Situs Astana Gede yang beralamatkan di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Situs Kawali lebih dikenal dengan situs Astana Gede Kawali. Astana Gede ini memiliki beberapa artefak yang merupakan saksi bisu berdirinya sebuah kerajaan di Kawali. Artefak-artefak tersebut masih dilindungi dan dijaga keberadaannya hingga sekarang.
Astana Gede Kawali merupakan tempat yang dianggap suci sejak masa kerajaan Sunda-Galuh hingga sekarang. Beberapa pendapat menyatakan bahwa, Astana Gede ini dulunya merupakan tempat pemujaan yang dalam budaya Sunda disebut sebagai Bale Kabuyutan tempat Sanghyang Lingga Hiyang bersemayam. Pendapat lainnya menyatakan bahwa, Situs Kawali ini disebut Astana Gede Kawali setelah Adipati Singacala dan Pangeran Usman di makamkan di dalam situs ini.
Kompleks Astana Gede Kawali sendiri, dilihat dari bentuknya, tampak mengikuti pola dari Punden Berundak. Punden berundak adalah tempat pemujaan yang bertingkat-tingkat/ berteras-teras. Punden berundak merupakan bangunan yang berasal dari zaman Megalitik. Di Jawa Barat, punden berundak dibuat dari tanah yang diperkuat dengan batu di sisi-sisinya.
Pada punden berundak sering kali ditemukan objek-objek sakral seperti, makam, menhir, dan objek sakral lainnya. Melihat teori tentang punden berundak, Astana Gede Kawali dapat digolongkan ke dalam kategori punden berundak.
Astana Gede Kawali adalah tempat di perbukitan Gunung Sawal yang memiliki tiga teras, menghadap ke Utara, dan memiliki objek-objek sakral di setiap terasnya. Setiap teras Astana Gede Kawali, ditandai dengan pintu gerbang yang harus dilewati untuk masuk ke dalam teras. Setiap gerbang ditandai dengan tangga-tangga batu atau tanah untuk melewatinya. Gerbang-gerbang tersebut, membentuk garis lurus apabila diperhatikan dengan seksama, baik itu di lokasi maupun melalui denah lokasi. Sama halnya dengan situs-situs kebudayaan lainnya (khususnya di wilayah Jawa Barat), di Situs Astana Gede Kawali juga terdapat mata air yang dikeramatkan, yaitu mata air Cikawali. Pada teras kedua, terdapat gerbang keluar menuju mata air Cikawali ini yang merupakan mata air alam yang tidak pernah kering meski kemarau panjang. Mata air Cikawali memiliki unsur-unsur mitos tradisi yang diyakini oleh masyarakat sebagai tempat tinggalnya Maung Astana atau si Pincang. Maung Astana adalah seekor Harimau yang diyakini sebagai penjaga gaib Astana Gede.
Menurut cerita yang beredar, apabila kita nyawer koin ke dalam air Cikawali, hal itu dapat mendatangkan rejeki dalam waktu dekat. Mitos lainnya, apabila kita susah jodoh, kemudian mandi atau cuci muka diwaktu-waktu tertentu di mata air ini, jodoh kita akan datang. Mata air lainnya adalah mata air Cibarani yang tidak terlalu jauh dari mata air Cikawali.
Astana Gede Kawali, sebagaimana yang tercantum dalam Sukardja, D (2007: 4) dibatasi oleh beberapa sungai yang mengalir di sekitarnya. Batas-batas situs Astana Gede Kawali yaitu sungai Cikadongdong di sebelah utara, sebelah timur adalah parit sungai Cimuntur, sebelah barat adalah sungai Cigarunggang dan sungai Cibulan di sebelah selatan.
Situs Astana Gede ini berada di kawasan hutan lindung yang dijadikan sebagai objek wisata budaya. Luas situs Astana Gede ini sekitar 5 hektar dengan bagian inti situs sekitar 2 hektar. Letaknya berada di kaki gunung Sawal sebelah barat daya kota Kawali, dengan posisi menghadap utara dan berbatasan dengan kebun serta sawah penduduk sekitar Kawali.
Kawali adalah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh sejak masa Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333 -1 340 M) yang memindahkannya pada abad ke 14 di Parahyangan Timur Tatar Pasundan hingga masa pemerintahan Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1371 - 1475 M). Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda Galuh beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis) kota ini makin mendesak kedudukan Galuh di desa Karang Kamulyan kecamatan Cijeungjing, Ciamis kabupaten Ciamis Jawa Barat tempat pertama kali pusat pemerintahan Kerajaan Galuh didirikan oleh Raja Wretikandayun (612 - 702 M), dan Saunggalah (sekarang Kabupaten Kuningan).
Lokasinya berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah, dan Galuh. Saat ini secara administratif bekas kota Kawali merupakan daerah dalam Kabupaten Ciamis. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 M adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja atau hampir satu setengah abad lebih.
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Pada masa pemerintahan Prabu Linggabuana terjadi peristiwa berdarah. Peristiwa berdarah tersebut merupakan sejarah pahit bagi Kerajaan Sunda, dimana telah terjadi penghianatan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajahmada Dari Kerajaan Majapahit.Kerajaan Sunda merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang tidak bisa ditundukan oleh Kerajaan Majapahit, sehingga sumpah dari Mahapatih Gajah Mada yang disebut Sumpah Palapa belum bisa diwujudkan.
Niat Raja Majapahit yang pada waktu itu rajanya Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Putri dari Kerajaan Sunda (Dyah Pitaloka / Citraresmi / Candra Kirana) dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan agar sumpahnya bisa tercapai. Suatu waktu rombongan dari Kerajaan Sunda yang dipimpin langsung oleh Prabu Linggabuana untuk menikahkan putrinya dengan Prabu Hayam Wuruk sampai di lokasi Bubat.
Rombongan diminta oleh Patih Gajahmada untuk menyerahkan Putri Kerajaan Sunda sebagai upeti kepada Kerajaan Majapahit sebagai tanda bahwa Kerajaan Sunda telah takluk kepada Kerajaan Majapahit.Prabu Linggabuana tidak bisa menerima perlakuan itu, akibatnya terjadilah perang di Bubat itu.Rombongan dari Kerajaan Sunda gugur dimedan Bubat, termasuk Putri Kerajaan Sunda yang memilih untuk mati daripada dijadikan sebagai upeti bukan permaisuri.
Dengan adanya peristiwa itu maka pemerintahan di Kerajaan Sunda Kawali sementara waktu dipegang oleh Prabu Bunisora adik dari Prabu Linggabuana.Setelah putra mahkota Rahyang Niskala Wastukancana dewasa dan dinobatkan menjadi Raja Kawali pemerintahan dipegang oleh beliau. Selanjutnya dilanjutkan oleh putranya Prabu Dewa Niskala.Penerus dari Prabu Dewa Niskala yaitu Jayadewata memindahkan pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran.
Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda.Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan.
Pusat Kerajaan Yang Berpindah-pindah
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 Masehi tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895 M) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman untuk Ibukota kerajaan Tarumanagara yang baru didirikannya bernama Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Catatan Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Peran Bergeser Ke Timur
Pada abad ke 14 di Priangan timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Gunung Galunggung, Saunggalah (Kuningan) dan Galuh, Ciamis. Sejak abad ke-14 ini Galuh selalu bertalian erat dengan Kawali.
