Ratna Inten Dewata : Mengapa Garut disebut Kota Intan
Pada umumnya setiap daerah dan kota di Indonesia memiliki ikon-ikon dengan ciri khas yang menjadi daya tarik. Keanekaragaman budaya nusantara, kondisi geografis, budaya dan produktifitas masyarakat membuat setiap wilayah memiliki julukan tersendiri.
“Swiss Van Java” adalah julukan yang disandang Kota Garut yang dilatar belakangi oleh keindahan panorama alam yang menyerupai Switzerland (Swiss). Sebuah kota yang dikelilingi oleh gunung-gunung vulkanik, sehingga memberikan hawa sejuk dan tentu saja pemandangan yang memanjakan mata karena keindahannya.
Pada abad ke-20, Garut sudah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit. Bukan hanya wisatawan domestik, melainkan juga wisatawan dari mancanegara. Bahkan pada saat itu sudah terdapat banyak penginapan-penginapan serta adanya pengelolaan pariwisata yang cukup mumpuni.
Selain penginapan, Garut telah memiliki Tourist Bureau yang berlokasi di depan Stasiun Garut. Tourist Bureau ini bertujuan membantu para wisatawan untuk mendapatkan informasi tentang Garut.
Keindahan Kota Garut diabadikan oleh Herman Benjamins dan Johannes Snelleman dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda) yang terbit pada tahun 1917. Sebagai destinasi terkenal pada masa itu, muncul julukan Mooi Garoet atau Garoet Mooi sebagai ungkapan kekaguman dari bahasa Belanda.
Mooi Garoet yang berarti Garut Elok atau Garut Endah. Sebuah pujian klasik terhadap ke-asrian tanah jajahan Belanda.
Pada tanggal 8 Desember 1960, Soekarno, presiden Indonesia saat itu berkunjung ke Garut. Pada kunjungannya, Soekarno merestui julukan Kota Garut sebagai “Kota Intan”. Julukan kota intan bukan berarti Garut sebagai penghasil intan. Pantulan cahaya lampu kota membuat sungai Cimanuk gemerlap pada malam hari, layaknya butiran intan.
“Kota Intan” pun dapat diartikan sebagai Kota Indah, Tertib, Aman, Nyaman. 1)
Namun bila dikaitkan dengan sejarah berdirinya Garut itu sendiri berkaitan erat dengan berdirinya Timbanganten yang rajanya pada pada waktu adalah Dalem Pasehan atau Prabu Permana Di Putang, yang mempunyai putra Maraja Inten Dewata atau Ratu Ratna Inten Dewata. Inten dalam bahasa Indonesia sama dengan Intan, batu permata yang berkilau, boleh jadi Ratu Inten Dewata dipersunting menjadi salah satu istrinya oleh Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi karena kecantikannya bak permata yang berkilau karena kecantikannya.
Di Tahun 50-an, pernah sengaja ditelusuri beberapa situs yang dianggap bekas kerajaan Timbangaten. Diantaranya lokasi Korobokan, Cipanas, dan Gunung Putri.
Pada waktu menuju ke lokasi Korobokan tidak jauh dari kecamatan Tarogong sekarang, tahun 50-an masih banyak gundukan batu. terlihat dimana-mana gundukan batu, seperti bekas bangunan lama. Di sekelilingnya banyak pohon bambu, tanaman yang besar-besar bercampur dengan alang-alang. Ada juga beberapa kuburan lama yang tidak terpelihara, berantakan. Lokasi tersebut berada di atas bukit kecil. Berjalan ke puncaknya tersebut menanjak. Katanya di lokasi tersebutlah bekas kerajaan Timbanganten. Tetapi kalau kita ke sana sekarang, situs tersebut sudah tidak terlihat lagi. Yang ada hanya bangunan baru, seperti sekolah serta rumah yang berdempetan. Tidak terlihat lagi gundukan-gundukan batu yang dulu dianggap sebagai bekas kerajaan Timbanganten.
