Silsilah dan Putra-Putri Prabu Siliwangi
Pajajaran adalah nama kerajaan yang lokasinya di pulau Jawa bagian barat, disebut Jawa Kulwan atau Jawa Kulon. Ada juga yang menyebut puseur atau galeuh (pusat) tatar Sunda. Keadaan alamnya digambarkan bagai surga di bumi, karena sangat subur dan indah. Maka tidak heran jika banyak yang menghendaki memilikinya.
Mengenai Pajajaran, banyak yang menulis, sehingga sulit untuk membuat ringkasan secara tegas, karena adanya data-data yang kadang-kadang bertentangan, terutama kaitannya dengan Islam, dan asing. Dari data-data terdahulu dapat diketahui, bahwa Jawa Barat itu merupakan wilayah yang sangat menarik. Raja-raja besar berusaha untuk menaklukkan wilayah ini. Tetapi tidak satu pun yang berhasil, karena oleh pribumi dipertahankan mati-matian. Tak ada yang mampu meruntuhkan kerajaan di Jawa Barat.
Gajah Mada telah mencoba dengan cara tipu muslihat yang sangat licik dan kejam, yang dikenal dengan sebutan Pasunda bubat, ialah perang di Bubat. Tapi hasilnya ialah keruntuhan dirinya dan kemunduran Majapahit. Bagi Sunda malah punya nama yang sangat harum karena semua orang Sunda memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kalah. Termasuk putri Sunda, ialah Dyah Pitaloka atau Citraresmi, memilih bunuh diri, demi kesucian bangsanya. Peristiwa ini terjadi tahun 1279 Caka (1363 M); tepatnya pada hari Selasa Wage/Pahing, tanggal 13 suklapaksa, Badramasa 1279 Caka (01 Agustus 1363 Masehi, 19 Sawal 0764 Hijrah)
Keharuman Sunda ini terbukti dari data sejarah dari orang Portugis yang datang ke wilayah Nusantara tahun 1400an Caka (1500an Masehi), jadi sekitar 140 tahun setelah peristiwa Bubat. Kerajaan-kerajaan di Nusantara menamakan dirinya Sunda kepada orang Portugis yang masih buta mengenai Nusantara. Maka orang Portugis itu menyimpulkan, bahwa Nusantara itu ialah Sunda. Karena di bagian barat pulau-pulaunya besar disebut Soenda Mayor, sedangkan di bagian timur pulau-pulaunya kecil, maka disebut Soenda Minor.
Catatan Portugis ini oleh orang Belanda juga dipakai dengan sebutan “Soenda eilanden”, yang terdiri dari “Grote Soenda eilanden” dan “Kleine Soenda eilanden”, artinya Kepulauan Sunda itu terdiri dari Kepulauan Sunda Besar dan kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Sedangkan sisanya disebut Kepulauan Sunda Kecil.
Islam memusuhi Pajajaran, karena Pajajaran tidak sudi dijajah oleh siapapun. Islam yang dijadikan alat oleh Cina digunakan untuk merebut Nusantara. Di antaranya bermaksud meruntuhkan Pajajaran. Mula-mula Cirebon melepaskan diri dari Pajajaran karena didukung oleh kekuatan Demak. Lalu jalur perekonomian diblokir, karena lintasan laut utara telah berada dalam kekuasaan Islam dan Cina.
Raja Pajajaran waktu itu mempunyai banyak anak, ia mempunyai putra mahkota anak dari permaisuri. Istri lainnya raja Pajajaran mempunyai 3 orang anak, yaitu pertama Raden Banyakcatra, Raden Kamandaka yang menjadi bupati di Pasirluhur. Kedua Raden Banyakngampar menjadi bupati Dayeuhluhur, ketiga Nay Retna Ayu Mrana yang dikawinkan dengan Raden Baribin/Panditaputra yang patuh pada Siwa-Buddha.