Tiga orang Raja Sunda, Rakeyan Gendang dengan gelar Brajawisesa (989-1012 M), Prabu Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155 M), Mahaprabu Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175 M), dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai tampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297 - 1303 M). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukannya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Menurut buku Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan Bogor.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu atau Mahaprabu Niskala Wastu Kancana yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan dijalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Niskala Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang merupakan keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin atau lebih dikenal sebagai Syekh Qura yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan olehnya pada tahun 1416 dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana. Pesantren ini merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia merupakan nenek dari Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda di Pakuan Bogor dan Raja Galuh di Kawali yang seayah ini menjadi besan. Untuk seterusnya, putra Dewa Niskala bernama Sri Baduga Maharaja menyatukan kedua kerajaan Sunda dan Galuh, lalu menjadikan Pakuan Pajajaran, Bogor sebagai pusat pemerintahan. Dengan tindakan ini, berakhirlah peran Kawali sebagai salah-satu kota penting (pusat pemerintahan) di Tatar Pasundan saat itu.
Selanjutnya, yang bertahta di Kawali adalah Prabu Ningrat Wangi (1404 - 1423 Caka 1482/3 - 1501/2 Masehi), lamanya 19 tahun, sebagai raja wilayah Galuh dan terakhir (34) Prabhu Jayaningrat, pada tahun 1423-1450 Saka (1501/2 - 1528/9 M), lamanya 2 tahun, sebagai ratu wilayah Galuh terakhir, karena kerajaan Galuh ditaklukkan oleh Kesultanan Cirebon. Semenjak waktu itu kerajaan Galuh dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya berada di bawah kekuasaan Cirebon, yang diperintah oleh Susuhunan Jati.
Kabuyutan Astana Gede Kawali
Astana Gede peninggalan masa kerajaan Galuh sekitar abad ke 14 Masehi yang merupakan tempat suci pemerintahan sunda Galuh di Kawali pada zaman dahulu Astana Gede bernama Kabuyutan Sanghyang Lingga Hiyang (Astana = Makam dan Gede = Besar). Yaitu makam Adipati Singacala sebagai Raja Kawali tahun 1643 – 1718 M keturunan Sultan Cirebon yang menganut agama Islam. Raja-raja Kawali terdahulu masih menganut Agama Hindu. Jadi di konflek itu ada peninggalan Hindu.
Sebagai pusat pemerintahan Raja-raja yang pernah bertahta adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa yang dikenal Sang Lumanghing Kiding. Prabu Raga Mulya (Aki Kolot) Prabu Lingga Buana gugur pada Peristiwa Babat. Rahyang Niskala Wastukencana yang meninggalkan beberapa prasasti dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Watukencana.
Lokasi Astana Gede sebelah utara 27 km dari Kab. Ciamis, di dusun Indrayasa Desa Kawali Kecamatan Kawali Kabupatrn Ciamis. Luas wilayah area Astana Gede adalah 5 Ha. Di sekelilingnya rimbun dengan pepohonan letaknya di kaki gunung Sawal yang di sekelilingnya ada sungai.
Keadaan situs merupakan hutan lindung yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras.menurut temuan arkeologi bila dilihat dari tinggalan budayanya kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah klasik dan periode Islam.
Bentuk budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik punden berundak, lumpang batu, menhir, yoni, ke tradisi klasik (prasasti) berlanjut ke tradisi Islam di tandai dengan adanya makam kuno. Adapun Mata Air Cikawali tak pernah surut.
Benda-benda peninggalan sejarah purbakala sebagai warisan budaya memiliki fungsi dan peran penting di berbagai bidang terutama budaya. Sebagai perlindungan terhadap cagar budaya pemerintah mengeluarkan UU yang di sebut UU Cagar Budaya no. 5 tahun 1992, salah satu pasal 26 :
“Barang siapa yang sengaja merusak Benda Cagar Budaya dan Situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan benda cagar budaya dan situs tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 di pidana dengan penjara selama- lamanya 10 tahun atau denda setinggi-tingginya 100 juta”.
Situs Astana Gede Kawali di samping sebagai taman Cagar Budaya dan sebagai Objek Wisata Budaya juga merupakan objek ilmu pengetahuan. Peneitian di Astana Gede mulai dilakukan pada zaman Belanda, tetapi lebih menitikberatkan pada prasasti rangka pembangunan cungkup. Tahun 1993 Tim Puslit Arkenas dan Balar Bandung mengadakan pendataan arkeologis. Hasilnya menunjukkan bahwa situs Astana Gede Kawali berasal dari masa prasejarah, klasik dan Islam, seperti yang telah disebutkan di muka.
Sedangkan yang pertama menemukan adalah Thomas Raffles pada tahun 1817 diteruskan oleh Gubernur Jenderal Dumer Van Twiest tahun 1853, prioderik tahun 1855, Brumund tahun 1867, Tuan Veth tahun 1896, Pleyte tahun 1911, De Haan tahun 1912 dan dipugar oleh Puslit Arkenas tahun 1984 s/d tahun 1985, sedangkan pemagaran oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala dari Banten pada tahun 1992 s/d 1993 dan yang pernah mengevakauasi dari BALAI dan SUAKA.
Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa Barat, terutama pada prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti. Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14 berdasarkan nama raja.
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada disebelah utara atau 27 km dari ibu kota kabupaten Ciamis letaknya berada dikaki gunung sawaldisebelah selatan sungai cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, disebelah timur berupa parit kecil dari sungai cimuntur yang mengalir dari sebelah utara ke selatan, sebelah utara sungai cikadongdong dan sebelah barat sungai cigarunggang.
Kedaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras diantaranya termasuk familia meliceae, lacocarpceae, euphorbiaceae, sapidanceae dan lain-lain, tanaman palawija, rotan, salak, cengkih dll.
Raja-Raja Galuh Yang Berpusat di Kawali
A. Ratna Umi Lestari (1333-1340 M)
Beliau adalah putri Lingga Dewata raja Sunda Galuh ke 19, yang kawin dengan Prabu Sang Ajiguna Linggawisesa. Menjadi raja Sunda Galuh ke 22, dengan pusat pemerintahan di Kawali, kratonnya disebut Surawisesa, berputra :
- Ragamulya
- Dewi Kiranasari
- Prabu Suryadewata yang menurunkan Raja-raja di Talaga (Majalengka)
B. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa / Sang Aki Kolot (1340-1350 M), sebagai raja Sunda Galuh ke-23 berpusat di Kawali, berputra, yaitu:
- Linggabuana
- Bunisora
C. Prabu Linggabuana / Prabu Banyakwangi, (1350-1357 M), sebagai raja Sunda Galuh ke-24, menikah dengan Dewi Laralinsing berputra, yaitu:
- Diah Pitaloka
- Wastukencana
- Ratna Parwati.
D. Sang Bunisora/Batara Resi Guru Jampang (1357-1371 M), terkenal dengan Mangkubumi Suradhipati sebagai Raja Sunda galuh ke-25, menikah dengan Dewi Laksmiwati, berputra, yaitu :
- Giri Dewata menikah dengan Ratna Kirana Putri Ratu Carbon Girang
- Bratalegawa menikah dengan Wanita Gujarat
- Ratu Banawati
- Ratu Mayangsari menikah dengan Wastukencana.
- Prabu Niskala Wastukencana
E. Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M), menjadi raja sunda galuh ke 26 (104 tahun) 114. Pada masa inilah prasasti-prasasti yang ada di Astana Gede Kawali. Di makamkan di Nusa Larang (Situ Lengkong). Menikah dengan Larasarkah putri Resi Susuk Lampung, berputra yaitu Haliwungan.
F. Dewa Niskala / Ningrat Kencana (1475-1482 M)
Sering disebut Prabu Anggalarang Dalam Babad Cirebon dan berselisih dengan kakaknya Susuk Tunggal Raja Sunda berpusat di Bogor.