Di Puncak Gunung Putri, kalau kita melihat kearah Timur serta Selatan, pemandangan sangat menakjubkan. Di sebelah Timur, terlihat pemandian Cipanas, agak jauh ke arah Timur terlihat kecamatan Tarogong. Agak jauh ke arah Selatan, masih jelas terlihat rumah-rumah bangunan serta mesjid Agung Garut. Sungguh pantas dan terbayang kalau tempat ini tidak lain adalah "Situs bekas Ratu Inten Dewata" yang pernah bertempat tinggal di tempat ini, bahkan konon katanya dimakamkan di Gunung Putri ini.
Menurut "Naskah Babad Timbanganten" dari Desa Cikedokan Kecamatan Bayongbong yang ditulis dalam arab pegon, menceritakan : Keluarga Bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalem Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Semarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Putang.
Dalem Pasehan pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyi Mas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Putang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan menghilang (tilem) di Gunung Satria.
Sebagai pengganti Ratu adalah, anaknya yang bernama Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung) yang dimakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan Dayeuh Manggung wafat dan digantikan anaknya, Sunan Darma Kingkin yang makamnya di Muara Cikamiri. Setelah Sunan Darma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan.
Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi Ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (Ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang dimakamkan di Pulau Cangkuang.
Sementara Floklore lain menceritakan Ratu Inten Dewata masih tetap berupa dongeng nenek moyang yang masih diingat dan terpelihara di masyarakat Tarogong Garut, serta menjadi legenda nenek moyangnya kerajaan Timbangaten. 2)
Kerajaan Timbangtanten tadinya pusat kotanya di Korobokan, kemudian pindah ke Tarogong setelah gunung Guntur meletus. Kerajaan Timbangten termasuk negara yang mandiri, artinya tidak terjajah oleh negara lain. Tanahnya subur, Kaya akan sumber alamnya. Aman, tidak ada penjahat. Rajanya yang terkenal adalah Rama Dewa, seorang raja yang sangat adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya. Seharusnya yang memegang kendali kerajaan itu bukan Rangga Lawe, tetapi kakanya yang bernama Ratna Inten Dewata. Seorang perempuan yang cantik, perawakannya tinggi langsing, mempunyai kulit kuning serta rambutnya hitam ikal. Tetapi dia tidak mau memegang kerajaan, malah dilimpahkan ke adiknya, Rama Dewa. Sedangkan Rangga Lawe adalah seorang perjaka yang bagus perawakan serta wajahnya, sangat gagah serta cakap dalam segala urusan.
Sebelum Rangga Lawe menjadi raja, yang memegang kerajaan Timbangten adalah ayahnya, Rangga Raksa Nagara (Dalem Pasehan). Dari permaisuri Dewi Gandani, beliau mempunyai dua putra, yang besar bernama Ratna Inten Dewata, adiknya Rama Dewa. Pada waktu raja sudah tua dan mau meninggal, pernah dalam suatu pertemuan beliau membuat wasiat bahwa beliau melimpahkan kerajaan Timbangtanten ke anaknya yang paling besar yaitu Ratna Inten Dewata. Hal ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun.
Tetapi dengan penuh pengertian putri Inten menjawab : ”Saya sudah berjanji akan melaksanakan niat. Kalau saya dipanjangkan usia dan ayah serta ibu sudah tidak ada, saya ingin menenangkan pikiran, menyepi sendirian. Pendeknya tidak ada keinginan menjadi pemegang pemerintahan. Oleh karena itu, bukan bermaksud menolak pemberian ayah, sebaiknya diserahkan saja kerajaan ini kepada adik Rangga Lawe. Sungguh sangat pantas kalau adik dijadikan raja, seorang pemuda yang gagah, besar keberaniannya, cakap dalam segala urusan”. kata Inten Dewata. Selanjutnya Dalem Pasehan menyerahkan kerajaan ke Rangga Lawe.
