peradaban kuno Caringin Kurung.




Jika bentuk batu-batu di situs Batu Panjang hampir mirip dengan batu-batu di situs Gunung Padang, Cianjur. Usia batuannya diprediksi sama atau jaman setelah kebudayaan Gunung Padang Cianjur. 

Kronologis kewilayahan kebudayaan megaltik tercatat dalam sejarah muncul pada jaman Tarumanagara, yang merupakan wilayah bawahan Kerajaan Tarumanagara pada masa  Raja Purnawarwan. Situs batu Panjang  berada di mandala Purwagaluh.



Keberadaan Situs Batu Panjang sudah dikenal sejak lama dikalangan masyarakat sekitarnya. Luasnya sekitar 500 meter persegi berada di kawasan Pegunungan Madati.  Bagi sebagian masyarakat,  pegunungan ini juga disebut Gunung Bitung karena terkait dengan keberadaan Situs Gunung Bitung yang berjarak beberapa kilometer ke arah timur, yaitu di Desa Wangkelang, Kampung Pawijen, Kecamatan Cingambul, Majalengka. 

Gunung Bitung sudah dikenal sebagai situs sejarah peninggalan masa klasik terkait dengan Kerajaan Sunda Galuh Kawali.  

Beberapa literatur, terutama Naskah Pustaka Rajya Rajya Bumi Nusantara menyebutkan bahwa  Gunung Bitung merupakan cikal bakal Kerajaan Talaga.

Sedangkan Situs Batu Panjang Jahim keberadaanya belum dikenal luas. apalagi kandungan sejarahnya. Padahal situs ini konon pernah diteliti, namun entah peneliti yang mana dan dari mana, karena sampai saat ini hasilnya belum tersebar dikalangan umum. 

Maka sampai saat ini, Batu Panjang tetap masih menjadi misteri yang layak untuk terus dikaji dan diteliti.  Secara fisik, apa yang dapat dilihat di kabuyutan ini berupa kumpulan batu andesit berukuran besar dengan bentuk dominan  panjang. Posisinya ada yang berdiri memancang dan rebah melintang, nyaris tak beraturan. Batu-batu panjang inilah yang melatarbelakangi penamaan kabuyutan.

Gugusan bebatuan utama dari situs ini ini berada di cekungan lereng  bukit dengan arah memanjang timur laut – barat daya.  Lebar cekungan itu sekitar 8 meter dan panjangnya menanjak sekitar 30 meter. Ujung bukit yang mengarah ketimur  merupakan bagian  yang menurun, sekaligus sebagai gerbangnya, berhadapan tepat dengan jalan aspal. Sedangkan bagian baratnya merupakan lereng menuju puncak bukit.  

Di jalan masuk situs terdapat sekelompok batu panjang yang bertumpangan. Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Kendang, karena mirip alat musik kendang. Sesungguhnya sebaran batu berukuran panjang dan besar  terlihat cukup banyak di wilayah sekitarnya.  Sepertinya, jika lereng bukit itu dikupas akan tersusun dari bebatuan seperti itu.

Menurut keterangan Pak Shahidin, juru kunci yang sudah bertugas selama 20 tahun, wilayah sakralnya berada di sebelah selatan ditandai dengan kelompok batu yang berciri khusus.  Ciri khusus ini berupa batu yang berdiri tegak setinggi kurang lebih 1,7 meter. Batu ini dikelilingi batu-batu panjang lainnya dengan posisi rebah maupun berdiri dengan posisi lebih rendah. Didekatnya tumbuh Pohon Tanjung, tidak Jauh dari kedua batu itu, terdapat sebuah batu yang juga dikeramatkan karena di dindingnya ada cekung-cekung kecil berjumlah 5 buah yang dianggap masyarakat setempat merupakan jejak kaki maung. Batu Tapak Maung ini tingginya sekitar 80 cm dan berdiameter 50 cm. Bentuknya seperti batang pohon yang terpotong.

Sementara sebaran batu lainnya yang terhampar menurun ke arah timur laut  juga seperti terkondisi membentuk semacam tatanan. Walau terkesan acak-acakan, namun beberapa susunan batu menyiratkan adanya pesan tertentu. Seperti misalnya batu besar yang berdiri tegak di disisi kiri dan kanan Seolah-olah merupakan lawang masuk ke area utama. Terdapat juga batu tegak yang dikelilingi kumpulan batu yang lebih kecil serta batu pasangan yang berdiri miring dan ujungnya saling tertaut membentuk bangun segitiga. Namun menurut saya, beberapa kedudukan batu di atas bukan formasi aslinya.

Hanya, bentuk batuan di situs Batu Panjang sedikit berbeda. Jika di Gunung Padang semua batu berukuran sama, berukuran 60 cm dan tebal 20 cm serta bentuknya yang persegi. Di situs Batu Panjang, batuan ada yang berbentuknya persegi lima. Panjang serta besarnya berbeda satu sama lain.

