Cinta Lama Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang Dengan Cirebon

Antara Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon sebenarnya pernah terjalin ikatan kekerabatan yang erat. Bahkan, Sumedang sempat menggabungkan diri dengan wilayah Cirebon dan hidup akur selama 55 tahun. Namun, kemesraan itu mulai retak karena pesona Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya merupakan istri kedua Panembahan Ratu 1 alias Pangeran Zainul Arifin alias Pangeran Girilaya 1 alias Panembahan Awal Sultan Hadji, penguasa Cirebon yang bertakhta pada 1570 - 1649 masehi

Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610 masehi, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo.


Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu.

Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan sang mantan. Harisbaya dilarikan ke Sumedang dan tentu saja memicu murka
Panembahan Ratu (Pangeran Mas Zainul Arifin) yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu.

Terjadilah perang antara sesama kerajaan Sunda itu. Nantinya, polemik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang akhirnya harus mengakhiri riwayatnya setelah menyerahkan diri kepada Kesultanan Mataram Islam, kerajaan Jawa penerus Pajang, pada 1620 masehi.

Kisah cinta terlarang ini telah diceritakan oleh berbagai sumber, baik yang bersifat tradisional seperti Babad Sumedang, Babad Cirebon, juga Babad Limbangan, maupun catatan para peneliti dari Eropa, termasuk Petrus de Roo de la Faille, Theodore van Deventer, H.J. de Graaf, Th. G. Pigeaud, dan lainnya.


Kisah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun banyak dipengaruhi oleh akibat Peristiwa Harisbaya, seperti lepasnya daerah Sindangkasih menjadi wilayah Cirebon, munculnya cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan Jaya Perkosa seperti ; hanjuang di Kutamaya, Dago jawa, Sindang Jawa, penggunaan baju Batik  dan berpindahnya ibukota Sumedang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah ini menjadi cerita yang kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di tatar Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang.

Pasca wafatnya Geusan Ulun sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah tatar Sunda, sulit menarik benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya. Dalam buku History of Java misalnya, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada masa itu di tatar Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda, bahkan berada di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles menyimpulkan pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung dibagian barat”.

Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca kemerdekaan pun demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang berasal dari sejarah lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa peristiwanya, sehingga tak jarang dituduh memiliki catatan sejarah palsu, atau tuduhan “sejarahnya diciptakan oleh Belanda”.

Jika ditelusuri lebh lanjut, konon masalah ini dahulu hanya karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada juga yang menyebutkan putra tirinya), dari Harisbaya menyerahkan Sumedang tanpa syarat kepada Mataram. Penyerahan ini bukan hanya berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga seluruh tatar Parahyangan. Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap dan di amanahkan sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang menguasai sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan, selebihnya dikuasai Banten dan Cirebon, tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada di bawah daulat Kerajaan Sumedang Larang.

Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diceritakan melalui beberapa versi, di antaranya babad Sumedang, babad Cirebon dan babad Limbangan. Namun masing-masing versi memiliki alasan, ada kalanya muncul perbedaan di dalam menuturkan peristiwanya. Namun tentunya, kita pun tidak perlu mengadili kebenaran masing-masing yang di kisahkannya, karena masing-masing memiliki paradgima yang berasal dari keyakinan kebenaran yang dikisahkannya, serta memiliki alasan sesuai dengan jamannya.



Kasus Harisbaya
Kisah Harisbaya dan akibat dari peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, secara garis besar dituturkan sebagai berikut :

Didalam Pustaka Kertabumi sargah ke 1 jilid 2 dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau 1585 masehi. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru-hara Demak yang menewaskan Raden Prawoto di Demak dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran Cirebon putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru-hara Demak Prabu Geusan Ulun belum lahir, beliau lahir 12 tahun pasca peristiwa dimaksud atau pada 1558 masehi.

Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran Cirebon menyebabkan Susuhunan jati ayahnya, merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya dari Pajang. Tak cukup sampai di situ, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya selama 16 tahun, untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.

Pada tahun 1582 masehi hubungan antara Cirebon dengan Pajang menemukan kendala. Sultan Hadiwijaya Pajang berseteru dengan Danang Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, Bupati Mataram islam. Sultan Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah terjatuh dari Gajah. 

Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Sultan Hadiwijaya menggantikan ayahnya. Di pihak keluarga Trenggono dan kerabat Keraton Demak menghendaki agar yang menggantikan Sultan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Pangeran Banowo menjadi Bupati Jipang.

Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Ratu Harisbaya terjadi antara 1585 masehi yang berkuasa adalah Arya Pangiri dari Pajang, sedangkan Panembahan Senopati dari Mataram, mulai berkuasa pada tahun 1586 masehi, setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.