Mengenai Pajajaran, banyak yang menulis, sehingga sulit untuk membuat ringkasan secara tegas, karena adanya data-data yang kadang-kadang bertentangan, terutama kaitannya dengan Islam, dan asing. Dari data-data terdahulu dapat diketahui, bahwa Jawa Barat itu merupakan wilayah yang sangat menarik. Raja-raja besar berusaha untuk menaklukkan wilayah ini. Tetapi tidak satu pun yang berhasil, karena oleh pribumi dipertahankan mati-matian. Tak ada yang mampu meruntuhkan kerajaan di Jawa Barat.
Gajah Mada telah mencoba dengan cara tipu muslihat yang sangat licik dan kejam, yang dikenal dengan sebutan Pasunda bubat, ialah perang di Bubat. Tapi hasilnya ialah keruntuhan dirinya dan kemunduran Majapahit. Bagi Sunda malah punya nama yang sangat harum karena semua orang Sunda memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kalah. Termasuk putri Sunda, ialah Dyah Pitaloka atau Citraresmi, memilih bunuh diri, demi kesucian bangsanya. Peristiwa ini terjadi tahun 1279 Caka (1363 M); tepatnya pada hari Selasa Wage/Pahing, tanggal 13 suklapaksa, Badramasa 1279 Caka (01 Agustus 1363 Masehi, 19 Sawal 0764 Hijrah)
Keharuman Sunda ini terbukti dari data sejarah dari orang Portugis yang datang ke wilayah Nusantara tahun 1400an Caka (1500an Masehi), jadi sekitar 140 tahun setelah peristiwa Bubat. Kerajaan-kerajaan di Nusantara menamakan dirinya Sunda kepada orang Portugis yang masih buta mengenai Nusantara. Maka orang Portugis itu menyimpulkan, bahwa Nusantara itu ialah Sunda. Karena di bagian barat pulau-pulaunya besar disebut Soenda Mayor, sedangkan di bagian timur pulau-pulaunya kecil, maka disebut Soenda Minor.
Catatan Portugis ini oleh orang Belanda juga dipakai dengan sebutan “Soenda eilanden”, yang terdiri dari “Grote Soenda eilanden” dan “Kleine Soenda eilanden”, artinya Kepulauan Sunda itu terdiri dari Kepulauan Sunda Besar dan kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Sedangkan sisanya disebut Kepulauan Sunda Kecil.
Islam memusuhi Pajajaran, karena Pajajaran tidak sudi dijajah oleh siapapun. Islam yang dijadikan alat oleh Cina digunakan untuk merebut Nusantara. Di antaranya bermaksud meruntuhkan Pajajaran. Mula-mula Cirebon melepaskan diri dari Pajajaran karena didukung oleh kekuatan Demak. Lalu jalur perekonomian diblokir, karena lintasan laut utara telah berada dalam kekuasaan Islam dan Cina.
Raja Pajajaran waktu itu mempunyai banyak anak, ia mempunyai putra mahkota anak dari permaisuri. Istri lainnya raja Pajajaran mempunyai 3 orang anak, yaitu pertama Raden Banyakcatra, Raden Kamandaka yang menjadi bupati di Pasirluhur. Kedua Raden Banyakngampar menjadi bupati Dayeuhluhur, ketiga Nay Retna Ayu Mrana yang dikawinkan dengan Raden Baribin/Panditaputra yang patuh pada Siwa-Buddha.
Silsilah Prabu Siliwangi
Ringkasnya Silsilah Prabu Siliwangi Sebagai Keturunan Raja Galuh-Sunda, sebagai berikut :