Panjangnya bervariasi mulai dari 60 cm, 80, cm, sampai 270 cm. Ketebalannya juga bervariasi. Ada batuan yang ketebalan ujung bawahnya 40 - 50 cm dengan ujung atas 20 cm. Namun, ada juga yang ketebalan ujung bawahnya 30 cm dan ujung atasnya 20 cm, bergantung panjang dan pendeknya.

Ada pula batu menhir dan dolmen yang oleh masyarakat setempat disebut batu meja. Batu tersebut punya permukaan datar dengan ukuran kira kita 80 x 50 cm.






Situs Batu Panjang, menurut Hasidin, berada di cakupan sekitar 100 meter persegi (Menurut Perhutani 0,100 ha). Namun, tampaknya area cakupannya lebih luas jika hutan disekitar situs tersebut ditelusuri.

Menurut budayawan setempat, Rachmat Iskandar, di wilayah Majalengka, Kawali, dan Panjalu memang banyak ditemukan bekas peninggalan bersjarah.


Teori Ketika Magma Membeku & Tradisi Megalitikum
Apa yang terlihat di Situs Batu Panjang Jahim, merupakan ciri penting  tinggalan budaya  dari masa megalitikum (megas berati besar, lithos berarti batu). Dalam tradisi megalitikum,  batu yang digunakan dapat berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil, atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit seringkali dipotong atau dipahat terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara tertentu seperti kematian atau masa tanam.

Beberapa ciri budaya megalitikum diantaranya menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus. Selain itu, batu dakon, batu kenong,waruga, batu lumpang pun termasuk ciri Megalitikum. Tidak semua mesti berciri primer batu saja, struktur ruangpun dapat menjadi ciri jaman mgelaitikum seperti punden berundak misalnya. 

Budaya Megalitikum berkembang antara 2500 - 1500 SM.  Masa yang lebih muda disebut Neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan. Di tatar sunda, punden berundak,  batu lumpang, batu dakon dan menhir termasuk paling banyak ditemukan tersebar di berbagai tempat. Situs Megalitikum terkenal yang jaraknya paling dekat dengan Batu Panjang Jahim adalah Situs Cipari di Kuningan dengan keberadaan peti kubur batunya.

Dari gambaran di atas, maka Kabuyutan Batu Panjang Jahim memenuhi unsur tradisi Megalitik. Adanya Menhir dari  Batu yang masih utuh tegak berdiri, dan mungkin dolmen dari susunan batu yang rebah atau bertumpuk, memberi gambaran bahwa pada jamannya tempat ini merupakan wilayah sakral  terutama pemujaan terhadap Hyang (sembah-hyang) dan unsur lainnya yang berhubungan dengan kesuburan.

Batu-batu yang berserakan di Kabuyutan Batu Panjang Jahim ini mirip atau mungkin sejenis dengan bebatuan yang ada di Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pabahanan Majenang Cilacap dan bebatuan di Situs Lebak Sibedug Pandeglang. Situs-situs tersebut secara umum merupakan struktur ruang punden-berundak yang juga didominasi batu-batu panjang.

Kenapa bebatuan seperti itu berada di Gunung Madati? Dari beberapa sumber lisan, menyebutkan bahwa batu-batu panjang tersebut merupakan reruntuhan bangunan kuno. Bisa saja hal itu benar,  bahwa jaman baheula ada bangunan sederhana yang terbentuk dari tatanan batu sebagai pusat ritual, atau memang kabuyutan ini  adalah punden berundak seperti halnya Gunung Padang dan Lebak Sibedug namun  hancur kemudian. Penyebab kehancurannya bisa disengaja atau terjadi secara alamiah.

Karena kemiripannya dengan Batu-batu yang ada di Gunung Padang Cianjur maka kemungkinan besar bebatuan jahim tersebut merupakan batuan andesit berupa stuktur tihang kekar (columnar Joint) yang terbentuk dari proses pendinginan aliran basalt. Pendinginan itu menyebabkan penyusutan, keretakan dan patahan membentuk tihang dengan pola hexagonal. Dari beberapa bentuk yang tidak umum maka tiang-tiang tersebut memiliki 3 hingga 12 sisi. Konon di Indonesia jarang ditemukan dengan bentuk jelas, namun di Situs Pabahanan Cilacap menunjukan sisi-sisi yang jelas. Batuan seperti ini posisinya cenderung berdiri vertikal dan ditemukandi daerah intrusif dangkal atau ektrusif tubuh batuan beku.

