Sebuah naskah Sunda yang terdapat dalam koreksi Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor katalogus SD 85. Tebalnya 10 halaman, ditulis dengan huruf Latin, dalam bentuk prosa. Naskah tersebut berasal dari koreksi K.F. Holle. Di dalamnya terdapat catatan yang menyebutkan bahwa naskah ini disalin oleh Raden Wijayakusumah, bekas pakhuismeesrer koffij (kepala gudang kopi) di Bogor, dengan titimangsa 23 April 1859.
Isi Naskah :
Pada awal cerita disebut nama Aji Mantri, salah seorang putra Prabu Siliwangi. la menetap di Kuta Gandok, di belakang Kuta Pajajaran. Setelah Pajajaran runtuh, Aji Mantri menyingkir ke Sakawayana Sumedang Kahiyangan. Disebut seorang anaknya yang bernama Santowan Kendang Serang-Serang. la mempunyai tiga orang anak, yaitu Kiyai Pralay, Kiyai Singamanggala, clan Kiyai Tanujiwa. Ketiganya kemudian mengabdi kepada Kompeni di Batavia (Jakarta) pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Coen (1627).
Kiyai Pralaya membangun tempat di Kuta Tai (Betawi), diangkat menjadi Leman Panggiring pada masa Gubernur Jenderal Maatsuiker (1673), diperintahkan pergi ke Sumedang untuk mencari (tenaga) orang sebanyak 20 kuren (40 jiwa), membersihkan hutan Pacenongan atas
perintah Gubernur Jenderal van Goens (1678) untuk dijadikan kampung. Kiyai Singamanggala diangkat sebagai Sersan Kertasinga, membuka kampung Bidaracina yang dihuni oleh 25 kuren (50 jiwa) orang ambon,
kemudian membangun kampung Bantarjati (bekas hutan Pajajaran; sekarang kampung Baru) yang didiami oleh 90 orang penghuni. Kiyai Tanujiwa diangkat menjadi letnan. la diperintahkan membangun loji di Meester Cornelis dan membangun kampung di Cipinang. Dua tahun sesudah pembangunan kampung itu, terjadilah peperangan di Banten.
Ketiga bersaudara itu pernah mendapat perintah dari Kompeni untuk pergi ke Sumedang mencari orang 50 kuren (100 jiwa) untuk dibawa ke Batavia. Perjalanan telah berlangsung dua bulan, satu bulan di antaranya hanya untuk menempuh hutan Pajajaran. Di hulu Sungai Ciluwer (masih termasuk hutan Pajajaran) mereka mengalami kekurangan makanan. Pada peristiwa inilah Letnan Panggiring hilang sewaktu mencari makanan. Kedua adiknya kembali ke Batavia. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Gubernur Jenderal Speelman (1681).
Cerita selanjutnya adalah tentang Letnan Mertakara, anak Letnan Tanujiwa. Kemudian tetang Letnan Mertawangsa (pengganti Letnan Mertakara), tetang Aria Wiratanu yang berkali-kali memohon kepada Gubernur Jenderal agar diperbolehkan menguasai tanah kidul (selatan). Di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Mosset (1750) di Bogor dibangun gedung, pasar, dan dibuka kebun kopi.
Penjelasan Isi Naskah :
ASAL-USUL KYAI TANUJIWA
KYAI TANUJIWA bersaudara adalah generasi ke 3 dari Raja Pajajaran terakhir yaitu PRABU SURYAKENCANA/RAGAMULYA, silsilahnya adalah : TANUJIWA bin SANTOWAN KADANG SERANG bin RADEN AJIMANTRI bin PRABU SURYAKENCANA. Kalau Pajajaran tetap berdiri, tidak mustahil dia sebagai nominator penerus tahta berikutnya.
Dalam sebuah artikel / blog dari Trah Keturunan Sumedang Larang dinyatakan bahwa dalam silsilah keluarga besar keturunan Kerajaan Sumedang Larang tidak ditemukan sosok Tanujiwa, akan tetapi nama yang diawali "Tanu" memang ada dan popular pada masanya seperti : Tumenggung Tanumadja (1706 – 1709) dan Adipati Tanubaya (1773-1775). Dalam hal ini menguatkan analisa bahwa Kyai Tanujiwa bukan orang Sumedang melainkan orang Pakuan/Pajajaran yang diberi nama oleh orang tuanya mengikuti nama-nama yang popular di Sumedang pada jaman itu, akan tetapi dia pada dasarkan orang Pakuan-Pajajaran yang tinggal sementara di Sumedang.
Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah (1567-1569 M), Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena banyak Raja-raja Pajajaran dan Kerajaan Galoeh-Pakuan berasal dari keturunan Kerajaan Talaga sebagai asal mula kerajaan Sumedang Larang. Pada saat Kesultanan Banten dbawah Kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf (putra Sultan Hasanuddin) menyerang Pajajaran, Prabu Suryakencana Ragamulya memerintah tidak di Ibukota Pajajaran di Pakuan (Bogor) tetapi di daerah Pulasari (daerah antara Gunung Halimun-Salak), oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 M, akan tetapi dari tahun 1578 Prabu Suryakencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.
Pada saat yang sama, di tahun 1578 M Prabu Suryakencana memerintahkan para Senopatinya untuk menyelamatkan Putra Mahkotanya yang bernama Raden Ajimantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya selain Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana yang diboyong pasukan Banten dan diserahkan ke Sultan Maulana Yusuf di Banten.
Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata I merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran
Dimulai pada masa Pajajaran burak (1579 M) sampai akhir masa kolonialisme 1940, Sumedang menjadi wilayah Regentschap yang dipimpin oleh setingkat Regent / Bupati, dimana Bupati yang memerintah lebih dominan berasal dari keturunan langsung Kerajaan Sumedng Larang, sedangkan keturunan dari Prabu Ragamulya yang notabene sudah memberikan sebagian Pusaka Kerajaan Pajajaran, dan para Senopatinya sudah membantu berjuang melawan musuh-musuhnya, relative ditiadakan;
Layaknya keturunan Raja, Tanujiwa memiliki pendidikan, keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk ukuran rakyat biasa. Dia mengetahui secara pasti sejarah leluhurnya, nalar dengan kondisi terkini bahwa Kerajaannya sudah burak, sadar keadaan bahwa sekarang Kerajaan leluhurnya yang digdaya sudah beralih kepada Kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran, termasuk Kerajaan Sumedang Larang dimana dia dan keluarganya sekarang tinggal. Dia juga mengetahui dan menguasai medan wilayah Pajajaran termasuk Pakuan dan Batavia, mengerti tata pemerintahan dan politik kerajaan, ahli dalam beladiri dan kemiliteran.
Sebagai keturunan langsung Raja Pajajaran, Kyai Tanujiwa berserta kakak-kakanya pasti memiliki obsesi dan ambisi ingin menghidupkan kembali kerajaan leluhurnya yang sudah 50 tahun ditinggal oleh pasukan Banten setelah menghancurkan Pajajaran tahun 1579 M, disisi lain wilayah Batavia yg dulunya sebagai andalan Pajajaran yang sekarang dikuasai Banten, akhirnya pada tahun 1619 dapat dikuasai VOC, semakin memperkuat keinginannya untuk memainkan peran politiknya pada jaman yang tidak menentu.
KARIER
- Menurut catatan "Buk Sakawayana", Sunan Amangkurat I Sultan Mataram ke 4 (1646-1677M) menikah dengan saudara sepupu Kyai Tanujiwa bersaudara yaitu Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon I, kalau melihat kekerabatan dan tahun kelahirannya tidak tertutup kemungkinan mereka diikut-sertakan sebagai prajurit Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Adipati Ukur yang berangkat pada periode kedua Mei 1629. Kyai Tanujiwa dikalkulasi lahir pada tahun 1615, Kyai Singa Manggala dikalkulasi lahir pada 1612, dan kakak tertuanya Tanduran Sawita dikalkulasi lahir pada tahun 1610, jadi umur mereka pada saat Mataram menyerang Batavia ke 2 adalah Kyai Tanujiwa antara 13-16 tahun, Kyai Singa Manggala antara 17-20 tahun, dan Kyai Perlaya antara 19-22 tahun.
- Pasca perang Mataram dengan VOC pada tahun 1629 dan Mataram mengalami kekalahan, dimana prajurit yang selamat pulang ke daerahnya masing-masing, sebagian lagi malah menetap di pinggiran Batavia dengan cara membabat hutan membuat hunian baru yang akhirnya sekarang dikenal dengan daerah MATRAMAN, kemungkinan besar di tempat inilah Kyai Tanujiwa bersaudara menetap.