Selang beberapa tahun kemudian, kemudian Ratu Inten Dewata berangkat ke gunung Kutu, yang sekarang disebut gunung Guntur, ditemani oleh Ki Rambut Putih. Ki Rambut Putih yang mengawal sang putri. Bertahun-tahun tinggal di suatu tempat yang terkenal dengan Babakan Gunung Putri. Tempat yang membuat menjadi betah. Udaranya segar, sangat dingin. Bagaikan bunga-bunga yang harum semerbak. Burung-burung ramai berkiau. Suara aliran air mengalir ke kolam membuat menjadi betah.
Suatu saat, kerajaan Timbangten mendapat suatu cobaan yang sungguh besar. Yaitu kemarau panjang bertahun-tahun, sampai pada masyarakat kerajaan Timbangten tertimpa bencana kekurangan air. Ada usul dari para pembesar kerajaan supaya membuat bendungan air, sumber airnya mengambil atau membobol tempat tinggal putri yang berbentuk padepokan Ratu Inten Dewata.
Dengan tidak memikirkan bagaimana perasaan kakaknya, Rama Dewa menyetujui untuk membongkar kediaman putri. Tempat yang menjadi kediaman paling disukai Ratna Inten kemudian dibongkar, dijadikan bendungan, tanpa meminta izin kepada yang punya. Tentu saja Ratna Intan sangat marah. Mendadak langit menjadi mendung menutupi Timbangten dan daerah sekitarnya. Tadinya, rakyat Timbangten bergembira. Apalagi Rama Dewa, dikiranya akan turun hujan, ditambah bendungan sudah akan selesai. Akan tetapi sukacita tersebut seketika itu juga sirna, karena mendadak bumi bergoncang. Gunung Guntur sepertinya bergemuruh. Gempa besar mulai bergoncang bumi. Kilat menyambar-nyambar. Gunung Guntur mengeluarkan batu, suara menggelegar dari puncak gunung Guntur makin keras. Tanaman-tanaman tumbang tertiup angin yang sangat kencang. Kalau sudah seperti itu, baru rakyat Timbangtanen merasa takut. berlarian kesana-kemari, saling berteriak.
Rama Dewa baru tersadar, bahwa kejadian tersebut adalah kemarahan dari Hyang Widhi Wisesa, karena telah sombong kepada kakaknya. Rama Dewa mencari kakaknya untuk meminta maaf dan berjanji untuk tidak berbuat melunjak dan semena-mena. Dengan kehendak dari Yang Maha Kuasa, Rama Dewa bertemu dengan Ratna Inten Dewata.
Dia bersimpuh di kakinya sambil berkata : ”Maafkan aku kakak, Ini merupakan kemarahan dewa”.
Setelah Ratna Inten memberikan maaf-nya, mendadak gempa bumi berhenti. Gunung Guntur tidak memuntahkan lagi lahar panasnya. Batu besar atau kerikil tidak berterbangan lagi, langit mendadak cerah, angin melemah. Ini menandakan para dewa melihat kabersihan hati Dewi Ratna Inten Dewata beserta Ki Rambut Putih pergi ke arah Selatan menuju gunung Talaga Bodas, maksudnya untuk meneruskkan bertapa. Rangga Lawe pergi ke suatu tempat yang banyak sumber airnya.
Rama Dewa membuat kampung baru. Lama kelamaan kampung baru tersebut semakin ramai dibandingka Korobokan yang lama. Sampai sekarang kampung baru tersebut terkenal dengan sebutan Tarogong. Korobokan menjadi hutan belantara karena tidak ada yang mengurus. Akan tetapi namanya sampai sekarang masih ada.
Menurut cerita lama. Rama Dewa yang dinobatkan menjadi raja oleh rakyat Tarogong, setelah membuat bangunan untuk keratonnya.
Tarogong sekarang makin ramai dibandingkan kampung Korobokan. Karena Itula Mengapa Garut terkenal dengan sebutan Kota Inten.
Salam Santun.
-------------------------
Sumber :
1) Koran Online Garut
2) Naskah Babad Timbanganten
3) Floklore Masyarakat Torogong Garut.
