Para Petinggi Pajajaran Yang Membawa Mahkuta Binokasih Dari Kadu Hejo Pulosari Pandeglang Ke Sumedang Larang

Sampurasun
Salam Rahayu Waluya Jati Sampurna
Insun Medal Insun Madangan

Berikut adalah Raja-raja Pajajaran yang memerintah di Pakuan Pajajaran, yaitu :
-  Sri Baduga Maharaja antara 1482–1521 masehi, bertahta di Pakuan Pajajaran Bogor 
- Prabu Surawisésa antara 1521–1535 masehi, bertahta di Pakuan Pajajaran Keraton Surawisesa Ciamis
- Prabu Déwata Buana Wisésa atau Ratu Dewata antara 1535–1543 masehi,  bertahta di Pakuan Pajajaran Bogor
- Ratu Sakti antara 1543–1551 masehi, bertahta di Pakuan Pajajaran Bogor
- Nilakendra antara 1551-1567, meninggalkan Pakuan Pajajaran Bogor, karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf.
- Prabu Raga Mulya alias Prabu Nusiya Mulya antara 1567–1579 masehi, dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang Banten


Prabu Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Surya Kencana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Prabu Nusya Mulya. Prabu Suryakencana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun atau Panembahan Pulasari, mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

Di masa Prabu Nusiya Mulya atau Panembahan Pulosari dikenal sebagai Raja terakhir Pakuan Pajajaran. Dikenal pula sebagai Prabu Raga Mulya Suryakencana  atau Prabu Nusya Mulya atau Pucuk Umum Panembahan Pulosari. Pasca Penyerangan Banten, ibukota Pakuan Pajajaran sudah tidak berfungsi sebagai Ibukota, telah ditinggalkan separuh penduduk yang mengungsi ke Wilayah Timur dan Pantai Selatan. Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur. Di antaranya Mahkota Binokasih Sanghiyang Pake menuju Sumedang Larang dan Pusat Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. 

Hal-hal yang bersifat keamanan, politik atau peperangan lazim menjadi alasan untuk perpindahan ibukota kerajaan, di mana di Limbangan atas persetujuan Sunan Rumenggong alias Prabu Jaya Kusumah dibentuk negara darurat Kerajaan Kerta Rahayu di Limbangan Garut.  Sebutan  Sunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa kerajaan, meskipun digunakan kaum bangsawan penggunaannya juga ditujukan kepada orang yang dihormati. 

Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah antara 1567-1569 masehi. Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena Raja-raja Pajajaran dari keturunan Wijaya Kusuma di Cipancar Limbangan, Wiradi Kusuma dan Dewi Komalasari di Cipancar Sumedang, ketiga saudara tersebut sebagai nenek moyangnya yang berasal dari Kerajaan Galuh Pakuan sebagai asal mulanya. Dan cucunya Dewi Komalasari yaitu Prabu Adi Permana Dikusuma nenek moyang Raja-raja Pajajaran, pendiri Karang Kamulyan Di Ciamis dan Prabu Tajimalela pendiri Kerajaan Sumedang Larang atau pepatah mengatakan "air mengalir dari muara ke hilir" 

Pada saat itu kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf, putranya yaitu  Sultan Hasanuddin menyerang Pajajaran, Prabu Ragamulya Suryakencana tidak memerintah lagi di Ibukota Pajajaran di Pakuan Bogor, tetapi di daerah Pulosari Kadu Hejo Pandeglang Banten, oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 masehi, akan tetapi dari tahun 1578 masehi, Prabu Ragamulya Surya Kencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.

Dalam Pustaka Nusantara  sargah 3 jilid 1 dan Kertabhumi sargah 1 jilid 2 disebutkan : "Pajajaran sirna ing ekadaÅ›a Å›uklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Åšakakala",  yang artinya, "Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka." Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 masehi.

Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya, "Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu". Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 masehi, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 masehi itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng Kota pakuan Pajajaran baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan Pajajaran merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo atau Ki Mas Jong, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo atau Ki Mas Jong bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu. 

Menjelang tahun 1578, tersiar berita dari para juru telik sandi yang mengkabarkan bahwa Keraton Pajajaran diserbu pasukan Surasowan Banten yang didukung oleh tentara Islam Cirebon. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakencana yang berada dalam kejaran Panglima Perang Surasowan bernama Ki Jongjo alias Ki Mas Jong, kemudian bersembunyi di hutan Pulosari, sedangkan Keraton Pajajaran dibakar habis. 