1. Prabu Lingga Dewata, Raja Sunda ke 28 (1311 – 1333 M), berkedudukan di Kawali.
2. Prabu Ajiguna Wisesa / Ajiguna Lingga Wisesa / Lingga Wesi, Raja Sunda-Galuh ke 29 (1333-1340), berkedudukan di Kawali, adalah menantu Prabu Lingga Dewata. Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333 - 1482 adalah Zaman Ka-Wali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di "Astana" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Ajiguna Linggawisesa dari isrtinya, Dewi Uma Lestari / Ratu Santika, berputra :
(1) Prabu Lingga Buana / Prabu Ragamulya Luhurprabawa (Prabu Maharaja)
(2) Prabu Bunisora (Prabu Kuda Lalean)
(3) Dewi Kiranasari
3. Prabu Maharaja Lingga Buana, Raja Sunda-Galuh ke 30, (1340 – 1357 M), berkedudukan di Kawali, gelar Prabu Wangi, berputra :
(1). Dyah Pitaloka Citraresmi
(2). Prabu Niskala Wastukancana / Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah)
Pada jaman Prabu Prabu Lingga Buana terjadi Perang Bubat, perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.
Tragedi Bubat adalah tragedi tewasnya rombongan pengantin Sunda akibat pengkhianatan oleh Gajah Mada, patih Majapahit, dan pasukannya yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M di Bubat. Pada masa itu pemerintahan Majapahit dirajai oleh Hayam Wuruk sedangkan pemerintahan Kerajaan Sunda dirajai oleh Maharaja Linggabuana. Tragedi ini berakhir dengan tewasnya Raja Sunda bersama rombongannya, termasuk putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi. Sang Putri Dyah Pitaloka akhirnya dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Kejadian tragedi ini bersumber dari naskah-naskah kuno Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Carita Parahiyangan, dan Serat Pararaton.
(1). Dyah Pitaloka Citraresmi
(2). Prabu Niskala Wastukancana / Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah)
Pada jaman Prabu Prabu Lingga Buana terjadi Perang Bubat, perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.
Tragedi Bubat adalah tragedi tewasnya rombongan pengantin Sunda akibat pengkhianatan oleh Gajah Mada, patih Majapahit, dan pasukannya yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M di Bubat. Pada masa itu pemerintahan Majapahit dirajai oleh Hayam Wuruk sedangkan pemerintahan Kerajaan Sunda dirajai oleh Maharaja Linggabuana. Tragedi ini berakhir dengan tewasnya Raja Sunda bersama rombongannya, termasuk putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi. Sang Putri Dyah Pitaloka akhirnya dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Kejadian tragedi ini bersumber dari naskah-naskah kuno Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Carita Parahiyangan, dan Serat Pararaton.
4. Prabu Bunisora / Prabu Mangkubumi Suradipati / Prabu Kuda Lalean, adik Prabu Lingga Buana, Raja Sunda-Galuh Ke 31 (1357 - 1371 M). Dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Prabu Bunisora, berputra :
(1). Bratalegawa
(2). Nay Ratna Mayangsari / Ratu Banawati, yang dipersunting Prabu Niskala Wastukancana / Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah)
(3). Ki Gendeng Kasmaya
(1). Bratalegawa
(2). Nay Ratna Mayangsari / Ratu Banawati, yang dipersunting Prabu Niskala Wastukancana / Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah)
(3). Ki Gendeng Kasmaya
5. Prabu Niskala Wastukancana / Prabu Anggalarang (Prabu Wangsisutah), Raja Sunda ke 32(1371-1475). Ia adalah anak Prabu Lingga Buana, dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.
Prabu Niskala Wastu Kancana, mempunyai dua permaisuri, yaitu :
- Permaisuri yang ke 1 adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir :
(1). Sang Haliwungan, setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal.
(2). Haliwungan
(1). Sang Haliwungan, setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal.
(2). Haliwungan
- Permaisuri yang ke 2 adalah Nay Ratna Mayangsari (Ratu Banawati), puteri sulung Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir :
(1). Rakryan Ningratkancana, setelah dinobatkan menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
(2). Ki Gedeng Singapura
(3). Ki Gendeng Sindang Kasih
(1). Rakryan Ningratkancana, setelah dinobatkan menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
(2). Ki Gedeng Singapura
(3). Ki Gendeng Sindang Kasih
6. Prabu Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal, Raja Galuh Ke-33 (1475 - 1482 M).
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana.
