Tanggal 6 Nopember 2017, penulis dan rombongan Keraton Sumedang Larang berjiarah ke Makam Adipati Ewanggasona atau Syekh Maulana Akbar di Desa Sukaraja Kecamatan Jatiwangi Majalengka sepulangnya dari acara gelar Budaya Ngumbah Pusaka di Musium Talaga Manggung dan berziarah ke Sunan Parung di Situ Sangiang Kabupaten Majalengka.
Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, ia menitipkan putra angkatnya tersebut yaitu Suranggajaya untuk diasuh oleh Bratawiyana atau Arya Kamuning. Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan batin antara ayah asuh dengan putra asuhnya.
Dalam sumber Carita Purwaka Caruban Nagari dan buku karya P.S. Sulendraningrat disebutkan bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana atau Arya Kamuning juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan seusia dengan Suranggajaya yaitu Ewangga.
Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan Cianjur yang pada awalnya ingin berguru atau belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya yaitu Suranggajaya dalam mengelola pemerintahan di Kuningan.yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di Batavia, sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta.
Sukaraja
adalah nama desa di wilayah Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka,
memang saya mencium kesimpang-siuran tentang asal mula nama Sukaraja
ini. tidak heran dalam sejarah selalu saja ada kesimpang-siuran versi
sejarah yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa nama sebelum Sukaraja
adalah Pedukuhan Tegallega dan Pedukuhan Jatilawang, alasannya katanya
nama sebelum Sukaraja adalah Tegallega (penj. Tegalan yang luas).
Menurut
embah Dayem (saya tidak mengetahui siapa sebenarnya embah Dayem ini)
dan versi lain nya lagi bahwa nama Sukaraja adalah Pedukuhan Jatilawang
karena dalam legenda Kala Banteng disebut pedukuhan Jatilawang yang
merupakan wilayah bagian dari waragati. dan ada yang mengatakan bahwa
pedukuhan Tegallega dan Jatilawang adalah nama pedukuhan yang sama.
Jika demikian halnya, mungkin saja pada waktu itu semasa, pedukuhan Tegallega adalah nama lain dari pedukuhan Jatilawang bagian wilayah Waragati. dan jika pada waktu itu tidak semasa kemungkinan besar perubahan nama pedukuhan Tegallega menjadi pedukuhan Jatilawang tidak mustahil terjadi, karena dengan perubahan masa yang sangat jauh dan perkembangan dari masa ke masa, kini menjadi nama desa Sukaraja.
Menurut cerita keberadan embah Dayem kurang lebih tahun 1380 M, sedangkan masa Ki Kala Banteng kurang lebih tahun 1550 M, perbedaan masa antara Embah Dayem dengan Ki Kala Banteng kurang lebih 170 tahunan, mungkin saja pada tahun 1400 M, pada masa Embah Dayem nama Sukaraja sekarang adalah Tegallega dan pada tahun 1551 M, pada masa Ki Kala Banteng (Desa Sukaraja sekarang). Pedukuhan Tegallega berubah nama menjadi Jatilawang, kemudian menjadi pedukuhan Sukaraja, karena perkembangan dan perubahan masa pedukuhan Sukaraja berubah menjadi sebuah desa. Sukaraja yang terletak di kecamatan Jatiwangi, desa Sukaraja terletak sebelah utara dari pusat pemerintahan kabupaten Majalengka sekarang. masa embah Dayem belum mengenal ajaran Islam dan pada masa Kala Banteng mulai peralihan kepercayaan, dan masyarakat Sukaraja mengenal ajaran Islam dari seorang da'i yang bernama Kyai Muhamad / Pangeran Muhamad putra dari syekh Maulana Abdurahman / Sunan Panjunan keturunan dari Syekh Dzatul Kahfi (Gunung Jati) seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari mekah.
