Medang Kahiyangan, Mandalaherang, Mandala Cupugiri atau Gunung Cupu di Sumedang

Kamandalaan dan Kabuyutan di Wilayah Kerajaan Sunda
Kamandalaan dan Kabuyutan di tatar Parahayangan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Resi Guru. Kabuyutan berasal dari bahasa Sunda yaitu Uyut yang dapat diartikan leluhur. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut.

Adapun kata buyut mengandung dua pengertian. Pertama, sebagai turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, sebagai pantangan atau tabu alias cadu atau pamali. Kadang-kadang pengertian kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Ada juga istilah satru kabuyutan yaitu musuh kabuyutan (musuh bebuyutan) berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir. Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda.

Dalam pembahasan dalam artikel ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan. Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius.

Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

Kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Pengaruh Agama Budha
Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi. Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


Kabuyutan atau Kamandalaan di Tatar Parahyang
Istilah mandala ditemukan pula dalam teks naskah Kawih Paningkes dan Kisah Bujangga Manik; dua naskah lontar Sunda Kuno yang menyiratkan bahwa mandala adalah lembaga pusat pendidikan di lingkungan pemukiman atau pedukuhan yang diperuntukkan bagi kaum intelektual dan agamawan.

Kata mandala berarti wilayah kekuasaan lembaga keagamaan diserap dari bahasa Sanskerta dan berarti lingkaran suci. Bagi Urang Kanekes adalah melakukan tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. Hal itu karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara keseluruhan, masyarakat Baduy memunyai kedudukan sebagai mandala. Sedangkan, masyarakat Sunda lainnya — di luar mandala — berkedudukan sebagai nagara dan semua warganya mengemban tugas untuk melakukan tapa di nagara. Tugas dan kedudukan masing-masing ini mereka emban secara turun-temurun.

Dalam kerajaan Sunda lama, mandala berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan— tempat para pandhita, cantrik (murid-murid), atau bahkan pengikut mereka hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidupan beragama. Ini artinya masyarakat hanya boleh tinggal di sana selama mematuhi seluruh aturan  yang ada. Kawasan mandala juga berarti tidak boleh didatangi oleh sembarang orang.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad 15 - 16 Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu (masih menganut ajaran Jati Sunda), hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara. Tidak hanya itu, Kelangsungannya dan keamanannya dijamin oleh Kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran.

Kabuyutan di kalangan masyarakat Sunda kuno dapat diartikan sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan tradisi, seperti : keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.

Mandala-mandala di wilayah Kerajaan Sunda yang tercatat dalam salah satu naskah kuno, yaitu :
01. Mandala Gunung Kidul
02. Mandala Hujung Kulon
03. Mandala Purwalingga
04. Mandala Agrabinta
05. Mandala Purwanagara
06. Mandala Bhumi Sagandu
07. Mandala Sabhara
08. Mandala Nusa Sabay  
09. Mandala Cupunagara 
10. Mandala Paladu
11. Mandala Kosala 
12. Mandala Rajalegon
13. Mandala Indraprahasta 
14. Mandala Manukrawa 
15. Mandala Malabar
16. Mandala Sindangjero 
17. Mandala Purwakreta
18. Mandala Wanagiri
19. Mandala Rajadesa 
20. Mandala Purwagaluh
21. Mandala Cangkuang 
22. Mandala Sagara Kidul 
23. Mandala Kubanggiri 
24. Mandala Cupugiri
25. Mandala Alengka 
26. Mandala Manikprawata 
27. Mandala Salakagading 
28. Mandala Pasirbatang 
29. Mandala Bitunggiri 
30. Mandala Tanjungkalapa 
31. Mandala Sumurwangi 
32. Mandala Kalapagirang 
33. Mandala Kalapalarang 
34. Mandala Tanjung Camara 
35. Mandala Sagarapasir 
36. Mandala Rangkas
27. Mandala Puradalem
38. Mandala Linggadewata 
39. Mandala Wanadatar 
40. Mandala Wanajati 
41. Mandala Jatiageung
42. Mandala Abdiraja
43. Mandala Sundapura
44. Mandala Rajatapura 
45. Mandala Kalapadua
46. Mandala Pasirmuara
47. Mandala Purwagading 
48. Mandala Muarajati 
49. Mandala Pasirsagara
50. Mandala Raksapura
51. Mandala Jasinga
52. Mandala Purnawijaya Pradesa
53. Mandala Sumurwangi 
54. Mandala Tejakalapa
55. Mandala Girilarang 
55. Mandala Mandalaherang
56. Mandala Cupugiri
57. Mandala Kalapajajar
58. Mandala Cibinong
59. Mandala Sundapasir
60. Mandala Sunda Sambawa
61. Mandala Kandangwesi
62. Mandala Pasirluhur
63. Mandala Wahanten Girang 
64. Mandala Parajati 
65. Mandala Singhapura 
66. Mandala Wanakusumah 
67. Mandala Salakadomas
68. Mandala Cirebon Larang 
69. Mandala Purwa Talaga 
70. Mandala Jayagiri 
71. Mandala Sindangkasih 
72. Mandala Purwa Sanggarung 
73. Mandala Jatianom