Analisa sementara dugaan adanya basalt yang muncul di wilayah Jahim bisa dikaitkan dengan pristiwa meletusnya Gunung Gegerhalang (Gunung Candradimuka) 7000 tahun SM. Gunung ini merupakan priode kedua setelah Gunung Plistosen yang meletus sebelumnya. Dari kaldera di sisi utara Gunung Gegerhalang ini lahirlah Gunung Ciremai yang dikenal saat ini. Ada analisa serupa yang ditulis dalam blog hutanrimbun.wordpress  bahwa Sawah Lega yang terdapat di Wilayah Cikijing merupakan Danau Purba yang terbentuk berbarengan dengan lahirnya Gunung Api Gegerhalang.

Namun ketika Gegerhalang meletus dan melahirkan Gunung Ceremai, danau itu mungkin terkubur material letusan Gegerhalang sehingga terjadi pendangkalan dan berubah menjadi rawa. Danau Purba Cikijing ini membentang dari timur hingga ke barat, di ujung barat dari danau ini mengalir sungai Cilutung dan sebelah selatan mengalir pula sebuah sungai ke arah Ciamis yang sekarang sudah hilang dan mungkin berubah jadi jalan raya Cingambul-Ciamis. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai tempat buangan air dari danau purba tersebut.


Batu Panjang Dalam Kosmologi Kuno
Budaya dan peradaban terus berkelindan. Batu Panjang Jahim pun perkembangannya bersentuhan dengan tradisi budaya megalitikum. Analisa ini dapat dilacak berdasarkan kisah yang disampaikan oleh Kuncen Shahidin yang menyebut nama Nyi Dewi Sri Pohaci sebagai sosok yang disakralkan. Selain itu juga disebutkan  dua figur lainnya yaitu Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Sri Pohaci merupakan sosok yang sudah dikenal luas dalam kosmologi sunda berkaitan dengan asal usul tanaman padi. Kisahnya dapat dibaca dalam pantun Sri Sadana dan Sulanjana.


Sampai saat ini tak ada kepastian sejak kapan pemahaman terhadap Sanghyang Sri Pohaci ini muncul. Namun bisa diduga seiring dengan dikenalnya tumbuhan padi yang diprediksi telah ada sejak 3000 tahun SM di Cina.  Jika itu benar, maka Nyi Dewi Sri Pohaci merupakan simbol artefak yang lahir di Peradaban Purba Nusantara pada masa megalitikum-neolitikum. Sedangkan dua tokoh lainnya secara umum namanya dikenal di banyak kabuyutan sebagai gelaran yang menjadi ciri pada masa sejarah klasik.  Analisa ini semakin tumbuk karena Kuncen Shahidin menuturkan bahwa dua tokoh tersebut memiliki keterkaitan dengan sosok Raden Panglurah dari Gunung Bitung.

Konsep kosmologi Situs Batu Jahim diantaranya dapat ditafsirkan berdasarkan letak geografisnya.  Dari analisa sementara, Google Earth  menunjukan bahwa Situs Batu Panjang Jahim terletak di tengah  empat gunung yang sejak jaman Purba yang merupkan pusat-pusat kabataraan yang sangat disakralkan. Yaitu, Gunung Ceremai di Timur Laut,  Gunung Sawal sebelah selatan, Gunung Cakrabuana di barat dan Gunung Galunggung di arah barat daya.  Lepas  ke utara lagi berhadapan dengan Laut Jawa dan arah selatan ke Samudra Indonesia.  Sedangkan pintu masuknya menghadap timur membujur ke  barat.

Apakah posisi arah mata angin gunung-gunung tersebut memiliki makna? Hal ini bisa dirujuk dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian : 
Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikangdesa kabeh. Desa kabeh ngaranya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba,timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya: daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hideung rupanya; madya, tengah, kahanan HyangSiwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.
Artinya : 
Kalau terpahami semua sanghiyang wuku lima di bumi, tentu (tampak) menyenangkan(keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut : purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaituselatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitamwarnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Yasekian wuku lima di bumi.

Orientasi empat gunung dalam arah kompas ternyata tidak begitu tepat dengan kedudukan arah yang disebutkan di dalam naskah. Namun sebelum mengenal arah Utara-Selatan dalam kompas, bangunan religi megalitikum selalu berpatokan pada matahari dengan arah Timur–Barat, sebagai tempat  terbit dan tenggelamnya matahari. Ini merupakan lambang perjalanan manusia dari lahir (terbit) sampai mati (tenggelam). Dan Inilah pemaham religi tertua yang dapat difahami dari kabuyutan ini. Pada perkembangan religi berikutnya arah Timur  tetap dipertahankan dalam ajaran asli Sunda,  walau kemudian bersinkretis dengan pengaruh Hindu dan Budha.

