Membuka Sejarah Semasa Kecilnya Prabu Ciung Wanara (Rd. Suratama)
Membuka Sejarah Semasa Kecilnya Prabu Ciung Wanara (Prabu Mandaleswara Salakabuana Jaya Prakosa atau Buyut Maja)
Galuh merupakan salah satu kerajaan otonom di kemaharajaan Sunda, yang wilayah kekuasaanya disebelah timur sungai Citarum, dan sebelah barat sungai Cipamali (Kali Brebes sekarang).
Kata Galuh berasal dari kata sangsekerta Ga-la-ha, yang berarti mengembangkan misi ketata negaraan dalam menjalankan misi Mulla Stiwa Danikaya atau Tri Sula Nagarana (Tri Tangtu di Buana) yang berada di Wilayah Medang Kamulan (Galuh) terlepas dari Kerajaan Sunda (Tarumanagara)
Kerajaan Galuh merupakan kelanjutan dari kerajaan Kendan di era Tarumanagara. Kerajaan Galuh ini didirikan oleh Wretikandayun, putra bungsu dari Sang Galuh Kandiawan yang berkuasa di Kendan selama 15 tahun (597-612 M). Karena ia berkedudukan di Medang Jati, sehingga Sang Galuh Kandiawan kemudian terkenal dengan nama Rahiyangta ri Medang Jati.
Sejarah mengenai Galuh ini terdapat dalam suatu naskah kuno berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16 M, ”Carita Parahiyangan”,. Dalam naskah ini diceritakan mengenai kerajaan Galuh yang dimulai oleh Rahiyangta ri Medang Jati yang menjadi resi selama 15 tahun. Selanjutnya kekuasaan diteruskan oleh anaknya, Wretikandayun, yang kemudian dianggap sebagai pendiri cikal bakal kerajaan atau istana Galuh. Dan sejarah Galuh ini juga diceritakan dalam naskah Wangsakerta yang ditulis pada abad ke-17 M.
Penguasa (Raja-Raja) Galuh
Raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Galuh adalah :
· Wretikandayun (670 - 702 M)
· Rahyang Mandi minyak (702 - 709 M)
· Rahyang Baratasenawa (709 - 716 M)
· Rahyang Purbasora (716 - 723 M)
· Sanjaya Harisdarma (723 - 724 M)
· Adimulya Premana Dikusuma (724 - 725 M)
· Tamperan Barmawijaya (725 - 739 M)
· Manarah (Ciung Wanara) (739 - 783 M)
· Guruminda Sang Minisri (783 - 799 M)
· Prabu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan (799 - 806 M)
· Sang Welengan (806 - 813 M)
· Prabu Linggbumi (813 - 852 M)
· Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 - 891 M)
Setelah Prabu Lingga Bumi (813 - 852 M) atau mulai dari Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M), hingga Prabu Niskala wastukancana penguasa selanjutnya dipegang sama dengan penguasa-penguasa Sunda, sehingga kerajaan ini dikenal dengan nama Sunda Galuh atau Galuh pakuan.
Setelah Wastukancana meninggal, kerajaan dibagi 2 untuk pemerintahan anak-anaknya. Di sebelah barat sungai Citarum dengan pusat pemerintahan di Pakuan dipimpin oleh Susuk Tunggal, sedang Prabu Dewa Niskala berkuasa di Kawali (Galuh) sebelah timur sungai Citarum. Tetapi kemudian disatukan lagi oleh cucunya, Sri Baduga Maharaja Jayadewata, yang kemudian dalam sejarah dikenal sebagai era Pakuan Pajajaran.
Ciung Wanara merupakan nama untuk Sang Manarah, penguasa Galuh dari tahun 739-783 M. Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M), dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permana dikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan Barmawijaya, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah Permana meninggal ia menjadi istri kedua Temperan Barmawijaya.