Panembahan Ratu 1 alias Pangeran Mas Zainul Arifin alias  Pangeran Girilaya 1 alias Panembahan Awal Sultan Hadji pada waktu itu telah menjadi menantu Sultan Hadiwijaya Pajang, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. 

Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Pangeran Angka Wijaya alias Prabu Geusan Ulun.

Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan berumur 38 tahun sedangkan Pangeran Angkawijaya berumur 27 tahun, namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan  Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun.

Pertemuan Prabu Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Prabu Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru-hara tahun 1546 masehi Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan islam. 

Keberadaan Pangeran Angkawijaya  di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Naskah Kertabhumi Sargajh ke 1 jilid 2, waktu itu Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya yaitu Pangean Angka Wijaya untuk berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.

Pertemuan Pangeran Angkawijaya dengan Ratu Harisbaya di Pajang dalam waktu yang cukup lama, menurut babad antara  5 tahun, tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang di tahun 1580 masehi, untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Prabu Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Prabu Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.

Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama halnya dengan
Panembahan Ratu 1 alias Pangeran Mas Zainul Arifin alias Pangeran Girilaya 1 alias Panembahan Awal Sultan Hadji, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. 

Hal ini berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Pangeran Angkawijaya adalah putranya Pangeran Santri dan Penambahan Ratu putranya Susuhunan Jati memiliki mazhab yang berbeda, Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar sedangkan Pangeran Angkawijya dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.

Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita manapun kompromi ini memang ada disebutkan.

Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 masehi. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.



Menurut Babad

Di dalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat dijelaskan, bahwa :

Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah Madura. Harisbaya sangat tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia merayu Geusan Ulun untuk melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang didukung empat senapatinya yang tangguh kemudian mengabulkan permintaan tersebut. Kemudian ditengah malam buta ia meloloskan diri dari Cirebon.

Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian memerintahkan prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun pasukan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya dengan selamat. Konon kabar, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago Jawa” dan “Sindang Jawa”.

Kisah lolosnya Harisbaya membuat kegelisahan Cirebon. Panembahan Ratu mengutus para telik sandi mencari keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari dua orang mata-mata Cirebon memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di pasar. Informasi ini disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini, Cirebon menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang dipimpin Jayaperkosa.

Dalam kisah babad, peperangan ini pula muncul mitos tentang Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar, sebelum berangkat menyambut musuh yang akan menyerang Sumedang, Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang itu masih segar, maka ia masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu artinya ia telah gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia tersesat. Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera menuju ke Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke Dayeuh Luhur. Kemudian evakuasi pun terjadi.

Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa terkejut ketika mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang yang ditanam Jayaperkosa masih segar. Ia pun sangat merah ketika mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya telah pindah ke Dayeuh Luhur dan menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di kalahkan Cirebon. Ia mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal kepindahannya ke Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian membunuh Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga”. Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan agar dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah Kabuyutan. Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, Jayaperkosa tidak mau kuburannya menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun. Sekalipun yang terakhir ini masih perlu ditelaah lebih jauh, karena Jaya Perkosa lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.


Raja Sumedang Pewaris Pajajaran
Sumedang Larang dikenal sebagai suatu kerajaan kecil yang bernaung di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Prabu Geusan Ulun bergelar Angkawijaya sebagai pemimpinnya mendapat gelar raja daerah dari Raja Pajajaran, yakni Raga Mulya atau Prabu Suryakancana (1567 - 1579).

Meskipun Pajajaran merupakan kerajaan Hindu, namun Sumedang Larang sudah menganut Islam. Geusan Ulun adalah anak dari Pangeran Santri dengan Ratu Setyasih, putri penguasa Sumedang sebelum tahun 1530. Pangeran Santri semula datang ke Sumedang untuk menyebarkan agama Islam, dan memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Cirebon.

Pangeran Santri kemudian bersama-sama dengan istrinya memimpin Sumedang Larang (Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad 17, 2010:222). Setelah Pangeran Santri wafat, roda pemerintahan dilanjutkan oleh Geusan Ulun yang mulai bertakhta pada 1578.

Baru setahun Geusan Ulun berkuasa di Sumedang, Pajajaran hancur akibat serangan Kesultanan Banten pada 1579. Di tengah kekacauan itu, Geusan Ulun mendeklarasikan Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Pakuan Pajajaran (Agus Arismunandar, ed., Widyasancaya, 2006:84).