Pangeran Muhamad penyebar ajaran Islam di Sukaraja dan di wilayah Majalengka lainnya,, karena pangeran Muhamad menikah dengan Siti Armilah putri Sindang kasih Majalengka dan dari hasil pernikahannya tersebut mempunyai seorang putra yang bernama Raden Soleh / ki Gedeng Sumedang / Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri yang menikah dengan seorang Ratu kerajaan Sumedanglarang (Ratu Pucuk Umun )dan kemudian menjadi raja Sumedanglarang berputra prabu Geusan Ulun (Raden Angka Wijaya).
Perubahan nama Sukaraja menurut cerita di masyarakat (Floklore), karena diriwayatkan bahwa dahulu pernah ada peristiwa seorang putri yang menyukai seorang raja maka pedukuhan Jatilawang berubah nama menjadi "Sukaraja yang berarti suka pada Raja", hanya saja tidak jelas siapa nama putri dan raja yang diceritakan masyarakat tersebut (harus ada pengkajian sejarah secara khusus). maaf ini hanya pendapat saya pribadi, apakah karena pedukuhan Tegallega atau pedukuhan Jatilawang atau lebih populer dengan nama pedukuhan Sukaraja adalah pedukuhan yang sering dilalui raja Sumedanglarang sebagai pewaris kerajaan pajajaran, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Sunda yang pernah berjaya dimasa lampau, dan seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran diserahkan kepada kerajaan Sumedanglarang, tak terkecuali kerajaan-kerajaan yang ada ditanah Majalengka (Talaga dll) menjadi bagian kerajaan Sumedanglarang, karena raja Sumedanglarang sering melintasi kepedukuhan Jatilawang sehingga menjadi Sukaraja, karena Ibu dan ayah raja Sumedanglarang (Pangeran Santri / Pangeran Kusumadinata I), bermukim di Majalengka yaitu Kyai Muhamad dan ibu Siti Armilah di Sindangkasih dan juga masa putra pangeran Santri yaitu Prabu Geusan Ulun-pun, kerap kali melintas ke pedukuhan ini, apakah yang diceritakan masyarakat sekitar tentang seorang putri yang kabur dan mengikuti raja tersebut adalah peristiwa Ratu Harisbaya istri Sultan Girilaya Cirebon yang memaksa memilih ikut ke kerajaan Sumedanglarang?
Jika demikian halnya, mungkin saja pada waktu itu semasa, pedukuhan Tegallega adalah nama lain dari pedukuhan Jatilawang bagian wilayah Waragati. dan jika pada waktu itu tidak semasa kemungkinan besar perubahan nama pedukuhan Tegallega menjadi pedukuhan Jatilawang tidak mustahil terjadi, karena dengan perubahan masa yang sangat jauh dan perkembangan dari masa ke masa, kini menjadi nama desa Sukaraja.
Menurut cerita keberadan embah Dayem kurang lebih tahun 1380 M, sedangkan masa Ki Kala Banteng kurang lebih tahun 1550 M, perbedaan masa antara Embah Dayem dengan Ki Kala Banteng kurang lebih 170 tahunan, mungkin saja pada tahun 1400 M, pada masa Embah Dayem nama Sukaraja sekarang adalah Tegallega dan pada tahun 1551 M, pada masa Ki Kala Banteng (Desa Sukaraja sekarang). Pedukuhan Tegallega berubah nama menjadi Jatilawang, kemudian menjadi pedukuhan Sukaraja, karena perkembangan dan perubahan masa pedukuhan Sukaraja berubah menjadi sebuah desa. Sukaraja yang terletak di kecamatan Jatiwangi, desa Sukaraja terletak sebelah utara dari pusat pemerintahan kabupaten Majalengka sekarang. masa embah Dayem belum mengenal ajaran Islam dan pada masa Kala Banteng mulai peralihan kepercayaan, dan masyarakat Sukaraja mengenal ajaran Islam dari seorang da'i yang bernama Kyai Muhamad / Pangeran Muhamad putra dari syekh Maulana Abdurahman / Sunan Panjunan keturunan dari Syekh Dzatul Kahfi (Gunung Jati) seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari mekah.