Dari patokan arah Timur sebagai arah hadap dan barat sebagai arah belakang, maka pembagian arah berkembang  menjadi Hareup-tukang (depan-belakang) dan  kenca-katuhu (kiri-kanan). Jika dikompaskan, maka Timur adalah Hareup, Barat adalah Tukang, Kenca sebagai Utara dan Selatan merupakan Katuhu.  Masing-masing arah memiliki Dewa yang menjaga dengan tugasnya masing-masing. Sedangkan pancernya adalah Gunung Madati. 

Garis segi empat dalam keletakan gunung membentuk bidang jajaran genjang yang memanjang ke arah Gunung Ceremai, jika diimajinasikan bidangini seperti arah mata panah dan diarahkan ke timur sebagai arah hadap utama maka bisa disimbolkan : Hareupna Gunung Ceremai (Isora) belakangnya Gunung Galunggung (Brahma), di kiri Gunung Cakrabuana (Wisnu),  di kanan Gunung Sawal (Mahadewa) dan Gunung Madati ditengah (Siwa).

Jika kemudian ditafsirkan dengan perkmbangan kehidupan di Mandala masing-masing gunung maka akan terlihat benang merahnya. Ceremai merupakan Gunung tertinggi yang dekat dengan Matahari menjadi arah suci tempat kedudukan Dewa Isora yang menyinari kehidupan. Gunung Galunggung yang disimbolkan dengan Brahma dengan gambaran seorang  Maharesi yang usianya melebihi alam semesta.   

Kawasan Kabataraan Galunggung merupakan salah satu puseur religi yang sangat penting dan dihormati oleh kerajaan Sunda dan Galuh. Dari Kabataraan Galunggung banyak dilahirkan pemahaman tentang ajaran keagamaan, dari berbagai naskah kuno yang berasal  dari kawasan ini.

Gunung Sawal disimbolkan dengan Mahadewa. Dewa keluhuran budi, kemuliaan, kepahlawanan dan keperkasaan. Sejarah menulis Kerajaan Galuh yang dirintis Wretikandayun mulai berkembang pesat dari kawasan Gunung Sawal. 

Di salah satu puncaknya Rabuyut Sawal yang memegang kitab Pustakaning Bala Sarewu (kitab strategi perang) membuka padepokan. Sehingga tak salah jika Sanjaya sebelum menjadi  penguasa tanah jawa menggodok dirinya di tempat ini.  

Demikian pula pada periode berikutnya,  dari lembah Gunung Sawal  berkembang pesat Kerajaan Sunda Galuh Kawali yang mampu menandingi kebesaran Majapahit di Timur Jawa. Tercatat tiga orang rajanya yang lahir dan berkuasa di Kawali yaitu Linggabuana, Niskala Wastu Kancana dan Jayadewata namanya mewangi di Nusantara dengan keluhuran, kemuliaan, keperkasaan dan Kepahlawanannya.

Gunung Cakrabuana yang disimbolkan Wisnu seolah  menjadi penengah, pengatur dan pemelihara kehidupan di dunia. Kenyataannya Gunung ini adalah batas dari lima kabupaten yang memiliki sejarah penting di tatar Sunda. Yaitu Ciamis, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya dan Garut.  Sedangkan Siwa yang berkedudukan di Gunung Madati merupakan manifestasi dari penguasa alam madya yaitu manusia dan alamnya. Dialah yang yang bersifat membangun, menghancurkan dan banyak dipuja dikalangan pemeluk Hindu.

Jika arah hadap dikembalikan lagi ke kutub utara, maka dalam  pemahaman  Astadikpalaka (8 dewa penjaga), terkesan kuat Gunung Madati dan Situs Batu Jahim seperti halnya Gunung Mahameru.  Keletakannya menyebutkan bahwa arah timur laut (Gunung Ceremai) merupakan arah yang paling diagungkan.  tempat bersemayam Dewa Isana (Siwa)  yang menguasai kekuatan alam.  Selatan (Gunung Sawal) tempat Dewa Kala/Yama yang berkaitan dengan kematian. Barat (Gunung Cakrabuana) ditempati Dewa Baruna sebagai keluasan tanpa batas yang membersihkan kotoran. Dan baratdaya ditempati Dewa Nrrti (Rudra) yang menyimbolkan kesedihan.

Keempat arah itu mewakili unsur nista, madya utama, bawah-tengah-atas dan profan-netral-sakral. Dari konsep tersebut, dapat ditafsirkan pula bahwa posisi cekungan tempat gugusan batu yang menghadap  timur laut-baratdaya bisa dipresepsikan : timur laut Gunung Ceremai sebagai arah sakral pemujaan. Sedangkan barat laut merupakan wilayah profan (bawah, dasar, awal) tempat bersemayam Nrrti, Dewa Kesedihan.  Maka Situs Batu Jahim bisa disebut  sebagai tempat penyucian. Dari kotor menjadi bersih, dari nista menjadi utama.