Kisah itu mungkin benar mungkin tidak, yang jelas justru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan Pajajaran yang dibuat Prabu Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya. 

Dan berakhirlah kerajaan Pajajaran antara 1482-1579 masehi. Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.







Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut : "Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata". Artinya: "Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si calon raja diberkati atu diwastu oleh pendeta tertinggi. 

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.

Pada saat yang sama di tahun 1578 masehi, Prabu Suryakencana memerintahkan para Senopatinya untuk menyelamatkan putra mahkotanya yang bernama Raden Aji Mantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya.

Prabu Ragamulya Surya Kencana pun meninggalkan Pulosari Pandeglang, tapak perjalanannya rombongan dari Kadu Hedjo Pulosari Pandeglang ke Limbangan, kini menjadi jalan lintas Selatan dari Pandeglang bekas karaton Pulosari dulu, menuju Jampang lalu ke Rancabuaya lalu ke Garut menuju Batu Karas, mereka menempuh jalur sisi Pantai Selatan untuk menghindari pasukan musuh yaitu pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Kesultanan Cirebon yang telah menghancurkan kerajaan Pajajaran saat itu, untuk bertemu dengan salah satu sesepuh putranya Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi dari salah satu permaisurinya yaitu  Ratu Ratna Inten Dewata putrinya Dalem Pasehan Kerajaan Timanganten yang tinggal di Limbangan, yaitu Sunan Rumenggong atau Prabu Layaran Wangi, yang kemudian diperintahkan untuk mendirikan Kerajaan Karta Rahayu di Limbangan, kerajaan keadaan darurat perang.

Prabu Ragamulya Suryakencana dan putra-putranya yaitu Pangeran Ajimantri, Pangeran Sastra Pura Kusumah alias Sutra Bandera, Pangeran Istihilah Kusumah alias Sutra Umbar berserta Kandaga Lante bermaksud meminta saran dari Sunan Rumenggong, sesepuh yang memiliki banyak pengalaman, di situlah Prabu Raga Mulya Surya Kancana merundingkam tentang pembahasan dan mendapat mufakat dari para sesepuh menyetujui penyerahan mahkota ke Kerajaan Sumedang larang, meskipun tidak sedikit yang tidak setuju dan meragukan kemampuan Kerajaan Sumedanglarang untuk meneruskan tongkat estapet Kerajaan Pajajaran.

Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata merupakan penguasa Sumedang Larang antara 1530-1579 masehi, yang berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru karena sebelumnya beribukota di Geger Sunten Ciguling pada jaman Ratu Patuakan dan Sunan Tjorendra berkuasa, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas pondasi Tajug Keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka atau 19 Juli 1558 masehi, lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari  Raden Sholih atau Pangeran Santri dan Ratu Nyimas Satyasih Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 masehi Pajajaran “Sirna ing bumi” ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten. 

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan idul fitri di Karaton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya atau Nanganan, Dipati Kondanghapa, Dipati Pancar Buana Terong Peot dan para Petinggi Pajajaran lainya membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk diserahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun antara 1578–1610 masehi sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.

Dalam konteks sejarah Kerajaan Sumedang Larang banyak sekali yang tidak tercatat sehingga sulit menyambungkan benang merahnya, karena tercecer dalam cerita rakyat turun-temurun, babad sejarah lokal maupun manuskrip,  yang berkaitan ketika ditinggalkannya Kerajaan Pakuan Pajajaran yang bertahta di Keraton Kadu Hejo Pandeglang di jaman Prabu Raga Mulya Surya Kencana atau Prabu Nusiya Mulya berkuasa antara 1567–1579 masehi, yang sejaman dengan Ratu Pucuk Umun Sumedang alias Ratu Inten Dewata alias Ratu Satyasih dan Pangeran Santri ketika bertahta di Ibukota Kerajaan Sumedang Larang di Kutamaya Padasuka Sumedang antara 1529 -1579 masehi.