Klaim tersebut memperoleh dukungan karena Geusan Ulun masih keturunan para Prabu Siliwangi yang berkuasa pada 1482 hingga 1521. Dengan demikian, Geusan Ulun diyakini punya hak memimpin bekas wilayah Pajajaran yang meliputi hampir seluruh tanah Sunda kecuali daerah milik Kesultanan Banten dan Cirebon.


Cinta Lama Bersemi Kembali
Kisah itu bermula ketika Geusan Ulun masih berstatus pangeran, seorang putra mahkota kerajaan kecil dari pedalaman Sunda yang sedang menempuh pedidikan di Kesultanan Pajang. Oleh sang ayah, Pangeran Santri, Geusan Ulun dikirim ke Pajang untuk belajar agama Islam sekaligus ilmu tata negara.

Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan ke Pajang  tidak jauh dari Surakarta, seiring runtuhnya Kesultanan Demak pada 1548. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram. Hubungan antara Pajang, Cirebon, Sumedang, dan Banten cukup harmonis pada masa-masa ini.

Dalam buku Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa karya Yoseph Iskandar (1997 : 301) disebutkan, semasa menetap di Pajang itulah Geusan Ulun bertemu dengan Harisbaya, putri cantik berdarah ningrat-Mataram yang berasal dari Madura. Mereka akhirnya menjalin hubungan asmara.

Setelah lima tahun tinggal di Pajang, Geusan Ulun harus segera pulang ke Sumedang Larang untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya. Jalinan cinta Geusan Ulun dan Harisbaya pun usai tanpa kejelasan.

Lagipula, Harisbaya akan dinikahkan dengan Panembahan Ratu, penguasa Kesultanan Cirebon yang juga menantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Dengan kata lain, Harisbaya menjadi istri kedua
Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin /   Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji).

Beberapa warsa berselang atau tujuh tahun sejak Geusan Ulun dinobatkan sebagai pemimpin Sumedang Larang, ia berjumpa kembali dengan Harisbaya yang saat itu sudah berstatus sebagai istri 
Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin /   Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji).
 
Cinta lama pun bersemi kembali. Harisbaya meminta Geusan Ulun untuk membawanya kabur. Dan, itulah yang kemudian terjadi hingga memicu perang antara Cirebon dengan Sumedang.



Asmara Terlarang Memicu Perang

Selain versi di atas, ada pula versi lain yang menceritakan kisah berbeda ihwal hubungan Geusan Ulun dengan Harisbaya. Uka Tjandrasasmita (2009:124) dalam buku Arkeologi Islam Nusantara menuliskan bahwa pertemuan keduanya terjadi ketika Geusan Ulun singgah ke Kraton Cirebon dalam perjalanan pulang dari Demak (atau Pajang).

Diceritakan, Harisbaya langsung jatuh hati melihat ketampanan Geusan Ulun, raja muda dari Sumedang itu. Lantaran tidak mencintai Panembahan Ratu yang usianya jauh lebih tua darinya, Harisbaya menemui Geusan Ulun agar bersedia mengajaknya keluar dari Cirebon.


Gayung bersambut, Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya, secara diam-diam melarikan Ratu Harisbaya ke Sumedang. Saat itu, Ratu Harisbaya sedang mengandung. Setelah lahir, bayi tersebut diberi nama Raden Suriadiwangsa yang oleh Geusan Ulun dianggap seperti anak sendiri, bahkan nantinya melanjutkan pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang.


Terlepas dari dua versi yang berbeda terkait pertemuan Geusan Ulun dan Harisbaya itu, peristiwa pelarian tersebut tentu saja memantik murka Panembahan Ratu yang segera mengerahkan pasukan untuk menyerbu Sumedang.

Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).

Perang pun terjadi
Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin /   Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji), mengerahkan lebih dari 2.000 prajurit untuk menyerang Sumedang. Di sisi lain, pasukan Sumedang dengan gagah berani menghadapi serbuan tersebut di bawah komando Jaya Perkasa, mantan panglima Kerajaan Pajajaran yang menyatakan ikrar setia kepada Prabu Geusan Ulun.

Pertempuran berlangsung selama 4 hari 4 malam. Hingga akhirnya, disepakati perjanjian damai untuk menghindari korban yang lebih besar dari kedua belah pihak.