“Swiss Van Java” adalah julukan yang disandang Kota Garut yang dilatar belakangi oleh keindahan panorama alam yang menyerupai Switzerland (Swiss). Sebuah kota yang dikelilingi oleh gunung-gunung vulkanik, sehingga memberikan hawa sejuk dan tentu saja pemandangan yang memanjakan mata karena keindahannya.
Pada abad ke-20, Garut sudah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit. Bukan hanya wisatawan domestik, melainkan juga wisatawan dari mancanegara. Bahkan pada saat itu sudah terdapat banyak penginapan-penginapan serta adanya pengelolaan pariwisata yang cukup mumpuni.
Selain penginapan, Garut telah memiliki Tourist Bureau yang berlokasi di depan Stasiun Garut. Tourist Bureau ini bertujuan membantu para wisatawan untuk mendapatkan informasi tentang Garut.
Keindahan Kota Garut diabadikan oleh Herman Benjamins dan Johannes Snelleman dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda) yang terbit pada tahun 1917. Sebagai destinasi terkenal pada masa itu, muncul julukan Mooi Garoet atau Garoet Mooi sebagai ungkapan kekaguman dari bahasa Belanda.
Mooi Garoet yang berarti Garut Elok atau Garut Endah. Sebuah pujian klasik terhadap ke-asrian tanah jajahan Belanda.
Pada tanggal 8 Desember 1960, Soekarno, presiden Indonesia saat itu berkunjung ke Garut. Pada kunjungannya, Soekarno merestui julukan Kota Garut sebagai “Kota Intan”. Julukan kota intan bukan berarti Garut sebagai penghasil intan. Pantulan cahaya lampu kota membuat sungai Cimanuk gemerlap pada malam hari, layaknya butiran intan.
“Kota Intan” pun dapat diartikan sebagai Kota Indah, Tertib, Aman, Nyaman. 1)
Namun bila dikaitkan dengan sejarah berdirinya Garut itu sendiri berkaitan erat dengan berdirinya Timbanganten yang rajanya pada pada waktu adalah Dalem Pasehan atau Prabu Permana Di Putang, yang mempunyai putra Maraja Inten Dewata atau Ratu Ratna Inten Dewata. Inten dalam bahasa Indonesia sama dengan Intan, batu permata yang berkilau, boleh jadi Ratu Inten Dewata dipersunting menjadi salah satu istrinya oleh Prabu Jaya Dewata (Prabu Siliwangi karena kecantikannya bak permata yang berkilau karena kecantikannya.
Di Tahun 50-an, pernah sengaja ditelusuri beberapa situs yang dianggap bekas kerajaan Timbangaten. Diantaranya lokasi Korobokan, Cipanas, dan Gunung Putri.
Pada waktu menuju ke lokasi Korobokan tidak jauh dari kecamatan Tarogong sekarang, tahun 50-an masih banyak gundukan batu. terlihat dimana-mana gundukan batu, seperti bekas bangunan lama. Di sekelilingnya banyak pohon bambu, tanaman yang besar-besar bercampur dengan alang-alang. Ada juga beberapa kuburan lama yang tidak terpelihara, berantakan. Lokasi tersebut berada di atas bukit kecil. Berjalan ke puncaknya tersebut menanjak. Katanya di lokasi tersebutlah bekas kerajaan Timbanganten. Tetapi kalau kita ke sana sekarang, situs tersebut sudah tidak terlihat lagi. Yang ada hanya bangunan baru, seperti sekolah serta rumah yang berdempetan. Tidak terlihat lagi gundukan-gundukan batu yang dulu dianggap sebagai bekas kerajaan Timbanganten.
Di Puncak Gunung Putri, kalau kita melihat kearah Timur serta Selatan, pemandangan sangat menakjubkan. Di sebelah Timur, terlihat pemandian Cipanas, agak jauh ke arah Timur terlihat kecamatan Tarogong. Agak jauh ke arah Selatan, masih jelas terlihat rumah-rumah bangunan serta mesjid Agung Garut. Sungguh pantas dan terbayang kalau tempat ini tidak lain adalah "Situs bekas Ratu Inten Dewata" yang pernah bertempat tinggal di tempat ini, bahkan konon katanya dimakamkan di Gunung Putri ini.