Sebagian dari Mandala yang ada di tatar Pasundan bermetamorfosis menjadi Kerajaan, sebagian lagi tetap menjadi kawan perdikan dan pusat spiritual.

Pada saat Raja Tarumanagara ke 3 yaitu, Raja Purnawarman (Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), lahir 294 Caka, berkuasa (395 - 434 M),  Mandala Raja yang menjadi bawahannya, yaitu :
01. Kerajaan Salakanagara (Pandeglang)
02. Kerajaan Cupunagara (Subang) 
03. Kerajaan Nusa Sabey 
04. Kerajaan Purwanagara
05. Kerajaan Hujungkulon (Pandeglang) 
06. Kerajaan Gunungkidul 
07. Kerajaan Purwalingga (Purbalingga-Jateng) 
08. Kerajaan Agrabinta (Cianjur)
09. Ratu Wilayah Sabara 
10. Ratu Tirthamandhala
11. Kerajaan Bhumi Sagandhu (Majalengka) 
12. Rajadesa Paladu
13. Rajadesa Pinaha 
14. Kerajaan Kosala 
15. Kerajaan Desa Legon (Cilegon) 
16. Kerajaan Indraprahasta (Cirebon) 
17. Ratu Candratudaga, Rajadesa Jagapura 
18. Prajadesa Surantaka Mandhala 
19. Kerajaan Manukrawa (Indramayu)  
20. Kerajaan Malabar (Kabupaten Bandung) 
21. Ratu Sindang Jero 
22. Rajadesa Purwakerta (Purwakarta) 
23. Ratu wilayah Cangkuang (Garut) 
24. Ratu wilayah Gunung Cupu  
25. Ratu wilayah Salaka Gading 
28. Ratu Karaton Sagarakidul 
27. Ratu Panghulu Kubanggiri 
28. Ratu Sapugiri
29. Ratu Alengkha
30. Ratu Manik Parwatadesa 
31. Ratu wilayah di Pasirbatang 
32. Ratu wilayah Bibitung Giri Desa 
33. Guru Panghulu Raja Patapan Desa 
34. Ratu wilayah Tanjungkalapa (Jakarta Utara) 
35. Pakuan (Penguasa) Su­murwangi 
36. Ratu Kalapa Girang Desa (Jakarta Selatan) 
37. Akuwu (kepala daerah) Tanjung Cemara 
38. Ratu wilayah Sagara Pasir 
39. Ratu wilayah Rangkas (Lebak Banten) 
40. Rajadesa Puradalem (Karawang) 
41. Ratu wilayah Linggadewa 
42. Raja wilayah Wanadatar 
44. Ratu Jatiageung (Kuningan) 
45. Ratu Cupugiri 
46. Ratu wilayah Satya Raja 
47. Ratu wilayah Wanajati Penguasa Rajatapura 
48. Ratu Sundapura  (Bekasi) 
49. Ratu Dwakalapa 
50. Juru Pelabuan Muhara Suba 
51. Juru Pelabuhan Muhara Candrabhaga 
52. Ratu Wilayah Gomati Nadi (Sungai Gomati) 
53. Penguasa di Nusa Apuy (Pulau Api) 
54. Syahbandar Wilayah Narikela (Pandeglang) 
55. Penguasa di Pelabuhan Manukrawa (Indramayu) 
56. Ratu Wilayah Pasir Muhara 
57. Juru Labuhan Muhara Taruma 
58. Kerajaan Purwasanggarung (Kuningan) 

Dan banyak lagi daerah‑daerah dan wilayah‑wilayah yang mengabdi kepada Tarmanagara, tempat dan kerajaan sudah banyak yang berganti namanya, atau sudah tidak ada lagi. Bahkan, ada yang lebih dari sepuluh nama tempat wilayah yang tidak di tulis, karena beberapa aksara tidak tampak, termasuk nama kerajaan, rajanya, dan penguasanya.