Raja-Raja Galuh Kawali (Ciamis) di mulai Dari Prabu Lingga Buana
1. Lingga Buana (1311 - 1333 M) = 22 tahun
2. Lingga Wisesa (1333 - 1340 M) = 7 tahun
3. Raga Mulya Luhur Prabawa (1340 - 1350 M) = 10 tahun
4. Lingga Buana (1350 - 1357 M) = 7 tahun
5. Buni Suradipati (1357 - 1371 M) = 14 tahun
6. Niskala Wastu Kancana (1371 - 1475 M) = 87 tahun
7. Dewa Niskala (1475 - 1482 M) = 7 tahun
Raja-Raja Sunda Pajajaran (Bogor) di mulai dari Prabu Susuk Tunggal
1. Susuk Tunggal (1475 - 1478 M) = 3 tahun
2. Jaya Dewata (1478 - 1521 M) = 43 tahun
3. Surawisesa (1521 - 1535 M) = 114 tahun
4. Dewata Buana (1535 - 1543 M) = 90 tahun
5. Ratu Sakti (1543 - 1551 M) = 8 tahun
6. Nilakendra (1551 - 1567 M) = 16 tahun
7. Nusiya Mulya Surya Kancana (1567 - 1579 M) = 12 tahun.
Keratonnya Kadu Hejo Pandeglang
Raja-Raja Galuh Kawali (Ciamis) di mulai Dari Prabu Lingga Buana
1. Lingga Buana (1311 - 1333 M) = 22 tahun
2. Lingga Wisesa (1333 - 1340 M) = 7 tahun
3. Raga Mulya Luhur Prabawa (1340 - 1350 M) = 10 tahun
4. Lingga Buana (1350 - 1357 M) = 7 tahun
5. Buni Suradipati (1357 - 1371 M) = 14 tahun
6. Niskala Wastu Kancana (1371 - 1475 M) = 87 tahun
7. Dewa Niskala (1475 - 1482 M) = 7 tahun
Raja-Raja Sunda Pajajaran (Bogor) di mulai dari Prabu Susuk Tunggal
1. Susuk Tunggal (1475 - 1478 M) = 3 tahun
2. Jaya Dewata (1478 - 1521 M) = 43 tahun
3. Surawisesa (1521 - 1535 M) = 114 tahun
4. Dewata Buana (1535 - 1543 M) = 90 tahun
5. Ratu Sakti (1543 - 1551 M) = 8 tahun
6. Nilakendra (1551 - 1567 M) = 16 tahun
7. Nusiya Mulya Surya Kancana (1567 - 1579 M) = 12 tahun.
Keratonnya Kadu Hejo Pandeglang
Penguasa dan Bupati Kawali
1. Prabu Jayadiningrat (1484 - 1528)
Saudara Prabu Siliwangi sepeninggal beliau Kawali diberikan kepada adiknya tapi tidak seibu, sedangkan adik yang satu lagi bernama Kusumalaya/Anjar Kutamanggu memilih pergi ke Talaga untuk menolong putri Talaga yang bernama Simbar Kencana, karena ayahnya Talaga Manggung ada yang membunuh.
2. Pangeran Dungkut / Lungkut (1528 - 1575 M)
Putra raja kuningan yang bernama Langlang Buana bersaudara dengan putri Mayang Kuning dan Masang Sari. Menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat setelah menyerbu Cirebon tetapi kalah di medan perang Gunung Gundul Palimanan.
3. Pangeran Bangsit (1575-1592 M)
Disebut juga Mas Palembang, putra Pangeran Dungkut, beranak 2 yaitu Endang Satwika dan Mahadikusumah yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama islam di kawali.
4. Pangeran Mahadikusumah / Apun di Anjung
Putra Pangeran Bangsit. Putri pertama Adi Dampal kedua Apun Emas istrinya Hariang Natabaya putri ketiga Tanduran di Anjung.
5. Pangeras Usman
Menikah dengan putri Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah). Pangeran Usman punya ide agar tempat pemujaan hindu yaitu situs kawali di jadikan pemakaman beliau dan beliau yang pertama di makamkan di situs kawali. Kemudian diteruskan oleh Adipati Singacala yang membongkar punden berundak untuk dijadikan makam sehingga terkenal dengan “Sanghyang Lingga Hyang”
6. Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M)
Putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit menjadi menantu Pangeran Usman karena menikah dengan Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman, mempunyai, yaitu :
- Satia Meta
- Bayu Nagasari
- Nyi Mas Bumi
Mulai saat ini sebutan Pangeran di ganti dengan sebutan Dalem, karena Kawali sudah berbentuk kabupaten. Dimakamkan situs Kawali atas keinginanya agar Punden Berundak tampat pemujaan Hindu dibongkar dan dijadikan makamnya. Sehingga orang datang ke Situs kawali bukan memuja kepada berhala tapi datang ke makam beliau, itulah salah satu taktik penyebaran islam di daerah Kawali yang di dorong oleh mertuanya, sehingga dikenal dengan Astana Gede.
Prasasti
Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.
Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam buku History of Java (1817 M).
Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).
Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.
Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi. Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.
Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.
Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718 M), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini.
Berikut ini tentang "Enam Prasasti" dan keterangannya serta situs lainnya :
Prasasti Kawali I
Terbentuk dari bahan batu andesit, bentuknya segi empat tidak beraturan, letak melintang dari arah utara ke selatan, bidang tulisan terbagi atas 10 garis yang digoreskan secara sejajar dengan jarak antara 6 – 7 cm. Dalamnya goresan 3 – 4 mm.
Isi teks di bagian muka :
nihan tapa kawa-li nu sang hyang mulia tapa bha-gya parĕbu raja wastu mangadĕg di kuta ka-wali nu mahayuna kadatuan sura wisesa nu marigi sa-kuliling dayĕh. nu najur sakala desa aja manu panderi pakĕna gawe ring hayu pakĕn hebel jaya dina buana
Terjemahan Teks di bagian muka :
Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa dia Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.
Isi teks di bagian tepi tebal :
hayua diponah-ponah, hayua dicawuh-cawuh, inya neker inya angger, inya ninycak inya rempag
Terjemah Teks di bagian tepi tebal:
Jangan dimusnahkan! Jangan semena-mena! Ia dihormati, ia tetap. Ia menginjak, ia roboh
Prasasti Kawali II
Isi :
Aya manu nosi gya kawali ini pakena kerta bener pakon na (n) jor na juritan.
Terjemahan :
Semoga ada yang menghuni dayeuh kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Prasasti kawali II berisi suatu harapan untuk orang-orang yang mendiami daerah kawali yang karena keamanannya merupakan suatu syarat untuk menang dalam peperangan.
Prasasti Kawali III
Berbentuk segi lima tidak beraturan, letaknya melintang ke arah selatan – utara dengan ukuran panjang kanan 75 cm, panjang kiri 55 cm, lebar bawah 60 cm, lebar atas 113 cm, lebar tengah 111 cm pada bidang atas terdapat tulisan dan tanda-tanda yang terdiri atas sepanjang kaki dan telapak tangan kiri, di atas telapak tangan dan kaki terdapat goresan-goresan dan ada tulisan di sebelah kiri bidang-bidang persegi berbunyi angana ada juga yang mengartikannya dengan angana artinya sendiri. Namun ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa tulisan itu di artikan datang, menghampiri.
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tempat itu merupakan tempat wastu kencana dalam merenungi dirinya. Hal ini sejalan dengan arti tulisan anggana artinya sendiri.
Batu tapak merupakan tempat kegiatan wastu kencana melakukan tafakur, sebagaimana yang selalu diperintahkan oleh Bunisora Suradipati. Sementara itu lambang kotak-kotak pada batu tapak tersebut ada yang mengartikan sebagai perlambangan, diartikan lima buah segi empat / kotak yang letaknya sejajar diartikan sebagai panca indera. Sedangkan kesembilan bidang segi empat yang letaknya melintang di artikan sebagai lubang-lubang yang ada pada tubuh manusia.pendapat lain mengemukakan bahwa kotak-kotak pada batu prasasti III ini merupakan sebuah kalender / kolenjer yang digunakan untuk menghitung hari yang dianggap baik. Sedangkan telapak kaki dan tangan diartikan sebagai kekuasaan.