Sewaktu kecil menurut Babad Cipaku Darmaraja (buk Pakuning Alam) ia dibesarkan oleh kakeknya dan Neneknya (Aki-Nini ti Gigir) yaitu Arya Bimarksa bin Jantaka bin Wretikendayun (Aki Balagantrang) dan Ratu Komalasari binti Purbasora bin Wretikendayun (Nini Balagtrang) yang juga merupakan orang tua Raja Tembong Agung Sumedang yaitu Prabu Aji Putih dan sekaligus Orang Tua asuh Si Pulung Timu / Prabu Ciung Wanara / Rd. Suratama, dan setelah kerajaan diserahkan pada mantunya Sang Manistri yang mempersunting anak perempuannya, Purbasari. Prabu Ciung Wanara lalu Munia Raja Sunyi ke Darmaraja Sumedang dengan nama sebutan Raja Udik (Raja yang kembali ke tempat asal dibesarkan => Galuh, Galah, Galihna)
Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (Tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Arya Bimaraksa (Aki Balagantrang), yang dibantu pasukan Tembong Agung Sumedang dan Limbangan Garut.
KI BALANGATRANG
Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hampir seluruh keluarga Raja Purbasora, dan yang selamat dari kudeta tersebut adalah patihnya, Bimaraksa, yang dikemudian hari dikenal dengan Aki Balangantrang.
Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan sisa laskar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil Sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya Ki Balangantrang di Geger Sunten. Dan ketika ia dewasa kemudian berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan Barmawijaya.
Namun benarkah di Geger Santen Ciamis??? Bukankah kalau di Ciamis mungkin sudah diketahui keberadaannya oleh para telik sandi Prabu Sanjaya, karena masih dalam lingkungan Kerajaan Galuh.
Menurut Babad Cipaku Darmaraja (buk Pakuning Alam) Prabu Ciung Wanara atau Si Pulung Timu atau Raden Suratama Kusumah atau Buyud Maja dibesarkan oleh kakeknya dan Neneknya (Aki-Nini ti gigir basa Sunda) yaitu Arya Bimarksa bin Jantaka bin Wretikendayun dan Istrinya Ratu Komalasari binti Purbasora binti Wretikendayun yang merupakan juga orang tua raja Tembong Agung yaitu Prabu Aji Putih di Cisema Darmaraja Sumedang dan sekaligus orang tua angkat dari Prabu Suratama, apalagi masih keterkaitan keluarga. (penj. Cisema artinya Ci Susu Ema/Air Susu Ibu yang mengasuh dan mengurus Ciung Wanara). Dalam cerita rakyat Arya Bimaraksa dan Ratu Komalasari dikenal dengan Nama Ki Balangantrang dan Nini Balangantrang.
Sang Manarah dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat diselenggarakan pesta sabung ayam. Penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk Hariang Banga, Sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin pasukan Geger sunten menyerang keraton.
Dalam Babad Rucatan Darmaraja Sumedang, penyerangan itu dibantu oleh pasukan dari Sumedang dan Limbangan, yang telah dididik keprajuritan dan ketata negaraan di Cipancar Hilir Sumedang atau di Citembong Girang Sumedang dibawah pimpinan Wira Dikusumah bin Prabu Purbasora dan Ratu Komara (Dewi Komalasari binti Prabu Purbasora istri daripada Arya Bimaraksa juga di Cipancar Hilir Limbangan dibawah pimpinan Wijaya Kusuma bin Purbasora.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat, Galuh dapat dikuasai. Dalam pertempuran antara putra mahkota Hariang Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Hariang Banga, dan Raja Temperan Barmawijaya terbunuh, sehingga Galuh dapat dikuasai oleh Rd. Suratama (Prabu Ciung Wanara) sebagai pewaris resmi tahta Galuh dari ayahnya Permana di Kusumah.
Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hampir seluruh keluarga Raja Purbasora, dan yang selamat dari kudeta tersebut adalah patihnya, Bimaraksa, yang dikemudian hari dikenal dengan Aki Balangantrang.
Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan sisa laskar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil Sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya Ki Balangantrang di Geger Sunten. Dan ketika ia dewasa kemudian berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan Barmawijaya.
Namun benarkah di Geger Santen Ciamis??? Bukankah kalau di Ciamis mungkin sudah diketahui keberadaannya oleh para telik sandi Prabu Sanjaya, karena masih dalam lingkungan Kerajaan Galuh.