Sering didapati pengertian yang saling dipertukarkan atau dianggap sama antara Kamandalaan dan Kerajaan. Akibatnya masyarakat sering salah pengertian. Dalam sejarahnya, beberapa kabuyutan memang berubah menjadi kerajaan, misalnya kabuyutan Galunggung menjadi Kerajaan Galunggung., kabuyutan Kendan menjadi Kerajaan kendan. Namun kabuyutan lain bisa jadi tetap menjadi wilayah perdikan kemandalaan saja tidak berubah menjadi kerajaan.

Adanya salah pengertian di masyarakat adalah disebabkan karena struktur di kemandalaan atau kabuyutan tersebut memiliki kemiripan dengan kerajaan di masa lalu. Misalnya di kabuyutan Kendan memiliki struktur pemimpin tertinggi yang disebut Resiguru, rakyat dan penjaga keamanan yang sering disamakan dengan prajurit kerajaan. Awalnya adanya rakyat dan prajurit pengaman kabuyutan memang disediakan pihak kerajaan. 

Bagi kita orang Sumedang Sudah barang tentu tak asing mendengar Mandala Herang, Kerajaan Medang Kahyangan yang berada di Suku Gunung Gunung Ageung atau Gunung Gede (Gunung Tampomas Sekarang).

Mandala Mandalaherang berada di tutugan (kaki gunung) Tampomas Sumedang. Mandala dan Kabuyutan ini, mungkin cikal bakal Kerajaan Medang Kahyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat batu satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh”. Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat / puseur (inti) pemerintahan di setiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (Maharaja) dan Rasi atau Resi (Raja-raja kecil / karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri Tangtu atau TriSuLa NagaRa.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat "Suci") secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (Inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)

Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada)


Asal Usul Mandalaherang
Pada sebagian tradisi kebudayaan di Nusantara, gunung sering-sering dipandang memiliki pengertian simbolis sebagai poros penghubung antara makrokosmos dengan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam pandangan demikian kehidupan kemanusiaan ini senantiasa berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang bersumber pada penjuru arah mata angin, pada rasi-rasi bintang, planit-planit, dan benda-benda angkasa lainnya.

Oleh karena itu, masyarakat tradisional selalu berupaya menyelaraskan kehidupan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperoleh secara astrologis. Bukti-bukti seperti ini sering dijumpai dalam prasasti-prasasti (inskripsi) dan episode-episode naskah-naskah kuno, dalam gelar-gelar yang dilekatkan pada seseorang raja, dalam upacara-upacara tradisional, dalam karya-karya seni, seperti dalam ukiran atau pahatan ornamen-ornamen, dan bentuk-bentuk fisik suatu bangunan tertentu.

Menurut citarasa pikiran dalam kepercayaan masyarakat pada masa lalu, pada sebuah wilayah kekuasaan biasanya mesti mempunyai sebuah gunung tertentu sebagai pusat magisna, selain menjadi pusat tapal batas geogafis dari negeri yang bersangkutan. Sebagai poros (axis mundi) penghubung antara jagat raya dan dunia manusia. Dari sudut pandang lain, sebuah gunung maupun perbukitan sering-sering dijadikan suatu model konstelasi bangunan pusat aktivitas pemerintahan serta keagamaan bagi kalangan masyarakat.

Pada awal abad ke  3 - 4 M,  wilayah Sumedang dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medang Kahyangan, dimana Puncak Manik Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai tanda atau simbol atau pusat spiritual Baktha Hinduisme.




Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.

Agama yang dianut pada waktu itu adalah Hindhu syiwaisme, hal ini dapat dilihat dengan adanya ornamen tengkorak pada Situs Batu Sandung di Puncak Manik Gunung Tampomas, meskipun sayang kini telah rusak oleh tangan-tangan jahil dan beberapa patung arca pun raib entah kemana.

Peninggalan kerajaan ini tersebar disekitar Gunung Tampomas, yakni berupa makam-makam kuno, Punden, Lingga, dan Arca. Sejumlah Benda Purbakala, mulai dari area puncak manik hingga kaki belahan timur Gunung Tampomas. Lokasi bersejarah tersebut yaitu, Blok Ciputrawangi, Leuweung Candi, Puncak Narimbang, Batulawang, Kabuyutan Sawah Kalapa, Kabuyutan Ciburuan, Puncak Manik, dan Cibanteng. Kerajaan Kuno Medang Kahyangan harus kembali diteliti lebih mendalam, mengingat banyaknya peninggalan kepurbakalaan yang berkaitan erat dengan kerajaan ini.


Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah Timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Lara Sakhti di Cisusuru (Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas). Dan yang ke arah utara adalah Jaya Bhuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu dan lahirnya sebuah ajaran yang disebut dengan istilah Insun Medal.

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Penamaan Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas, dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Sunda - Tarumanagara dan Medang (Galuh) - Kerajaan Kendan keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke-6 M, dengan lahirnya Mandala Medang Kamulyan oleh Ratu Komara  / Dewi Komala Sari putra Prabu Purbasora dan Aria Bimaraksa di Cipancar yang kemudian menjadi Kerajaan Tembong Agung (678 - 721 M) oleh putra Prabu Guru Aji Putih di Darmaraja Sumedang.


Mandalaherang dan Kerajaan Medang Kahiyangan
Kerajaan Medang Kahiangan (Medang Kahyangan) adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Sunda. Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 M di kaki Gunung Tampoomas (Tampomas) yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh seorang resi keturunan Raja Salakanagara ke 5, yaitu Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (252 - 290 M)

Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahiyangan (252 - 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari Raja Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa pemegang kekuasaan Kerajaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan.


Mandala Gunung Cupu 
Dalam Versi Sejarah daerah di Wilayah Sumedang yaitu Mandala Cupugiri atau Gunung Cupu di Sumedang termasuk diantara wilayah Mandala Raja bawahan Raja Tarumanagara ke 3 yaitu, Raja Purnawarman (Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), lahir 294 Caka, usia 23 – 62 th Caka, (395 - 434 M).

Mandala Cupugiri dan Gunung Cupu di Sumedang, Jawa Barat. Ke-mandala-an adalah kata benda untuk Mandala yang berarti tempat suci sekaligus kawasan perdikan yang memiliki kewenangan khusus di bidang keagamaan. Sebagian masyarakat di tatar Sunda menyamakan Mandala dengan Kabuyutan.

Mandala adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam ajaran Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Rsi Guru. Di dalamnya terdapat aktivitas lain selain keagamaan, misalnya pertanian dan perniagaan juga dijaga keamanannya dengan prajurit pengamanan Mandala.

Ketika Dharma Satyajaya Warunadewa memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja kelima, putra-putranya yang sebanyak tujuh orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pedalaman (pegunungan), dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa (Resi), yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.

Ketujuh putra Dharma Satya Jaya Warunadewa tersebut adalah :
1. Jaya Sampurna, di Daerah Gunung Susuru, Kampung Genteng Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan)
2. Indrasari (Dalem Tumenggung) di Gunung Susuru, Kampung Genteng Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan
3. Sukmana (Cupu) di Gunung Cupu, Pasarean Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.
4. Prabu Daniswara (Sumadira) di kaki Gunung Tampomas, Blok Ciemutan Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua.
5. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten) di Kampung Banas Cibanten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang
6. Lara Sakhti  (Eyang Haji) di Cisusuru Dusun Sahang Desa Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas.
7. Sanyak (Sari Hatimah) atau Dalem Tumenggung Surabima di Cieunteung Desa Cipamekar Kecamatan Conggeang.

Di Gunung Cupu Sumedang terdapat keramat Gunung Cupu. Mandala ini dipimpin Guruloka atau Guru Resi Sukmana (Resi Cupu).

Lokasi Makam  Cupu berdekatan dengan makam Prabu Batara Kusumah dari Kamandalaan Pajajaran Gunung Pancar Buana Bogor, ayahnya Jaya Prakosa (Jaya Perkasa),  Senapatinya Prabu Geusan.  Dan juga Makam Nyimas Pasarean putrinya Munding Sari Saringsingan (Sunan Saringsingan) dari Talaga Manggung, Nyimas Pasarean adalah Istri ke 3 Prabu Geusan Ulun Raja Sumedanglarang terakhir sekaligus pemegang tahta Raja Pajajaran Pamungkas yang berkuasa pada tahun 1579 - 1601 M.


____________
Sumber Bacaan :
1. Sennet, Frank. 2004. Guru Teladan Tahun Ini. Jakarta: Erlangga
2. Widya, dharma K. 2009. Sigalovada Sutta.  Jakarta: pengurus pusat wanita Theravada Indonesia.
3. Darsa, Dr. Drs. Undang Ahmad M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius” - Universitas Padjadjaran". Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 2018-03-21.
4. Danasasmita, Saleh  & Anis Djatisunda, 1986. "Kehidupan  Masyarakat Kanekes". Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Depdikbud.

Baca Juga :

Tidak ada komentar