Prasasti Kawali IV
Letak prasasti ini berupa batu yang terdiri tegak dengan bagian bawahnya masuk ke dalam tanah. Tingginya dari permukaan 120 cm. Aksara yang digoreskan sebanyak 6 buah yang menjadi 6 baris.
Transkripsi : Sanghyang Lingga Hiyang
Menurut Dirman Surachmat, mungkin lingga perwujudan dari arwah nenek moyang. Meurut cerita rakyat, batu tersebut disebut pula sebagai batu penyandungan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur perasaan bagaimana pusingnya nyandung (berisi lebih dari satu) kalau tidak sanggup, pusingnya sama dengan mengelilingi batu itu sebanyak 7 keliling sambil tidak bernafas. Oleh sebab itu jangan coba-coba beristri lebih dari satu kalau seandainya tidak mampu, sebab hanya akan memusingkan diri sendiri.
Prasasti Kawali V
Berbentuk menhir tingginya sama dengan prasasti IV hanya sedikit lebih langsing dan lebih lonjong. Agak condong ke belakang dan bagian yang masuk ke dalam tanahnya lebih dalam.
Transkripsi : Sanghyang Lingga Bimba
Menurut cerita rakyat, batu menhir yang bertuliskan sanghyang lingga bimba ini disebut sebagai batu panyandaan (tempat bersandar setelah melahirkan selama empat puluh hari). Tujuannya adalah agar orang yang melahirkan tersebut segera pulih kembali.
Prasasti Kawali VI
Prasasti ke–6 merupakan prasasti yang baru ditemukan setelah berselang hampir 200 tahun, yang kebetulan penemunya adalah kuncen saat ini yakni Bapak Sofar Pada tahun 1995 di kedalaman 50 – 60 cm.
Prasasti ini sama seperti prasasti yang lainnya ditulis dalam huruf sunda kuno banyaknya 6 baris tetapi tidak memiliki angka tahun, bentuknya segi empat tidak beraturan, ukuran panjang 72 cm, lebar 62 cm, letaknya tidak jauh dari lokasi prasasti I jaraknya 4 meter ke arah utara.
Berikut adalah isi (tulisan) prasasti VI :
Berikut adalah isi (tulisan) prasasti VI :
“ini perti (n) gal nu atis – ti rasa ayama nu nosi dayoh iwo ulah batenga bisi kakereh”
Terjemahan :
“ini peninggalan dari orang berilmu semoga ada yang menghuni kota ini jangan berjudi (bertaruh) bisa celaka”.
Batu Palinggih (Pamuruyan)
Terletak 6 meter sebelah barat daya pintu masuk, berbentuk batu datar dan berimpit. Di sebelah selatan berdiri lempengan batu datar dengan tinggi sisi kanan 94 cm, sisi kiri 88 cm, lebar sisi bawah 40 cm, lebar sisi atas 57 cm.
Masyarakat menyebutnya sebagai batu kursi, mungkin karena bentuknya seperti kursi, ada pula yang menyebutnya sebagai batu pamuruyan yang digunakan sebagai tempat menyimpan sesajen (pada zaman dulu). Pendapat lain mengemukakan bahwa batu Palinggih tersebut dulunya digunakan sebagai tempat pelantikan raja.
Menhir adalah salah satu peninggalan sejarah berbentuk batu, dan diantara peninggalan -peninggalan ini memiliki 2 menhir.
Menhir I
Letaknya 4 meter dari batu tapak. Menhir ini berukuran tinggi 70 cm, lebar 24 cm, tebal 16 cm, sedangkan di sisi utara berbentuk polos dengan lebar sisi bawah 30 cm, tinggi 50 cm.
Menhir II
Terletak 4 meter di sebelah tenggara menhir I, terbuat dari batu andesit yang berbentuk batu berdiri dengan ukuran tinggi 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm. Menempel di sisi utara berupa lumpang batu berpenampang segi tiga.
Ukuran sisi bawah 22 x 22 cm, bagian mulutnya 35 x 35 cm. Ada keistimewaan dari lumpang batu ini, yaitu memiliki kemampuan menyerap air dari dalam tanah, sehingga airnya tidak pernah surut. Jenis batu ini baru ada dua yang berhasil ditemukan di Jawa Barat, yaitu di Astana Gede Kawali dan situs Gunung Sembung Cirebon. Menurut cerita rakyat batu ini disebut sebagai batu pangeunteungan tempat bercermin. Arti filsafat dari cermin / ngeunteung ini adalah bahwa kita harus senantiasa bercermin pada diri sendiri, jangan sampai lupa diri.
Mata Air Cikawali
Kawali ialah kolam kecil yang luasnya antara 9–10 meter persegi, kolam ini merupakan sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun termasuk ketika musim kemarau, letak kolam ini berada di sebelah barat, jaraknya 300 meter dari kompleks Astana Gede.
Makam Yang Ada di Astana Gede Kawali
1. Makam Adipati Singacala, terletak pada puncak pundek berundak, panjangnya 294 cm.
2. Makam Anjung Sari, Anjung sari merupakan Istri dari Adipati Singacala
3. Makam Baya Nagasari, merupakan putra dari Adipati Singa Cala
4. Makam Pangeran Usman, makam Pangeran Usman hanya diberi tanda Batu,
dan panjangnya sekitar 5 M.
dan panjangnya sekitar 5 M.
5. Makam Cakra Kusumah, Yaitu pengajar Al-Qur’an pada zaman Adipati Singacala
6. Makam Eyang Sancang, adalah petugas keamanan zaman Adipati Singacala.
7. Makam Satya Meta (Darma Wulan)
8. Makam Angga Direja (Kuncen Astana Gede ke-1)
9. Makam Yuda Praja (Kuncen Astana Gede ke-3)
10. Makam Sacapraja (Kuncen Astana Gede Ke-4)
11. Makam Sang surya Wiradikusumah
Sekelumit Tentang Masuknya Islam di Kawali
Penyusun sadar, bahwa tujuan observasi ini pada intinya ialah lebih dititikberatkan mengenai perkembangan masuknya agama Islam di wilayah Kawali.
Akan tetapi, hasil yang kami peroleh baik dari nara sumber yakni Bapak Sofar, Kuncen sekaligus penemu prasasti ke VI, beliau menuturkan bahwa mengenai proses masuknya Islam di Kawali, belum diketahui secara pasti, dan masih disesilik mengenai kepastiannya.
Akan tetapi tutur beliau pula, yang menjadi catatan sejarah, bahwa masuknya Islam di wilayah Kawali ini khususnya, penyebarnya itu ialah Pangeran Utsman yang tadi kita lihat makamnya yang ukurannya panjang sekitar 5m. Itu menggambarkan batapa besarnya jasa beliau terutama dalam menyebarkan Islam, dan mungkin pula pada watu itu masih ada orang yang berdedeg tinggi seukuran tersebut.
Pangeran Usman adalah utusan Cirebon yang bertugas menyebarkan Islam di Kawali dan didukung oleh Adipati Singacala, Raja Kawali.
Peristiwa Perang Bubat
Peristiwa bubat terjadi ketika masa pemerintahan Prabu Maharaja Lingabuwana raja Sunda-Galuh ke-24. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh sumpah palapa Mahapatih Gajah Mada, yang berhasrat menaklukan raja-raja se-Nusantara. Isi sumpah palapa tersebut adalah, “kalau sudah mengalahkan nusantara, akan makan palapa. Kalau dapat mengalahkan, seram, tanjung pura, Haru, Palang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku akan makan palapa”.
Pada waktu itu kerajaan Sunda-Galuh tidak takluk kepada Majapahit, oleh sebab itu dengan segala daya upaya Mahapatih Gajah Mada ingin sekali menaklukannya namun tak kunjung berhasil.