- Langkah politik berikutnya, Kyai TANUJIWA /TANUWIJAYA, bersama kedua kakaknya TANDURAN SAWITA/KYAI PERLAYA dan KYAI SINGA MANGGALA di Jakarta bekerja pada 13 Gubernur Jenderal Hindia Belanda : 1) Jan Pietersz Coen PERIODE 2 (1627-1629), 2) Jacques Specx (1629-1632), 3) Hendrik Brouwer (1632-1636), 4) Antonio van Diemen (1636 - 1675), 5) Cornelis van der Lijn (1645-1650), 6) Karel Reyniersz (1650-1653), 7) Joan Maetsuyker (1653-1678), 8) Rycklof van Goens (1678-1681), 9) Cornelis Speelman (1681-1684), 10) Johannes Camphuys (1684-1691), 11) Willem van Outhoorn (1691-1704), 12) Joan van Hoorn (1704-1709), 13) Abraham van Riebeeck,sebelum jadi Gubernur (1703, 1704).
- Setelah menjadi opsir selama masa 13 Gubernur Jenderal (1629-1704), Kyai Tanujiwa beserta 2 orang kakaknya telah berhasil membuka wilayah baru di Batavia yaitu daerah Cipinang (Jatinegara), akhirnya Gubernur Jenderal VOC pada saat itu memberikan penghargaan kenaikan pangkat kepada Kyai Tanujiwa menjadi Leuitenant Der Javanen (Letnan orang-orang Jawa), juga kepada Tanduran Sawita menjadi Luitenant Pangiering, dan kakaknya yang lain Kyai Singamanggala menjadi Sersan.
- Atas keberhasilannya membuka daerah selatan Batavia yang bernama Kampung Baru atau Parung Angsana, Luitenant Tanujiwa diangkat menjadi penguasa Kampung Baru / Pakuan / Buitenzorg selama 6 tahun (1689-1705) dalam usia 74-80 tahun. Pencapaiannya tersebut membuktikan bahwa dia sebagai penerus kerajaan Pajajaran yang sudah runtuh 120 tahun sebelumnya dapat menghidupkannya lagi dalam dunia yang sudah berbeda, karena pada dasarnya semua kerajaan di Nusantara pada saat itu sudah padam semua.
- Dikotomi Ayang-ayang Gung : Pada saat Kyai Tanujiwa atau Leutenan Tanujiwa menjadi Bupati Kampung Baru, ada sebagian kalangan pribumi yang tidak suka dengan keberhasilannya, lagu tersebut sudah pasti diciptakan bukan oleh rakyat biasa (mungkin kalangan atas pribumi) akhirnya melontarkan sindiran dalam bentuk lagu-pantun "Ayang-ayang Gung" lagu tersebut begitu popular didaerah asalnya sampai menyebar ke masyarakat jelata di Kampung Baru yang pada akhirnya lagu tersebut merupakan sangsi social masyarakat kepada Raden Tanujiwa keturunan langsung Pajajaran, orang Asli Pakuan / Kampung Baru.
- Pada saat para Senopati Pajajaran mengungsikan Raden Aji Mantri berikut benda-benda pusaka kerajaan pada tahun 1578 M, sebgaian Senopati mengungsi ke daerah Selatan Pakuan, yaitu ke wilayah Pelabuhan Ratu, Jampang Wetan, Jampang Kulon dan Pandeglang / Cibeo. Haji Perwatasari adalah salah satu keturunan Senopati yang mengungsi ke daerah Jampang. Berita mengenai keberhasilan Kyai Tanuwijaya menjadi penguasa Kampung Baru bekas Pakuan-Pajajaran, akhirnya sampai juga ke keturunan Pajajaran yang mengungsi ke wilayah Selatan Pakuan termasuk Haji Perwatasari. Akhirnya setelah melalui penjajakan dan pendekatan, Haji Perwatasari dapat mengajak Kyai Tanujiwa untuk membantu melawan VOC, Walaupun pada akhirnya kedua-duanya berhasil ditangkap dan di buang ke Tanjung Harapan-Afrika Selatan.