Menurut Babad Cipaku Darmaraja (buk Pakuning Alam) Prabu Ciung Wanara atau Si Pulung Timu atau Raden Suratama Kusumah atau Buyud Maja dibesarkan oleh kakeknya dan Neneknya (Aki-Nini ti gigir basa Sunda) yaitu Arya Bimarksa bin Jantaka bin Wretikendayun dan Istrinya Ratu Komalasari binti Purbasora binti Wretikendayun yang merupakan juga orang tua raja Tembong Agung yaitu Prabu Aji Putih di Cisema Darmaraja Sumedang dan sekaligus orang tua angkat dari Prabu Suratama, apalagi masih keterkaitan keluarga. (penj. Cisema artinya Ci Susu Ema/Air Susu Ibu yang mengasuh dan mengurus Ciung Wanara). Dalam cerita rakyat Arya Bimaraksa dan Ratu Komalasari dikenal dengan Nama Ki Balangantrang dan Nini Balangantrang.
Sang Manarah dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat diselenggarakan pesta sabung ayam. Penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk Hariang Banga, Sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin pasukan Geger sunten menyerang keraton.
Dalam Babad Rucatan Darmaraja Sumedang, penyerangan itu dibantu oleh pasukan dari Sumedang dan Limbangan, yang telah dididik keprajuritan dan ketata negaraan di Cipancar Hilir Sumedang atau di Citembong Girang Sumedang dibawah pimpinan Wira Dikusumah bin Prabu Purbasora dan Ratu Komara (Dewi Komalasari binti Prabu Purbasora istri daripada Arya Bimaraksa juga di Cipancar Hilir Limbangan dibawah pimpinan Wijaya Kusuma bin Purbasora.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat, Galuh dapat dikuasai. Dalam pertempuran antara putra mahkota Hariang Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Hariang Banga, dan Raja Temperan Barmawijaya terbunuh, sehingga Galuh dapat dikuasai oleh Rd. Suratama (Prabu Ciung Wanara) sebagai pewaris resmi tahta Galuh dari ayahnya Permana di Kusumah.
SERBUAN SANJAYA KE GALUH
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh.
Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomara sakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan atas prakarsa rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan Hariang Banga kemudian dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedangkan Hariang Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kencanawangi yang bernama Kencanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manu raja suniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa hingga akhir hayat.
Dan kerajaan Galuh diserahkan pada mantunya Sang Manistri yang mempersunting anak perempuannya, Purbasari. Prabu Ciung Wanara lalu Munia Raja Sunyi ke Darmaraja Sumedang dengan nama sebutan Raja Udik (Raja yang kembali ke tempat asal dibesarkan / ke tempat Galuh, Galah, Galihna dibesarkan)
Dalam Buku Pakuning Alam Prabu Ciung Wanara lalu Munia Raja Sunyi ke Darmaraja Sumedanf dengan nama sebutan Raja Udik (Raja yang kembali ke tempat asal dibesarkan - Galuh, Galah, Galihna). Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.
Salam Santun, semoga tulisan ini menambah wawasan dalam sejarah Kerajaan Galuh Ciamis.
=================
Sumber :
- Internet
- Buk Pakuning Alam Darmaraja Sumedang.
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh.
Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomara sakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan atas prakarsa rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan Hariang Banga kemudian dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedangkan Hariang Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kencanawangi yang bernama Kencanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manu raja suniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa hingga akhir hayat.
Dan kerajaan Galuh diserahkan pada mantunya Sang Manistri yang mempersunting anak perempuannya, Purbasari. Prabu Ciung Wanara lalu Munia Raja Sunyi ke Darmaraja Sumedang dengan nama sebutan Raja Udik (Raja yang kembali ke tempat asal dibesarkan / ke tempat Galuh, Galah, Galihna dibesarkan)
Dalam Buku Pakuning Alam Prabu Ciung Wanara lalu Munia Raja Sunyi ke Darmaraja Sumedanf dengan nama sebutan Raja Udik (Raja yang kembali ke tempat asal dibesarkan - Galuh, Galah, Galihna). Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.
Salam Santun, semoga tulisan ini menambah wawasan dalam sejarah Kerajaan Galuh Ciamis.
=================
Sumber :
- Internet
- Buk Pakuning Alam Darmaraja Sumedang.
Post a Comment