Menurut "Naskah Babad Timbanganten" dari Desa Cikedokan Kecamatan Bayongbong yang ditulis dalam arab pegon, menceritakan : Keluarga Bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalem Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Semarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Putang.
Dalem Pasehan pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyi Mas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Putang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan menghilang (tilem) di Gunung Satria.
Sebagai pengganti Ratu adalah, anaknya yang bernama Santen Rama Dewa (Sunan Dayeuh Manggung) yang dimakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan Dayeuh Manggung wafat dan digantikan anaknya, Sunan Darma Kingkin yang makamnya di Muara Cikamiri. Setelah Sunan Darma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan.
Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi Ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (Ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang dimakamkan di Pulau Cangkuang.
Sementara Floklore lain menceritakan Ratu Inten Dewata masih tetap berupa dongeng nenek moyang yang masih diingat dan terpelihara di masyarakat Tarogong Garut, serta menjadi legenda nenek moyangnya kerajaan Timbangaten. 2)
Kerajaan Timbangtanten tadinya pusat kotanya di Korobokan, kemudian pindah ke Tarogong setelah gunung Guntur meletus. Kerajaan Timbangten termasuk negara yang mandiri, artinya tidak terjajah oleh negara lain. Tanahnya subur, Kaya akan sumber alamnya. Aman, tidak ada penjahat. Rajanya yang terkenal adalah Rama Dewa, seorang raja yang sangat adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya. Seharusnya yang memegang kendali kerajaan itu bukan Rangga Lawe, tetapi kakanya yang bernama Ratna Inten Dewata. Seorang perempuan yang cantik, perawakannya tinggi langsing, mempunyai kulit kuning serta rambutnya hitam ikal. Tetapi dia tidak mau memegang kerajaan, malah dilimpahkan ke adiknya, Rama Dewa. Sedangkan Rangga Lawe adalah seorang perjaka yang bagus perawakan serta wajahnya, sangat gagah serta cakap dalam segala urusan.
Sebelum Rangga Lawe menjadi raja, yang memegang kerajaan Timbangten adalah ayahnya, Rangga Raksa Nagara (Dalem Pasehan). Dari permaisuri Dewi Gandani, beliau mempunyai dua putra, yang besar bernama Ratna Inten Dewata, adiknya Rama Dewa. Pada waktu raja sudah tua dan mau meninggal, pernah dalam suatu pertemuan beliau membuat wasiat bahwa beliau melimpahkan kerajaan Timbangtanten ke anaknya yang paling besar yaitu Ratna Inten Dewata. Hal ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun.
Tetapi dengan penuh pengertian putri Inten menjawab : ”Saya sudah berjanji akan melaksanakan niat. Kalau saya dipanjangkan usia dan ayah serta ibu sudah tidak ada, saya ingin menenangkan pikiran, menyepi sendirian. Pendeknya tidak ada keinginan menjadi pemegang pemerintahan. Oleh karena itu, bukan bermaksud menolak pemberian ayah, sebaiknya diserahkan saja kerajaan ini kepada adik Rangga Lawe. Sungguh sangat pantas kalau adik dijadikan raja, seorang pemuda yang gagah, besar keberaniannya, cakap dalam segala urusan”. kata Inten Dewata. Selanjutnya Dalem Pasehan menyerahkan kerajaan ke Rangga Lawe.
Selang beberapa tahun kemudian, kemudian Ratu Inten Dewata berangkat ke gunung Kutu, yang sekarang disebut gunung Guntur, ditemani oleh Ki Rambut Putih. Ki Rambut Putih yang mengawal sang putri. Bertahun-tahun tinggal di suatu tempat yang terkenal dengan Babakan Gunung Putri. Tempat yang membuat menjadi betah. Udaranya segar, sangat dingin. Bagaikan bunga-bunga yang harum semerbak. Burung-burung ramai berkiau. Suara aliran air mengalir ke kolam membuat menjadi betah.