Seperti cerita rakyat Babad Pajagan di dusun Cicau, Desa Pajagan Kecamatan Situraja  yang menceritakan Layang Dikusumah alias Ki Ajar Gede alias Mbah Gede dan adiknya Mayang Kusumah alias Eyang Ambu keturunan Pajajaran dan Kebataraan Gunung Pancar Bogor, Lontar Sakawayana yang menceritakan putera Mahkota Pangeran Aji Mantri, putranya Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Haris Maung dari salah satu isterinya yaitu Ratna Gumilang, Babad Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan yang menceritakan Sutra Bandera atau Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Pangeran Istihilah Kusumah atau Sutra Umbar keturunan Raja Pajajaran, yaitu Prabu Ragamulya Surya Kencana, cerita turun temurun desa Padasuka dan lain-lainya.






Pada waktu itu Mahkota Binokasih, telah dulu dibawakan ke wilayah Kerajaan Sumedang Larang oleh putra-putranya Prabu Nusiya Mulya lalu mendapat persetujuan para Senopati Pajajaran dan para Kandaga Lente, pada waktu penobatan Pangeran Angkawijaya alias Prabu Geusan Ulun dan diantara ada di wilayah Sumedang Larang.

Rakean Ropiah Hadas alias Ki Guntur Geni digelari Patih Gajah Lindu, dalam Babad Cirebon disebut Patih Argaputranya Prabu Dewa Niskala Wastu antara 1475- 1486 masehi, dari isterinya Ratu Hatimah, Rakean Ropiah Hadas alias Ki Guntur Geni digelari Patih Gajah Lindu pada jaman Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umum Sumedang, adalah Maha Patih sepuh pertama yang mengabdikan dirinya ke Kerajaan  Sumedang Larang, karena ketika disuruh mencari Subang Larang dan Rara Santang oleh Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, namun dalam pencariannya tidak berhasil, daripada kembali Pakuan Pajajaran, karena takut mendapat sanksi akhirnya mengabdikan diri ke kerajaan Sumedang Larang pada masa Ratu Pucuk Umum atau Ratu Inten Dewata.

Makamnya Ki Guntur Geni berada di Gunung Ciung Pasarean Gede kelurahan Kota Kulon Sumedang Selatan sebelum ke makam Pangeran Santri dan Nyimas Satyasih alias Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun 
 
Pada waktu Pajajaran Burak ada beberapa orang yang hijrah ke Sumedang Larang, ada yang dari keluarga Raja, ada yang tadinya menjadi penguasa daerah parahyangan, misalnya Kandaga Lente, ponggawa karaton, cutak dan lain sebagainya. Kandaga Lante adalah semacam kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak atau setingkat Camat dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak kurang lebih 9000 umpi.

Namun tidak semua yang hijrah ke Sumedang Larang dari wilayah Kerajaan Pajajaran mendapatkan jabatan, ada juga yang membuka pemukiman baru atau ada juga yang berbaur dengan masyarakat setempat.

Dari cerita turun-temurun maupun babad lokal setempat dan data keterangan dari Paguyuban Kuncen Puseur Buana Sumedang atau PKPBS,  ada beberapa orang yang tinggal di Sumedang Larang, diantaranya :
1. Pangeran Aji Mantri, putranya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Surya Kencana alias Panembahan Pulosari alias Prabu Harismaung yang bertahta di Kadu Hejo Pulosari Pandeglang antara 1567–1579 masehi dari permaisurinya Nyi Ratna Gumilang. 
Dalam Lontar Sakawayana disebutkan, ketika Batara mau merombak Pajajaran, lalu Prabu Haris Maung atau Prabu Surya Kencana memilih Pangeran Ajimantri atau Raden Sakawayana serta membawa rakyat Pajajaran sebanyak tujuh umpi atau tujuh kepala keluarga. Raden Ajimantri sebagai penyangga Pajajaran, lalu ditempatkan di Sumedang menjadi Papatok Pajajaran. 

2.  Sutra Bandera alias Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Sutra Umbar alias Pangeran Istihilah Kusumah, adalah putra-putranya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Surya Kencana alias Panembahan Pulosari alias Prabu Harismaung yang bertahta di Kadu Hejo Pulosari Pandeglang antara 1567 –1579 masehi, dari Istrinya Nyimas Harom Muthida alias Nyimas Oo Imahu.
Jadi antara Pangeran Aji Mantri dan Sutra Bandera alias Pangeran Sastra Pura Kusumah dan Sutra Umbar alias Pangeran Istihilah Kusumah terdapat persaudaraan kakak beradik namun berlainan Ibu.