Selain Gunung Gegerhalang yang berada di arah timur laut, maka di arah lainnya  berdiri Gunung Sawal, Gunung Cakrabuana dan Gunung Galunggung yang juga pernah meletus pada masanya.  Jadi masuk akal jika akhirnya tersingkap batuan tihang kekar di Jahim karena lokasi ini memang berada di tengah dua gunung api purba yang sudah tidak aktip dan dua gunug api lainnya  yang masih aktif dan juga pernah meletus pada masanya. 


TRI TANGTU DI BUANA
Seperti ditulis di atas bahwa arah hadap pintu masuk yang mengarah ke timur menjadi penentu arah puja situs ini. Dalam pemahaman Sunda, Timur juga identik dengan kehidupan karena arah terbitnya matahari tempat Dewa Isora.  Ini sesuai dengan pemujaan terhadap Sanghyang Dewi Sri terkait dengan kesuburan. Bahkan lebih jauhnya arah timur menjadi konsep penting bagi religi purba masyarakat Sunda yang dikenal memuja cahaya yang disimbolkan dengan matahari.  Seperti gambar manusia kangkang yang dibuat oleh manusia purba di Situs Citapen Rancah juga menghadap ke Timur.

Apabila posisi Gunung Galunggung dihilangkan karena posisinya paling luar,  maka akan terkait dengan konsep tritunggal yang disebut terdiri  rama - resi - ratu, bayu - sabda -hedap, buana larang – buana panca tengah – buana nyungcung.  

Gunung Ceremai yang berada di posisi timur laut menjadi wilayah transisi Dewa Isora (Purwa - yang menyinari kehidupan) di Timur dan Dewa Wisnu (pemelihara kehidupan) di Utara. Konsep Triwarga menyebutkan bahwa dalam kehidupan,  Wisnui barat prabu (Ratu), Isora ibarat Resi. Ratu memiliki tugas memimpin negara dan Resi bertugas mikukuhkeun, manaungi, mengayomi agama

Gunung Sawal di arah Selatan adalah tempatnya Dewa Brahma (Daksina - Dewa Penciptaan) yang diibaratkan Rama (Ayah) yang bertugas mengasuh, menasehati, membimbing Ratu. Sedangkan Gunung Cakrabuana di sebelah Barat menjadi wilayah Dewa Siwa (Pasima - Netral) ditafsirkan sebagai marcapada atau kehidupan itu sendiri. Dan posisi Gunung Madati yang berada ditengah (Pancer) merupakan inti yang mengikat ketiganya, seperti yang terkandung dalam prinsip  tilu sapamalu, dua sakarupa, hiji eta-etakeneh (Ciptagelar).

Dalam Naskah Siksakanda Ng Karesian disebutkan pula bahwa Ratu bakti ka dewata dan dewata bakti ka Hyang, maka posisis Gunung Madati yang berada di tengah (pancer) seolah mengisyarakan sebagai arah hadap dari ke tiga gunung yang ditempati Dewa-dewa diatas. Maka Batu Susun Jahim merupakan Mandala Agung untuk melakukan Sembah Hyang sekaligus gerbang yang menghubungkan Buana larang, Buana Panca Tengah dengan Buana Nyungcung,  wujud pemujaan terhadap Hyang sebagai Tuhan Yang Maha Tunggal. Hal ini semakin  menegaskan bahwa tibaheula urang sunda geus boga Hyang Tunggal nu teu bisa dibanding keunjeung ciptaanana, termasuk dengan panteon dewa sekalipun.


Talaga Renalaya dan Talaga Langarea
Sudah menjadi ciri, bahwa setiap kabuyutan atau pusat kegiatan religi selalu berdekatan dengan sumber air. Baik itu sungai, telaga, kolam, mata air, curug ataupun sumur. Jika Kabuyutan Batu Panjang memang pusat religi, tentu sumber air itu tidak jauh letaknya. Karena gunung dan laut menjadi simbol  penting dalam konsep religi. Setelah menggali keterangan dari beberapa warga setempat, ternyata di kawasan Jahim ada dua telaga yang masih diingat.

Hal itu kemudian dipertegas oleh Kuncen Shahidin. Bahwa Telaga yang pertama tepat berada di samping Kabuyutan Batu Panjang bagian Utara luasnya sekitar 200 bata, mengarah timur barat. Telaga ini terbentuk secara alami karena berada di lembah dan sumber mata airnya sampai saat ini tetap mengalir. Tetapi  karena tak terurus, Telaga atau Kolam besar ini akhirnya mengalami pendangkalan dan ditumbuhi oleh ilalang. Namun, jejaknya masih dapat dilihat. Selokan kecil yang mengalir jernih di depan situs, airnya berasal dari mata air talaga. Kuncen Shahidin masih ingat bahwa dulu tempat itu sering digunakan untuk memandikan kerbau. Malah dipinggir Telaga sebelah barat terdapat makam yang tak dikenal lagi.