- Prabu Dewa Niskala / Rakryan Ningratkancana, Raja Galuh Ke-33 (1475 - 1482 M), berkedudukan Galuh di Kawali Ciamis, berputra :
(1). Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
(2). Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu / Raden Palinggih yang menikahi Ratu Simbar Kancana, Raja Talaga
(3). Dewi Retna Pamekas / Ratu Ayu Kirana
- Prabu Susuktunggal / Sang Haliwungan, Raja Sunda - Galuh Ke-33 (1475 - 1482 M), berputra :
(1). Ratu Kentringmanik Mayang Sunda (Nyimas Padmawati), yang dinikah oleh Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
(2). Raden Amuk Murugul
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana.
- Prabu Dewa Niskala / Rakryan Ningratkancana, Raja Galuh Ke-33 (1475 - 1482 M), berkedudukan Galuh di Kawali Ciamis, berputra :
(1). Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
(2). Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu / Raden Palinggih yang menikahi Ratu Simbar Kancana, Raja Talaga
(3). Dewi Retna Pamekas / Ratu Ayu Kirana
- Prabu Susuktunggal / Sang Haliwungan, Raja Sunda - Galuh Ke-33 (1475 - 1482 M), berputra :
(1). Ratu Kentringmanik Mayang Sunda (Nyimas Padmawati), yang dinikah oleh Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
(2). Raden Amuk Murugul
5. Sri Baduga Maha Raja (Jaya Dewata / Raden Pamanah Rasa), Raja Pakuan Pajajaran 1482 - 1521 M, gelar : Prabu Siliwangi (1482 - 1521).
Kerajaan Pajajaran
diawali oleh pemerintahan Ratu Jaya Dewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang memerintah selama 39 tahun. Pada masa inilah Pakuan
mencapai puncak perkembangannya.
Prabu
Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran seorang Muslim.
Putra dari Prabu Anggalarang kerajaan Gajah dari dinasti Galuh yang
berkuasa di Surawisesa atau Keraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal
dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih,
seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Jaya Dewata, putera Dewa Niskala mula-mula memperistri Ambet Kasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih. Kemudian memperistri Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura. Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mahzab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di Situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kemudian memperistri Kentrin Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
Pada tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jaya Dewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktunggal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya Jaya Dewata.
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jaya Dewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Prabu Siliwangi
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi.
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
artinya :
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Arti nama Siliwangi
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran di Bogor mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jaya Dewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jaya Dewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Putra-Putri Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata)
2. Banyak Ngampar (Silihwarni) / Arya Gagak Ngampar
3. Ratna Ayu Kirana
I. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata) perkawinan dengan Istri ke 1, yaitu Nyimas Ambetkasih (Cirebon) puteri
Ki Gedeng Sindangkasih, berputra :
1. Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka , Raja Pasir Luhur2. Banyak Ngampar (Silihwarni) / Arya Gagak Ngampar
3. Ratna Ayu Kirana
Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyi Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuk Tunggal putra Maha Prabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa / Giri Dewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (adik Maha Prabu Niskala Wastu Kancana).
II.
Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata),
perkawinan dengan Istri ke 2 yaitu Nyimas Subanglarang / Dewi Kumalawangi (Puteri Subang
Keranjang) putra dari Ki Gedeng Tapa / Ki Gedeng Jumajan Jati (Cirebon),
berputra :
1. Walangsungsang / Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana), Sultan Cirebon 1, berputra :
1.1. Nyai Mertasinga
1.2. Nyai Cempa
1.3. Nyai Rasamalasih
1.4. Pangeran Caruban / Pangeran Cirebon
1.5. Nyai Jamaras
1.6. Nyai Lara Sajati
1.7. Nyai Retna Riris / Nyai Kencana Larang, istri ke 3 Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin / Sri Mangana), Cirebon (tidak berputra).