MENJADI TEAM EXPEDISI VOC
Pada tahun 1667 Mataram menyerahkan sebagian wilayahnya kepada VOC termasuk wilayah Pakuan sebagai hutang kekalahan pada tahun 1629, 20 tahun kemudian pada tahun 1687 Johannes Camphuys Gubernur Jenderal VOC, memerintahkan Luitenant Tanujiwa beserta saudaranya dengan opsir VOC Sersan Scipio untuk melakukan exspedisi yang berturut-turut ke wilayah selatan Batavia. Apa yang menjadi alasan utama VOC melakukan expedisi ke selatan Batavia? Analisa saya sebagai berikut :
- Kyai Tanujiwa bersaudara sudah bekerja di VOC selama 38 tahun (1629-1687), dengan masa kerja selama itu kemungkinan besar rencana membuka wilayah selatan Batavia datang dari Kyai Tanuwijaya bersaudara, karena mereka adalah ahli waris Kerajaan Pajajaran, dengan sendirinya dalam usianya yang tidak muda lagi mereka menginginkan kerajaannya hidup lagi walaupun harus bekerja-sama dengan VOC.
- Bangsa barat yang pernah berkunjung ke Pakuan ibu kota kerajaan Pajajaran adalah Portugis (lihat catatan Tome Pires dalam "Suma Oriental", dimana informasi dari Portugis mengenai Catatan perjalanan Tome Pires pada saat itu belum terungkap ( Padrau ditemukan ketika pada tahun 1918 orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota), sehingga tidak mungkin mereka mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wilayah selatan Batavia selain dari Kyai Tanujiwa bersaudara.
- Pada saat itu wilayah Jawa Barat yang dikuasai VOC hanya Batavia, dengan sumber daya alamnya yang semakin menipis hal ini tidak menguntungkan bagi mereka, akhirnya VOC harus mengembangkan wilayah untuk menambah komoditas yang lebih banyak lagi.
Atas dasar analisis diataslah yang pada akhirnya Luitenan Tanujiwa berhasil membuka perkampungan baru di bekas wilayah Kerajaan Pajajaran. Usia Tanujiwa dan saudaranya pada saat itu sudah agak lanjut (Tanujiwa 73 tahun, Kyai Singa Manggala 75 Tahun dan Kyai Tanduran Sawita 77 tahun dan menghilang di hutan Ciluar pada exspedisi pertama).
Ilustrasi pada saat Kyai Tanujiwa sedang membuka Kampong Baroe |
KAMPOENG BAROE, KOTA YANG DIBUKA OLEH KYAI TANOEDJIWA SEBAGAI CIKAL BAKAL KOTA BOGOR
Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor |
Lukisan Kampoeng Baroe Tahun 1770, Johannes Rach: Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran. Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).
MEMBUKA KOTA BOGOR
Setelah sekian lama hilang dari percaturan historis yang berarti kurang lebih selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan. Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah tersebut terlebih dahulu. Untuk meneliti wilayah dimaksud, dilakukan ekspedisi pada tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa, seorang Sunda terah Sumedang.
Ilustrasi pada saat Kyai Tanujiwa sedang membuka Kampong Baroe |
Dari ekspedisi tersebut serta ekspedisi lainnya, tidak ditemukannya pemukiman di bekas ibukota kerajaan, kecuali di beberapa tempat, seperti Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana. Pada tahun 1687 juga, Tanujiwa yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, akhirnya berhasil mendirikan sebuah perkampungan di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal tempat kelahiran Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Kampung-kampung lain yang didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya adalah: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dengan adanya Kampung Baru menjadi semacam Pusat Pemerintahan bagi kampung-kampung lainnya.
Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, De Haan memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745.
Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.
Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.
NAMA BOGOR DAN BUITENZORG
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.
Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor |
Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.
Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam. Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.
Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :
. Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
. Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
. Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
. Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
. Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.
Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur). Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia. Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon, dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius mengeluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.
Ilustrasi Kondisi Hutan yang dibuka oleh Kyai Tanujiwa |
Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar.
Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912 M) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pcmimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanujiwa ini (1689-1705 M), walaupun secara resmi penggabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru terjadi tahun 1745 M. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena sersan itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.
Orang saling menyindirnya bahwa ia mengejar harapan kosong dan "bermesraan" dengan orang ompong (Permatasari). Yang jelas, penyusun babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan Tanujiwa sebagai "Bupati Pertlama". Sebaliknya para penulis Belanda menyebut Tanujiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor. Saleh Danasasmita (1983) juga menyebutkan bahwa malam hari tanggal 4 & 5 Januari 1699 Gunung Salak meletus dengan iringan gempa yang sangat kuat. Sebuah catalan dari tahun 1702 melaporkan akibat-akibat yang ditimbulkannya :
- Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (Pakuan) yang tadinya berupa hutan besar berubah menjadi lapangan luas terbuka tanpa pohon-pohon sama sekali.