Sayangnya, saat saya bersama Ki Shahidin dan anggota Tapak Karuhun (Imank Pasha, Tizi Rakyan, Ridwan Hasyimi, Irvan Kivong dan Mulyo Suprio) mencoba menjelajahi wilayah bekas Telaga ini, tidak berhasil menemukan sumber mata air dan batu yang disebutkan Ki Kuncen karena lebatnya tanaman perdu  disepanjang lembah Batu panjang.   

Keterangan adanya Telaga itu membuka ingatan beberapa tahun silam, saat saya ngobrol dengan seorang sesepuh di desa Cibeureum, bahwa di dekat karamat Batu Panjang Jahim terdapat balong yang cek kolot baheula disebut Renalaya. Mungkin talaga inilah yangdi maksud. Dalam bahasa kawi atau sangsekerta rena berarti ibu dan laya berarti tempat tinggal.

Dalam pemahaman Sunda tokoh indung (ibu) sangat disakralkan bahkan memiliki sifat keilahian, mewakili  aspek kehidupan, ciptaan dan cinta kasih. Hal itu tersirat kuat dalam figur agung Sunan Ambu. Nyi Dewi Sri Pohaci yang dikenal sebagai karuhun Situs Batu Panjang merupakan indikasi kuat adanya hubungan dengan Sunan Ambu.  Pohaci berasal dari kata Pwah Aci  yang berati hakikat keperempuanan. Dan tugas utama Dewi Sri Pohaci adalah pelaksana perintah Sunan Ambu di Buana Panca Tengah untuk melayani manusia.

Telaga kedua terdapat di sekitar 400 meter dari telaga pertama melewati tugu perbatasan kabupaten, lokasinya sudah masuk ke wilayah Majalengka.  Telaga kecil ini masih terlihat jelas walau permukaanya sudah menjadi ranca yang ditutupi rumput. Sumber mata airnya juga masih mengalir dan menggenangi beberapa bagian permukaan telaga. Dipinggir bagian utara terdapat gundukan batu besar yang dulunya dikeramatkan. Sedangkan ditengah telaga terdapat nusa kecil yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Disela-sela pohon pinus ada dua pasang nisan batu  yang jenis batunya seperti di  Batu Panjang Jahim.

Masyarakat setempat masih mengenal tempat itu sebagai balong keramat, walaupun demikian dari beberapa warga yang ditanya, tidak ada yang tahu siapa tokoh yang dikuburkan di tengahnya. Kemungkinan tokoh karuhun lembur atau jangan-jangan kubur dari Mangkubumi dan Langlangbuana. Kuncen Shahidin mengatakan wilayah ini disebut Langarea, yang merujuk pada nama telaga kecil itu.  Sedangkan arti bebas kata langarea adalah sendiri dalam keramaian.  Sayangnya tempat yang masih terasa wingit itu tidak ada juru kuncinya. Nusa mungilnya hanya disambangi para penyadap getah pinus.


Batara Gunung Bitung
Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan  Agama Budha Sarwastiwada  di Gunung Bitung. 

Padepokan Agama Budha terbesar di sunda galuh dan dikenal luas sampai Sumatera. Sudhayosa adalah putra Surya Dewata. Sedangkan Surya Dewata  putra ke tiga dari  Prabu Ajiguna Linggawisesa  dan Ratna Uma Lestari yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh di Kawali pada tahun 1333 M. Sedangkan putra sulung Ajiguna Linggawisesa yaitu Ragamulya Luhur Prabawa  kelak menjadi penguasa berikutnya di Kawali.

Namun dalam keterangan selanjutnya, Shahidi mengisahkan Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana ini konon berasal dari Jawa Tengah dan melakukan perjalanan menuju Panjalu. Namun kedatangannya tidak diterima oleh penguasa Panjalu, mereka akhirnya beristirahat di Batu Panjang. Larangan itu mereka laporkan ke Raden Panglurah di Gunung Bitung.  

Raden Panglurah laporan ke Sanghyang Talaga, dan Sanghyang Talaga laporan ke Cirebon. Akhirnya oleh Cirebon diputuskan mereka berdua disuruh tinggal di wilayah Jahim.  Dan kalau terjadi apa-apa disuruh lapor ke Cirebon. Dalam kisah ini maka Nama Raden Panglurah menjadi simpul penting karena kejelasan asal-usulnya. Dia adalah Putra cikal Prabu Talagamanggung yang tidak berminat menjadi raja, namun memilih menjadi biksu budha di Gunung Bitung.