3. Jaya Perkasa alias Sanghyang Hawu, Senapati Utama Sumedang Larang heroik ini nama aslinya adalah Jaya Kusumah atau lebih dikenal Jaya Perkasa atau Jaya Perkosa, petilasannya yang dipercaya ada di Gunung Rengganis, Dusun Dayeuh Luhur, Desa Dayeuh Luhur, Kecamatan Ganeas, walaupun berupa hanya batu kabuyutan Gunung Rengganis atau Gunung Curi, di bawah Gunung Rengganis ada makam Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Angka Wijaya, makam Ratu Harisbaya. 
Silsilah Jaya Perkasa alias Sanghyang Hawu adalah sebagai berikut :
Nyimas Saripah, adiknya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Ragamulya Surya Kencana, ditikah oleh Batara Kusumah alias Abdul Karim dari kebataraan Gunung Pancar Bogor, mempunyai anak :
Anak ke 1. Jaya Perkasa alias Sanghyang Hawu, menikah dengan  Nyimas Suniasih anak ke 4 Prabu Nusiya Mulya dari Nyimas Oo Imahu 
Anak ke 2 Mayang Kusumah alias Buyut Sari Nyata, makamnya di Desa Pajagan Kecamatan Situraja

Makam Jaya Perkasa atau Jaya Perkosa, berada di makam Keramat Tajur di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan, berdampingan dengan petinggi Pajajaran dan Senapati Utama Kerajaan Sumedang Larang  yaitu Pangeran Istiihilah Kusumah atau Sutra Umbar, yang hijrah dari Pakuan Pajajaran bersama saudara-saudaranya yaitu Batara Kusumah ayahnya Jaya Perkasa, Sutra Bandera alias Pangeran Sastra Pura Kusumah, Pangeran Ajimantri. 

4. Batara Pancar Buana alias Terong Peot, adalah salah satu dari empat kandaga Lente yang pada jaman Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan tanggal 22 April 1578 masehi menjadi Nalendra Raja Sumedang Larang , Batara Pancar Buana alias Terong Peot pun diangkat oleh Prabu Geusan Ulun menjadi senapatinya. 

5. Nangganan, nama aslinya Wirajaya, adalah salah satu dari empat kandaga Lente yang pada jaman Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan tanggal 22 April 1578 masehi menjadi Nalendra Raja Sumedang Larang , Wirajaya pun diangkat oleh Prabu Geusan Ulun menjadi senapatinya. 


Nangganan adalah jabatan sistem kerajaan Pajajaran dalam naskah Siksa KandaNg Karesyian sistem hirarki pertanggung-jawabannya disebutkan sebagai berikut : Wado bertanggung jawab atau berkoordinasi  kepada Mantri, Mantri bertanggung jawab atau berkoordinasi kepada Nangganan,  Nangganan bertanggung jawab atau berkoordinasi  kepada Mangkubumi, Mangkubumi  bertanggung jawab atau berkoordinasi kepada Raja. 

Nangganan atau Wirajaya adalah saudaranya Batara Pancar Buana alias Terong Peot, silsilahnya sebagai berikut :
Kusnaedi Kusumah menikah dengan Nyimas Harsari, mempunyai anak :
Anak ke 1, Terong Peot alias Batara Pancar Buana
Anak ke 2, Wirajaya alias Dipati Nangganan  
Anak ke 3, Hatimah, ditikah oleh Sutra Bandera alias Pangeran Sastra Pura Kusumah, putranya Prabu Ragamulya Surya Kencana dan  Nyimas Harom Muthida alias Nyimas Oo Imahu.
Makam Nangganan alias Wirajaya berada di Dusun Cileuweung, Desa Sukaweuning, Kecamatan Ganeas. 

6. Batara Kondang Hapa alias Opit, adalah salah satu dari empat kandaga Lente yang pada jaman Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan tanggal 22 April 1578 masehi menjadi Nalendra Raja Sumedang Larang , Batara Kondang Hapa pun diangkat oleh Prabu Geusan Ulun menjadi senapatinya. 
Batara Kondang Hapa adalah anaknya Jagalaya alias Suhaiti dan Istima alias Siti Komalasari yang berasal dari Pajajaran, Batara Kondang Hapa mempunyai adik perempuan yaitu istihi alias Lenggang Sari 
Makam Batara Kondang Hapa,  berada di Dusun Cileuweung, Desa Sukaweuning, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang.