- Permukaan tanah tertutup tanah liat merah halus. Di beberapa tempat tanah telah mengeras hingga menyulitkan orang berjalan di atasnya.
- Aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Tidak terdapat berita mengenai keadaan penduduk sepanjang aliran sungai itu.
Abraham Van Reebeck-lah yang kemudian mcmbersihkan sumbatan tersebut, tetapi ia juga mengajukan usul agar tanah BDiong Manggis dan BDiong Gede diberikan kepadanya sebagai imbalan. Pada tahun 1703 ia tidak mencatat tentang sisa-sisa letusan itu. Setahun kemudian ia mendirikan pondok peristirahatan di daerah Batutulis, karena Gunung Salak tidak dianggap menakutkan lagi.
Situs Batutulis ditemukan oleh Tim Abraham Van Reebeck, berarti kesaksian Kyai Tanujiwa tentang Kerajaan Pajajaran |
Pada tahun 1709, Van Reebeck menyuruh mcmbangun jalan ke arah pantai selatan. Disini Pada tahun 1711 atas biaya Wali Negeri didirikan 4 daerah yaitu Gunung Guru, Citarik, Pondok ope dan Cidurian. Daerah-daerah ini menjadi tempat pelarian beberapa orang asal Banten yang kurang puas terhadap kewajiban mengumpulkan indigo, benang katun dan penanaman kapi. Dalam rapat antar Kepala Daerah hari Senin tanggal 18 Februari 1724, regent Cianjur, Kyai Aria Wira Tanoe diangkat menjadi regent keempat daerah tersebut. Sehingga penduduk mempunyai kewajiban sepertr penduduk daerah kekuasaan Kampeni lainnya. Pada tahun 1744 yaitu dari tanggal 20 Agustus sampai Septcmber, Gubernur Baron Van Imhoff mengadakan peninjauan. Ia menaruh perhatian Pada Kampung Baru (kelak menjadi Buitenzorg) yang dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian dan tempat perislirahatan Gubernur Jenderal. Selanjutnya Pada tahun 1745, Baron mengajukan petisi kepada Dewan Perwakilan Resmi Pcmerinlahan Hindia Belanda yang isinya :
- Daerah Kampung Baru diubah menjadi suatu tempat peristirahatan gubernur Jenderal dan Staf VOC.
- Menjadikan derah ini daerah pertanian dan perkebunan sebagai contoh daerah lain.
- Merencanakan perubahan perilaku masyarakat yang dianggap malas (pada waktu itu), menjadi masyarakat yang mempunyai kemampuan atau keahlian misalnya ambtenar (pegawai negeri), ahli pertanian, ahli perkebunan dan sebagainya.
Pada tahun yang sama pula, 9 buah distrik, yaitu : Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabung menjadi “satu pemerintahan” di bawah kepala Kampung Baru yang bergelar Demang. Gabungan 9 distrik ini disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzoregg. Dalam lambang Kabupaten Bogor, sungai Cisadane dan Ciliwung masing-masing digambarkan dengan 9 garis gelombang. Ini mengungkapkan gabungan 9 distrik tersebut, jadi benar, pendapat ahli Belanda Riesz, yang mengatakan bahwa Kampung Baru adalah “de Bakermat” (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor. Banyak orang mengatakan bahwa Istana Bogor di kawasan Kebun Raya itu merupakan gagasan Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff.
Dugaan tersebut dianggap kurang tepat, sebenarnya ia tidak pernah merencanakan sebuah istana. Sebaliknya ia mendirikan sebuah rumah sakit militer di cipanas. Pada lokasi Istana Bogor sekarang, didirikannya sebuah bangunan sederhana sebagai tempat persinggahan dalam perjalan dari benteng Batavia ke Cipanas.