Kakeknya bernama Rajaguru Darmasuci, adalah putra sulung Sang Sudhayosa. Darmasuci lah  tokoh yang merubah padepokan Budha Gunung Bitung menjadi Kerajaan bercorak Budha Talaga yang pusat pemerintahanya bergeser ke wilayah Talaga. Kerajaan ini  berada di bawah  kekuasaan Sunda Galuh Kawali yang saat itu dipimpin oleh Niskala Wastu Kancana (1371 - 1475 M).  Dari garis keturunan, maka Raden Panglurah adalah sifat cucu Wastu Kancana, karena bao-nya, yaitu Suryadewata adalah adik Ragamulya Luhur Prabawa (Kakek Niskala Wastu Kancana).

Lantas siapakah yang disebut Mangkubumi dan Langlangbuana yang berasal dari Jawa Tengah ini? Kuncen Shahidin menyebutkan keduanya dari sekitar wilayah Jogjakarta atau dari wilayah kekuasaan Mataram. Analisa sementara, kemungkinan kedua tokoh ini merupakan bhiksu atau penganut Budha yang menyelamatkan diri saat daerah jawa dilanda Perang Paregreg  yang berkecamuk tahun 1453 -1456 M. Saat itu Niskala Wastu Kancana dan Darmasuci masih hidup. Namun Kawali sudah dirajai oleh Dewa Niskala. Akibat paregreg, ada Rombongan Raden Baribin dari Majapahit yang mengungsi ke Kawali. Mungkin saja kedua tokoh diatas termasuk dalam rombongan.

Dari kisah Ki Shahidi bisa direkontruksi menjadi sebuah analisa kejadian. Anggap saja ini hanya “meureun dan sugan”. Namun walau demikian susuganan tersebut tetap bersandar dari sekian data yang telah ditelaah di lapangan. Tafsiran saya, bisa saja mereka berdua berniat menyebarkan agama Budha di Panjalu, namun tidak diiizinkan karena perbedaan mazhab. Aliran Sarwastiwada merupakan bagian dari Budha Hinayana yang berorientasi pada tingkatan Arhat Nirwana, sedangkan kedua Bhiksu itu ingin mengembangkan faham budha Mahayana yang berorientasi pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu menjadi budha. Akhirnya mereka meminta tolong pada Raden Panglurah sebagai sesama penganut agama Budha. Namun karena menyangkut agama dan kerajaan, maka  Raden Panglurah meminta pendapat pada ayahnya, Prabu Talagamanggung (Sanghyang Talaga) yang menganut Budha Hinayana Sarwatiwada.

Demikian pula Sanghyang Talaga merasa perlu untuk meminta pendapat kepada Pihak Cirebon. Yang dimaksud pihak Cirebon disini kemungkinan adalah putra Prabu Bunisora Suradipati yaitu Ki Gedeng Kasmaya (Giri Dewata) yang berkuasa di Carbon Girang dan  Surawijaya Sakti, penguasa  wilayah di Singapura (Mertasinga, Cirebon) yang merupakan putra Niskala Wastukancana dari Mayangsari. Kedua tokoh tersebut sejaman dengan Prabu Talagamanggung.  Akhirnya atas musyawarah para putra Niskala Wastu Kancana dan Bunisora Suradipati, keduanya diizinkan untuk tinggal di Jahim. Bahkan keduanya mendapat jaminan.


Adanya interaksi dengan Cirebon ditandai dengan mangkuk kuno yang saya temukan dilereng barat, jaraknya sekitar 500 meter dari Kabuyutan Batu Panjang. Di area perkebunan  juga terdapat gugusan batu panjang. Menurut Kuncen Shahidin Batu panjang itu merupakan arah datang Eyang Mangkubumi dan Eyang Langlangbuana. Di sebelahnya terdapat bukit kecil yang lebat ditumbuhi perdu dan beberapa pohon besar. Ternyata bukit itu merupakan pekuburan kuno yang tak terurus. Mangkuk itu didapat dari salah satu tetengger batu dengan kondisi masih utuh namun sedikit pecah pinggirnya.

Patahan Batu Panjang di Area Perkebunan Sebelah Barat

Berdasarkan  bentuk kakinya, Nanang Saptono, arkeolog ahli pemukiman masa klasik dari Balai Arkeologi Bandung memperkirakan mangkuk tersebut buatan Cina masa dinasti Ming yang diproduksi di Swatouw abad 15 – 17 M. Produk keramik dari DinastI Ming ini memang membanjiri Asia Tenggara dan diproduksi untuk membiayai perang melawan pemberontak”Mongolia.  Oleh karena itu bentuknya  terkesan asal-asalan. Di duga masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Kerajaan Sunda di  Cimanuk Indramayu yang kini sudah hilang jejaknya.