7. Ki Amuk Laksa Geni, makamnya berada di makam Pasarean Gede, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Sumedang Selatan.

8. Layang Dikusumah alias Embah Gede adalah kakak nya Jaya Perkasa dan Mayang Kusumah alias Buyut Sari Nyata berasal dari Mandala Kebataraan Gunung Pancar Bogor,  makamnya di Dusun Cicau Desa Pajagan Kecamatan Situraja.

9. Mayang Kusumah alias Buyut Sari Nyata alias Sanghyang Ambu adalah adiknya Jaya Perkasa berasal  dari Mandala Kebataraan Gunung Pancar Bogor, makamnya di Dusun Cicau Desa Pajagan Kecamatan Situraja.

10. Kadiran, adalah suaminya Mayang Kusumah. Kadiran berasal dari Pangeureunan Limbangan Garut keturunan Batara Hyang Janapati Galunggung Tasikmalaya, suami dari Mayang Kusumah, makamnya di Dusun Cicau Desa Pajagan Kecamatan Situraja.
11. Buyut Merah, makamnya di desa Situraja Kecamatan Situraja
12. Jenggala Wangi
13. Rangga Surya
14. Rangga Surya Geni
15. Jati Sarana
16. Candara Putih
17. Rangga Seta
18. Braja Sakti
19. Braja Wulung, makamnya di Dusun Paseh, Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara
20. Raden Adnan Panjunan makamnya di Limbangan Garut.
21. Braja Geni
22. Braja Wisesa
23. Surya Pati
24. Prabu Surya Wiguna
25. Sanghyang Ganda Wesi
26. Raden Rangga Wangi
27. Raden Anggara Wangi
28. Rara Wangi
29. Ayu Rara Campaka Wenang
23. Ayu Rara Campaka Wening
31. Sanghyang Jaga Kanca
32. Gagak Lumayung dan Gagak Karancang, adalah silib atau sandi dalam misi menyelamatkan Pajajaran Nagara, atau pasukan telik sandi khusus yang tentunya ada komandannya, jadi bukan untuk Ki Santang saja, sandi Gagak Lumayung dan Gagak Karancang disandikan tetapi juga untuk keturunan Raja Pajajaran lainnya, yang menguasai olah kanuragan dan kepandaian di bidang telik sandi.
33. Arya Sancapati, makamnya di Dusun Naluk Desa Naluk Kecamatan Cimalaka. 

Tidak semua mereka disebutkan di atas dapat diidentifikasi makam-makamnya, karena banyak yang kehilangan jejak sejarahnya, dan penomoran di atas pun hanya untuk memudahkan saja

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya alias Pangeran Kusumadinata 2 dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun antara 1578–1610 masehi, sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi saraka 1 jilid 2 halaman 69, yang berbunyi ;“Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” artinya Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. 

Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. 

Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masehi masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali atau daerah Brebes sekarang di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. 

Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.

Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan., sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati. 

Dalam Pustaka Kertabhumi sargah ke 1 jilid 2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” artinya mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. 

Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya, sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak atau setingkat Camat dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak kurang lebih 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.
 
Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra, sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.


Pusat Kerajaan Sumedanglarang ditetapkan di Kutamaya yang terletak di kawasan Sumedanglarang. Istana Kerajaan dibangun dari bahan serba kayu, menggunakan arsitek model Sunda dengan menghadap ke alun-alun Mayadatar. Simbol cita-cita Ratu Pucuk Umun dinukilkan dalam monument Kuta yang dibuat dari tanah dalam bentuk bulat dan membujur ke arah langit.

Batas wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang meliputi batas barat deretan pegunungan Manglayang yang memisahkan Sumedang Larang dengan Sukapura (Bandung dahulu), batas utara daerah Ujungjaya, batas timur kali Cilutung dan batas selatan deretan Pegunungan Tjakrabuana meliputi daerah Limbangan Garut.

Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka atau 19 Juli 1558 masehi, lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum.

Pangeran Santri dari isterinya Ratu Inten Dewata, mempunyai anak juga yaitu,  Pangeran Angkawijaya,  Demang Rangga Haji, Demang Watang, Santowan Wira Kusumah, Santoan Tjikeruh dan Santowan Awiluar alias Pangeran Bungsu. Dari sejak mereka kecil diajari ilmu kepemimpinan dan ajaran Islam. Setelah Pangeran Angkawijaya dewasa, ada tanda-tanda Ratu Pucuk Umun menyerahkan tahta kekuasaannya kepada dia, akan tetapi belum cukup usia.

Menjelang tahun 1578 masehi, tersiar berita dari para juru telik sandi yang mengkabarkan bahwa Keraton Pajajaran diserbu pasukan Surasowan Banten yang di dukung oleh tentara Islam Cirebon. Tahta nobat Sriwacana diboyong ke Surasowan Banten. Prabu Ragamulya Suryakencana berada dalam kejaran Pangalima Perang Surasowan bernama Ki Jungju alias Kiyai Mas Jong, kemudian bersembunyi di hutan Pulo Sari. Sedangkan Keraton Pajajaran dibakar habis, karena keraton sudah kosong,

Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Kerajaan  Pajajaran sudah menurun dibeberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten. 

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradjaya alias Nangganan, Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya  dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun antara 1578–1610 masehi sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran

Sejarah tersebut menyiratkan bahwa Mahkuta Binokasih diserahkan setelah burak Kerajaan Pajajaran, sebab Kerajaan Pajajaran runtuh tanggal 5 mei 1579. Sedangkan empat Kandaga Lante menyerahkan Mahkuta Binokasih ke Kutamaya tanggal 22 April 1578, jadi 13 bulan sebelum runtuh Kerajan Pajajaran Mahkuta Binokasih sudah berada di wilayah Kerajaan Sumedanglarang.

Ada yang mengisahkan buraknya Kerajaan Pajajaran mahkuta dipasrahkan ke Keraton kutamaya, padahal sabelumnya sudah diatur berdasarkan sawala para pangagung Pajajaran yang mesti menyerahkan mandatnya ke Kerajaan Sumedanglarang, yang waktu itu masih dipegang kekuasaan oleh Ratu Inten Dewata dan Pangeran Santri, orang tuanya Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Angkawijaya.

Hal ini mungkin dikarenakan Ratu Inten Dewata masih terah dari Pajajaran juga, dengan silsilahnya sebagai berikut :
Ratu Rajamantri diperistri oleh Prabu Sri Baduga Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi, mempunyai anak :
Anak ke 1, Haini
Anak ke 2, Rusmana alias Prabu Liman Senjaya
Anak ke 3. Jaka Puspa alias Guru Gantangan alias Prabu Munding Sari Ageng alias Prabu Mundingwangi.

Raden Jaka Puspa alias Prabu Munding Sari Ageng alias Prabu Munding Wangi, beristeri Mayang Karuna alias Sari Hasanah, putrinya Begawan Garasiang Talaga, mempunyai anak, yaitu : 
Anak ke 1, Raden Santajaya alias Raden Sonda Sanjaya alias Sunan Tjorendra.
Raden Santajaya alias Raden Sonda Sanjaya alias Sunan Tjorendra.dan beristri Sintawati alias Sunan Patuakan, mempunyai anak : Nyima Satyasih alias Satyawati alias Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun Sumedang, Simadu alias Buyut Sepuh,  Nyimas Panelem alias Buyut Loperes dan Tanurja.
Anak ke 2, Raden Rangga Mantri alias Prabu Pucuk Umun Talaga memperisteri Ratu Parung alias Ratu Sunia Larang.

Selain itu dari segi darah kerajaan dari istrerinya Prabu Geusan Ulun yang pertama, yaitu : Ratu Cukang Gedeng yang sama keturunan atau trah keturunan Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi. Karena Ratu Tjukang Gedeng Waru adalah putrinya Raden Hasata alias Sunan Pada  alias Dung Wangi dari istrienya Nymas Aisyah. 

Raden Hasata alias Dung Wangi alias Sunan Pada putranya Raden Meumeut alias Buyut Nyata dari istrinya Nyimas Mala Rokaya atau Buyut Milah, dari Hanjatan Indramayu.  Raden Meumeut alias Buyut Nyata adalah putra pertama dari Ratu Rajamantri dan Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi.