Van Imhoff cenderung pada liberalisme Perancis. Iapun penganut setia faham romantisme ajaran Rosseau, yang menganjurkan manusia kembali kepada alam. Pada waktu itu mode para pencari kewajaran alami ialah dengan mcmbangun villa sederhana, mungil, dan serasi dengan alam sekitar. Vila ini disebut Sans Souci (bahwa Perancis) atau istilah Beladanya “Buitenzorg” yang berarti : tanpa rasa gundah. Demikian pula bangunan sederhana yang ia bangun pada lokasi Istana Bogor ia beri nama Buitenzorg. Buitenzorg meliputi Puncak – Telaga Warna – Mega Mendung – Ciliwung – Muara Cihideung – Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede.
Dan Baron Van Imhoff diresmikan menjadi tuan tanah dari kawasan itu. Van Imhoff merupakan pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistcm percetakan sawah. Politik ini berguna untuk mcmpertinggi hasil padi dan mengikat penduduk pada pemukiman yang tetap. Perkebunan kopi, lada dan tarum juga berkcmbang pesat di daerah Buitenzorg. Pada tanggal 1 januari 1800 VOC atau Kompeni Hindia Belanda menerima persetujuan untuk mcmperluas ke selatan (hulu atas) Kampung Baru.
Pada waktu itu, Batavia yang menjadi pusat pemerintahan Belanda VOC dirasakan padat dan jika musim hujan tiba, banjir meluap dan melanda kota. Akibatnya sering berjangkit penyakit menular yang berkepanjangan, sehingga VOC memilih daerah selatan dengan tujuan atau pertimbangan antara lain :
- Daerah selatan subur dan baik tanahnya, merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
- Tidak terlalu jauh dari pusat Pemerintahan VOC, yaitu Batavia.
- Letak, keadaan tanah dan iklimnya dinilai sesuai dengan keinCinan Belanda, sehingga sangat cocok untuk tempat peristirahatan pejabat-pejabat Belanda.
Daerah Indramago atau Darmaga, Lukisan Johannes Rach 1769. Lokasi ini yang kemudian dikuasai oleh Tuan Tanah Van Motman Pada abad 19 yang kemudian lokasi ini juga beralih menjadi Kampus IPB Darmaga |
Secara bertahap lembaga pemerintaha melakukan mutasi, seperti dilakukan terhadap Sekretaris Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1928. kemudian disusul pcmbentukan departcmen kerajinan tangan, departcmen pertanian dan pendidikan.
Lukisan Pasar di Bogor, sumber : Geschiedenis van NI - Buddingh 1859. Buitenzorg sudah mulai ramai setelah berusia 150 tahunan |
Demikian pula penyebaran penduduk. Sesuai dengan politik pemerintahan jajahan pada waktu itu, penyebaran penduduk didasarkan perbedaan kelas masyarakat, menurut warna kulit, diskriminasi rasial. Bangsa berkulit kungin atau Cina mendiami daerah Pecinan atau Lawang Seketeng dan daerah tersebut dijadikan pusat perdagangan dan jalur ekonomi. Sisa-sisa kejayaannya masih terlihat sekarang di daerah sekitar Pasar Bogor dan Suryakencana. Bangsa Arab mendiami daerah sekitar Empang. Sedangkan bangsa pribumi sebagai penduduk asli yang menurut klasifikasi masyarakat adalah warga kelas empat (IV) hanya mendiami pelosok-pelosok desa, yaitu sekarang daerah sekitar Bondongan. Bangsa Eropah atau yang berkulit putih sebagai warga utama dan terhormat saat itu, mendapat daerah kelas satu (I) yang memiliki Pemandangan bagus yaitu daerah sekitar Kedung Halang, serta jalan raya pusat kota yang disebut Preanger Lijn (saat ini Jalan Ir. H. Juanda) yang diresmikan tahun 1872.
Perkembangan selanjutnya, Pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonominya sendiri. Keputusan dari Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda No. 11 tahun 1866, No. 208 tahun 1905 dan No. 289 tahun 1924 menyebutkan bahwa wilayah Bogor pada waktu itu seluas 22 km persegi, terdiri dari 2 sub-distrik dan 7 desa. Pemandangan alam dan keadaan topografi Buitenzorg yang indah menyebabkan pemerintahan Hindia Belanda menjadikannya sebagai tempat rekreasi dan pemukiman yang ideal, dengan rumah Gubernur Jenderal yang berada di jantung kota yang kemudian berkembang menjadi Istana Bogor.
___________
Sumber : sr.rodovid.org
Tidak ada komentar
Posting Komentar