Kemarahan Jaya Perkosa
Di dalam Babad Limbangan maupun Babad Sumedang peranan Jayaperkosa dimasa Geusan Ulum diceritikan panjang lebar. Menurut Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, dipaparkan :
Kedua babad itu seolah-olah menenggelamkan peran Geusan Ulun di Sumedang dan menjadikan babad tersebut sebagai riwayat hidup Jaya perkosa. Padahal Jayaperkosa dan adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa biasa, sehingga Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang tertinggi namun berada dibawah raja.
Buku tersebut selanjutnya menjelaskan pula :  
Seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu memang ada, satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah kesediaan Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu melalui pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa yang ingin menebus kekalahan Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa Jayaperkosa, Cirebon dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang terjadi permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun melainkan bertujuan membuka kembali Perang Pakuan. Dan memang pada waktu Sumedang sudah kuat.
Disisi lain Panembahan Ratu dianggap tokoh penting dalam penaklukan Pajajaran. Jaya Perkosa juga beranggapan, bahwa Panembahan Ratu 1 akan merasa terhina jika istrinya dibawa orang lain dan kemudian ia menyerang Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu 1 1tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun tidak menerima tawaran tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil. Namun nampaknya Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih memilih mendapat kompensasi daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki Harisbaya, atau semacam memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada masalah harga diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan Jaya Perkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.




Prabu Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M. Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. 

Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga yang ada di dataran tinggi Dayeuh Luhur, saat ini masih nampak menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda, tempat Urang Sunda dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.
 


Tamatnya Sumedang Larang
Sebagai penyelesaian konflik, Panembahan Ratu meminta Geusan Ulun menyerahkan wilayah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon (kini Majalengka). Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya (Edi S. Ekadjati, eds., Empat Sastrawan Sunda Lama, 1994:88).

Setelah Geusan Ulun wafat pada 1610, takhta dilanjutkan oleh Raden Suriadiwangsa anak Harisbaya dengan
Panembahan Ratu (Pangeran Mas Zainul Arifin), sebagaimana wasiat almarhum. Sebelumnya, sebagian wilayah Sumedang Larang telah diserahkan kepada putra Geusan Ulun dari istri lainnya, Raden Rangga Gede, agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.

Pada era Raden Suriadiwangsa inilah Sumedang Larang meleburkan diri dengan Kesultanan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) sebagai penerus Kesultanan Pajang yang runtuh pada 1587. Raden Suriadiwangsa melakukannya agar mendapat bantuan Mataram untuk menghadapi Banten.

Bagi Sultan Agung, ini keuntungan besar. Berserah dirinya Raden Suriadiwangsa berarti seluruh wilayah Priangan, ditambah Karawang, dikuasai Mataram. Priangan adalah wilayah Sumedang Larang (Pajajaran) yang meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, hingga Bogor.

Sultan Agung menjadikan Priangan sebagai basis pertahanan bagian barat (Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda, 2004:22). Raden Suriadiwangsa sendiri ditunjuk sebagai wakil Mataram di Priangan dan nantinya turut membantu Sultan Agung menyerang VOC di Batavia pada 1628 dan 1629.

Meleburnya Sumedang Larang dengan Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta sekaligus menjadi penegas tamatnya riwayat kerajaan Sunda penerus Pajajaran itu.



Pangeran Rangga Gempol Putera Siapa?
Sebagian ahli sejarah dari Sunda dan Jawa, terutama dari Cirebon selama ini berkeyakinan bahwa Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata I, atau yang dikenal juga dengan Pangeran Arya Suriadiwangsa merupakan anak tiri atau anak angkat dari Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya. Diantara mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Rangga Gempol merupakan anak kandung hasil hubungan dari pernikahan Ratu Harisbaya dengan mantan Suaminya
Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin / Panembahan Ratu 1 / Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji, 1570 - 1649 M ), Sultan Cirebon yang ketika dalam kandungannya, ibunya melarikan diri dari Keraton Pakungwati Cirebon dan mengejar rombongan kekasih lamanya, Prabu Geusan Ulun yang hendak kembali ke Keraton Kutamaya di Sumedang Larang. Ketika melarikan diri, Ratu Harisbaya sedang mengandung anak dari Panembahan Ratu.

Pandangan ini, memiliki beberapa kelemahan yang harus dikritisi, antara lain :