Suatu saat, kerajaan Timbangten mendapat suatu cobaan yang sungguh besar. Yaitu kemarau panjang bertahun-tahun, sampai pada masyarakat kerajaan Timbangten tertimpa bencana kekurangan air. Ada usul dari para pembesar kerajaan supaya membuat bendungan air, sumber airnya mengambil atau membobol tempat tinggal putri yang berbentuk padepokan Ratu Inten Dewata.
Dengan tidak memikirkan bagaimana perasaan kakaknya, Rama Dewa menyetujui untuk membongkar kediaman putri. Tempat yang menjadi kediaman paling disukai Ratna Inten kemudian dibongkar, dijadikan bendungan, tanpa meminta izin kepada yang punya. Tentu saja Ratna Intan sangat marah. Mendadak langit menjadi mendung menutupi Timbangten dan daerah sekitarnya. Tadinya, rakyat Timbangten bergembira. Apalagi Rama Dewa, dikiranya akan turun hujan, ditambah bendungan sudah akan selesai. Akan tetapi sukacita tersebut seketika itu juga sirna, karena mendadak bumi bergoncang. Gunung Guntur sepertinya bergemuruh. Gempa besar mulai bergoncang bumi. Kilat menyambar-nyambar. Gunung Guntur mengeluarkan batu, suara menggelegar dari puncak gunung Guntur makin keras. Tanaman-tanaman tumbang tertiup angin yang sangat kencang. Kalau sudah seperti itu, baru rakyat Timbangtanen merasa takut. berlarian kesana-kemari, saling berteriak.
Rama Dewa baru tersadar, bahwa kejadian tersebut adalah kemarahan dari Hyang Widhi Wisesa, karena telah sombong kepada kakaknya. Rama Dewa mencari kakaknya untuk meminta maaf dan berjanji untuk tidak berbuat melunjak dan semena-mena. Dengan kehendak dari Yang Maha Kuasa, Rama Dewa bertemu dengan Ratna Inten Dewata.
Dia bersimpuh di kakinya sambil berkata : ”Maafkan aku kakak, Ini merupakan kemarahan dewa”.
Setelah Ratna Inten memberikan maaf-nya, mendadak gempa bumi berhenti. Gunung Guntur tidak memuntahkan lagi lahar panasnya. Batu besar atau kerikil tidak berterbangan lagi, langit mendadak cerah, angin melemah. Ini menandakan para dewa melihat kabersihan hati Dewi Ratna Inten Dewata beserta Ki Rambut Putih pergi ke arah Selatan menuju gunung Talaga Bodas, maksudnya untuk meneruskkan bertapa. Rangga Lawe pergi ke suatu tempat yang banyak sumber airnya.
Rama Dewa membuat kampung baru. Lama kelamaan kampung baru tersebut semakin ramai dibandingka Korobokan yang lama. Sampai sekarang kampung baru tersebut terkenal dengan sebutan Tarogong. Korobokan menjadi hutan belantara karena tidak ada yang mengurus. Akan tetapi namanya sampai sekarang masih ada.
Menurut cerita lama. Rama Dewa yang dinobatkan menjadi raja oleh rakyat Tarogong, setelah membuat bangunan untuk keratonnya.
Tarogong sekarang makin ramai dibandingkan kampung Korobokan. Karena Itula Mengapa Garut terkenal dengan sebutan Kota Inten.
Salam Santun.
-------------------------
Sumber :
1) Koran Online Garut
2) Naskah Babad Timbanganten
3) Floklore Masyarakat Torogong Garut.
Yang ini menikah dengan prabu siliwangi yg itu menikah dengan pangeran santri, seperti inilah sejarah semakin tenggelam. Pemberian nama siliwangi pun tidak dijelaskan siliwangi yg mana.
BalasHapus