Ada peristiwa di luar dugaan Gajah Mada, pada waktu itu Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk mencintai wanita sunda yaitu putri Diah Pitaloka Putri dari Linggabuana Raja Sunda-Galuh ke-24 yang belum berhasil ditaklukan Kerajaan Majapahit, namun Hayam Wuruk berniat mempersuntingnya.
Dalam kidung sunda disebutkan bahwa, Raja Daha, dan Raja Kahuripan bertanya kepada Hayam Wuruk tentang perasaannya kepada Putri Sunda. Raja Majapahit menjawab, Hamba sudah berketetapan hati tentang gambar sang putri jelita, apabila ada yang menghalangi, ia akan menjadi musuhku, lawanku berperang, apabila aku mati, ia pun akan menemaniku.
Semua pembesar Kerjaan setuju dengan keinginan Raja, seperti: Para Mentri dan Para pembesar kerajaan lainnya, namun Gajah Mada tidak setuju sekali. Semua orang menjadi heran, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa demikian pula penjaga dan pelayan peribadi Raja. Mereka semua tegang dan merasa tercekam dan bertanya-tanya dalam hatinya masing-masing, apa gerangan yang dikehendaki oleh Mahapatih Gajah Mada.
Sang Patih Gajah Mada ternyata mempunyai pandangan sendiri tentang kebijakan negaranya, ia mengemukakan alasan-alasannya kepada Hayam Wuruk, bahwa rencana raja Sunda pergi ke bubat hanya akan menyulitkan Majapahit dan menurunkan wibawa Raja oleh sebab itu Gajah Mada yang akan pergi sendiri ke Bubat untuk menyampaikan Raja Sunda. Semula Hayam Wuruk tidak setuju, tetapi ia tidak mau berselisih paham dan akhirnya saran Gajah Mada diterimanya.
Gajah Mada meneruskan keterangan tentang kebijakan kerajaan kepada Raja Majapahit, dan kemungkinan-kemungkinan tindakan pihak Raja Sunda yang dapat merugikan Majapahit yaitu, Gajah Mada takut kehilangan wibawa terutama citra Majapahit karena raja sunda tidak mau takluk kepadanya.
Sementara itu raja Majapahit tidak paham akan siasat buruk yang dilakukan oleh Gajah Mada. Oleh sebab itu ia mengikuti saran Gajah Mada untuk menunggu utasan dari Bubat datang ke Majapahit sekitar empat atau lima hari lagi.
Berita bahwa Gajah Mada tidak setuju apabila Raja Majapahit datang ke Bubat, sampai juga ke pihak Sunda. Akhirnya raja Sunda mengirimkan empat orang utusan dibawah pimpinan Patih Rakean Manti Unus. Ketika utusan bertemu dengan Patih Gajah Mada, terjadilah perselisihan. Sementara itu pendeta istana berusaha melerai pertengkaran itu, tetapi tidak berhasil.
Mereka saling menuduh, seperti tertera dalam “Kidung Sunda”. Patih Rakean Mantri Unus menjawab perkataan pendeta, hamba menjunjung kata-kata sang pendeta, seperti air hidup menyegarkan badan putra. Tuanku sang pendeta, tujuan raja ke Jawa untuk mengantarkan putri karena ingin membesarkan hati menantu, yaitu sang raja ini, namun patih Gajah Mada hanya menimbulkan perpecahan. Patih Gajah Mada tidak menerima tuduhan itu.
Akhirnya peperangan tak terelakan lagi, peperangan antara pihak Sunda dan Majapahit. Raja Sunda tidak mau menyerahkan putrinya sebagai persembahan, dan lebih baik gugur dengan cara terhormat. Disuruhnya istrin dan putrinya pulang ke Sunda, tapi mereka tidak mau.
Persiapan perang sudah sangat ramai. Pasukan Sunda sudah siap, demikian pula pasukan Majapahit. Sementara itu Gajah Mada mengusulkan kepada Raja Hayam Wuruk untuk mengirimkan utusan ke Raja Sunda di Bubat.
Mungkin mereka takut berperang dan mati, hal itu dapat dihindari dengan jalan mempersembahkan putri raja sebagai tanda takluk kepada Rasja Sunda.
Hal ini ditolak mentah-mentah oleh Raja Sunda, malahan menentang raja Majapahit untuk segera ke Bubat.
Setelah utusan Majapahit melaporkan hal ini kepada Raja Hayam Wuruk, maka Raja sangat marah dan menyuruh Mentri-mentrinya untuk bersiap-siap menggempur pihak Sunda, tetapi di cegah oleh Gajah Mada, mereka harus menyusun siasat terlebih dahulu.
Siasat pertama Gajah Mada tidak berhasil, banyak pihak Majapahit yang mengalami kekalahan. Namun setelah Gajah Mada sendiri terjun ke dalam peperangan ia berhasil membunuh Patih Anepaken, maka setelah itu perkelahian terjadi satu lawan satu. Pasukan Sunda akhirnya kalah dan hancur begitupun Raja Sunda.
Ia di bela oleh putrinya dan permaisurinya yang bunuh diri karena ingin mengikuti ayah dan suaminya ke alam baka.
Korban dari Sunda 93 orang sedang dari pihak Majapahit sebanyak 3748 orang, Gajah yang mati 14 ekor sedang kuda 27 ekor dan ini terjadi pada tahun 1357 M.
Setelah perang berakhir dan semua pihak dari Sunda telah gugur, Raja Majapahit menjadi sangat terpukul dan menderita. Ia sangat meratapi putri sunda, sampai akhirnya ia jatuh sakit dan wafat.
Raja Daha, Raja Kahuripan dan Pendeta-pendeta istana mengadakan pembicaraan dengan maksud untuk menilai kembali apa yang menyebabkan malapetaka di Majaphit disebabkan karena ulah Patih Gajah Mada.
Akhirnya semua berunding untuk menggempur dan mengepung Gajah Mada di kediamannya yang megah, karena Patih Gajah Mada terkenala sebagai hartawan. Ketika sampai dikediaman Gajah Mada pasukan Majapahit segera mengepungnya. Gajah Mada telah tahu saat kepergiannya telah tiba, kemudian ia menampakan diri berdiri di halaman setelah itu lalu menghilang entah kemana.
Pesona Kawali
“Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun 1992).Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang”.
Pada saat ini Kawali hanyalah sebuah kota kecamatan, tetapi keberadaannya telah terukir dalam sejarah sejajar dengan kota Bogor sebagai ibu kota kerajaan Padjadjaran.Di Cagar Budaya Astana Gede terdapat peninggalan sejarah yaitu berupa prasasti,yang merupakan cikal bakal kerajaan pajajaran yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana. Astana Gede Kawali dikenal sebagai komplek peninggalan sejarah dan budaya masa Iampau, yaitu pada masa kerajaan Galuh sekitar abad ke-13 Masehi. Pesona dari Cagar Budaya Astana Gede Kawali ini mulai dilirik dan dikelola oleh BP3 Banten tahun 1985.
Astana Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding,kemudian Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana. Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis,yakni di Dusun lndrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan baik motor ataupun mobil lamanya sekitar 45 menit.Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan,sehingga tidak sulit dijangkau.
Konsepsi Kosmologi
Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu:
(1) dunia atas yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik; dan
(3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia. Konsep kosmologi secara universal sudah mentradisi pada setiap bangsa di dunia.
Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah Sunda Kuno yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi), tata ruang jagat raya (kosmos)
terbagi menjadi tiga susunan, yaitu:
(1) susunan dunia bawah yang dinamakan saptapatala (tujuh neraka),
(2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan
(3) susunan dunia atas yang dinamakan saptabuana atau buanapitu (tujuh tingkat alam kesorgaan).
Jadi, tempat di antara saptapatala dengan saptabuana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi (dunia tempat manusia).