Jika diyakini, pandangan seperti ini akan memberikan image bahwa Ratu Harisbaya adalah perempuan atau permaisuri yang sangat tidak bermoral karena kabur di saat sedang mengandung dan tidak mempedulikan tugasnya sebagai permaisuri resmi Cirebon. Berdasarkan teori propaganda, cerita seperti ini sengaja dibuat untuk menjatuhkan citra atau bahkan membunuh karakter Ratu Harisbaya dan Kerajaan Sumedang Larang yang dipimpin oleh Prabu Geusan, sebagai respon sinis atas konflik yang pernah terjadi antara Kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Sumedang Larang berkaitan dengan harga diri Kerajaan Cirebon atas permaisuri Harisbaya.
Prabu Geusan Ulun sebagai penguasa Kerajaan Islam Sunda, Sumedang Larang, sebelum peristiwa Harisbaya terjadi, diundang oleh Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin / Panembahan Ratu 1 / Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji, 1570 - 1649 M), ke Keraton Pakungwati dalam suatu undangan kegiatan keislaman. Baik sebagai penguasa atau sebagai permaisuri, kedua-duanya memahami betul aturan iddah bagi istri yang sedang mengandung. Dimana, si perempuan tidak boleh menikahi lelaki lain sebelum anak yang dikandungnya dilahirkan. Jadi, apakah mungkin saat Harisbaya nekat kabur dari Keraton Cirebon sedang dalam keadaan mengandung Rangga Gempol? Atau mungkin justru belum mengandung sama sekali?

Menurut Wd. Dharmawan Ider Alam (Ki Wangsa) dalam bukunya Benang Merah Sejarah Sumedang Larang (2001), menjelaskan bahwa Pangeran Rangga Gempol I Bupati I Sumedang Larang) merupakan anak pertama dari pernikahan Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya dan bukan dari pernikahannya dengan Nyi Mas Gedeng Waru (W Dharmawan Ider Alam, 2001 : 32)

Berdasarkan silsilah keluarga saya pribadi, yaitu keluarga Sukapura (Tasikmalaya) silsilah teratas antara lain memberikan gambaran yang jelas bahwa Pangeran Rangga Gempol adalah keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun dari Harisbaya.


Makam Pangeran Rangga Gempol yang sebelum tahun 1998 diletakkan di Kota Gede, Yogyakarta bersamaan dengan petinggi-petinggi kerajaan Mataram, sudah dipindahkan ke Gunung Rengganis, Dayeuh Luhur, disatu-lokasikan secara bersebelahan dengan makam Prabu Geusan Ulun. Ini mengindikasikan bahwa Rangga Gempol adalah anak kandung dari Prabu Geusan Ulun.

Pandangan yang mengatakan bahwa Rangga Gempol bukan keturunan langsung Prabu Geusan Ulun kemungkinan besar akibat mengikuti referensi sejarah dari babad tanah Cirebon, yang mengindikasikan subjektivitas kisah-kisah yang muncul di tengah masyarakat Cirebon dahulu kala ketika terjadinya konfrontasi militer antara pasukan Cirebon dengan pasukan Sumedang Larang berkaitan dengan Harisbaya tanpa membandingkan terlebih dahulu dengan sumber-sumber dari Sumedang itu sendiri. Setidaknya, jika ingin mengambil kesimpulan yang sama juga, hadirkan pula bukti sejarah lain dari perspektif yang berbeda, sehingga pembaca sejarah bisa menilai sendiri kebenarannya.

Jadi, sangat jelas dalam diskursus sejarah ini, bahwa dahulu, Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya akhirnya menikah atas restu Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin / Panembahan Ratu 1 / Pangeran Girilaya / Panembahan Awal Sultan Hadji, 1570 - 1649 M ) sendiri yang didesak oleh Raja Mataram III, Sultan Agung Hadiwijaya untuk meminta ganti rugi berupa daerah Sindangkasih (Majalengka), kemudian melahirkan Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, atau ‘Raden Arya Suriadiwangsa’.



Terakhir
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam babad dan kisah lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat tergantung keyakinannya ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai generasi sesudahnya, kita tidak dapat begitu saja mengadili kebenaran dari masing-masing versi, atau menyalahkan paradigma para penulis dimasa lalu dengan paradigma kebenaran barat yang kadung menyeruak menjadi kebenaran kita saat ini.

Penafsiran kisah dan sejarah tersebut tentunya tidak lebih rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita pantun yang telah ada sebelum masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak instan sebagai mana mencerna cerita komik atau sejarah lain, ia lebh rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai. Padahal dari cerita pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda “baheula”. Mungkin ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan kesejarahan babad melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.

Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang hidup dan pilihan hidup. Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan dipertaruhkan hanya karena urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang akan datang menjadi tergadaikan. Disisi lain menggambarkan, bagaimana cita-cita dan harapan dipertahankan dan dijalankan, bagaimana pula pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga diri dan cita-citanya. Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat dan memiliki harga diri.

___________________
Bibliografi :
- W. Dharmawan Ider alam. 2001. Benang Merah Sejarah Sumedang Larang. Penerbit Kandaga Seni Budaya Sumedang, Sumedang
- Yoseph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Penerbit CV Geger Sunten, Bandung

- Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
- Sejarah singkat Kabupaten Sumedang - sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
- Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat - Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
- Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.