Ratu Raja Mantri alias Nyimas Ratnawati adalah, putri pertama Prabu Tirtakusuma alias Sunan Tuakan dari permaisurinya Ratu Nurcahya alias Banon Puspitasari alias Erni Nur Aini. 

Ratu Rajamantri alias Nyimas Ratnawati, sebelumnya menjadi Ratu atau Raja Kerajaan Sumedang Larang dahulu menggantikan ayahnya Prabu Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan, yang kemudian diperistri oleh Pamanah Rasa alias Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, sebagai garwa Padmi ke empat dan diboyong ke Pakuan Pajajaran.

Adapun silsilahnya sebagai berikut :
Surya Jaya Kusuma alias Raden Abun beristerikan Nyimas Puspita Kencana alias Hartini, asal Limbangan, putrinya yaitu Banon Puspitasari alias Ratu Nurcahya alias  Erni Nur Aini dan diperisteri Prabu Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan, mempunyai anak :
Anak ke 1, Ratnawati alias Raja Mantri, diboyong ke Pakuan Pejajaran Bogor istri ka 4 Prabu Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi.
Anak ke 2. Sintawati alias Sunan Patuwakan, diperisteri oleh Raden Santajaya alias Sunan Tjorendra, putranya Jaka Puspa alias Prabu Munding Sari Ageng alias Prabu Mundingwangi.
Anak ke 3. Sari Kencana atau Dewi Rengganis atau Dewi Anggraini yang dipersunting oleh Pamannya yatu Rusmana alias Prabu Liman Senjaya, putranya Prabu Sri Baduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi dari isterinya Ratu Rajamantri Ratu Kerajaan Sumedang Larang yang diboyong ke Pakuan Pajajaran Bogot

Dengan adanya mahkuta sudah ada di wilayah Kerajaan Sumedang sebelum Watu Gilang sri Wacana diboyong oleh Kesultanan Surasowan, yang dibawanya juga batu tersebut Keraton di Kadu Hejo Pandeglang dalam keadaan keraton sudah kosong, karena telah ditinggalkan oleh Prabu Nusiya Mulya alias Prabu Ragamulya Surya Kencana, para Senapati dan pembesarnya. Prabu Raga Mulya Surya Kencana alias Prabu Nusiya Mulya mengambil langkah yang bijaksana untuk mengosongkeun Karaton Pulosari Pandeglang dari pada kulawarganya dan pasukannya cerai-berai, sebelum pasukan gabungan Kesultanan Banten  dan Cirebon datang.

Sepertinya potongan bait pepatah siliwangi berikut ini :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untuk aku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!

Berbeda dengan mahkuta Binokasih yang enteng membawanya, masa diumpetkan  di Pasir Huut Limbangan oleh Jaya Perkasa, ketika musyawarah dengan tokoh yang dianggap sepuh karena keilmuan atau wawasannya, yaitu Sunan Rumenggong alias Prabu Jaya Kusumah alias Rakean Layaran Wangi, Sunan Patinggi dan Sunan Rangga Lawe putra-putranya Sunan Gordah dari istrinya Nyimas Kartika. 

Sunan Gordah adalah putranya Prabu Jaya Dewata dari istrinya Dewi Inten Dewata alias Halimah alias Ratu Anten, asal dari Timbanganten Leles Torogong, puterinya Dalem Pasehan




Di mulai pada masa Pajajaran burak tahun 1579 masehi, sampai akhir masa kolonialisme 1940 masehi, Sumedang menjadi wilayah Regentschap yang dipimpin oleh setingkat Regent ata Bupati, di mana Bupati yang memerintah lebih dominan berasal dari keturunan langsung Kerajaan Sumedng Larang, sedangkan keturunan dari Prabu Ragamulya Suryakencana yang notabene sudah memberikan sebagian Pusaka Kerajaan Pajajaran, dan para Senopatinya sudah membantu berjuang melawan musuh-musuhnya, relatif ditiadakan.
Ketika penyerahan Mahkuta Binokasih tersebut siapakah saja yang menerima dari Sumedang larang sebagai juru terima, Mahkuta Binokasih tersebut di Jaman Raja Sumedang yang Raja pada waktu itu yaitu : Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk umun, putranya Sunan Parung alias Sunan Corendra dan Pangeran Santri alias Pangeran Kusumah Adinata alias Raden Sholih?
Siapakah petinggi-petingi penting di masa Ratu Inten Dewata alais Ratu Pucuk umun, putranya Raden Santajaya alias Sunan Tjorendra dan Pangeran Santri altas Pangeran Kusumah Adinata alias Raden Sholih  di masa pemerintahan 1530-1578 M pada waktu itu?
Menurut Sejarah Sumedang tak mungkin juga yang menerimanya adalah adik-adiknya Pangeran Angka Wijaya, karena ketika dinobatkan di Kutamaya menjadi Raja Pajajaran baru dan terakhir, sedangkan umurnya pun pangeran Angka Wijaya berumur 22 tahun lebih 4 bulan.

Kuitipannya sejarahnya sebagai berikut :
"Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati".
Salam Santun.
_____________

Timbul pertanyaan masa iya. Raden Sangara alias Sunan Rohmat, putranya Prabu Siliwangi dari Subanglarang alias Subang Karancang, ikut dalam penyerahan Mahkuta Binokaih? 

Ataukah ada putra lainnya dari ketiga putra Sri Baduga Jaya Dewata dari Subang Larang atau Subang Karancang ketiga putra tersebut yang tercatat dalam sejarah, yaitu : Prabu Walangsung, alias kuwu Sangkan Cirebon atau Sultan Banten Pertama Cirebon), Lara Santang dan Raden Sangara alias Gagak Lumayung alias Sunan Rohmat.

Rata-rata orang mengirakan Gagak Lumayung dan Gagak Karancang penokohan salah seorang putra prabu Siliwangi dari Nay Subang Larang atau Subang Karancang saja, padahal penokohan Gagak Lumayung dan Gagak Karancang adalah silib atau sandi dalam misi menyelamatkan Pajajaran Nagara.

Penokohan Gagak Karancang dan Gagak Lumayung tersebut yaitu kedudukan keratuan yang dipimpin oleh "Dua Sakembaran", atau Madura dan Suradipati :
Gagak Karancang yaitu Prabu Munding Sari alias Mundingsari 2 alias Mundingsari Ageung putra Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, dari istrinya Ratu Raja Mantri salah satu putrinya Prabu Tirtakusuma alias Sunan Tuakan), Prabu Munding Sari alias Mundingsari 2 alias Mundingsari Ageun, mempunyai anak :
- Munding Sari Leutik alias Munding Sari 3 alias Prabu Munding Surya Ageung 2
- Raden R.angga Mantri Raja Talaga di Raja Galuh Majalengka

Gagak Lumayung yaitu Prabu Munding Wangi alias Sunan Cisorok) Raja Karta Rahayu Limbangan Garut ke II pengganti Sunan Rumenggong alias Rakryan Layaran Wangi alias Prabu Wijaya Kusumah 1, keturunan Prabu Siliwanggi Jaya Dewata.

Sesudah Prabu Mertalaya alias Sunan Guling wafat digantikan oleh putra-putranya Jayadinata alias Tanding Kusuma, Jayadiningrat Kusuma alias Pandita Sakti dan Tirta Kusuma alias Sunan Tuakan di tahun 1237-1462 masehi, meneruskan dinasti kerajaan Sumedanglarang.

Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) dari istrinya Ratu Nurcahya, mempunyai anak :
1. Ratu Ratnasih atau Ratu Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata antara 1482–1521 masehi Raja Pajajaran, berputra Raden Meumeut, Raden Meumeut berputra Sunan Pada, Sunan Pada beputra Nyimas Cukang Gedeng Waru yang nantinya menjadi istri ke 1 Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Angkawijaya.
2. Ratu Sintawati atau Nyi Mas Ratu Patuakan.
3. Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya putra Sri Baduga Maharaja Ratu Haji alias Prabu Guru Dewa Pranata alias Prabu Siliwangi dari istrrinya Ratu Rajamantri. 

Prabu Liman Senjaya alias Sunan Cipancar beputra Dalem Liman Senjaya Kusumah di Kerta Rahayu Limbangan Garut.


Ditulis oleh: Dedi E Kusmayadi, Panata KSL Bidang Budaya dan Sejarah

Sumber :
- Buku Sakawayana Cimalaka Sumedang.
- Buku Jati Sampurna Sumedang.
- Sejarah Floklore Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang
- Sejaran Sumedang