1.8. Dewi Pakungwati / Nyi Mas Pakungwati
1.9. Nyai Laraskonda [Pajajaran]
2. Nyai Rara Santang / Hajjah Syarifah Mudaim, bersuami Syarif Abdullah Imdatuddin Wan Abdullah / Wan Bo Tri Tri (Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar), berputra :
2.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana), Sultan Cirebon
2.2. Sultan Muzaffar Syah / Syarif Nurullah
2.3. Syarif Arifin Pajajaran / Aal Azhamat Khan Ba Alawi
3. Prabu Kian Santang / Raden Sangara
1. Walangsungsang / Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana), Sultan Cirebon 1, berputra :
1.1. Nyai Mertasinga
1.2. Nyai Cempa
1.3. Nyai Rasamalasih
1.4. Pangeran Caruban / Pangeran Cirebon
1.5. Nyai Jamaras
1.6. Nyai Lara Sajati
1.7. Nyai Retna Riris / Nyai Kencana Larang, istri ke 3 Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin / Sri Mangana), Cirebon (tidak berputra).
1.8. Dewi Pakungwati / Nyi Mas Pakungwati
1.9. Nyai Laraskonda [Pajajaran]
2. Nyai Rara Santang / Hajjah Syarifah Mudaim, bersuami Syarif Abdullah Imdatuddin Wan Abdullah / Wan Bo Tri Tri (Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar), berputra :
2.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana), Sultan Cirebon
2.2. Sultan Muzaffar Syah / Syarif Nurullah
2.3. Syarif Arifin Pajajaran / Aal Azhamat Khan Ba Alawi
3. Prabu Kian Santang / Raden Sangara
Subang Larang,
istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam dari Kerajaan Sing
Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan
Permaisuri Subanglarang melahirkan Raden Walangsungsang atau
Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas
Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung
Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan
Cirebon I dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan Cirebon II dalam
Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M
III. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata) perkawinan dengan Istri ke 3, yaitu Nay Ratu Kentring Manik Mayang Sunda (Nyimas Padmawati), putra Prabu Susuk Tunggal Dari Galuh Kawali, Yang berkeraton di Galuh Pakuan Bogor, berputra :
1. Prabu Surawisesa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam), Raja Pajajaran Bogor ke 2, beristri Dewi Kinawati / Dewi Kania dari Tanjung Barat, berputra : Prabu Déwatabuanawisésa / Ratu Dewata, Raja Pajajaran Bogor ke 3.
2. Sultan Surasowan, Sultan Banten Pertama.
3. Dewi Surawati, kelak diperisteri oleh Adhipati Surakerta.
Setelah terbuka jati diri Sang Prabu Jayadewata masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu Jayadewata, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.
IV. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata) perkawinan dengan Nay Ratu Ratnasih (Ratu Rajamantri), putra dari Prabu Tirta Kusumah, Raja Sumedanglarang ke VI, berputra :
1. Raden Tenga
2. Raden Ceumeut / Raden Meumeut / Raden Ameut, berpurta Sunan Pada. Sunan Pada berputra :2.1. Pangeran Bangsit (Rd. Aji Mantri)
2.2. Pangeran Jaya Kusumah.
2.3. Nyimas Cukang Gedeng Waru yang dperistri oleh Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
2.4. Nyimas Sari, berputra Gedeng Kencur, berputra Gedeng Mataram, berputra Gedeng Suru, berputra Pangeran Sedang Karapyak, berputra pangeran Sedang Kemuning, berputra Sultan Mataram, berputra Sunan Tegalwangi, berputra Sunan Mangkuran Pajang, berputra Pangeran Kutawangan, berputra Ratu Harisbaya.
2.5. Nyimas Gedeng Tomo.
3. Munding Keleupeung / Munding Kelemu Wilamantri.
4. R. Sake (Prabu Wastu Dewata)
5. Munding Sari / Ratu Bancana
6. Prabu Laya Kusumah, menikah dengan Nyi Putri Buniwangi / Nyi Rambut Kasih putra Sunan Rumenggong (Prabu Layaran Wangi)
Nyi Putri Buniwangi / Nyi Rambut Kasih putra Sunan Rumenggong (Prabu Layaran Wangi), berputra :
6.1. Prabu Wastu Dewa
6.2. Prabu Hande Limansenjaya
7. Balik Layaran / Sunan Kebo Warna
8. R. Ne-Eukeun
9. Dalem Manggu Larang
10. Munding Dalem
8. R. Ne-Eukeun
9. Dalem Manggu Larang
10. Munding Dalem
Sesudah
Prabu Mertalaya (Sunan Guling) wafat digantikan oleh putranya Prabu
Tirtakusuma (Sunan Tuakan) di tahun 1237 - 1462 M, meneruskan dinasti
kerajaan Sumedanglarang yang ke Enam (VI).
Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) istrinya Ratu Nurcahya, beputra :
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 – 1521 M) Raja Pajajaran, berputra Rd. Meumeut, Rd. Meumeut berputra Sunan Pada, Sunan Pada beputra Nyi Mas Cukang Gedeng Waru yang nantinta menjadi istri ke 1 Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawijaya)
Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) istrinya Ratu Nurcahya, beputra :
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 – 1521 M) Raja Pajajaran, berputra Rd. Meumeut, Rd. Meumeut berputra Sunan Pada, Sunan Pada beputra Nyi Mas Cukang Gedeng Waru yang nantinta menjadi istri ke 1 Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawijaya)
2. Ratu Sintawati atau Nyi Mas Ratu Patuakan.
3. Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya putra Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewa Pranata) dari Istrinya Ratu Rajamantri. Prabu Liman Senjaya (Sunan Cipancar) beputra Dalem Liman Senjaya Kusumah di Kerta Rahayu Limbangan Garut.
Kemudian Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Parung Raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang ke delapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).
Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) dari senapati Pajajaran sebagai tanda bahwa Kerajaan Sumedang Larang penerus sah Kerajaan Pajajaran.
V. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata) perkawinan dengan Nyimas Aciputih putra Nyimas Rara Ruda (Cirebon), berputra :
1. Nyai Lara Badaya
VI. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata) perkawinan dengan Ratu Antem (Sukabumi), tidak diketahui para putranya.
Seajarah Keluarga Besar Limbangan (Garut), menuliskan Nyi Putri Buniwangi atau Nyi Putri Rambut Kasih putrinya Sunan Rumenggong menikah dengan Prabu Layakusumah putra Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata dari Ratu Anten. Prabu Layakusumah adalah raja di Keprabuan Pakuan Raharja (Cicurug Sukabumi) sebagai bawahan Kerajaan Pakuan Pajajaran (Bogor). Namun berdasarkan "Naskah Babon Asli Keturunan Sumedang", Prabu Layakusumah adalah putranya Ratu Raja Mantri dari Sumedang Larang seperti yang telah diuraikan di atas.
____________
Sumber :
1. Blog : Sejarah Sumedang larang
2. Tulisan Naskah Asli Babon Silsilah Keturunan Sumedang, Musium YPS Sumedang
3. sr.rodovid.org : Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
4. dan sumber lainnya.
1. Nyai Lara Badaya
VI. Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata) perkawinan dengan Ratu Antem (Sukabumi), tidak diketahui para putranya.
Seajarah Keluarga Besar Limbangan (Garut), menuliskan Nyi Putri Buniwangi atau Nyi Putri Rambut Kasih putrinya Sunan Rumenggong menikah dengan Prabu Layakusumah putra Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata dari Ratu Anten. Prabu Layakusumah adalah raja di Keprabuan Pakuan Raharja (Cicurug Sukabumi) sebagai bawahan Kerajaan Pakuan Pajajaran (Bogor). Namun berdasarkan "Naskah Babon Asli Keturunan Sumedang", Prabu Layakusumah adalah putranya Ratu Raja Mantri dari Sumedang Larang seperti yang telah diuraikan di atas.
____________
Sumber :
1. Blog : Sejarah Sumedang larang
2. Tulisan Naskah Asli Babon Silsilah Keturunan Sumedang, Musium YPS Sumedang
3. sr.rodovid.org : Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata)
4. dan sumber lainnya.
Post a Comment