Pangeran Muhamad penyebar ajaran Islam di Sukaraja dan di wilayah Majalengka lainnya,, karena pangeran Muhamad menikah dengan Siti Armilah putri Sindang kasih Majalengka dan dari hasil pernikahannya tersebut mempunyai seorang putra yang bernama Raden Soleh / ki Gedeng Sumedang / Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri yang menikah dengan seorang Ratu kerajaan Sumedanglarang (Ratu Pucuk Umun )dan kemudian menjadi raja Sumedanglarang berputra prabu Geusan Ulun (Raden Angka Wijaya).
Perubahan nama Sukaraja menurut cerita di masyarakat (Floklore), karena diriwayatkan bahwa dahulu pernah ada peristiwa seorang putri yang menyukai seorang raja maka pedukuhan Jatilawang berubah nama menjadi "Sukaraja yang berarti suka pada Raja", hanya saja tidak jelas siapa nama putri dan raja yang diceritakan masyarakat tersebut (harus ada pengkajian sejarah secara khusus). maaf ini hanya pendapat saya pribadi, apakah karena pedukuhan Tegallega atau pedukuhan Jatilawang atau lebih populer dengan nama pedukuhan Sukaraja adalah pedukuhan yang sering dilalui raja Sumedanglarang sebagai pewaris kerajaan pajajaran, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Sunda yang pernah berjaya dimasa lampau, dan seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran diserahkan kepada kerajaan Sumedanglarang, tak terkecuali kerajaan-kerajaan yang ada ditanah Majalengka (Talaga dll) menjadi bagian kerajaan Sumedanglarang, karena raja Sumedanglarang sering melintasi kepedukuhan Jatilawang sehingga menjadi Sukaraja, karena Ibu dan ayah raja Sumedanglarang (Pangeran Santri / Pangeran Kusumadinata I), bermukim di Majalengka yaitu Kyai Muhamad dan ibu Siti Armilah di Sindangkasih dan juga masa putra pangeran Santri yaitu Prabu Geusan Ulun-pun, kerap kali melintas ke pedukuhan ini, apakah yang diceritakan masyarakat sekitar tentang seorang putri yang kabur dan mengikuti raja tersebut adalah peristiwa Ratu Harisbaya istri Sultan Girilaya Cirebon yang memaksa memilih ikut ke kerajaan Sumedanglarang?
Sekilas Sejarah Adipati Ewanggasona (Syekh Maulana Abdurrahman Akbar)
Sudah barang tentu Sukaraja masa pemerintahan raja Sunda terdahulu menganut ajaran Budha, masa peralihan kepercayaan dan masuk ajaran Islam pada masa Pajajaran yang dipinpin oleh Raden Pamanah Rasa Prabu Siliwangi yang telah menganut agama Islam dan beristri Nyimas Subang Larang putri/santri wali sepuh Syekh Hasanudin atau lebih dikenal dengan nama Syeikh Quro A'in Karawang, akan tetapi pada masa itu ajaran lama, masih subur di masyarakat, wajar saja karena masih sedikit nya da'i kala itu.
Dan ajaran lama di wilayah kekuasaan Sri Baduga Maharaja mulai terkikis setelah hadirnya cucu Sri Baduga Maharaja (Raden Pamanah Rasa) dari Nyimas Lara Santang yaitu Syekh Syarif Hidayattullah ke Cirebon, sehingga sribaduga dengan senanghati melihat cucu nya menyebarkan ajaran islam di daerah Cirebon hingga ke daerah Majalengka.