Menafsir Nama Jahim
Madati  berasal dari bahasa Kawi yaitu Madhati yang berarti naik pedati, Kata inilah yang sedikit menjelaskan tentang pengaruh Budha Mahayana di wilayah ini,  bersanding dengan Budha Hinayana Sarwastiwada yang sudah berkembang lebih dulu.   Naskah Sewaka Darma menyatakan tentang kiasan Panca Tathagata dengan kalimat sampangan mangregat lima Na jalan pa[da] tiageung” (Sewaka, 28: 8—9)  yang artinya : Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar. Menurut filolog Aditya Gunawan pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi PancaTathagata yang terdiri dari Amitabha (Barat), Amoghasiddhi (Utara), Aksobhya (Timur), Ratnasambhawa (Selatan), dan Wairocana (Tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan ke-Buddha-an. Para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, atau juga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung.          

Madhati (naik kereta/pedati) merupakan cara untuk mencapai jalan kebudhaan dengan cara mengdalami Panca Tathataga (disebut juga Panca Dhyani Budha).  Aliran Mahayana memiliki kesamaan dengan Hindu karena adanya pantheon atau anasir yang menguasai mata angin sehingga aliran ini mudah bersinkretis dengan Agama Hindu. Wairocana yang berada di tengah berarti sumber cahaya dengan warna  Putih. Sikapnya Witarka-Mudra, Unsurbhuttha-nya Tanah, Skandhanya adalah rupa, dan Unsur indranya penciuman (hidung), sepertinya merujuk pada Batu Panjang.

Sedangkan Jahim berasal dari bahasa arab yang merujuk pada salah satu Neraka dalam Islam. Nama ini berindikasi kuat muncul pada masa awal penyebaran Islam oleh Cirebon ke wilayah Pajajaran. Namun kenapa kawasan Batu Panjang yang indah ini disebut neraka? Analisa yang masuk akal  berkaitan dengan dogma agama. Konsep religi dan kegiatan pemujaan terhadap ageman diluar Islam yang telah ada dikawasan ini jelas bertentangan dengan penyebaran Islam waktu itu. Hal-hal yang bertentangan tersebut akhirnya dikafirkan dan Neraka (jahim) jaminannya. 

Simbol-simbol pemujaan lama yang berada di Kabuyutan Batu Panjang seperti kemungkinan adanya Arca atau bahkan bangunan ibadah sederhana juga dihancurkan.  Karena jika dibiarkan akan merusak akidah dalam proses Islamisasi yang dilakukan oleh Cirebon pasca runtuhnya Pajajaran. Begitu kuatnya orientasi Islam untuk mengikis unsur wiwitan dan hindu budha di wilayah ini, jejaknya dapat dilihat dari Situ Lengkong Panjalu (berjarak sekitar 8 km dari Batu Panjang) yang saat ini merupakan salah tujuan wisata ziarah penting di Jawa Barat dan banyak dikunjungi peziarah dari berbagi pelosok tanah air.

Yang jelas dari tebalnya kabut sejarah Batu Panjang Jahim, setidaknya ada beberapa tanda yang dapat dibaca dan ditafsirkan walau hanya merupakan analisa yang masih jauh dari kebenarannya. Sayangnya, tatanan batu yang ada saat ini sudah tidak asli lagi posisinya.  Seperti pada beberapa pasang batu yang saling ditautkan atau dikomposisikan membentuk simbol baru berdasarkan  presepsi dan tafsir dari segelintir orang.  Pintu masukpun dirubah dengan membersihkan area sebelah utara. Adanya perubahan itu tentu nantinya akan menyulitkan jika ada penelitian ilmiah. Terutama mengidentifikasi dari keletakan batu yang sudah tidak asli lagi posisinya.

Dan lagi-lagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ciamis yang mengurus bagian sejarah memang terkesan hoream untuk memperhatikan tinggalan budaya yang berharga ini. Entah karena situs ini kurang dikenal atau karena berada paling ujung kabupaten yang jauh untuk disaba, atau entah karena geus kitu watek pagawena.  Karena jika dibiarkan maka lambat laun tanda-tanda sejarah yang ada di Situs Batu Susun Jahim ini akan semakin sulit diidentifikasi lagi.  Apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya ekskavasi Gunung Padang Cianjur. Tidak menutup kemungkinan kandungan sejarah Situs Batu Panjang Jahim memiliki kesamaan dengan situs Gunung Padang Cianjur. 

Selain unsur sejarahnya, faktor keindahan alam dan beberapa potensi lainnya seperti adanya telaga,  sebetulnya dapat di kembangkan untuk tujuan wisata. Apalagi sarana jalan dan arus lalu lintas sangat mendukung untuk tujuan itu.  Maka,  situs ini harus secepatnya diteliti, dilindungi dan kemudian dikembangkan  sebagai cagar budaya sejarah, alam sekaligus tempat tujuan wisata.  

Tabe Pun.
________
Penulis : Pandu Radea Komunitas Tapak Karuhun Ciamis

Tidak ada komentar

Posting Komentar