Hal serupa sama dengan bagian dalam teks naskah Sunda Kuno berjudul Sanghyang Raga Dewata (XVI Masehi) yang mengisahkan proses penciptaan jagat raya beserta segala isinya, hanya cara pemaparannya yang agak berbeda dengan teks naskah Sanghyang Hayu. Begitu pula dalam bagian teks naskah Sunda Kuno yang berjudul Kisah Sri Ajnyana (XVI Masehi) yang mengisahkan proses turunnya manusia ke dunia, di dalamnya dilukiskan tentang struktur kosmos. Pada bagian teks naskah Kawih Panyaraman (1483 M) yang berisi tentang ― Séwaka Darma, pun terdapat episode yang intinya melukiskan bagian susunan dunia atas sebagai aras langitan alam kesorgaan.
Struktur Kosmologi
Sunda Konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis umumnya cenderung bersifat triumvirate (tiga serngkai, tritunggal). Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Pada masa yang lalu, gambaran mengenai alam semesta ini tercatat dalam naskah-naskah Sunda kuno.
Salah satu naskah yang menggambarkan mitos tentang proses penciptaan alam adalah teks naskah berbahasa Sunda Kuno Sang Hyang Raga Dewata. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa proses penciptaan alam meliputi buwana (jagat raya), pretiwi (bumi), sarira (diri sendiri), dan para dewa pengatur jagat. Penciptaan alam diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu (Yang Maha Kuat) dari Sang Hyang Raga Dewata. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa raya. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Bumi, oleh Sang Hyang Tunggal diciptakan dari sebutir telur yang terbuat dari sekepal tanah liat. Ketika telur itu menetas, menjelmalah berbagai makhluk, di antaranya adalah Batara Guru yang ditempatkan di Gunung Kahyangan.
Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa. Ia juga berhak mengendalikan Batara Basuki penguasa bumi dan Batara Baruna penguasa lautan. Sang Hyang Raga Dewata adalah Dzat Tunggal sebagai pencipta tetapi tidak dicipta, sebagai pembuat tetapi tidak dibuat, dan yang mengetahui tetapi tidak diketahui. Dialah Maha Pencipta. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan Siksa Sanghyang Darma atau Ajaran tentang Hukum-hukum. Itulah manusia ideal yang kelak dapat mencapai kesempurnaan surga abadi.
Sebagaimana teks naskah tersebut, jagat langitan digambarkan tidak jauh berbeda dalam teks naskah Sri Ajnyana baris 360-400; dan 470-106512. Setelah meninggalkan bumi, raga mereka yang bercahaya bagaikan kunang-kunang tiba di alam pertama yaitu angkasa, alam tengah antara langit dan bumi. Setelah itu, sampai ke Sanghiyang Limur (surga di dalam kabut), Yogadita (surga Hyang Mega), Taranggana (surga Hyang Bintang). Tahap selanjutnya tiba di Sadinem (surga Hyang Wulan), Gerehananda (surga Hyang Rahu). Setelah melewati itu, mereka menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit, dan akhirnya menaiki tangga emas kencana di istana Pancamirah.
Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu:
(1) dunia atas yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik; dan
(3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia. Konsep kosmologi secara universal sudah mentradisi pada setiap bangsa di dunia.
Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah Sunda Kuno yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi), tata ruang jagat raya (kosmos)
terbagi menjadi tiga susunan, yaitu:
(1) susunan dunia bawah yang dinamakan saptapatala (tujuh neraka),
(2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan
(3) susunan dunia atas yang dinamakan saptabuana atau buanapitu (tujuh tingkat alam kesorgaan).
Jadi, tempat di antara saptapatala dengan saptabuana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi (dunia tempat manusia).
Hal serupa sama dengan bagian dalam teks naskah Sunda Kuno berjudul Sanghyang Raga Dewata (XVI Masehi) yang mengisahkan proses penciptaan jagat raya beserta segala isinya, hanya cara pemaparannya yang agak berbeda dengan teks naskah Sanghyang Hayu. Begitu pula dalam bagian teks naskah Sunda Kuno yang berjudul Kisah Sri Ajnyana (XVI Masehi) yang mengisahkan proses turunnya manusia ke dunia, di dalamnya dilukiskan tentang struktur kosmos. Pada bagian teks naskah Kawih Panyaraman (1483 M) yang berisi tentang ― Séwaka Darma, pun terdapat episode yang intinya melukiskan bagian susunan dunia atas sebagai aras langitan alam kesorgaan.
Struktur Kosmologi
Sunda Konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis umumnya cenderung bersifat triumvirate (tiga serngkai, tritunggal). Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Pada masa yang lalu, gambaran mengenai alam semesta ini tercatat dalam naskah-naskah Sunda kuno.
Salah satu naskah yang menggambarkan mitos tentang proses penciptaan alam adalah teks naskah berbahasa Sunda Kuno Sang Hyang Raga Dewata. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa proses penciptaan alam meliputi buwana (jagat raya), pretiwi (bumi), sarira (diri sendiri), dan para dewa pengatur jagat. Penciptaan alam diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu (Yang Maha Kuat) dari Sang Hyang Raga Dewata. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa raya. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Bumi, oleh Sang Hyang Tunggal diciptakan dari sebutir telur yang terbuat dari sekepal tanah liat. Ketika telur itu menetas, menjelmalah berbagai makhluk, di antaranya adalah Batara Guru yang ditempatkan di Gunung Kahyangan.
Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa. Ia juga berhak mengendalikan Batara Basuki penguasa bumi dan Batara Baruna penguasa lautan. Sang Hyang Raga Dewata adalah Dzat Tunggal sebagai pencipta tetapi tidak dicipta, sebagai pembuat tetapi tidak dibuat, dan yang mengetahui tetapi tidak diketahui. Dialah Maha Pencipta. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan Siksa Sanghyang Darma atau Ajaran tentang Hukum-hukum. Itulah manusia ideal yang kelak dapat mencapai kesempurnaan surga abadi.
Naskah kuno lainnya yaitu Kropak 42210 yang menyebutkan bahwa alam semesta terbagi dalam tiga buana atau dunia, yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan jatiniskala (kemahagaiban sejati). Buana sakala adalah alam nyata sebagai tempat tinggal manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat diindra. Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadari-bidadari, apsara-apsari, dan sebagainya, serta berkedudukan lebih tinggi dari manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan terdiri atas surga dan neraka.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah Dzat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, Dzat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Dzat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas.
Sebagaimana teks naskah tersebut, jagat langitan digambarkan tidak jauh berbeda dalam teks naskah Sri Ajnyana baris 360-400; dan 470-106512. Setelah meninggalkan bumi, raga mereka yang bercahaya bagaikan kunang-kunang tiba di alam pertama yaitu angkasa, alam tengah antara langit dan bumi. Setelah itu, sampai ke Sanghiyang Limur (surga di dalam kabut), Yogadita (surga Hyang Mega), Taranggana (surga Hyang Bintang). Tahap selanjutnya tiba di Sadinem (surga Hyang Wulan), Gerehananda (surga Hyang Rahu). Setelah melewati itu, mereka menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit, dan akhirnya menaiki tangga emas kencana di istana Pancamirah.
Setingkat di atasnya terdapat kahyangan di keempat wilayah, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Kahyangan timur, ditempati oleh Isora Guru yang disebut Jambudrasana, meru bertiang perak, tempat tujuan pertapa sejati. Kahyangan selatan ditempati oleh Brahmaloka, meru beratap tembaga. Kahyangan ini adalah tempat bagi orang-orang yang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar. Kahyangan barat tidak bernama, meru beratap emas ini menjadi tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya).
Akhirnya, kahyangan utara disebut utara pada, meru tumpang tiga, tempat tujuan para pahlawan perang. Setelah melewati tempat itu, menyusuri jalan raya yang lurus ke langit kencana yang disebut sorga kancana dan bumi kancana. Jalan yang dibatasi oleh barisan pepohonan dan perdu, melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu ke lain tangga. Wewangian semerbak rupa-rupa bunga di sepanjang jalan mengiringi perjalanan hingga tiba di surga kencana, tempat Sri Ajnyana sebelum diturunkan ke bumi.
Setelah beranjak dari situ, Sri Ajnyana pergi dan melintasi berbagai kahyangan. Dia melintasi keempat jagat (caturloka), kemudian buana Meukah bernama surga Siak. Naik setingkat dari sana, sampai ke Sanghiyang Lengis, tempat tinggal Manondari dan Puah Nilasita, istri Hyang Surugiwa yang mati mengorbankan diri. Setelah itu, tiba di Sangkan Herang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (dewi padi), kemudian tiba di Sari Dewata tempat tinggal Wiru Mananggay, Manarawang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (lain) dan Dewi Satiawati. Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina Sada tiba di Rahina Wengi kediaman Puah Lakawati.
Teks naskah Sang Hyang Hayu diawali dengan seruan Sang Pembicara kepada para pendengarnya, khususnya kepada para pencari ilmu pengetahuan supaya dapat menyimak secara sungguh-sungguh mengenai pokok cerita dari ajaran suci yang dituturkan seorang mahaguru (wiku).
Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat [yaksa (raksasa jahat setengan dewa), pisaca (kuraci), setan‘, prata (hantu), buta (raksasa rakus) pitara (arwah leluhur gentayangan)]. kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan 3 susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu (tujuh sorga).
Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi (dunia) tempat manusia. Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala (neraka terdalam yang sangat mengerikan)). Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh loka (ruang lepas-bebas), yakni: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka (sorga tertinggi).
Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat [yaksa (raksasa jahat setengan dewa), pisaca (kuraci), setan‘, prata (hantu), buta (raksasa rakus) pitara (arwah leluhur gentayangan)]. kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan 3 susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu (tujuh sorga).
Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi (dunia) tempat manusia. Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala (neraka terdalam yang sangat mengerikan)). Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh loka (ruang lepas-bebas), yakni: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka (sorga tertinggi).
Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana kasunyian ―sunyi-hampa‖, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya, dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat taya ―kesirnaan-lenyap‖, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan acintyataya.
Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya (bagian terdalam kesirnaan). Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya bintang, rembulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh (partikel-partikel kecil, atom), dan berbagai suara mahluk hidup.
Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana. Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra (unsur halus) yang terdiri atas buddi (bijak), guna (pandai), pradana (saleh). Di atas itu terdapat sunyataya nirmala (kesunyisenyapan) suci abadi; dan berakhir pada tingkat kanirasrayan (kemahakuasaan atau kebebasan tertinggi), yakni ―takdir.
Teks naskah Sewaka Darma 14 — isi Kawih Panyaraman menurut Sanghyang SiksakandaNg karesian ─ lebih menekankan keadaan di dunia atas.
Teks ini berisi pengajaran keagamaan tempat Sang Séwaka Darma sering muncul sebagai murid yang harus diberi tuntunan perihal segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian. Dibicarakan pula nilai-nilai moral dan etis serta berbagai hal yang terdapat di dunia, dan di alam kesorgaan juga tentang kosmologis. Pendek kata, isinya sarat dengan ajaran mistis religio-filosofis dari koalisi tradisi lokal Sunda dengan konsep-konsep Hindu Budha.
Sebagai sebuah teks tutur dalam bentuk puisi Sunda Kuno, teks Sewaka Darma berbicara mengenai pengajaran guru kepada murid. Ada dua bagian utama yang digambarkan dalam teks ini setelah terlebih dahulu diawali tujuh larik pembukaan. Dalam paruh pertama tokoh utama, Sang Séwaka Darma adalah seorang murid yang menerima berbagai wejangan keagamaan dan moral dari seorang guru, yang dinamakan pandita, mahapandita, déwatakaki, atau sang nugraha (yang menyampaikan anugerah‘, juga petuah-petuah tentang nasib buruk yang menunggunya apabila ia mengabaikan petunjuk-petunjuk itu).
Dengan demikian, ingetkeun na dasasila, iseuskeun na panycasaksi = ingatlah tentang dasasila, camkanlah dalam pancasaksi‘ (0016-0017) (Apabila salah dalam perilaku, buruk itikad dan buruk pikiran, iri dengki kepada orang lain, sampai-sampai meneluh dan meracuni, mengguna-gunai dan menyakiti hati, setiap yang mendorong tekad jahat, apalagi benar-benar berdusta, membunuh orang-orang budiman, menuntut yang tidak berdosa. Itulah yang disebut kejahatan sesungguhnya) (0045-0054).
Maka dingatkan: Mulah sia jajamuga, kéna éta na drebya, kéna ti inya sangkanna, sangkan suka saka duka, mula hala lawan hayu, uit pati lawan hurip, tangkal sorga lawan papa (Jangan sampai engkau sukses, jika itu semata-mata karena harta, sebab dari situlah asalnya, sumber kesenangan dan pangkal derita, awal keburukan dan kebajikan, jembatan kematian dan kehidupan, sumber kebahagiaan dan kesengsaraan). (0062-0068).
Intinya berisi berbagai ajaran atau petunjuk untuk menghindarkan diri dari segala godaan perilaku yang tidak sesuai dengan norma kehidupan duniawi. Bagian teks berikutnya ialah mengenai paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi. Pemaparan hal dimaksud diawali ketika sang murid diberi tahu bahwa sekarang tiba saatnya bertemu di ambang maut.
Terlihat jelas perbatasan, dan terdengar bertalu-talu pertanda sudah sampai waktunya bayu-sabda-hedap (tenaga-kata-pikiran) hendak meninggalkan tempat. Ketika: jalan anggeus dicaangan, dora anggeus dibukakeun (jalan sudah diterangi), gerbang sudah dibukakan‘ (0546-0547), barulah samecat Sanghiang Atma, sadiri na ti kurungan (0550-0556) (atma lepas dari jasad).
Tiga serangkai bayu-sabda-hedap ini termasuk salah satu rangkaian yang disebut ―tiga rahasia‖ dalam SHH. Sebutan itu mengisyaratkan ketiganya sangat halus, sangat pelik, samar-samar dan sulit ditangkap. Ketiganya adalah kekuatan hidup yang amat halus yang menyebabkan adanya berbagai kenyataan.
Ketiga unsur halus yang lepas itu sangat besar pengaruhnya bagi jiwa. Jiwa yang telah kehilangan tiga unsur itulah yang disebut atma, juga biasa disebut sukma, yakni roh murni.
Bayu mengandung makna yang amat luas. Bayu tidak terbatas tempatnya. Bayu adalah segala daya yang terasa dan teraba. Dalam pada itu, salah satu hal penting mengenai sabda ialah ada sabda yang tersembunyi di dalam sabda itu sendiri. Artinya, ada sabda sama halnya dengan tidak ada sabda. Sabda seperti juga bayu, mengisi seluruh mahluk dan jagat semesta.
Sabda merupakan pembuka tabir rahasia karena dengan sabda dapat menamai segala apa yang tampak dan terdengar, yang terasa dan teraba, pemasti dunia yang nyata dan yang tidak nyata, sarana perjanjian di alam semesta; dan sabda tidak akan pernah berkurang meskipun mahluk bertambah.
Hedap juga seperti bayu dan sabda, tanpa batas. Hedap itu ketika digunakan untuk: melihat keluar dari mata, mendengan keluar dari telinga, mencium keluar dari hidung, merasa keluar dari lidah, dan meraba keluar dari kulit. Hedap pulalah yang membuat sesuatu hadir dan sirna dalam mimpi.
Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa. Makanya tatkala atma terbebas dari ketiga unsur itu disimbolisasikan berkilau bagaikan emas pindah, bagaikan kunang-kunang terbang, bagaikan pelangi muncul, bagaikan panah melesat naik, tiada yang menghalang-halangi.
Adapun yang disebut persimpangan, tiada lain dari tujuh jalan mendaki, simpangannya bercabang lima, jalan yang sama lebarnya. Berbagai marabahaya telah terlangkaui atma, bahkan penjaga gerbang neraka, Sang Yama tiba-tiba menyembah melihat atma berlalu menuju alam kesorgaan.
Tidak kesulitan atma menempuh jalan besar tanpa hambatan yang jejak sapunya masih rapi. Bunyi burung tekukur, perkutut, dan burung jalak telah membuatnya segar dan terhibur.
Penggambaran mengenai keadaan alam menjelang atma naik melewati berbagai lapisan aras langitan ini dikembangkan melalui deskripsi panjang (0582-0900) dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga (Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati sanubari) yang tidak kurang dari empat puluh jenis. Setelah menyebut aneka bunga, dilukiskan bangunan yang tiangnya bertaburkan intan permata mengelilingi jalan, tentu saja lengkap dengan bunga warna-warni yang cerah kemerahan, diperindah dengan saluran air berjajar, nyatanya parit-parit yang mengapit tiap-tiap tepi pertamanan.
Tidak mengherankan bila aroma aneka ragam bunga itu memikat berbagai jenis kumbang dan tawon. Gaungan serta dengungan kumbang dan tawon itu laksana menciptakan bunyi alunan paduan suara beragam alat musik yang harmonis. Petit saron bertautan dengan suara gong dan tambur, suara dram turut mengembang, suara lembut tarawangsa, suara kecapi menyenangkan, suara kukuran besar, suara calintuh di laut.
Semua bergema di sekitar telaga tenang yang berada di lokasi yang tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga-tangga. Harum wewangian pun memenuhi udara perjalanan atma ke tingkat-tingkat alam kesorgaan.
Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk perak, sang atma dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala (sepuluh noda). Lalu ia dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah dari kahyangan. Bangunan itu terbuat dari aneka ragam logam pilihan dengan beragam motif ukiran yang dilengkapi serba macam hiasan permata.
Di situ, sang atma berganti pakaian, dihias indah diolesi wewangian sehingga kembali ke rupa sejati. Inilah sebuah anugerah nyata bagi nu tuhu mangun hayu, laksana miguna tapa, nuturkeun saur nu tuhu, mapay sabda nu bisa, kéna tutur kawastuanana = yang setia berbuat kebaikan, berhasil melaksanakan tapa, mengikuti nasihat yang benar, menuruti perkataan orang mengerti, karena berisi tutur kebenaran) (0833-0837).
Segala macam gogaan sudah tak akan mempan menerjang sang atma, betapapun datang para bidadara ataupun bidadari dengan aneka ragam hiasan pakaian serba indah yang mereka kenakan, pahi nanggeuy jurung omas, teherna mawa aisan (sambil menating lempengan emas, kemudian membawa gendongan) (0866-0867).
Yang jelas semenjak berada di tempat ini, sang atma diaping bisikan lembut sang ambu utusan dari kahiangan menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala. Dengan kemampuan mengendalikan serta menahan segala hasrat maka ia akan nyaman dan ringan sehingga terbebas lepas dari ketidaksempurnaan.
Barulah setelah itu sang atma beranjak naik ke alam kesorgaan pertama lewat pelangi nyelinap ke matahari lalu digapainya tangga emas menuju tingkat-tingkat aras langitan. Sang atma tiba di wekas ning sabda (alam kesirnaan suara), batas antara siang dan malam.
Lewat setingkat dari situ, ia tiba di caturloka, empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung jagat, tempat yang terang-benderang sehingga terlihat arwah para leluhur.
- Di timur, Batara Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa.
- Di utara, Batara Wisnu dengan kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya.
- Di barat, Batara Mahadewa dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati.
- Di selatan, Batara Brahma dengan kahyangan warna merah, tempat para penghuni neraka yang suka memperbudak dan menyengsarakan orang.
- Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang siang, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya.
Lewat setingkat dari situ, sang atma tiba di Sanghiang Lengis, kahyangan licin serba mengkilap yang dihuni oleh Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Kita kenal tokoh Manondari isteri Rawana dan Nilasita isteri Sugriwa dalam teks naskah lontar Sunda Kuno yang memuat kisah putera Rama dan Rawana atau yang lebih dikenal dengan Pantun Ramayana.
Di sinilah sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar. Sang atma naik ke tingkat berikutnya, namanya Sangkan Hérang, sumber kejernihan tempat Sang Sri Dewi Pertiwi.
Tokoh inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri sebagai dewi bumi yang dipercaya kuat dalam urusan pertanian. Setingkat berikutnya yang dilalui sang atma adalah Saridéwata kediaman Wiru Mananggay, Pwah Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan. Penjelajahan sang atma naik setingkat lagi ke Wekasning Caang, artinya siang selama-lamanya, siang yang abadi, tempat para pertapa perempuan yang shalehah. Setingkat dari situ lalu sampailah sang atma ke Bungawari, yaitu penghujung langit terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa, cakrawala jagat raya, tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan.
Di sini, Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang berhasil melaksanakan ajaran.
Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik layar kemahagaiban: Anaking Sanghiang Atma, mana cunduk mara daréyuk, mana datang mara diundang, nu tuhu teher laksana, ageung teher hérang tineung. Mana na cunduk ka puhun, mana na datang ka tangkal, mana na nepi ka jati, mana na deuheus ka anggeus, datang ka ambu ka ayah (1100-1109) (Anakku Sanghiyang Atma, makanya tiba silakan pada duduk, makanya datang memang diundang, yang setia juga rupawan, terhormat lagi pula jernih pikir. Maka kini tiba kepada leluhur, maka kini datang kepada nenek moyang, maka kini sampai ke asal, maka kini sampai ke tuntas, datang kepada ibu dan ayah‘. Tak ada lontaran jawaban yang keluar dari sang atma sebagaimana biasanya dilakukan kepada mahapandita atau kepada déwatakaki).
Yang jelas, ia kini telah mencapai suasana alam: suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar, hurip tan pabalik pati, sorga tan pabalik papa, hayu tan pabalik hala, nohan tan pabalik wogan, moksa leupas tan pabalik wulat (suka tanpa kembali duka, kenyang tanpa kembali lapar, hidup tanpa kembali maut, bahagia tanpa kembali derita, baik tanpa kembali buruk, pasti tanpa kembali kebetulan, lepas sempurna tak nampak kembali) (1110-1116).
Inilah gambaran di aras langitan terakhir pengembaraan sang atma, totog ka Jatiniskala (mentok di alam maha gaib sejati), tempat hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa pencipta batas tapi tak terkena batas. Sang atma terhindar dari para leluhur, hilang dari Yang Nirwujud, pada kesirnaan yang tak terjangkau pikiran, pada hening tanpa dengar, yang halus tanpa kurungan, dalam lepas tak berbaur. Itulah yang disebut moksa (lepas sempuna secara hakiki). Dengan lain perkataan, di situlah atma ada setelah hilangnya bayu - sabda - hedap.
Bayu - sabda - hedap, menjadi kunci untuk membuka misteri sang atma sebagai roh murni yang teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya, ini kunci hanya berguna kalau hilang.
Pintu setiap tangga pendakian terbuka setelah kuncinya hilang. Begitu masuk, ia tidak akan kembali. Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa, tapi karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah sebuah pengembaraan untuk hilang, bukan untuk pulang. Tan pabalik, begitulah ungkapan yang dimunculkan teks Seuwaka Darma yang berarti (tidak akan kembali).
Tidak ada komentar
Posting Komentar