Sebagai tambahan dari saya untuk diteliti, banyak nya pendapat bahwa Prabu Siliwangi (Sribaduga Maharaja)beragama hindu, dan pendapat itu tidak salah dan benar ada nya akan tetapi perlu diketahui juga bahwa sribaduga masuk dan memeluk agama islam dikarawang oleh syekh Quro A'in sehingga Sribaduga dapat mempersunting santrinya yang bernama Nyimas Subanglarang. kenapa demikian???
Secara logika pun mestinya kita harus sudah bisa menangkap bahwa Raden Pamanah Rasa Prabu Siliwangi memeluk Islam, karena jika Prabu Siliwangi masih memeluk ajaran hindu ketika mempersunting Nyimas Subanglarang adalah hal yang mustahil terjadi dikarenakan Syekh Quro adalah termasuk Wali Sepuh sebelum ajaran Islam yang dibawa para Wali sanga ke tanah Jawa ini. Syeikh Quro seorang waliyullah, tidak mungkin memberikan putri didiknya dipersunting orang yang berbeda agama walaupun ia seorang raja kesohor, saudagar kaya ataupun ksatria gandang sakti mandraguna jika berbeda agama.
Ini sebagaian adalah nama-nama tokoh penyebar ajaran Islam di daerah Majalengka, yaitu : Dalem Panungtung, Nyimas Lintangsari, Wirangga Laksana, Embah Salamuddin, Pangeran Muhamad dan istrinya Siti Armilah pada tahun 152, Pangeran Puteran, Sunan Drajat, Eyang Tirta atau Eyang Cai, Buyut Samoja Opat, Embah Nursalim, Embah Talamudin, Dipati Suraga Ewanggasona murid Embah Nursalim dan Embah Talamudin, Embah Hanafiah, Eyang Weri, Raden Haji Brawinata, Pangeran Jakarta, Haji Ibrahim dan lain-lain, yang tersebar di seluruh wilayah Majalengka, saya mohon maaf apabila ada kekeliruan, dan semoga saja kita semua dapat menemukan keutuhan sejarah Sukaraja yang sesungguhnya. dan Insya Allah, saya akan mencoba menggali Sejarah Syekh Maulana Abdurrahman Akbar atau lebih dikenal dengan nama Embah Depok Dpati Ewanggasona.
Tak banyak sejarah yang saya dapatkan, menurut flokrore setempat, beliua sejaman dengan Pangeran Muhammad ayahnya Pangeran Santri (Rd. Solih), bahkan putra-putranya Sunan Gunung Jati di didik ilmu kanuragan dan thooriqoh oleh beliau.
Komplek Makam Dipati Ewanggasona (Syekh Maulana Abdurahman Akbar), patilasannya ada juga di Daerah Depok kecamatan Tanjungkerta Sumedang. di Cipanas Tanjungkerta beliau dikenal dengan nama Buyut Depok atau Mbah Ewangga atau Embah Walisuci, yang membuat lirik lagu "Engko Terbangan", masa pemerintahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang
Sudah barang tentu Sukaraja masa pemerintahan raja Sunda terdahulu menganut ajaran Budha, masa peralihan kepercayaan dan masuk ajaran Islam pada masa Pajajaran yang dipinpin oleh Raden Pamanah Rasa Prabu Siliwangi yang telah menganut agama Islam dan beristri Nyimas Subang Larang putri/santri wali sepuh Syekh Hasanudin atau lebih dikenal dengan nama Syeikh Quro A'in Karawang, akan tetapi pada masa itu ajaran lama, masih subur di masyarakat, wajar saja karena masih sedikit nya da'i kala itu.
Dan ajaran lama di wilayah kekuasaan Sri Baduga Maharaja mulai terkikis setelah hadirnya cucu Sri Baduga Maharaja (Raden Pamanah Rasa) dari Nyimas Lara Santang yaitu Syekh Syarif Hidayattullah ke Cirebon, sehingga sribaduga dengan senanghati melihat cucu nya menyebarkan ajaran islam di daerah Cirebon hingga ke daerah Majalengka.
Sebagai tambahan dari saya untuk diteliti, banyak nya pendapat bahwa Prabu Siliwangi (Sribaduga Maharaja)beragama hindu, dan pendapat itu tidak salah dan benar ada nya akan tetapi perlu diketahui juga bahwa sribaduga masuk dan memeluk agama islam dikarawang oleh syekh Quro A'in sehingga Sribaduga dapat mempersunting santrinya yang bernama Nyimas Subanglarang. kenapa demikian???
Secara logika pun mestinya kita harus sudah bisa menangkap bahwa Raden Pamanah Rasa Prabu Siliwangi memeluk Islam, karena jika Prabu Siliwangi masih memeluk ajaran hindu ketika mempersunting Nyimas Subanglarang adalah hal yang mustahil terjadi dikarenakan Syekh Quro adalah termasuk Wali Sepuh sebelum ajaran Islam yang dibawa para Wali sanga ke tanah Jawa ini. Syeikh Quro seorang waliyullah, tidak mungkin memberikan putri didiknya dipersunting orang yang berbeda agama walaupun ia seorang raja kesohor, saudagar kaya ataupun ksatria gandang sakti mandraguna jika berbeda agama.
Ini sebagaian adalah nama-nama tokoh penyebar ajaran Islam di daerah Majalengka, yaitu : Dalem Panungtung, Nyimas Lintangsari, Wirangga Laksana, Embah Salamuddin, Pangeran Muhamad dan istrinya Siti Armilah pada tahun 152, Pangeran Puteran, Sunan Drajat, Eyang Tirta atau Eyang Cai, Buyut Samoja Opat, Embah Nursalim, Embah Talamudin, Dipati Suraga Ewanggasona murid Embah Nursalim dan Embah Talamudin, Embah Hanafiah, Eyang Weri, Raden Haji Brawinata, Pangeran Jakarta, Haji Ibrahim dan lain-lain, yang tersebar di seluruh wilayah Majalengka, saya mohon maaf apabila ada kekeliruan, dan semoga saja kita semua dapat menemukan keutuhan sejarah Sukaraja yang sesungguhnya. dan Insya Allah, saya akan mencoba menggali Sejarah Syekh Maulana Abdurrahman Akbar atau lebih dikenal dengan nama Embah Depok Dpati Ewanggasona.
Tak banyak sejarah yang saya dapatkan, menurut flokrore setempat, beliua sejaman dengan Pangeran Muhammad ayahnya Pangeran Santri (Rd. Solih), bahkan putra-putranya Sunan Gunung Jati di didik ilmu kanuragan dan thooriqoh oleh beliau.
Komplek Makam Dipati Ewanggasona (Syekh Maulana Abdurahman Akbar), patilasannya ada juga di Daerah Depok kecamatan Tanjungkerta Sumedang. di Cipanas Tanjungkerta beliau dikenal dengan nama Buyut Depok atau Mbah Ewangga atau Embah Walisuci, yang membuat lirik lagu "Engko Terbangan", masa pemerintahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang
Embah
Dipati Ewangga, kebo mulih pakandangan ketika Pajajaran Burak, beliau
meninggalkan lahan yang sangat besar di Cianjur dan dihak guna pakai
oleh Raden Aria Wangsa Goparana (Sunan Nangka Beurit), berputra Dalem
Cikundul Cianjur.
Kebo
mulih pakandangan dibarengi dengan ki Jalun Jaka Lulunta dari lereng
Gunung Gede Bogor, meninggalkan Bogor dan meninggalkan tanah di Cianjur
dan syiar Islam di Sumedang dengan budaya "Seni Terbangan atau Gembyung" yang terkenal yaitu Engko. Selanjutnya Dipati Ewangga hijrah sampai ke Desa Sukaraja Kecamatan Jatiwangi Kecamatan Majalengka, sampai meninggalnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar